day one, at home.


“kak javeee..” rain memanggil jave yang kini tengah berdiri di ruang tengah, membenahi barang yang belum sempat ditata dari tadi karena sibuk mondar-mandir ke hotel dan tempat lain.

“hei, sini.” jave menoleh, memanggil rain agar mendekat. gadis itu tadinya sibuk menata lemari mereka dalam kamar dan mendadak saja merasa bosan. meski sudah selesai juga, sih.

“kamu sedang apa?”

“natain miniatur nih, lucu gak?”

“hahahah iya lucu, kamu koleksi mobil-mobilan gini dari kapan memang?”

“smp?” jave berpikir, “apa sd ya? lupa aku. tapi sma udah stop gak beli lagi karena sempet mikir, apaan gak penting hahahaha.”

“padahal lucu, nanti bisa dikasih itu loh, lemari kaca yang kecil itu terus ntar disusun miring-miring terus warna-warnanya diurutin.”

jave menoleh ke kanan, tertawa sebentar akibat melihat gadisnya cerewet sekali. sepertinya mood rain sudah membaik sempurna setelah adaptasi paksa secara kilat.

“ke dapur mau gak rain?”

“natain bumbu atau manasin makanan?”

“natain bumbu dong.”

“haha oke siap.” rain hormat sebentar, lalu berjalan mendahului menuju ujung ruangan tempat dapur berada.

ukurannya cukup luas, dengan pencuci piring yang menghadap taman belakang rumah. perabotnya full berwarna putih, tampak bersih dan cantik, pun, senada dengan warna ruang sebelumnya.

“pinter deh orangnya, ngasih pinggiran bukan tembok tapi keramik.”

“oh iya dong.” jave membusung dada, sombong, pasalnya waktu rumah ini dibangun kala itu, jave memang yang sering mondar-mandir untuk ditanya-tanya serta memberi satu dua saran.

“iya iya, duhhhh, pinternya cowokku.”

“cowokmu?”

“iya lah.”

“suamiku dong harusnya.”

“hihhhhhh.” rain melengos, menghindari tatapan usil jave yang terus dihunjamkan ke arahnya.

“liat nih kak, botol saus kemarin aku kan sempet beli online. harusnya dateng 12 gitu, tapi pas dikirim pecah 1 jadi tinggal ini aja, tapi bagus kan? tebel gitu.”

“lah eh? terus tokonya tanggung jawab nggak?”

rain menggeleng, “nyalahin pengirimannya, lah? padahal aku kan request box, nah kalo pecah di dalam box berarti harusnya nyalahin dia.”

jave mengangguk, meski wajahnya tidak woles karena seller tak mau bertanggung jawab. “omong-omong saus 11 macem itu apa aja emang?” ia memutuskan bertanya yang lain sebelum rain ikut bad mood. wajahnya siap menyimak.

“ih banyak ada saus tomat, saus sambal, terus mayo, terus kecap manis, saus tiram, saus teriyaki, saus barbeque, saus asam manis, saus inggris, saus ayam lada hitam, saus kuning yang manis apa tuh ya namanya itu enak beneran aku kok lupa? intinya banyaaaaaaaak lah terus kan dia gak cuma dimasukin saus doang bisa buat yang lain tuhhh..”

jave tertawa, mengapit dua pipi rain dengan satu tangan. “cereweeeet.”

“huh, tapi suka.”

“suka kamu?”

“iya dong!!! masa suka kak jasmine?”

“loh loh... aku gak ikut ngomong ya?”

“yeeee.” rain kembali fokus menata botol-botol ke atas meja. membuat jave gemas sendiri.

“kamu tuh, apa ya orang ngomongnya?” jave tiba-tiba alih topik.

“apa?” rain menoleh.

“lucu? gemes.. modelmu kayak travel size banget yang.. pengen aja gitu orang ngusel.. kayak, kamu tuh....” jave tak menyelesaikan ucapannya karena sekarang ia mengangkat tubuh rain naik ke atas meja tinggi.

“kamu tuh apa?”

“lucu. udah, gak ngerti, gak bisa deskripsiin lagi yang lain intinya kamu lucu banget.”

“yeeee. turunin aku buru..”

“gak.”

“loh apa sih kok nyebelin banget. turunin kak..”

“sendiri aja, lompat.”

“jangan bergurau please aku malas merosot-merosotin kaki.”

“kan.. lucuuuuu kamu tuh kecil.”

rain berdecak, “ayolah ganteng. turunin aku.”

“aku ganteng?”

“enggak, kak kalandra.”

“DIH? CAKEP AKU RAIN?”

“YA IYA MAKANYA AYO TURUNIN AKU DULU..” rain merentangkan tangan, minta ditolong.

“bilang dulu bener-bener cakep aku apa kalandra.”

“cakep tuh relatif.”

“aku mutlak ya.”

rain terkekeh, tak menjawab. gadis itu masih setia merentang tangan hingga akhirnya jave menyerah dan menggendongnya.

“terus abis ditolongin ya diturunin lah ya ampun kak kamu abis nikah usil banget betulannnn.” rain mengomel akibat jave yang sekarang malah menggendongnya di depan sambil berjalan keluar dapur.

“udah dibilang kamu kayak anakku, ini ntar kalo ada orang liat langsung mikir, oalah, udah punya anak. besar juga, cepet ya?” pikiran yang random mampus.

