2000, city of thendria.


Seperti halnya hari-hari pada umumnya, Arabella Mireya juga harus bekerja keras dan membanting seluruh tulang serta sendinya untuk menghasilkan banyak uang.

Di kota kecil yang ia tinggali ini, tidak banyak hal yang bisa Arabella kerjakan selain menjadi pengusaha roti. Sebab meski keahliannya menggunung, gadis itu masih tidak bisa menjual hasilnya secara leluasa karena kurangnya pendapatan warga setempat.

Logika kecil saja, sebagai warga di titik terpencil, mereka tentu tidak bisa menghamburkan banyak uang secara bebas dan jelas lebih memilih untuk menjajakan hartanya ke dagangan yang pasti dan nyata berguna. Dan contoh lebih akuratnya lagi adalah roti, makanan utama mereka.

Bisa dibilang toko roti milik Arabella adalah bangunan yang paling berkelas di tempatnya. Toko tersebut bahkan tidak pernah terlihat tutup alias buka 24 jam dengan pergantian shift pekerja. Bangunan seluas 10x12 meter itu tak pernah sepi pengunjung serta selalu terlihat sibuk. Dan selaku pemilik pun kepala dapur, Arabella jelas tidak memiliki waktu untuk bermain-main.

Seperti saat ini misalnya.

“Duh, excuse me lady, but i think you just stepped on my white shoes!”

Arabella terkejut, menggigit bagian dalam pipinya ringan. Tentu saja ia tahu bahwa ia bersalah, sebab di tengah cuaca yang masih mendung ini, air genangan hujan bekas beberapa jam lalu faktanya masih menggenang begitu bebas. Hal itu membuat sepatu laki-laki tadi mengecap hitam karena bagian bawah sepatu kulit milik Arabella.

Derap langkah kaki dari manusia-manusia lain mulai terdengar menggema di kepala Arabella sebab gadis itu kini sibuk membuat segala kesalahannya selesai tanpa harus perlu bersusah payah adu otot mulut terlebih dahulu.

“Apa anda mau melepas sepatu anda sebentar supaya bisa saya cucikan?”

Lelaki tersebut membalas dengan tatap nyalang, nyaris memaki. Ya, meski kalimat yang keluar setelahnya masih sama saja ketusnya. “Anda ingin saya berjalan di jalanan padat dan basah ini tanpa alas kaki?!”

Arabella memejamkan mata. Mengilhami dalam hati bahwa yang baru ia ucapkan memang bodoh adanya. Perempuan itu lantas mengetuk-ngetuk sepatu putih gadingnya gemas, memikirkan cara lain agar segera terbebas dari masalah sepele, —yang sejujurnya sangat buang-buang waktu ini, secara cepat tanpa menimbulkan masalah lain.

“Maafkan saya tuan, apa yang harus saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab?”

Lelaki tersebut spontan mendengus kencang, raut kesalnya masih mendominasi dan tidak luntur meskipun Arabella sudah berusaha kuat untuk menebus kesalahannya.

“Atau apakah tuan bersedia jika saya memberikan beberapa keping frei untuk ganti biaya pencuciannya?”

Tak disangka, tatap nyalang lelaki tersebut jatuh menghunjam makin intens. Arabella spontan saja menundukkan kepala dan menatap ujung sepatunya sendiri. Apa ia salah bicara? Namun, di mana letak salahnya?

“Apa di mata anda saya terlihat terlalu kumuh sehingga membuat anda berpikir jika mengganti uang adalah cara terbaik? Dengar saya baik-baik nona.. Saya....” Ucapan lelaki itu terpotong cepat secara mendadak hingga alisnya menukik ke dalam karena terkejut.

“Lantas katakan apa mau anda secara jelas tuan! Saya hanya ingin segera menyelesaikan ini dan lekas bekerja. Tentu saja anda tidak berpikir untuk menahan saya di sini selamanya bukan?” Arabella menaikkan pandang setelah memangkas ucapan dengan nada tak enak tersebut dengan cepat dan tegas. Selain ia tidak suka terlibat dalam pembicaraan yang berbelit dalam jangka waktu lama, ia juga tidak bisa membiarkan toko rotinya memulai aktivitas pagi tanpa kehadirannya.

Ia perlu briefing, perlu mendata menu-menu yang sekiranya dalam minggu ini laris pesat agar bisa memperkirakan stoknya sejak awal. Ia juga perlu menyapa beberapa pelanggan tetap yang kerap datang dengan alasan membeli roti padahal hanya ingin bertemu dan bertatap muka dengan dirinya.

