boys time.
pukul 7 lebih 45. javerio segera memarkir mobilnya di halaman parkir tempat yang sudah dipesan oleh benzerino, kembaran chandra. lelaki itu mengenakan setelan serba putih dari atas hingga bawah, tampak tampan, tampak memukau.
seorang gadis berpenampilan seksi segera menyambut kehadirannya di depan pintu. tak banyak basa-basi karena javerio juga kebal godaan, ia segera melangkah masuk dan naik ke lantai 2 dengan cepat tanpa toleh-toleh lagi.
ruangan besar tempat billiard ini terlihat temaram, padahal banyak lampu kecil berwarna warm white yang menggantung di setiap beberapa jengkalnya. dari tengah hingga sudut ruang juga tampak sepi, sepertinya sudah ada yang memesan tempat ini untuk seluruh lantainya. entahlah, jave juga tidak peduli.
kaki laki-laki itu terus melangkah di atas lantai marmer tanpa henti, melewati beberapa meja hijau dan kemudian sampai hingga di meja paling pojok, tempat yang tadi sudah diberi tahu oleh benzerino.
“keren. gak on time atau telat, bro.” chandra, mengepulkan asap vapornya pelan sambil bangkit berdiri setelah sebelumnya sudah saling sikut dengan ben. kedua pria tersebut menyambut kehadiran jave seramah mungkin sambil mulai menawarkan jabat tangan.
“gue chandra.”
jave menerima uluran tangan tegas tersebut dan ikut memperkenalkan diri, begitu pula dengan ben. terhitung ini memang baru kali pertama mereka bertatap muka karena chandra dan ben tinggal di australia.
tidak ada kecanggungan berarti di antara mereka setelah berbasa-basi cukup lama karena chandra memang begitu pintar mencairkan suasana.
“lo bisa main billiard, javario?”
jave mendengus. javario lagi, pikirnya.
ia kemudian hanya diam sebentar, hampir menggeleng karena memang tidak pernah mampir ke tempat billiard. namun demi gengsi antar lelaki, terlebih ia juga tidak ingin terlihat memalukan di hadapan kakak rain ini, jave akhirnya mengangguk.
“bagus. langsung aja, bola 15 ben. lo atur.”
ben mengangguk, pria satu ini wajahnya memang ramah, tapi sangat irit kata dan sedikit susah diajak berbicara. yang memulai percakapan selalu saja chandra, ben hanya menyimak dan sekali dua kali melempar tatap tajam.
“giliran lo.” ben menunjuk jave setelah ia selesai urusan dengan bolanya sendiri.
jave menegak ludah sempurna, sok meregangkan badan sekali sebelum ia menunduk dan menyundul bola dengan gerak pelan, dan langsung meleset.
chandra tertawa sebentar, menatap sangsi bahwa jave bisa bermain billiard sesuai tanggapan. ia kemudian menyodok bola incarannya, dan bola tersebut langsung masuk dalam sekali pantul.
permainan berlangsung cukup lama dengan jave yang belum juga memasukkan satu pun bola. perlu diakui, chandra dan ben memang sempurna lahir batin. mereka handal sekali, meleset sekalipun tidak.
ben berdeham, memfokuskan pandang ke bola sebentar sambil bibirnya mulai terbuka. mencomot bahan pembicaraan utama karena sudah terlalu lama basa-basi. ia bukan chandra yang suka mengulur waktu, ia adalah ben, baginya, waktu adalah uang. terbukti juga sejak tadi ponselnya selalu berbunyi akibat keperluan perusahaan, namun tidak ada yang ia buka satupun demi wawancara dengan javerio.
“bukannya gue mau ikut campur atau gimana ya jave, tapi karna lo mau nikahin adik perempuan gue, lo mau kan gue tanya-tanyain sedikit?”
“ya.” jave mengangguk, mempersilakan. memang toh tujuannya bertemu tadi untuk ditanya-tanya, bukan untuk bermain billiard.
“lo pasti mikir pertanyaan pertama gue bakal kenapa lo mau nikah sama rain, kan? tapi gak, gue gak penasaran sama itu karna gue tau adik gue luar biasa dan berhak dinikahi sama cowok kayak lo ini. pertanyaan gue simple sebenernya, cuma sebatas dunia orang dewasa. gue tau lo juga udah dewasa dan pasti udah mikirin mateng-mateng...”
