Bali, 2020.
Namanya Abigail Dinata Tanujaya. Iya, benar. Berasal dari keluarga Dinata Tanujaya yang sukses besar di bidang konstruksi. Usianya tahun ini memasuki angka 20 di bulan juni nanti.
Omong-omong, kesuksesan keluarganya baru-baru ini tertinggal sebab kini keluarganya bangkrut secara ugal-ugalan. Lahirnya bisnis konstruksi lain yang tentunya tak kalah besar membuat usaha keluarganya kalah. Pun, sebenarnya jika dibahas panjang, penyebabnya bukanlah itu saja.
Namun ya, nanti saja ceritanya. Abigail masih malu dan tidak percaya diri untuk over sharing di pembukaan cerita.
“Bea!”
Gadis yang dipanggil Bea itu menoleh ke samping. Melihat beberapa rekan kerjanya yang melambai sambil berlarian mendekat. Di antaranya ada 2 perempuan dan 1 lelaki berusia 18 tahunan. Masih berondong, dan jelas saja, Bea tidak tertarik.
“Ya?” Tanyanya kemudian seraya melepaskan apron dan gulungan rambutnya. “Kenapa?”
Salah seorang perempuan berambut pendek di atas bahu menyahut. “Jangan pulang dulu, please bantuin kita bentar aja nata di sekitar teras. Ya, ya?” Pinta si rambut pendek memelas.
“Shiftku udah selesai kali, Ti..” Bea, —Abigail, menggeleng, tidak ingin menuruti permintaan tolong Tiara yang menurutnya terlalu buang-buang tenaga dan waktu. Toh bukannya gaji Bea akan bertambah jika ia membantu, kan?
“5 menit. Sumpah 5 menit. Bantu tata kursi aja serius. Mbak Gita lagi cuti lahiran lho Be.. shift malem kurang orang. Please banget. Nanti aku traktir Chatime deh.”
Huh..
Chatime?
Dengusan ringan keluar dari bibir ranum Bea yang terpahat sempurna.
Ia mulai berpikir. Apa mukanya sudah semiskin ini sampai-sampai Tiara menawarkan minuman murah macam Chatime kepadanya?
Oh.. Atau, mahal?
Mengingat gajinya perhari di restoran ini hanya 50.000 rupiah sebagai pemula.
Miris.
“Bantu tata kursi aja ya, terus aku pulang.” Final Bea pada akhirnya sebab ditatap dengan pandang melas terlalu lama. Membuatnya jengah.
Tiara reflek mengangguk lega, mengajak tos Bea sebentar lantaran bersyukur sudah mau membantu. Ya, meskipun Bea tidak mengerti kenapa pula harus tos jika ia bersyukur?
“Emangnya kursi depan kenapa kok mau ditatain Ti? Selama ini kan teras situ jarang ada yang mau tempatin?”
Semua warga harus sujud di hadapan Tiara karena berhasil membuka suara Bea yang selama ini keluarnya terlampau hemat. Gadis itu sampai berdeham mendapati raut terkejut 3 lawan bicaranya.
Andini, yang dari tadi terdiam karen takut dengan Bea. (Alasannya simpel, hanya karena Bea orang Jakarta.) mulai buka suara setelah sempat menutup mulutnya yang terlalu lama terbuka. “Itu lho mbak Be...”
Bea menukas. “Don't call me mbak.” Ujarnya sadis.
“Oke, oke. Ce Bea..” Ralat Andini secepat kilat lantaran takut kena marah. Sebenarnya masih menjadi pertanyaan mengapa Bea tidak mau dipanggil mbak padahal arti mbak dan cece sama saja. Atau mungkin karena ia merasa terlalu chinese? Perlu diketahui bahwa kakek-nenek dari papa Bea memang merupakan orang china asli.
“Jadi gimana?” Bea tidak sabaran dan kembali bertanya karena mendapati Andini malah memainkan jemari di bawah sana. Dan ditunggu sampai bumi meledak-pun, Andini rupanya tidak menjawab lagi karena kini Raka yang berjaga di depan sudah mulai memanggil-manggil, minta dibantu.
“Panjang Be pokoknya, nanti pasti tau sendiri deh. Ayo tata-tata dulu.” Tiara akhirnya menyahut sambil melirik jam tangan murah 12 ribuan yang melingkar di tangan kirinya. “Sekitar jam 8 mereka dateng. 25 menit lagi.”
Niat hati ingin bertanya lagi, namun tangan Bea sudah diseret terlebih dulu hingga ia terpaksa bungkam.
“Yang jelas nggak boleh bikin salah mbak Bea. Ini perintah Bu Bos.”
Dan Bea tidak sempat mengomel karena dipanggil mbak oleh pria gondrong berumur 18 tahun yang bau keringat sebab kini perintah agar cepat bergerak sudah berkumandang dari depan.
Restoran dengan gaya khas bali ini berada tepat di sekitar Pantai Kuta. Mungkin jika berjalan kaki akan makan waktu 5 menit. Ya, semuanya tergantung sebetapa cepat cara jalanmu juga, sih.
Oke. Bukan saatnya untuk melamun dengan pikiran melayang-layang! Bea harus segera membereskan dan menatai kursi-kursi kayu yang tadinya lumayan berantakan karena jarang ditempati itu dengan cepat mengingat waktu sudah mepet sekali.
“Alesan waktu mepet kamu Be, bilang aja udah pengen rebahan. Iya kan?” Adit tertawa di sekitar jendela kaca besar sambil tangannya sibuk memegang lap dan semprotan. Pria bertato ayam jago itu kebagian tugas paling repot lantaran 80 persen restoran kecil ini didominasi oleh kaca.
