back to 1936, south axfrienne


Suasana di kediaman Anderson Greinn selalu sepi. Meskipun sibuk tak terkira, tidak akan pernah ada pembicaraan berarti yang dilakukan antar satu penghuni dengan penghuni lainnya.

Hal tersebut merupakan hal yang lumrah mengingat hubungan keluarga inti Anderson sudah kacau sejak ayah satu anak itu memutuskan menikah lagi beberapa tahun silam. Tentu keheningan yang dicipta oleh penguasa rumah membuat yang lainnya mengikuti perlahan-lahan.

Setidaknya aura dingin semacam itu sudah berlalu cukup lama hingga membuat seluruh penghuninya terbiasa untuk tak banyak berinteraksi. Bahkan disadari atau tidak, mereka semua sangat jarang bertegur sapa dan tersenyum satu sama lain. Selain tak begitu berguna, mereka menganggap hal tersebut terlalu tabu karena, —sekali lagi, penguasa kediaman ini tidak pernah melakukan interaksi hangat semacam itu.

Semuanya tampak begitu normal, hingga beberapa bulan belakangan ini mendadak saja ada banyak hal yang berubah di kediaman keluarga Greinn. Suasana hening yang dulunya menggerogoti itu perlahan-lahan seperti sirna dalam satu kedipan mata.

Dimulai dari teriakan kencang pengawal satu ke yang lain atau candaan-candaan ringan antar para pelayan yang menguar di sekitar koridor. Dan paling terasa lagi adalah Anderson yang mendadak saja mau menyapa hampir seluruh penghuni ketika berpapasan sambil tersenyum lebar.

Garis bawahi, Anderson Greinn, tersenyum lebar! Masalahnya, ayah dari Alexa yang umurnya sudah lewat dari separuh abad ini terbiasa melalui hari-hari dengan alis tertekuk suram dan omelan kasar yang tidak pernah bisa dibantah, namun akhir-akhir ini? Semua berubah!

Perubahannya begitu drastis. Dan satu hal yang jelas adalah hangatnya kembali terasa.

Anderson tidak tahu apa yang terjadi dan untuk alasan pasti macam apa ketika melihat Alexa, —putri semata wayangnya yang memusuhi ia terang-terangan itu, mulai memutuskan untuk menatap dan bahkan mengajak berbicara perihal topik yang menurutnya begitu remeh. Contoh kecil saja yang baru terjadi lima menit lalu, Alexa mengajaknya berbicara pasal ia yang ingin rambutnya dipotong dengan gaya lain.

Anderson mendadak saja tertawa pelan di ruang kerjanya ketika mengingat konversasi tersebut, jelas merasa senang akan interaksi sepele yang selalu ia rindukan selama bertahun-tahun itu mulai kembali secara perlahan. Ia lantas berdeham singkat ketika baru mengingat bahwa di ruangan ini bukan hanya ada dia seorang dan memutuskan untuk tenggelam lagi dalam lautan pekerjaannya.

Ruangan kembali senyap dan hanya dihiasi oleh suara pena bulu yang bergoresan dengan kertas. Rumbai gorden yang terkena angin lembut dari hamparan taman bunga milik mendiang Duchess Sophia bahkan tak menimbulkan suara apapun. Keheningan berlangsung cukup lama sampai akhirnya Anderson menolehkan pandang ke samping. Memanggil tangan kanan setianya, Harvey Colton, yang sejak awal sudah berdiri di belakangnya dalam kondisi siap sedia.

“Harvey, sudahkah kau beri tahu putriku mengenai pesta dansa akhir pekan di istana?”

Harvey maju satu langkah, “tentu saja sudah, tuan.”

“Dan bagaimana pertemuan yang telah diatur pihak istana 2 hari lalu? Apa Alexa menunjukkan tanda pemberontakan seperti biasanya?”

“Tidak. Nona Alexa mengikuti prosedur pertemuan dengan Pangeran Jonas dengan baik, tuan.”

“Hm..” Anderson mengusuk dagu runcingnya beberapa saat, tampak berpikir. “Lalu apa kau mengira bahwa putriku ingin memotong rambutnya demi pesta akhir pekan?”

Harvey kali ini diam, tidak bisa memberikan jawaban secara cepat sebab ini adalah pertanyaan yang jawabannya sangat di luar pengetahuannya. “Tuan ingin saya mencari tahu alasan Nona Alexa ingin memotong rambutnya?” Sebagai ganti tak bisa memberi jawaban, Harvey menodongkan sebuah tawaran.

Anderson lekas menggeleng. “Tidak, tidak. Hanya hal sepele! Buat apa aku memikirkan hal-hal yang dilakukan perempuan muda seperti putriku ini? Biar saja. Tapi tolong kau pastikan agar jangan dipotong terlalu rendah.”

“Baik tuan.”

“Dan tolong awasi dia untukku hari ini, Harvey. Pastikan pelayan pribadinya sudah mempersiapkan segala kebutuhannya di akhir pekan nanti. Kau tau jelas, ia harus selalu aman dan sempurna untuk acara itu.” Anderson kembali menambahkan perintah setelah hening cukup lama, ia bahkan sempat berdeham canggung setelah menyelesaikan kalimat tersebut.