“lama bener chan, langsung aja, lo bisa nafkahin rain sampe tua?” ben memotong, berdiri tegak setelah berhasil menyodok bola masuk ke dalam lubang.
oh. jave mengangguk, mengerti arah pembicaraan.
“gue gak suka ngasih kalimat bualan atau gimana sih aslinya ko, tapi kalo gue ngajak rain nikah, pastinya gue udah siap mateng dengan segala aspeknya. tabungan dan lainnya, gue siap buat itu semua. gue tau gue bukan cowok yang lahir perfect kayak cowok di kebanyakan dunia fiksi. gue bukan anak ceo kaya raya yang duitnya gak abis 7 turunan. gue cuma cowok biasa.. tapi apa keistimewaan gue sebagai cowok biasa? ya, gue pinter. dan gue tau gue bisa kerja. usaha. kalo gagal dan jatuh? ya gak papa, namanya aja kerja. yang harus gue lakuin ya berusaha lagi. dengan adanya rain di sebelah gue, gue tau gue bakal selalu punya semangat buat ngasih lebih buat kehidupan mendatang.. percuma juga gue jadi anak founder perusahaan kalo gue gak bisa kerja, kan?” mata jave membara seketika, sodokan bolanya memantul sempurna dan masuk ke salah satu lubang. nilai pertamanya sejak dari tadi gagal terus menerus.
ben dan chandra diam sebentar, saling lirik. mereka berdua tau javerio memang seambisius itu. tidak ada hal melenceng yang aneh dari hidupnya. dengan kata lain, javerio adalah lelaki dengan tujuan lurus. mereka tau karena beberapa bulan lalu sudah sempat memeriksa kehidupannya secara diam-diam. tentu saja itu adalah hal mudah, ben dan chandra punya koneksi luas dan kuat.
keduanya lantas mengangguk, menjentik jarinya pelan hingga beberapa gadis berbaju seksi berjalan mendekat. memberi isyarat singkat bahwa mereka sudah selesai bermain dan akan segera meninggalkan lokasi ini.
chandra dan ben mengeluarkan kartu nama masing-masing.
“gue gak berhak menilai orang, tapi disini kita berdua bisa selalu kasih bantuan apapun ibarat lo mau bangun lapangan kerja di bidang makanan kedepannya. anggep aja kita investor pertama di bisnis lo nanti.” chandra tersenyum, mengulur kartu namanya.
jave tertegun. ingin menolak, namun sungkan. ingin menerima, jauh lebih sungkan dan tidak enak hati lagi. sebagai gantinya ia hanya garuk-garuk kepala saja.
“santai aja sama kita javario, gue tau lo memang punya ability buat kembangin apapun yang lo mau. rain cerita, apapun yang lo pengen, lo pasti dapet. karna lo memang berambisi. gue tau lo bakal sukses kedepannya. terima aja dulu siapa tau kita bisa kerja sama ngehasilin banyak duit nanti.”
jave akhirnya mengangguk, menerima uluran.
“dan kalo lo suka main billiard, itung-itung buat lo belajar. lo kasih aja kartu pass ini ke penjaganya, lo bisa main gratis dan dapetin pelayanan apapun disini unlimited.” chandra melanjutkan, menyerahkan kartu berwarna hitam.
ben menyeringai, meraih ponsel dari kursi. “santai aja, ini tempat punya chandra. sekarang gue ijin balik dulu, gue ada perlu di tempat lain.” ujarnya, menepuk bahu jave dan chandra bergantian lalu berlari keluar.
“gue juga ada perlu di lain tempat, udah telat sebenernya, tapi demi kepastian adek gue sama lo gue rela hahahaha.”
“thanks, ko.” jave mengucap terima kasih.
“gak perlu, we actually doing nothing to you. rain suka lo, itu keputusannya buat nikah sama lo, sebagai sesama cowok gue cuma mau pastiin aja seserius apa lo sama rain. jaman sekarang banyak cowok bajingan soalnya.”
jave tersenyum. “rain aman sama gue. selalu aman.”
“i really wish for it. karena sekali rain sambat ke gue atau ben lo gangguin, hidup lo kelar beneran sama kita javario.” chandra seketika serius, ia lalu menepuk bahu jave sekali untuk berpamitan pergi.