hello, mrs. rain alkanira.


Rain berdiri seorang diri di balkon villa malam ini. Baru tiba, ia masih belum ingin masuk ke kamar dan memutuskan untuk menikmati angin saja di halaman belakang. Tempat mereka keluar menuju pantai senja tadi.

Tidak dingin, dengan langit bertabur bintang yang tampak begitu jelas. Rerumputan hijau yang sekarang terlihat gelap itu membentang luas hingga beberapa meter ke depan. Dihias oleh pohon palm rendah yang cantik dililit lampu berwarna warm white.

Gadis itu berpegangan pada pagar besi setinggi dada sambil sesekali menjinjitkan kakinya. Bermain. Kadang-kadang ia juga bersenandung pelan, menyanyi asal lagu apapun yang melintas di otak dengan suaranya yang bisa dibilang biasa saja sebenarnya. Tidak bagus, tidak buruk, tidak cempreng dan tidak fals. Biasa, suara Rain biasa saja.

Jave yang baru keluar dari ruang dalam itu reflek saja tersenyum. Kakinya berhenti di ambang pintu demi memperhatikan Rain dari belakang.

Tubuh gadisnya itu masih saja imut seperti dulu. Mungkin memang bertambah tinggi sedikit, tapi tetap saja menurut Jave gadis itu kecil sekali. Tingginya masih sebatas pundaknya sendiri saat ini. Dibalut dengan dress satin berwarna putih cantik dan rambut yang tengah dikuncir dengan pita berwarna senada. Menunjukkan kulit bagian atas dari pundak hingga setengah punggungnya yang halus dan bersih.

“Rain.” Jave akhirnya menyapa, membuat gadis itu menghentikan suara nyanyiannya dan menoleh sebentar.

“Sejak kapan berdiri disitu?”

“Baru aja. Aku kira kamu udah masuk kamar malah. Maunya aku telpon.”

“Hahaha enggak aku disini pengen liatin bulan tapi bulannya kecepit. Ilang.”

Jave geleng-geleng kepala, maju mendekat. Berdiri di samping tubuh Rain dengan kaki yang sudah naik di pembatas bawah pagar. Ikut bermain.

“Kamu nanti nyungsep ke bawah jangan minta tolong aku ya kak Jave..” Rain berucap, memperingatkan.

“Gak minta tolong juga paling kamu udah khawatir duluan, nyamperin ke arah aku nyungsep.”

“Eh omongannya jangan gitu kamu nanti betulan nyungsep ke bawah.”

“Kamu kan kuat megangin aku?”

“Mana ada??????”

Jave tertawa, wajahnya tampan sekali. Rain jadi grogi sesaat karena tiba-tiba mengingat paras Jave yang sempurna saat di bawah paparan senja beberapa jam lalu. “Kamu ada akhlak nggak?” Ucap Rain tanpa sadar, menatap wajah Jave yang ada di sampingnya itu dengan tatap mengawang. Lucu sekali.

“Hah? Apaan Rain hahahahaha.”

“Cakep banget. Serius. Mana kamu sok acara pake kemeja putih.. Ganteng? Gak bohong ini gak ngera.. EH EH HMPH.” Ucapannya terpotong ketika kecupan Jave mendarat 6x di permukaan bibirnya. “SIAPA YANG SURUH KAMU CIUM AKU?”

“HAHAHAHAHA. Abisnya?”

“Apaa? Aku hanya memuji.”

Jave tidak habis pikir, ia lantas kembali menjatuhkan pandangannya lurus ke depan. Memperhatikan cahaya lampu yang berpendar dari banyak arah seraya menjinjitkan kakinya sesekali di pagar besi. “Besok pulang Rain.” ujarnya, tiba-tiba.

“Iya.. Besok pulang. Aku males pulang. Bisa nggak, waktunya di stop aja?”

Lelaki itu menoleh. “Capek ya?”

“Iya. Capek. Kamu gak capek?”

“Capek.”

Hening. Bayangan kehidupan nyata yang mulai semakin berat itu melintas di otak mereka. Membuat helaan napas terdengar bersahutan.

“Gak papa sih capek. Maksudku kalo capek kita masih bisa berhenti gitu buat take a break.. Tapi kadang emang capeknya tuh capek yang kayak.. Bisa gak sih berhenti aja gitu? Gak mau lanjut.”

Jave menempelkan kepalanya di kepala Rain. Belum menyahut. Cukup lama sampai akhirnya ia berucap, “kamu kalo capek janji bakal lari ke aku ya, Rain?”

“Aku kalo capek gak pengen nambah bebanmu..”

“Aku gak terbebani. Ibarat nanti juga pas aku capek terus bakal lari ke kamu. Apa kamu ngerasa terbebani?”

“Enggak sih.”

“Nah. Itu namanya orang udah sayang pasti gak ada beban Rain. Lari ke aku, oke?”

Rain mengangguk dalam diam, tangan kirinya bergerak mengusap kepala Jave yang masih menempel itu dengan gerakan lembut. Membiarkan angin malam yang berhembus ringan itu menemani mereka menikmati sunyi.

“Rain.”

“Ya?”