Oh, tentu saja Arabella Mireya sangat sadar bahwa ia memiliki paras jelita dengan finansial di ambang rata-rata. Ia tentu tau bahwa namanya kerap muncul di surat kabar dengan ia dijadikan sebagai perempuan top nomor 1 di Thendria yang cocok untuk dipersunting.

Huh! Arabella reflek saja mendengus. Dijadikan seorang istri? Jangan bermimpi! Arabella tidak pernah berkeinginan untuk mengabdikan diri menjadi istri seseorang. Bahkan membayangkan barang satu detik saja ia tidak pernah!

“Dimana sopan santun anda, nona? Sudah jelas anda yang menginjak kaki saya, dan sekarang anda mendengus?”

Demi Tuhan, Arabella cuma melamun! Kenapa pula ia lagi yang salah di sini? Dan bukankah pria ini terlalu sensitif di pagi hari?

Gadis itu spontan saja menghela napas, berusaha menetralkan gemuruh kesal yang mulai merambat di area dadanya. Setelah dirasa cukup tenang, ia segera menampilkan senyum terpaksa kepada lawan bicaranya. “Jadi apa yang tuan ingin sebagai bentuk permintaan maaf dari saya?”

Rasanya, pertanyaan Arabella ini kembali lagi ke titik awal. Bedanya jika tadi lelaki itu mengeluarkan banyak ujaran pedas dan cenderung mengulur waktu, kali ini sudah tidak lagi. Bahkan jawaban yang terlontar terasa begitu cepat dan tanpa basa-basi.

“Sarapan. Belikan aku yang terbaik dari kota ini.”

Arabella terdiam. Ia sampai harus menelengkan kepala karena kebingungan akan permintaan yang menurutnya kurang masuk akal tersebut.

Jadi maksudnya pria menyebalkan yang menyita waktu Arabella lebih dari 20 menit ini hanya menginginkan sarapan sebagai ganti? Bukankah lebih cepat jika ia menerima beberapa keping frei dan membelanjakannya sendiri?

Beberapa detik terlewat dan tanpa sadar alis cantik milik Arabella sudah menukik tajam tanda kekesalannya yang perlahan memuncak.

“Oh? Anda tidak ingin mengganti bahkan untuk hal sesimpel sarapan, nona?” Lelaki itu menarik kesimpulan dengan ekspresi pedasnya yang sejak awal sudah terpatri mulus tanpa adanya pengurangan sedikit pun.

Arabella menghembus napas lagi, berusaha mengendalikan ekspresinya. “Mari ikuti saya tuan.” Ujarnya kemudian sembari menggiring langkah menuju bangunan toko miliknya yang masih berada sekitar satu kilo meter dari lokasinya berdiri.

“Berjalan kaki? Tidak ada kah kendaraan yang bisa dinaiki di kota ini?” Lelaki itu spontan mengeluarkan protes ketika melihat Arabella berjalan cepat di hadapannya.

“Kereta kuda yang seharusnya saya tumpangi telah melaju ketika anda mendebat saya terlalu lama sebelumnya, tuan.” Jawaban Arabella memang terdengar tanpa emosi dan cenderung datar, namun lelaki itu tetap saja mendengus karena nyatanya ujaran tersebut penuh dengan sindiran tajam.

“Lalu? Tidak ada lagi?”

“Tidak. Hanya akan datang selama 30 menit sekali di pemberhentian ini.” Arabella masih berusaha menjelaskan dengan sisa kesabaran yang makin terkikis. Dan sepertinya dewi fortunata tengah berbaik hati untuk membantu kesialannya, sebab lelaki itu akhirnya memutuskan untuk diam di sepanjang perjalanannya mengikuti langkah Arabella.

Atau, tidak?

“Selain kecil, Thendria benar-benar terbelakang sekali.”

Arabella menghentikan langkah secara mendadak hingga membuat pria yang masih belum ia ketahui namanya ini membentur tubuhnya lumayan kencang. Tentu saja sebab ia keasikan berkata-kata sadis seraya mendongak demi melihat-lihat bangunan.

“Mundurkan satu langkah kakimu tuan.” Perintah Arabella. “Dan jauhkan tanganmu dari tanganku.” Lanjutnya lagi, masih memberi perintah.

Lelaki itu jelas terkejut karena telah menabrak dan menyentuh siku Arabella secara reflek agar gadis itu tak jatuh ke belakang. Ia sadar diri dan langsung melangkah mundur, tidak tanggung-tanggung, ia mundur sejauh 3 langkah.

“Mari masuk, saya akan pesankan sarapan yang paling diminati di kota terbelakang ini.”

Sial. Ujaran gadis ini benar-benar terdengar berani dan mengusik rungunya secara sempurna. Ia lantas memberikan senyum manisnya yang terlihat palsu ke arah Arabella seraya mengangguk mengiyakan.