balkon.
“Disini lebih anget padahal sama-sama di balkon. Kerasa nggak?” Jave membuka obrolan, menoleh ke arah Rain yang masih saja melihat cincinnya dengan tatap takjub dan memuja.
Keduanya memang kini berpindah tempat menuju balkon kecil di depan kamar Jave karena tadi Lea dan Jinan ikut mampir di balkon belakang sana. Biasa, Jave sedang tidak mau diganggu siapapun. Apa lagi ketika masih sangat fresh melakukan momen penting dengan Rain.
Gadis itu akhirnya mengangguk, menoleh balik menatap mata Jave. “Soalnya anginnya beda arah kak.”
Hening.
“Kenapa?” Lelaki itu bertanya ketika Rain terus menghadap ke arahnya.
“Gak papa. Aku suka aja liatin molesmu yang ada di bawah mata.”
“Hahahaha astaga.” Jave tertawa, bergerak mendekat ke arah Rain dan langsung memeluk pinggang gadisnya itu dari arah belakang.
“Kan aku masih mau liat moles?” Gadis itu memprotes, menoleh ke arah wajah Jave yang kini tengah berada di atas pundak kanannya itu dengan pandang jengkel.
“Deg-degan.”
“Bohong banget.”
“Serius.”
Rain mendengus, mengalah. Ia lantas kembali mengangkat jemarinya di udara demi melihat cincin cantik pemberian Jave yang sudah melingkar indah tersebut.
“Suka?”
“Suka dong!”
Jave tersenyum lagi, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rain yang wanginya benar-benar meruntuhkan dinding kewarasan. Ia merasa sangat bahagia.
“Geliiiiiiiii. Kamu diem di pundak aja please jangan di leher. KAK..”
Lelaki itu hanya balas terkekeh, suaranya bahkan terdengar sangat tampan dan berat. “Baumu enak banget Rain.”
“Iya tapi geliiiiiii.” Ia lanjut memprotes ketika Jave semakin memperdalam tarikan napas di ceruk lehernya yang terbuka. Tangan lelaki itu bahkan semakin erat melingkar di pinggangnya, tidak membiarkan Rain bergerak atau kabur dari cekalannya barang satu senti.
“Kak Jave astagaaa.”
“Enak.”
“Iya.. Iya enak, udah.. HEEIII CUKUP ASTAGA KAKKKKK JAVEEE..”
Jave tertawa, menjauhkan kepalanya dari leher Rain. “Kenapa gelian banget sih Rain?”
“Emang kamu kalo diusel di leher gak geli?”
“Enggak lah? Coba usel sini.”
“IHH..”
Lelaki itu tertawa lagi sebentar, lalu lanjut meletakkan dagu di pundak Rain dengan tenang. Menurut. Sesekali ia menciumi pundak Rain pelan hingga tangannya yang melingkar itu dicubit oleh pemilik pundak.
“GELIIIIIIIIII KAK JAVEEEE.”
“Cuma dicium ya ampun.”
“Perutku yang geli maksudnya.”
“Jadi pundakmu gak geli kan?”
“Enggak. Tapi, HHHHHH ASTAGA KAK!!!” Gadis itu menoleh jengkel, memperhatikan tampang tak berdosa Jave yang barusan menggigit pundaknya itu cukup keras akibat gemas.
“Pundakmu tuh lucu Rain, kayak mochi yang bulet itu.”
“Enak aja disama-samain kayak mochi?”
“Fakta. Empuk juga.”
Rain makin mendengus, membiarkan Jave yang kini sudah bergerak menciumi pundaknya lagi.
“Kenapa pake dress satin malem ini?”
“Memang adanya cuma itu.. Aku ada sih sebenernya satu warna item, tapi kan kamu pake putih.”
“You look so damn sexy in this dress.”
Rain langsung melotot, mencengkram pagar besi yang lebih tinggi dari pada dadanya itu kuat karena kupu-kupu yang barusan terbang liar di dalam perutnya.
Ia bisa merasakan tangan Jave yang mempererat pelukan seraya sesekali mengelus pinggangnya halus di bawah sana.
Sinting. Perut Rain semakin melilit ketika ciuman Jave di pundaknya itu jatuh lagi tak kunjung berhenti. Membuat suara kecupan itu masuk satu persatu ke gendang telinga.
“Kak Jave..” Rain memanggil pelan.
“Hmh.” Hanya sahutan itu yang keluar dari bibir Jave, bahkan tidak sedikitpun ia menghentikan kecupannya pada pundak bersih milik Rain tersebut.
Kecupannya bergeser perlahan menuju pipi merah Rain. “Hadep sini gih bentar.” Lelaki itu menyuruh dengan suara serak.
