aku pernah bertanya-tanya, bagaimana bisa cinta meremukkan hati seorang manusia? sedahsyat apa perasaan itu hingga membuat sang perasa bisa sangat menderita?

aku masih terus bertanya-tanya, hingga akhirnya Tuhan menjawab pertanyaanku dalam satu malam.

2018, akhir bulan juni.

aku masih ingat dengan detail bagaimana aku terbangun pukul 2 dini hari karena dadaku sesak bukan main. aku menangis menjadi-jadi sambil terduduk di kasur sebelum akhirnya berpindah ke teras rumah. ditemani bulan, bintang, angin malam, serta suara jangkrik yang menyertai.

aku masih ingat, yang ada dalam otakku kala itu adalah..

bagaimana bisa seseorang yang sudah aku cintai setengah mati selama 3 tahun penuh, tiba-tiba saja pergi dalam kehidupanku tanpa sebuah kata pamit?

bagaimana juga aku harus mengakhiri sebuah hubungan yang pada awalnya memang tak pernah dibangun?

lantas, apakah tiga tahun yang berlalu di bangku putih abu-abu ini hanya aku seorang diri yang merasa jatuh?

apa dirinya yang sempat mengaku menaruh hati itu dengan cepat bisa berlabuh pada hati yang lain, tanpa peduli akan eksistensi manusia yang telah ia sakiti seperti saat ini?

masuk akal, kah?

atau memang hatiku terlalu naif hingga mudah ditipu daya?

tidak. aku terlalu sakit hati.

aku tidak melebih-lebihkan tulisanku karena hingga tahun demi tahun berlalu rasa sakit itu bahkan masih terasa dan meninggalkan jejak trauma yang menjalar kemana-mana.

trauma akan cinta, trauma akan lelaki, trauma akan segala rasa dan afeksi yang aku terima.

trauma. karena semua yang ia perbuat nyatanya jelas meninggalkan jejak luka.

fakta bahwa kini aku takut akan rasa tak berdaya karena ditinggalkan penuh tanda tanya pun membuatku makin merutuk pada dunia.

tanda tanya simpel seperti apa aku terlalu tidak menarik?

apa aku tidak berharga?

apa aku tidak berguna?

dan yang terpenting lagi, salah apa aku hingga aku ditinggalkan sedemikian rupa?

aku selalu termenung di tempat yang sama, memikirkan banyak hal seperti kesalahan-kesalahan yang mungkin aku perbuat tanpa sempat aku sadari..

terkadang sempat juga bertanya-tanya, apa Tuhan menciptakan aku hanya untuk menyesali sebuah adanya kehidupan?

semua perpisahan dan rasa sakit ini membuatku diam-diam harus berdamai seorang diri.

entah lah berdamai dengan hati,

berdamai dengan masa lalu,

berdamai dengan pencipta rasa sakit,

bahkan berdamai juga dengan banyak lagu yang sempat menemani likunya hubungan aneh yang sesungguhnya tak pernah sungguhan tercipta.

oasis – don't look back in anger

bukan tanpa alasan aku selalu memutar lagu ini dimanapun kapanpun, entah.. aku hanya berusaha menimbun perasaan sakit dengan perasaan lain ketika aku mendengarnya.

regina spektor – the call

aku masih ingat lagu ini terputar di ponselnya kala itu, kala terakhir ia meninggalkanku seorang diri tanpa bisa berbuat apapun karena bangku pembelajaran tingkat atas telah berakhir.

oh tidak... bahkan ketika aku mengetik ini, dadaku sesak bukan main.

aku masih ingat..

demi Tuhan aku masih ingat semua rasa sakit yang ia torehkan meski tahun demi tahun telah berlalu.

lantas, waras kah aku yang masih digerayangi rasa takut ini?

waras kah aku yang diam-diam masih gagal berdamai dengan itu semua?

someone said that heals need time and time will heals

tapi kenapa kalimat itu sama sekali tak bekerja kepadaku?