all done.
Tidak banyak bicara lagi Jave segera menutup ponselnya, berlari keluar kamar demi menghampiri kamar Rain yang kini tengah tertutup rapat. Ruang depan bahkan kini terlihat kosong, beberapa penghuninya masih beristirahat setelah berjalan-jalan sejak pagi tadi.
Lelaki itu menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Kakinya telah tiba di depan pintu kayu berwarna cokelat yang menjadi tujuannya kali ini. Tangan Jave terulur, mengetuk beberapa kali permukaan pintu hingga akhirnya mulai terbuka sedikit.
Satu kepala menyembul dari dalam dengan ekspresi galak yang terpasang begitu jelas. “Apaaaaa?” Tanyanya, memprotes.
“Jeva.. Rain mana?” Jave berusaha melongok ke dalam, sedikit menggeser tubuh Jeva agar bergerak sedikit menyamping.
“Gak ada. Kan kamu tadi ngambek ke dia. Dia tidur.”
“Mana ada tidur orang barusan dia chat aku?”
“Tidur betulan.”
“Terus kamu kira tadi aku chatting bareng apa Jev? Hantu??”
“Dihhh.” Jeva mencibir, hendak menutup pintu kembali.
“Jev Jev.. Dengerin aku, bentar aja.”
“Apaa?”
“Mana cewekku?”
Jeva hampir menendang pintu karena perutnya mendadak terasa begitu geli, “tidur.”
“Ayo lah Jev. Suruh keluar gih Rain-nya.”
“Dia gak mau. Males katanya kamu galak.”
Jave menghela napas selagi kaki kanannya mengganjal pintu agar tidak tertutup. “Rain.. Aku nggak galaaaaakkk..” ujarnya, sedikit frustasi.
“Telat-telaattttt. Tadi kamu diemin aku!!!!!!!!!” Jawaban Rain secara tiba-tiba terlontar tidak kalah keras dari arah dalam.
“Nah kan.. Dia males ketemu kamu.” Jeva mengompor, ingin menutup pintu kembali.
“Rain nanti katanya kita mau makan?” Lelaki itu masih berusaha mengajak berbicara.
“Nanti ya nanti.”
“Katanya barusan kamu mau ngobrol sama aku juga loh?”
“Gak jadi aku males. Kamu pacaran aja sama angin sana.”
“Betulan? Betulan kamu tega aku ngobrol sama angin di depan?????”
“Yaaaaaa.”
“Oke. Oke aku ngobrol sama angin.”
Hening. Tidak ada sahutan.
“Rainnnnnnnnnn.”
“Apaaaaaa?!”
“Ayo.”
“Nanti kamu kalo aku temuin cuek lagi. Aku udah capek ya!!”
“Enggak. Janji gak diem-diem lagi habis ini.”
“Gak ah males-males.”
“Aku punya susu.”
“Kamu kira aku anak SD ditawarin susu langsung mau?!!”
“Kamu pas kampus aja ngambek aku tawarin susu langsung noleh loh Rain.”
“IHHHHHH ENGGAKKKKK.”
“Iya betulan aku inget. Orang aku beli di toko dadakan kok itu.”
“Ya udah. Apa susumu?”
“Moka.”
“Berapa?”
“Banyaaaaak banget.”
“Gak bohong?”
“Betulan ada di kamarku.”
“Oke.” Bersamaan dengan jawaban itu Rain menjawil bahu Jeva agar menyingkir hingga ia bisa keluar menghadapi Jave yang moodnya tengah tidak jelas tersebut.
Jave terlihat lega ketika kaki Rain menapak di hadapannya. Hembusan napasnya bahkan langsung teratur. Tangan lelaki itu perlahan bergerak hendak menarik Rain masuk ke dalam pelukan, namun terlambat.
“Kakakkkkkkk.” Rain berucap, matanya berkaca-kaca. Gadis itu masuk ke pelukan Jave terlebih dulu dan lanjut memeluk perut Jave erat. “Besok-besok jangan marah ke aku lagi.”
Jave melongo, menunduk. “Kan barusan kamu yang balik ngambek ke aku?”
“Enggak itu hanya pura-pura. Kak Jave serius besok-besok gak boleh marah lagi aku takut kalo kamu diemin aku kayak tadi.” Rain mengusel dadanya dan mengeratkan pelukannya. Lelaki itu reflek bisa merasakan air mata Rain yang sedikit keluar disana.
“Loh eh sayang..” Jave berujar, memeluk kepala Rain tidak kalah erat. Tampak kaget. “Iya iya besok janji gak marah lagi. Kamu jangan nangis.” lanjutnya, mengelus rambut Rain halus dengan tawa gemas yang hampir saja meledak.