“ih ini istrinyaaaaaaa.”

“hahahaha istrinya siapa?”

“jave dong masa iya jersen..”

“bagus. akhirnya diakui juga kalo jersenmu itu masih kalah jauh sama aku.”

“heuuh.” rain menanggapi singkat sembari melingkarkan tangan di leher jave dan merebahkan kepalanya di dekat sana. “kalo aku ketiduran sambil digendong gini gimana kak?”

“gak papa, kamu kan emang model balita.”

“ih enggak.” gadis itu tertawa, reflek memundurkan kepala demi melihat ekspresi jave yang sekarang sudah sok berubah mode menjadi bapak-bapak pengasuh bayi.

matanya bertatapan, saling meneliti dalam diam sambil sesekali melempar senyum tanda puji dalam hati.

tangan rain reflek bergerak, mengelus setiap inci wajah jave perlahan-lahan. yang dipegang hanya diam, selain karena tak bisa berbuat apapun lagi, ia memang menyukai setiap sentuh yang berasal dari tangan kecil rain.

sentuhan gadis itu terus bergerak, dari alis, turun menuju kedua mata jave yang kini terpejam akibat rain mengelus mengikuti garis pejaman matanya.

tampan. jave tidak pernah sehari lewat dari kata itu. sehingga secara tak sadar bibir rain terangkat, tersenyum senang akibat sepenuhnya ingat bahwa mereka sudah menikah, jave, lelaki itu, sepenuhnya miliknya.

“dah, buka mata buruan aku udah selesai mijetin area mata yang kayak bendol habis ditinju gara-gara kurang tidur itu.” rain berucap, tangannya pindah bertumpu pada pundak jave.

“aku kirain mau dicium.” jave jujur, sedikit kecewa karena perhitungannya meleset.

“haha, memangnya mau?”

“siapa yang gak mau?”

rain menimbang. “ya udah, boleh.”

“eh, tumben?” jave terkejut sedikit, netranya mengerjap karena banyaknya rasa yang timbul hanya karena kata-kata boleh yang keluar dari bibir rain barusan.

gadisnya hanya mengedik pundak sebagai balasan.

“beneran cium ya?”

“tanya lagi orang ini..” rain mendumel, memutuskan untuk mencekali kepala jave dan menciumnya saja terlebih dulu dari pada terlalu lama membuang waktu.

jave menegang. rain tidak menciumnya secara singkat. lihatlah, bahkan bibirnya mulai bergerak. pagutannya lembut sekali sambil sesekali diselingi oleh senyum kecil tak terlihat.

jave ikut tersenyum ditengah gempuran halus rain tersebut, membuat rain spontan mundur dan tertawa. “udahhhh, kamu gak bales aku. kenapa jadi aku yang nyosor begitu?”

mau tak mau jave tertawa juga dibuatnya. “bentar dong aku masih kaget.” jawabnya, lalu dengan tanpa kata lagi yang lebih panjang, ia segera menekan punggung rain maju dengan tangan kirinya yang baru saja ia angkat. jadi posisinya, tangan kanannya saja yang berfungsi menahan tubuh rain dalam gendongan.

lelaki itu tersenyum lama, menggesekkan hidungnya perlahan pada milik rain untuk menyapa sebelum akhirnya bibirnya mengikis jarak yang tersisa. keduanya reflek sama-sama memapar senyum, ciuman lembut itu terasa menyenangkan sekali karena benar-benar penuh dengan ungkapan sayang.

tangan rain bergerak, menangkup kedua pipi jave yang mulai panas itu agar kepala jave tak bergerak kemana-mana. heran, padahal, biasanya yang suka gerak aktif adalah jave. mungkin kali ini rain paham bahwa kedua tangan jave sudah berfungsi dan tinggal tangannya saja yang belum bergerak.

jave mendadak puas setengah mati akibat ciumannya ditanggapi secara positif. lelaki itu perlahan menyapukan lidahnya lembut, berpagutan cukup lama dengan ritme pelan seakan sama-sama tak ingin mengagetkan satu dengan yang lain.

jave sudah ingin membawa tubuh rain turun ke sofa dan menindihnya ketika..

PAKETTTTTTT.

“hmmh..” jave mencabut kegiatannya akibat terkejut setengah mati. ia tau jarak pagar dan ruang tengahnya ini lumayan jauh, namun, teriakan itu cukup membuat jantungnya degdegan parah. antara kesal, dan.. kesal. iya, ia kesal bukan main.

“kamu ada paket rain?”

rain menggeleng. “aku kirain punyamu?”

jave menurunkan gadis itu dengan terpaksa, melangkah keluar menuju seorang pria muda yang membawa box cukup besar di depan pagar sana.

“dari mas kalandra bimantara, mas javerio ya?”

“eh iya mas.”

“gak perlu bayar, tinggal tanda tangan aja disini mas.”

jave melirik sebentar ke arah kertas dan membubuhkan tanda tangan asal-asalan. sebab, apa pula yang dikirimkan kalandra sore-sore begini hingga bisa mengganggu aktivitasnya yang tumben-tumbenan berjalan lancar tanpa penolakan?

jave menerima paket, mengucap terima kasih, lantas melangkah masuk dengan alis tertekuk kesal. makin lucu pula wajahnya ketika melihat rain sudah tak ada di kursi, gadisnya telah pergi.

ke toilet. untuk mandi.