Girl's thing.
Minggu sepulang gereja, Jave memang betul mampir ke rumah Rain untuk makan pagi. Mama kemarin sudah mengontak lelaki itu secara mandiri karena takut Rain kelupaan menyampaikan ajakan makan-makan darinya.
“Rain kamu ngerti gak di lampu merah depan sana yang 100 detik itu kadang ada kayak kumpulan orang bawa angklung sama nyanyi lagu daerah?” Javerio membuka obrolan sembari tangan kirinya mengoper gigi mobil. Sudah jelas dibawah telapak tangannya yang tengah mengoper itu ia menjalani kewajiban untuk bergandengan dengan Rain.
Bedanya, kali ini Rain sendiri juga ikut inisiatif menggelayut tangan Jave jika tangan lelaki itu sudah menganggur, sebentar-sebentar, tidak terlalu lama, tapi cukup membuat Javerio merasa senang karena tumben-tumben gadis itu mau tempel-tempel dengannya. Entah, Rain lumayan rewel hari ini.
Rain menggeleng. “Tiap hari apa emang?”
“Kadang senin, kadang kamis, gak tentu sih? Mau coba lewat gak?”
“Mau dong kak. Gak muter kan tapi?”
“Searah kok.”
Rain mengangguk, menyenderkan kepala di tangan Jave yang tadi masih ia pegang. Tangan kanannya mulai mengotak-atik media Jave untuk mengganti lagu.
“Kamu suka lagu-lagunya band oasis gak kak?”
“Yang?”
“Ya apa aja. Kayak don't look back in anger, atau champagne supernova? Kamu suka 1975 kan? Menurutku ya agak memper sih modelnya. MENURUTKU LOH YA, jadi kamu gak boleh ngomel kalo misalnya gak memper.”
Jave terkekeh. Rain jadi agak sensitif hari ini. “Ya udah kamu puter aja.”
Gadis itu mengangguk, melepas tangan Jave, kemudian menyender di kursinya sendiri. Sibuk mencari lagu.
“Eh tapi lagu ini juga enak.”
“Apa?”
“Lagunya Novo Amor. Kamu tau aku suka banget lagu yang kayak gini, yang nadanya ngambang-ngambang gitu jadi kayak kitanya pas merem tuh terus jadi bayangin wahhh.. padang pasir.”
“Apa sih kok mendadak padang pasir segala?”
“Serius. Coba kamu dengerinnya sambil merem.”
“Aku nyetir Rain.”
Rain menepuk jidat. “Iya ya. Ya nanti aja dengerin lagi pas udah di rumah. Sensasinya enak kalo pas kamu tuh lagi di kamar, terus di bawah AC, tutup mata gitu pas mau tidur kan.. Percaya deh kamu kayak diseret ke pinggiran kota gitu. Asik.”
Jave mengangguk-angguk, matanya menyipit karena tersenyum gemas akibat Rain cerewet sekali pagi ini.
“Eh omong-omong yang itu gak sih, kak? Yang katamu angklung-angklung tadi. Astaga ini minggu mereka ada loh!!!!” Rain tiba-tiba melanjutkan pembicaraan, menunjuk sekumpulan pemuda yang tengah memainkan alat musik di pinggir jalan. “Woooow.” Gadis itu spontan saja jaw dropping. Matanya menatap takjub karena suara nyanyian dan musik para pemuda itu begitu memikat hati. Tangan kiri Jave reflek mengecilkan media player supaya Rain bisa mendengar lagu bawaan pemusik jalanan itu tanpa terganggu.
“Kak satu orangnya ada yang keliling bagian narik uang, aku boleh buka jendela gak?”
Jave mengangguk. “Ada uangnya? Aku juga mau kasih dong.”
“Aku ada. Kamu bareng aku aja sekalian gak papa.”
“Ya udah. Tuh semobil lagi sampe di sebelahmu.”
Rain menjulurkan tangan dan memasukkan uang tepat di keranjang yang dibawa pemuda itu ketika gilirannya sudah tiba. Raut wajahnya begitu terpesona, tak lupa gadis itu mengucapkan kata terima kasih sebelum akhirnya lampu merah berganti menjadi hijau kembali.
“Itu mereka ada lagi di lampu merah yang deket dieng loh Rain.”
“Keren. Itu sehari mereka disitu kira-kira bisa jadi jutawan.”
Jave tertawa, lalu menarik kepala Rain mendekat agar menyender di pundaknya.
“Leherku tengeng nanti kak yang ini ekstrim, kamu tuh tinggi sadar diri lah.”
“Ini tinggi apa sih orang sama duduknya?”
Rain mendengus, tapi moodnya hari ini memang sedang tidak teratur, bawaannya ingin menempel terus padahal biasanya gadis itu tidak pernah begini. Jarang sekali, maksudnya.
“Kamu mau beli cilok atau apa yang asin-asin gak Rain?”
Gadisnya menggeleng. “Pengen es victoria, temenin bentar ke pander boleh kah?”
Jave terkekeh. Lelaki itu lantas mengangguk, memutar kemudi. Kali ini ia benar-benar menggelengkan kepala sambil menahan tawa karena mengerti kenapa Rain jadi manja seperti ini.