ABOUT THREE OF THEM.


Sudah satu minggu tepat sejak kepergian Marco, dan Kayna masih saja duduk di dalam ruang tengah rumah lelaki itu sambil sesekali menepuk-nepuk bantalan sofa yang minggu lalu masih digunakan oleh Marco dengan pandangan kelewat kabur.

Rumah Marco kosong, mamanya yang memang jarang terlihat itu sudah selesai mengemas barang-barang penting yang ada di rumah ini karena rumah berniat akan dijual.

Hanya tersisa perabot-perabot besar seperti meja, kursi, kulkas, kasur, dan beberapa vas bunga yang isinya masih segar karena dirawat mama Kayna setiap hari.

Kayna sendiri sudah tentu gak berguna, gadis itu tiap hari menangis keras seperti tak ada hari esok, kepalanya yang memang terkenal suka bikin ulah pun terasa semakin hari semakin berat karena rasa sakit yang datang tidak main-main.

Dengan hembusan nafas pelan karena suasana masih sama heningnya seperti tadi ia datang, Kayna mulai bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan menuju lemari baju Marco yang terletak dalam kamar.

Dibukanya perlahan lemari itu seraya matanya meniti setiap pakaian yang masih tersisa banyak di dalam sana, bau-bauan khas Marco yang menguar membuat hidungnya kembali tersumpal cairan karena menahan tangis.

“Mar, lo kenapa perginya kok cepet banget..” Gadis itu berucap lirih sambil tangannya mulai memindahkan semua pakaian Marco ke atas kasur dengan gerakan pelan dan sepenuhnya gemetar.

Iya, mama Kayna dan mama Marco memang bilang kalau baju-baju tersebut masih bagus dan layak pakai boleh diambil dan disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Niat mereka pada mulanya hendak memberikan semua pada anak kecil yang mungkin habis terkena musibah atau tidak mampu membeli pakaian, tapi sayang, Kayna tidak menyetujui.

Bukannya egois, namun..

“Jangan ya ma, nanti Marco pulang kasian gak ada bajunya, dingin. Masa mau minjem punya Kay? Gak muat dong.”

Yup, semuanya karena Kayna masih belum ikhlas.

Berakhirlah ia disini membereskan semuanya agar bisa dikemas ke kardus dan dibawa pulang.

Saka dan teman-temannya yang selalu datang karena khawatir akan keadaan Kayna juga sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi kini ia tolak mentah-mentah.

Tidak apa, mereka paham. Kayna mungkin ingin waktu tambahan untuk menyendiri.

Gadis berambut panjang itu terduduk di sudut kasur dan mengambil salah satu jaket yang paling sering dipakai oleh Marco dari tumpukan baju. Jaket dengan warna hitam yang memiliki banyak kantong kecil itu memang sering dipakai cowok itu ketika berangkat balapan.

Lagi. Kayna menangis lagi.

Ia memeluk erat jaket Marco tersebut seraya pantatnya mulai merosot jatuh ke lantai. Entah, kakinya terasa sangat lemas meskipun tidak ia gunakan untuk menumpu beban tubuh sekalipun.

Tangisannya bahkan terdengar begitu miris disela suara rintikan hujan yang mulai turun deras di depan sana.

Lucu. Dunia terasa begitu memainkan dirinya.

“Mar..” Kayna melirih pelan.

“Lo aslinya pasti cuma ngeprank gue ya kan? Bulan ini masih bulan ulang taun gue Mar, gak mungkin lo tega ninggalin gue..”

“Kita bahkan belom spend time bareng buat ngerayain natal besok tapi lo udah main-main sama gue..”

“Gue...” Ucapannya tercekat ketika pandangannya jatuh ke arah cermin kosong yang terletak di sebelah lemari.

“Gue kalo nyusulin lo aja bisa gak sih?” Gadis itu melanjutkan pelan dengan air mata yang terus mengalir tanpa adanya paksaan sedikitpun.

