“Halo, selamat siang kak? Benar ini nomornya saya gak salah sambung?” Jave membuka percakapan, menggoda sedikit meskipun dalam hati ia juga ketar-ketir akan mood Rain yang sepertinya sedang naik turun tidak jelas.
Hening.
Gadisnya masih kelabakan malu di ujung sana. Lagi pula ini juga pertama kalinya mereka saling mendengarkan suara setelah hampir satu bulan mereka tidak sempat berbicara sama sekali di telepon.
“Halo cantik? Jangan diemin aku terus dong.” Jave akhirnya menyerah, mendudukkan diri di dalam mobil sembari kepalanya ia senderkan di atas setir kemudi.
Jadwal kampus laki-laki itu mulai 2 jam lagi, dan ia memang sempat memutuskan hendak menitip absen hari ini karena ingin menyelesaikan “masalah”nya dengan Rain.
Jujur saja, didiamkan satu hari ditambah dengan fakta bahwa Rain sedang salah paham dengannya itu membuat pikiran Jave kalang-kabut tidak keruan.
Rain menghela napas. “Iya, halo kak Jave selamat siang. Benar anda tidak salah sambung.”
“Nah..” Laki-laki itu bernapas lega.
“Kak..” Rain menyapa, nadanya mendadak serius karena waktunya yang terpepet kali ini. Ia sedang dalam perjalanan menemui Jesze, membicarakan jadwal rapat besok sore. “Yang itu tadi, apa namanya, chatku, ya pokoknya chatku itu gak usah dipikirin. Aku udah gak kenapa-kenapa sekarang. Maksudku, itu aku kayaknya emang lagi capek aja sama kampus dan organisasi seminggu terakhir jadi pikiranku malah ngawur. Maaf ya kak Jave. Aku gak maksud jadi ngeselin kok.”
“Sama sekali gak ngeselin aku Rain. Kamu jangan mikir kamu ganggu aku, lah.. Aku gak pernah ngerasa risih atau apa ke kamu kok. Serius.”
“Iya, gitu pokoknya.”
“Kamu udah makan gak?”
“Udah sih, tadi aku goreng udang. Kamu?”
“Belum. Aku mikirin kamu.”
Rain hampir tersandung kakinya sendiri ketika berjalan di koridor kampus saat ini. Jantungnya yang sudah lama tidak deg-degan itu mulai berulah. Suara Jave yang lembut dari awal telpon itu membuat perasaannya tenang meskipun jawaban atas semua pertanyaan itu belum sempat terjawab.
“Makan kak.”
“Habis aku ngobrol sama kamu, aku makan.”
“Ya udah makan aja sekarang. Kamu kampus jam berapa?”
“Aku mau ampirin kamu hari ini.”
“Hah? Eh.. Maksudku, kamu kan sibuk? Bukan aku nolak kehadiranmu tapi ini masih hari sibuk. Ini bukan weekend. Dan ini udah siang sekali. Jalanan macet lah kak Jave.”
“Tol bebas hambatan sih.”
“Jangan keras kepala. Kuliah dulu, jangan bolos.”
“Kepalaku penuh mikirin kamu Rain. Gak bisa fokus juga kan percuma aku kelas.”
“Aku gak kenapa-kenapaaa. Serius. Maaf jadi bikin pikiranmu penuh. Maaaaaaaf.” Rain jadi ingin menangis saja detik ini.
“Itu Ariel yang buang kulit kuaci di maskerku cowok Rain, Ariel Dimas Wijaya nama panjangnya. Serius.”
“Iyaa kak.”
“Terus Jasmine ini temen satu fakultasku, iya, yang ini emang cewek. Dan ya bener yang kamu bilang aku anterin dia balik ke rumah malem kemaren itu. Tapi aku barengin dia karena dia minta, aku mau nolak juga serba salah soalnya dia temen labku juga jadi kita lumayan deket. Tapi serius itu cuma pulang aja. Aku gak ngapa-ngapain, dia juga gak ngapa-ngapain. Jasmine ini emang termasuk yang sosialnya bagus, tapi dia gak kayak Clara. Kamu tau maksudku kan?”
“Err.. Cantik kak?” Pertanyaan itu reflek saja keluar tanpa ada filternya lagi.
“Semua cewek itu cantik Rain.”
Hening, terjeda sudah percakapan ini.
“Tapi kalo aku disuruh milih diantara semua cewek cantik, aku tetep milih kamu.” Sambungnya ketika Rain tak kunjung merespon balik jawabannya.
“Kamu jangan gombalin aku kak Jave. Lagi gak mempan karna moodku lagi gak jelas. Aku merasa aneh sekali. Aku.. Aku kayaknya mau bulanan. Serius. Kak.. Aku matiin dulu aja boleh gak? Aku bingung mau jawab apa la...”
“Yow, Rain Chandra Mahaeswari!” Jave mendengar suara berat dari ujung sana memanggil nama gadisnya. Nada bercanda, namun cukup gagah. Derap langkahnya juga ikut terdengar di telepon.
“Eh iya kak Jesze, maaf kak, sebentar lagi terima telpon.”
“Lama banget gue tungguin dari tadi. Udah makan gak lo Rain?”
“Eh, udah kak. Aman.”
“Baru aja gue mau ngajakin. Ya udah lah, sini buruan.”
“Siapa itu?”
“Eh itu katingku kak. Emang agak berisik. Sebentar, ini aku bukan sengaja nyuruh dia manggil aku supaya call kita berakhir kok. Ini lagi mau bahas sesuatu aja mungkin 10 menitan. Aku gak marah ke kamu. Serius kak. Penjelasanmu cukup. Makasih banyak. Maaf juga aku kalo agak alay terus sok posesif gitu. EH UDAH SERIUSAN KAKAKNYA NYAMPERIN SOALNYA AKU GAK BURU-BURU BERGERAK. Dadah kak Jave, see u when i see u. I love you. Aku serius gak marah. Aku cuma ribut sendiri aja sama kepalaku. Jadi kamu jangan kesini dan jangan bolos kampus. Nanti selesai aku ngobrol sama kakak ini, aku hubungi kamu lagi. Jangan bolos ya kak. Janji?”
Jave mengangguk, “Oke. Oke janji. Tapi kamu janji juga gak diemin aku lagi?”
“Iya kak Jave, janjiiiii.”
Senyum lelaki itu mengembang perlahan. Dilihatnya layar panggilan yang sudah mati itu sekali lagi, lalu ia masukkan ke dalam tas.
Jave hening cukup lama ketika akhirnya memutuskan untuk menepati janjinya pergi ke kampus. Ia segera menjalankan mobil menjauh dari basement apartment Kalandra tanpa banyak tingkah lagi.
Ya, meski sesekali masih tersenyum ketika ucapan i love you dari Rain itu berputar dalam otaknya, sih.