Rain menurut, menolehkan wajah. Menatap mata Jave yang kini tengah memandangnya penuh puja.
Dahi lelaki itu yang terbuka karena rambutnya dirapikan ke atas membuat jantung Rain reflek pontang-panting. Dengan perlahan cengkramannya pada pagar besi itu bergerak turun, menggenggam tangan Jave yang masih memeluk erat di bawah sana.
Tidak ada yang bersuara, hanya deru napas yang bersaingan dalam jarak dekat dan sapuan angin malam yang bergerak ringan. Seakan membiarkan keduanya menikmati dentuman jantung dan pujian tanpa suara yang terus terucap lewat tatapan mata.
Wajah Jave perlahan makin mendekat, dengan pandangan matanya yang menatap tulus dari mata dan bibir Rain secara bergantian. “I want to kiss this lips so bad.” Ia berujar pelan, matanya bahkan sudah menghunjam intens mata Rain yang kini mendadak saja bergetar.
“Aku gak minta ijin kali ini, karena dirasa meski gak kamu ijinin juga aku bakal tetep cium kamu.” Jave melanjutkan, tatapannya turun ke bibir merah muda Rain yang glossy tersebut. Terlihat penuh dan begitu mengundang hasrat.
Jantung Rain makin merosot kesana kemari. Memperhatikan bibir Jave yang barusan dibasahi sendiri oleh pemiliknya itu seraya sesekali menelan ludah.
“Mau posisi ini atau kamu mau ngelakuinnya sambil peluk hadep aku?”
“Kakakkkkk.” Protesan Rain akhirnya keluar sudah. Pipinya bahkan semakin memerah.
Jave kembali membasahi bibirnya yang mengering, mengabaikan raut salah tingkah Rain itu dengan menekan pelan punggung gadisnya menggunakan dada agar semakin menempel di pagar besi. Membuat posisi keduanya menyatu sempurna tak bercelah.
“Aku cium ya Rain.” Jave berucap dengan suara yang kian serak. Memberi tahu. “Mungkin bakal lebih brutal dari yang kemaren. Jadi kamu jangan marah ya?” Lanjutnya, mulai kembali mendekatkan wajah.
Rain belum sanggup bersuara, ia tau jika Jave memang tidak pernah basa-basi. Jika sudah bertekad lelaki itu bahkan bisa melakukan apapun dengan caranya sendiri. Gadis itu lantas meletakkan telunjuk di depan bibirnya sendiri sebelum bibir Jave mulai membabat miliknya tanpa ampun.
“Tunggu kak, bentar.” ia berucap, suaranya ikut bergetar.
Jave hanya balas menaikkan sebelah alisnya.
“Kayaknya kalo posisiku begini bakal nggak enak. Maksudku, apa aku boleh hadep kamu aja?”
“Pft.” Jave hampir tertawa karena jantungnya yang meledak tidak beraturan. Lelaki itu lantas hanya diam saja, lanjut menciumi telunjuk Rain yang menurutnya imut itu seraya sesekali memasukkannya ke dalam mulut. Agresif sekali. “Kamu kalo lucu-lucu aku abisin juga kayak telunjuk ini, mau?”
“Itu serem.”
“Kamu cantik Rain.”
“Kak Javeeee..” Gadis itu bersuara, perutnya sudah penuh dengan segala jenis hewan-hewanan. Geli sekali.
“Jadi mau hadep ke aku? Aku gak keberatan sih. Cuma..”
“Cuma?”
“Kamu yakin bisa nahan level brutalku?”
Rain menggigit bibir bawahnya sendiri. Grogi. Dan belum sempat jawabannya terlontar, Jave sudah terburu menyatukan bibirnya cepat.
Tangannya yang dari tadi tidak pernah melepaskan pelukan itu bergerak pelan untuk mengelus area pinggang Rain agar gadisnya itu tidak tegang.
Lelaki itu menyesap kuat bibir Rain atas dan bawah bergantian. Menjilati permukaannya itu berulang kali hingga basah dan lanjut melumatnya kasar.
Baru pertama kali ini Rain melihat Jave seliar ini. Bibir lelaki itu yang memang masih bekerja solo menciumi dirinya itu bergerak begitu agresif, lengkap dengan tangan kekar yang mengungkung tubuhnya possesif.
Rain berusaha menemukan ritme lelaki itu yang cenderung cepat tidak beraturan karena termakan nafsu, tapi tidak kunjung mendapatkan celahnya.
Gila. Situasi ini benar membuat perutnya melilit mulas. Ciuman Jave itu bahkan kini sudah turun menuju dagunya. Sesekali melahapnya, lalu naik lagi ke bibir untuk kembali melumat kasar.