Petir berbunyi seakan menjawab pertanyaannya barusan. Bersaut-sautan kian kencang tanda hujan kini turun semakin deras.

Terasa begitu menghina.

Rambutnya yang berantakan lengkap dengan mata bengkak dan hidung memerah. Semuanya yang melihat bahkan bisa langsung menduga jika gadis ini sedang tertimpa masalah serius.

Rindu.

Ia hanya merindukan sahabatnya.

Janji 5 tahun akan kembali yang minggu lalu sempat diucapkan lelaki itu bahkan kembali berputar menusuk-nusuk telinga.

“Janji Kayna.. Gue janji bakal pulang, karena lo, jadi atau gak jadi pendamping gue, adalah satu-satunya rumah favorit yang ada di daftar hidup gue.”

Miris.

Siapa sangka janji yang terucap malam itu merupakan akhir dari segalanya?

Kayna meremat kalung pemberian Marco yang menempel di lehernya dengan kuat agar rasa sakitnya menjalar lepas, namun satu panggilan yang ia dengar dari arah pintu membuatnya menghentikan tangis secara tiba-tiba.

“Kayna..”

Suara itu..

“Jangan nyakitin diri sendiri..” Suara itu berlanjut, terdengar cukup pelan, namun berhasil sampai di telinganya dengan jelas dan keras.

“Kay..”

Lagi, suara itu memanggil namanya.

Kayna spontan menoleh ke arah pintu dan melihat sebuah sosok yang tidak asing tengah berdiri kaku disana.

Sosok itu,

“Marco..” Kayna berucap lirih.

Pandangannya jatuh pada mata lelaki itu yang nampak begitu sedih dan suram di depan sana.

Suara guntur dan hujan yang kian keras bahkan sudah tidak ia pedulikan lagi.

“Mar?” Panggilnya pelan.

Aneh, suaranya sendiri terdengar begitu asing di telinganya. Begitu bergetar dan mengawang, tidak seperti biasanya.

Marco terdiam, tidak menanggapi ucapan Kayna barang sedikitpun dan mulai meletakkan helm bawaannya di lantai.

Iya, Marco yang kini berada di hadapannya tengah mengenakan jaket jeans dan celana panjang lengkap dengan helm putih kesayangannya yang tadi sempat terpasang kaku di kepala.

“Marco..” Kayna mengulangi ucapannya dan mulai melangkah mendekat. “Ini beneran Marco?” Ia bertanya.

“Kay..”

“Mar!” Belum sempat jawaban lelaki itu terlontar, sebuah pelukan kuat sudah ia terima dari gadis di hadapannya.

Wanginya berubah, tidak seperti Marco yang Kayna kenal biasanya, namun hangat dan nyaman yang ia terima sekarang terasa sangat nyata dan berhasil membuat air matanya turun seketika.

“Lo pake parfum apa Mar? Di Kanada lo maling parfum papa ya?” Gadis itu mengoceh seraya menenggelamkan wajahnya total di dada Marco.

Lelaki itu bergeming.

“Mar.. Gue tau lo ketinggalan pesawat dan semua berita itu ngaco. Perlu dituntut gak sih medianya?”

Lagi, Marco masih terdiam.

Lelaki itu tidak mengeluarkan sepatah kata lagi ketika tangannya terulur membalas pelukan Kayna tidak kalah erat seraya mengendus puncak kepalanya ringan. Seperti biasanya.

Ia mendengarkan setiap ocehan Kayna dengan sabar seraya sesekali menepuk punggungnya agar gadis itu terdiam.

“Mar.” Kayna mendongak, menatap matanya. “Kalo lo mau pergi ke suatu tempat, ajakin gue ya? Gue gak mau ditinggal sendiri lagi. Meski seharipun gue gak mau.”

Marco tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sebagai gantinya ia hanya menatap mata bengkak dan merah Kayna itu dalam hening, lalu mengecupnya.

Satu bulir air mata jatuh ketika gadis itu menutup mata akibat kecupan Marco yang kini turun menuju pipi dan terus turun hingga menempel di bibirnya.