Harvey hanya mengangguk tanpa banyak pertanyaan. Ia yang bekerja di bawah perintah Anderson Greinn selama bertahun-tahun tentu tau dan paham bahwa tuannya tengah salah tingkah dan gengsi di saat bersamaan. Maka sebagai gantinya, pria berumur 21 tahun itu hanya mengangguk, lantas mengangkat kaki demi menemui nona-nya, Alexa, yang kemungkinan kini tengah berada di taman timur lagi bersama para pelayannya.


Salah. Perkiraan Harvey sepenuhnya meleset totalitas karena kini ia mendapati Alexa tengah berada di hadapan cermin raksasa yang ada di menara utara, sendirian. Tentu saja Harvey bisa cepat mengetahui hal ini setelah sebelumnya sudah menerima laporan dari beberapa pengawal dan penjaga gerbang, pun Annelie yang merupakan kepala pelayan pribadi Alexa.

Harvey jelas tengah dilanda kebingungan. Pasalnya, sangat jarang sekali Alexa memasuki menara tersebut karena hanya terdapat ruang baca milik Anderson. Tentu saja isinya hanya buku-buku tebal raksasa dan perkamen-perkamen tua yang Harvey berani bertaruh jika Alexa tak akan pernah menyukainya.

Harvey tentu sudah mengenal Alexa sejak gadis itu berumur 12 tahun, ketika itu ia sudah berusia 15 tahun dan bersumpah setia untuk mengabdi pada keluarga Greinn seperti generasi sebelumnya. Pria itu jelas tau bahwa Alexa lebih suka bermain di dekat danau ketimbang membaca buku. Alexa lebih suka mengotori gaunnya dengan bercak lumpur ketimbang duduk anggun di ruang baca. Namun ini? Apa gadis itu ingin memberontak dengan perlahan?

Sejujurnya sudah beberapa bulan ini Harvey selalu kebingungan akan sikap Alexa yang menurutnya jauh berbeda dari sebelumnya. Semenjak meninggalnya mendiang Duchess Sophia, gadis itu berubah menjadi lebih kalem, —dalam artian buruk, karena ia benar-benar mendiamkan semua orang. Gadis itu bahkan memusuhi terang-terangan ayahnya yang 5 tahun silam menikah lagi. Dalam artian lain, Alexa sangat tidak bisa dijangkau. Namun 4 bulan belakangan, Alexa tampak seperti bukan Alexa.

Entah lah Harvey harus merasa senang atau kah waspada akan perubahan nonanya ini.

Harvey masih belum menyapa, pergerakannya yang memang selalu tanpa suara dan kerap berhati-hati tentu saja luput dari pengetahuan Alexa yang kini sibuk menata pernak-pernik rambutnya. Gadis itu benar-benar hanya berdiri dan menyisir helai demi helai dengan tenang. Tidak ada yang aneh jika dilihat dari jarak cukup jauh, namun ketika Harvey sudah mendekat, pria itu bisa melihat betapa kosong dan hampanya tatap mata Alexa melalui pantul cermin. Gadis itu seratus persen tengah melamun.

“Selamat sore, Nona Alexa.” Harvey akhirnya memutuskan untuk menyapa, menghentikan langkah kakinya tepat 3 meter di sekitar kaki gadis itu berdiri.

Alexa spontan menoleh setelah sebelumnya cukup terkejut akan kehadiran tak terduga dari kaki tangan ayahnya. Ia lantas hanya berdiri diam, tak menyahut, menunggu Harvey untuk menyampaikan sendiri maksud kedatangannya yang menurut Alexa sangatlah mendadak ini terlebih dahulu.

“Tidak biasanya nona datang kemari sendirian tanpa pengawasan.” Harvey memutuskan untuk membuka percakapan dengan topik ringan. Tak lupa ia juga menambahkan sedikit sindir mulus agar setidaknya Alexa tak lagi-lagi berkeliling tanpa pengawasan meski itu masih ada di dalam kastil sekali pun.

Alexa spontan mendengus, menyadari seratus persen bahwa Harvey lagi-lagi mengomentari tingkahnya dengan cara terlampau sopan. “Katakan saja apa yang dipesan oleh ayahku Harvey. Jangan buang waktuku lebih jauh lagi.”

Pria itu tampak menarik sedikit ujung bibirnya ke atas, seperti tengah menahan senyum. “Tuan tidak berpesan apapun pada saya, nona.” Tentu saja jawabannya adalah seratus persen dusta, ia sengaja melakukan itu agar Alexa tidak terlalu waspada dan nekat kabur sampai terguling di dekat danau seperti beberapa bulan lalu.

Harvey ingat betul kejadiannya, kira-kira waktu itu sudah hampir malam hari ketika ia mendekati Alexa yang lagi-lagi ingin kabur ke taman timur. Perlu diketahui bahwa Anderson sangat tidak suka putrinya berada di luar bangunan kala mendekati matahari tenggelam kecuali ada undangan penting yang harus dihadiri. Dan satu lagi yang Anderson sangat tidak suka adalah ketidak-anggunan yang ditunjukkan terang-terangan oleh putrinya, ia menganggap itu adalah salah satu tindak pemberontakan kecil yang ia takutkan akan makin bertambah besar jika dibiarkan.