Rain sadar, Javerio sangat menginginkannya.
Satu lenguhan kecil terdengar ketika ciuman Jave itu turun perlahan menuju leher Rain yang terbuka. Lelaki itu mengendus aromanya lama sekali sebelum mulai mengecup area leher kanan itu naik turun. Seperti menandai bahwa itu adalah miliknya seorang.
“Kak Jave serius jangan ke leher aku nggak kuat..”
Jave tersenyum singkat dalam kegiatannya, menulikan telinga. Rengekan Rain bahkan sekarang terdengar seperti memerintahkannya untuk berbuat kian jauh. Dengan perlahan lelaki itu menjulurkan lidah, menjilat leher itu turun perlahan sambil terus mengecupnya seduktif.
“Kak..” Rain menggelinjang saking gelinya. Gadis itu benar tidak tahan jika ada yang memainkannya di area leher. Terbukti dari pembuluh darah yang menyembul perlahan ditambah semakin merah dan frustasinya wajah Rain saat ini.
Jave menegang, urat-urat tipis yang baru keluar itu membuat pikirannya langsung kalang kabut. Lidahnya otomatis terjulur kembali, menelusur garis-garis yang menyembul begitu seksi itu dengan gerak cepat. Mengabaikan suara Rain yang makin protes minta dilepas.
Lelaki itu menangkap tangan gadisnya pelan dan membawanya masuk ke pelukan, membuat Rain kini sempurna berada di dalam kungkungannya agar tidak banyak bergerak. Sedotan pelan mulai ia berikan dari area leher atas hingga perlahan menyusur ke bawah. Tidak membiarkan satu celahpun luput dari jangkauannya.
“Ahh kak..” Suara Rain yang sudah tidak mampu memprotes itu jadinya malah semakin seksi saja. “Jangan, please.. Leherku nggak kuat. Sumpah, kak javhh.“
Jave tidak berhenti, terus membubuhkan lumatan kecil dan beberapa sedotan kuat pada leher Rain hingga menciptakan banyak sekali bercak merah di berbagai tempat. Jemarinya bergerak menggenggam kuat milik Rain di bawah sana, mengusapnya lembut sesekali jika gadisnya itu dirasa tegang.
“Hh. Merah Rain.” Jave berucap pelan ketika melihat hasil karyanya. Setengah takjub karena leher putih bagian kanan itu sudah penuh dengan tanda yang berasal dari bibirnya.
“Gimana mau nggak merah??”
Jave mengedik pundak singkat. “Intinya aku nggak mau minta maaf.”
“Kenapa gak maaf?”
“Karena aku mau lanjut lagi?” Kekehnya sebentar, lalu lanjut menjatuhkan ciuman pada pundak Rain itu berulang kali. Menjilatnya di berbagai sisi seraya mulai menyedot liar termakan gemas.
Rain pasrah, gadis itu hanya mampu menggigit bagian bawah bibirnya sambil meremat jemari Jave ketika tali bajunya itu perlahan di turunkan dengan gigi hingga jatuh ke area lengan atas. Jilatan Jave terus bergerak tak kenal wilayah. Turun ke punggung sebentar dan kembali naik hingga ke leher belakangnya.
Lelaki itu melepas sebentar pelukannya untuk mengangkat rambut panjang Rain yang terkuncir dengan pita itu naik. Ia ingin mencium leher dengan bebas tanpa gangguan.
Lenguhan Rain terdengar lagi ketika bibir Jave kembali menjamah area lehernya, kini tukar ke area kiri. Sama seperti sebelumnya, lelaki itu menjilat naik dan turun seraya terus memberikan sedotan kencang di seluruh permukaannya.
“Rain.”
“Hmh?”
“Tahan aku kalo kebablasan nanti ya.” ujarnya pelan, membalik tubuh Rain cepat agar menghadap ke arahnya. “Kalo aku nggak denger, kamu jambak aja rambutku sampe sadar.”
“Kalo tetep gak sadar-sadar?”
“Then we're going to have a baby.”
“HEEEEEEEEEIIIIIII.”
Jave terkekeh, kali ini mendaratkan ciumannya di bibir Rain dengan perlahan.
bentar, pause, gak mampu gue. stopppppppppp, stop sudah. besok aj lagi dah 😭🧎♀️
u yang pada minta lanjut, EMG U SANGGUP LIAT MEREKA JD DEWASA?!!!!!!!!!!!!
qrt gimana2nya buruan!
boleh wtp asal CROP LINKNYA YA AWAS AJA U LIATIN NIH LINK 😠