Hangat. Bibir itu terasa begitu hangat.

Kayna tau ini salah, tapi gadis itu tetap memejamkan matanya dan mulai memindahkan pelukannya hingga kini mulai melingkar di leher Marco.

Lelaki itu masih menciumnya, dengan pagutan ringan yang terkesan sedikit menuntut karena ada rasa rindu dan takut kehilangan yang lagi-lagi muncul disela kegiatannya.

Kayna merintih, kepalanya terasa begitu berat dan udara disekitarnya menjadi dingin dalam sekejap.

“Kayna... Ayo pulang.” Suara tak asing lain terdengar memanggil disampingnya, begitu nyata hingga berhasil membuatnya mengerjap dan terjaga.

“Kay ayo pulang. Ujan. Kamu dicariin mama.”

Tidak...

Tidak mungkin..

Gadis itu bangkit berdiri dari duduknya dan menoleh ke kanan kiri.

“Marco?” Panggilnya mulai nampak frustasi.

“Kay..”

Gadis itu tidak mendengarkan dan berjalan ke arah pintu dengan langkah berat dan sempoyongan, “Marco...” Panggilnya dengan suara bindeng yang lagi-lagi tercipta akibat terus-terusan menangis.

“Kayna..” Suara itu memanggilnya lagi dari arah belakang dan langsung memeluknya tanpa aba-aba.

“Jangan gini Kay.. Jangan gini..”

Kayna terdiam. Lagi-lagi pikirannya hilang arah. Kosong, dan yang ada hanya kesedihan berlarut yang siap untuk pecah kembali.

“Jangan gini Kay.. Aku tau kamu kuat. Jangan gini..” Suara itu terdengar menangis ketika perlahan tangan kekarnya membalik tubuh Kayna agar menghadap ke arahnya.

“Marco udah istirahat.. Kamu harus kuat. Ada aku, ada mama, ada Jevan, ada Renan.. Kita semua masih disini Kay.” Ia berucap seraya menarik masuk kepala gadisnya agar menangis dalam pelukannya.

Kayna bergetar. “Tapi Sak.. Marco tadi ada disini..” Lirihnya dengan suara sepenuhnya terisak.

Saka mengangguk, tidak menanggapi lagi ucapan Kayna dengan kalimat. Ia sendiri tau kondisi pacarnya memang sedang sangat tidak stabil. Beberapa hari lalu psikiater yang didatangi oleh Kayna dan mamanya bahkan mengatakan bahwa gadis itu mengalami shock berat hingga menyebabkan halusinasi sesaat.

“Sak.. Marco...”

“Iya Kay.” Saka menanggapi pelan seraya mengeratkan pelukannya.

“Saka..”

“Nangis aja, gak papa.”

“Sak... Capek nangis. Tapi mau nangis.”

Saka menggiring langkah mereka agar duduk di sofa ruang tengah, membiarkan kaki Kayna supaya tidak menumpu badan terlalu lama.

“Tidur aja ya Kay..” Pinta Saka seraya meletakkan kepala Kayna agar menyender di pundaknya dan mulai mengelus-elus wajah cantik gadis itu agar segera terlelap disampingnya.

Tidak ada suara lagi yang terdengar. Saka menoleh dan melihat Kayna yang masih berusaha memejamkan mata.

Jemari tangan gadis itu yang daritadi terdiam mulai menarik tangan kanan Saka dari sekitar wajahnya dan menggenggamnya erat.

“Biar cepet tidur Kay..”

Kayna mengangguk. Ia merasakan tangan kiri Saka naik mengusuk lengannya, menyalurkan rasa hangat yang begitu menenangkan batin.

“Saka..”

“Iya.”

“Jangan pergi.”

Saka mengangguk dan mengecup puncak kepala Kayna lama. “Gak bakal kemana-mana. Aku tetep disini.”

Akhirnya, Kayna benar-benar terlelap panjang tanpa air mata dan pikiran berat dalam pelukan Saka sore ini.