“Besok-besok kalo aku ajak nikah mau nggak?”

“Hah?” Gadis itu reflek tersedak angin. Jantungnya memompa cepat seperti barusan dipacu di jalanan terjal.

“Kenapa? Kamu gak mau?”

“Enggak gitu. Maksudnya kasih lah aba-aba ke aku kalo mau ngajak ngobrol penting jangan cas cus aja kebiasaan banget.”

Jave menggigit bibir dan memejamkan mata. Terlihat berpikir panjang. Wajahnya bahkan sudah serius sekali saat ini.

“Kak?”

“Bentar. Ini lagi mikir biar kamu gak kaget lagi.” Jave membalas, tetap diam hingga 10 detik kemudian ia membuka kembali matanya.

“Jadi?” Rain bertanya, menghadapkan tubuh ke arah Jave. Rautnya tampak bingung meski jantungnya tetap berulah sama dengan memompa liar di dalam sana.

“Gimana cara aku ngomongnya?”

“Ya gimana?”

“Jangan kaget intinya sih.”

“Kamu mau apa?”

Lelaki itu diam, menatap mata Rain lama sekali. Berusaha menetralkan jantungnya sendiri yang tidak teratur itu dengan berulang kali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tangannya lantas bergerak, merogoh barang yang tadi sempat ia ambil di dalam kamar ketika baru saja tiba dari restaurant itu keluar dari dalam saku celana.

Kotak kaca hitam elegant muncul dan kini sudah berada di atas telapak tangan kanan Jave yang kebas. “Aku lamar kamu ya Rain?” ujarnya, membuka kotak kaca tersebut yang ternyata berisi cincin kecil berwarna perak seukuran jari Rain.

Gadis itu melotot lebar. Matanya langsung berair saking terkejutnya dengan ajakan Jave yang memang terkenal selalu tanpa basa-basi tersebut.

“Nggak harus nikah cepet-cepet. Aku lamar biar kamu tau kalo aku selalu serius sama kamu. Lah eh jangan nangis......???”

Rain menggelengkan kepalanya, tidak mampu menatap mata Jave yang menatap teduh itu terlalu lama. “Aku tau kamu selalu serius. Maksudku....”

“Maksudmu..?”

“Maksudku, makasih. Makasih udah selalu sama kayak kak Jave yang dulu aku kenal. Jujur sebelum aku kuliah dulu sering mikir hubungan kita gak lama. Tau gak? Kayak.. Emang cowok ini bisa gitu diajak LDR? Kan yang deketin banyak.. Arhhhh gak tau aku nangis aja.”

Jave tersenyum kala mendengar. Kotak kaca yang ada dalam genggamannya masih terbuka lebar, siap untuk diberikan. “Jadi Rain, kamu siap aku ajak ke tahap yang lebih serius ke depannya?”

“Sebentar kamu diem dulu.”

“Hahaha astaga iya oke aku diem.”

“Kamu curang banget loh jadi orang gak punya rasa deg-degan.”

“Aku deg-degan. Cuma kekontrol aja gak kayak kamu.”

“Enak ajaaaa.” Rain memprotes, mengelap ujung matanya yang betul basah itu dengan jari seraya mulai kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Jave.

So?” Jave bertanya, meminta jawaban.

“So whaaaaaat?”

“Want to be my only forever mine in the future?”

Rain menelan ludahnya sendiri. Menatap mata Jave yang memang sangat serius itu dalam hening. Keduanya berusaha menikmati dentum jantung yang sama-sama lepas kendali itu lewat tatapan mata.

“I can't say no for you kak.”*

“Hm?” Jave membulatkan mata tanpa diminta. Jantungnya yang sudah bekerja ekstra itu makin parah saja berulah. Matanya bahkan kini sudah berkaca-kaca bahagia. “Rain, betulan?” tanyanya memastikan.

“Iya..” Ia menjawab mantap.

Lelaki itu spontan mengeluarkan cincin dari dalam kotak dan memakaikannya di jari manis kiri tangan Rain yang terulur pelan ketika ia minta.

Cantik. Cincin itu sangat pas melingkar di jari gadisnya. Tidak banyak basa-basi Rain langsung memeluk Jave erat. Seakan menyalurkan seluruh rasa bersyukurnya karena Jave masih berdiri disini untuknya.

“Kita stabilin finansial dulu buat sekarang ya, sayang?” Jave kembali mengantong kotak cincin tersebut agar aman, lantas balas memeluk Rain tidak kalah erat.

“Jangan sayang sayang kakak hrrrrrr diem dulu.”

“Jangan salting disitu juga aku nggak keliatan mukanya.”

“Diem.”

“Hello mrs. Rain Chandra Alkanira, boleh liat wajahnya?”

“DIEEEEEEEEMMMM.”

Jave tertawa sebentar. Turut mengucap banyak syukur dalam hati karena gadis kesayangannya itu mau berada dalam jangkauannya untuk waktu yang panjang di masa mendatang.


lanjut cepet apa perlu dijamur dulu seminggu? WKWKWK

like atau qrt dulu yah untuk menyambut next narasi.. *SOK2AN BGT.