Ayolah! Alexa terlahir di keluarga bangsawan berstatus tinggi! Ia jelas harus memiliki etika dan menunjukkan sikap sopan santun. Apa lagi sebentar lagi ia harus melalui proses pendekatan dengan Pangeran Jonas atas dasar perjodohan. Bahkan sejauh yang Harvey tau, pihak kerajaan telah memberikan banyak sekali buah tangan kepada pihak Greinn demi mendapatkan Alexa sebagai calon utama istri putra mahkota.

“Anda tidak boleh keluar dari menara barat sendirian Nona Alexa.” Harvey berdiri tepat di hadapan tubuh perempuan itu, menyisakan jarak cukup dekat karena ia memang hanya berniat menghadang, bukannya mengobrol.

Lain halnya dengan Harvey yang napasnya masih normal meski sudah melewati adegan berkejar-kejaran layaknya kucing dan tikus di koridor kastil, napas Alexa sudah separuh ada dan tiada. Gadis itu jelas tersengal dengan keringat bercucur deras, makin deras lagi ketika ia harus berhadapan dengan tubuh kekar Harvey yang menjulang terlalu dekat di depan matanya.

Sial. Alexa reflek mengumpat dalam hati. Satu-satunya manusia yang selalu menggagalkan rencananya untuk bisa kembali selalu Harvey dan Harvey seorang! Sudah satu bulan berlalu tanpa adanya perkembangan pasti dan jujur saja Alexa semakin geram dan tidak ingin berpapas mata meski sebentar. Sudah jelas ia harus waspada di lain hari.

Gadis itu reflek mundur beberapa langkah sebelum lanjut berlari tanpa menoleh pandang ke belakang lagi. Harvey tau ia tidak boleh berdecak, namun itu adalah tindakan pertamanya ketika melihat Alexa kembali berlari. Ia masih memberi waktu gadis itu agar kabur sedikit lebih jauh sebelum dengan mata kepalanya sendiri, Harvey melihat Alexa tertelungkup persis di samping danau.

Jadi katakan sekarang, haruskah Harvey ketakutan karena tubuh nonanya akan terbaret tanah kasar atau meloloskan tawa kencangnya?

“Kuharap kau tidak mengikutiku untuk sekedar membaca buku di dalam sana Harvey!” Suara ketus Alexa menusuk rungu dan membuyarkan lamunannya. Gadis itu sudah berbalik badan demi menatapnya, memberikan tatap awas supaya Harvey tak memajukan langkahnya.

“Tidak ada jaminan bahwa anda bisa

“Tidak ada pesan apapun dari Tuan Anderson, nona.” Harvey berdusta dan reflek saja mengikuti langkah Alexa yang mulai bergerak menuju pintu ruang baca setinggi 3,5 meter di samping kiri tubuhnya. Tentu dengan tetap memperkirakan jarak aman untuk menghormati Alexa.

“Oh tentu kau tidak sepengangguran itu untuk mendadak mengikutiku kemari bukan?” Gadis itu menyahut dengan cukup pedas tanpa menolehkan kepalanya meski hanya satu senti. Ia A

“Tuan Anderson berpesan agar nona tidak memotong rambut terlalu rendah.”

Alexa mendengus tanpa suara, lantas mengangguk. “Aku hanya bercanda. Ayah menanggapi terlalu serius.” Ia memberikan balasan seraya melangkah menjauh dari cermin demi mendekati ruang baca.

Tanpa siapapun sadari, Harvey menghela napasnya lega. Bagaimanapun ia tidak pernah membayangkan jika Alexa akan memangkas rambutnya. Menurut Harvey, rambut nonanya ini terlalu indah. Dan jika boleh jujur, Alexa sangat cocok dengan rambut panjang badainya. Lelaki itu reflek bergerak mengikuti kaki Alexa yang sudah berjarak cukup jauh dari posisinya berdiri.

“Kenapa kau mengikutiku?”

Harvey lagi

Selalu kaku dan tanpa ekspresi. Demi apa pun, jika ada penghuni kastil yang layak disebut menyebalkan, maka Harvey adalah orangnya.

Alexa tau bahwa menjadi kaki tangan pilihan Anderson berarti sama saja dengan memegang kendali penuh atas apa saja yang terjadi dalam kastil selama ayahnya mendekam dalam ruangan. Namun tetap saja, Harvey begitu menyebalkan karena lebih kaku dan ketus ketimbang ayahnya yang berkuasa di kastil ini. Lebih apesnya lagi, Anderson

Tentu ia tidak bodoh karena jelas merasakan energi tidak ramah dari arah Alexa berdiri sekarang. Salah bicara sedikit Harvey yakin bahwa ia akan kena pelototan tajam dari putri tuannya ini.

dengan terang-terangan lebih menomorsatukan Harvey ketimbang Alexa yang darah dagingnya sendiri.

Ya, kembali lagi, hubungan Alexa dengan Anderson dari