Bea hanya cengengesan. Malas dan tak bertenaga untuk menanggapi. Toh bukan rahasia besar juga jika Bea memang susah membaur. Masih untung kelakuannya sopan dan tidak mudah cari perkara. Pun wajah cantik dan tubuh moleknya selalu menarik perhatian bule yang melintas.
Ya, warga lokal juga, sih.
“Mobil-mobilnya sudah mulai masuk pekarangan. Semuanya stand by ya!” Suara Bu Rita terdengar terlampau kencang. Bahkan telinga Bea sampai berdenging saking nyaringnya. Jika kalian belum kenal, Bu Rita merupakan tangan kanan dari pemilik restoran ini.
“Aku pulang ya?” Bea mulai mencari celah untuk pulang pada Tiara.
“Iya oke, thank you sejuta thank you udah bantuin. Meski masih debuan gak papa deh, yang di luar kayaknya juga bawahan aja.” Tiara menepuk pundak Bea, menyuruh gadis cantik itu untuk pulang.
Bea hanya memberi jempol singkat sebelum ia berjalan lewat pintu belakang untuk mengambil tasnya yang masih tergeletak di sana.
Gadis itu sudah selesai mencangklong tas murahnya sekalian menekan jari pada mesin finger print ketika suara bising di pelataran mulai menghiasi telinga.
Pintu-pintu mobil yang dibuka, lalu ditutup. Suara tapak sepatu pada marmer. Lonceng di atas pintu restoran yang berbunyi akibat mulai dibuka lebar. Tampak normal, selain fakta bahwa tidak ada suara obrolan yang terjalin di antara kerusuhan tersebut.
Bea penasaran. Tamu penting kah? Gadis itu lantas merepet sebentar ke dekat pintu dapur, di mana Bu Rita (asal Jawa) masih berdiri menjulang dengan gelang emas yang terkait sampai hampir ke siku.
“Reservasi mendadak bu?” Bea bertanya, matanya mulai memandangi beberapa orang (Jika lebih dari 20 bisa disebut beberapa) yang kini berjalan santai hendak memasuki bagian inti restoran.
“Iya. Katanya sudah langganan dari lama dan loyal, jadi dititah buat melayani dengan benar.” Bu Rita mengangguk, menjawab pertanyaan Bea. “Gail, kamu pulang sekarang kan?” Lanjutnya kemudian.
Hm, hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan Gail, dan Bea hanya bisa pasrah karena wanita tersebut yang nanti akan menurunkan gajinya.
“Iya Bu.”
“Lewat pintu belakang situ ya nduk.”
Bea mengangguk, paham. Gadis itu sudah akan melangkah menjauh ketika mata keponya bertatapan dengan pria berbadan tegap yang kini sudah berada di meja besar tepat di sisi kiri restoran.
Memakai kemeja hitam yang tergulung hingga siku, pria itu melepas kaca mata bacanya dan memberikannya kepada perempuan di sebelahnya. Asisten. Bisa dilihat jelas dari seragamnya.
Pria itu bukan bintang utama dalam restoran malam ini. Bukan juga orang dengan kedudukan paling tinggi yang harus dihormati sampai bungkuk 90 derajat.
Tapi biarlah. Bukan itu masalahnya. Mata Bea bahkan sampai hampir membelalak keluar.
Gadis itu dengan cepat menundukkan wajah, menyelinap di belakang tubuh Tiara untuk berpamitan.
“Wait, stop in place.”
Suara lain yang nyatanya tak begitu asing mendarat mulus di telinga semua orang. Dan Abigail jelas tau siapa orangnya meskipun tak pernah berhubungan sekalipun di masa lalu. Memilih untuk tak ambil pusing, gadis itu memutuskan untuk menyambung langkahnya keluar.
“Abigail Dinata. Stop. In. Your. Place.” Suara itu menggema sekali lagi, membuat Tiara yang posisinya dekat dengan Abigail reflek mencekali ujung tas hitam-tipis-murah dengan harapan pemiliknya bisa berhenti melangkah. Tiara takut pria yang berasal dari keluarga itu akan mengacak-acak tempat kerjanya. Karena bagaimanapun, Bu Rita saja sampai tunduk ketika telpon reservasi yang disampaikan langsung dari pemilik itu sampai ke telinganya.
Keluarga ini jelas bukan keluarga main-main.
Namun sayang, tali tas tersebut langsung patah dalam sekali sentak. Membuat pemiliknya hanya menoleh sekilas, lalu lanjut berlari keluar. Sama sekali tak memperdulikan tas berisi dompet, handphone dan kunci kamar kos yang ada di dalamnya.
Mata Bea reflek berkaca-kaca. Bukan karena sedih lantaran tak bisa masuk ke kos, tapi karena malu luar biasa.
Pada dasarnya, Bea masih berumur 19 tahun ketika ia kehilangan semuanya. Batin remaja itu masih belum sepenuhnya terobati. Dan melihat pria tadi di dalam sana setelah sekian tahun tak pernah berjumpa membuat hati Bea tergerus-gerus.
Ia tampak baik-baik saja, sementara Bea?
Oke. Sebelum semua menjadi rancu karena salah paham, perlu digaris bawahi bahwa pria tadi bukan mantan kekasihnya. Bukan juga mantan temannya.
Lalu, siapa?
Ya, biarkan kelanjutan cerita ini menjawab semuanya.
Itu pun jika Bea masih sanggup bercerita.