his name.
suasana kamar nasya masih sepi seperti biasanya. kali ini makin sepi sebab mereka yang biasanya ada untuk sekedar menumpang lewat benar-benar tak menampakkan dirinya meski cuma secuil batang hidung saja.
suara dari kamar angkasa yang berasal di sebelah rumah juga tidak ada sebab penghuninya masih belum kembali.
nasya menggaruk keningnya yang tak gatal sambil mengedar pandang. tampak linglung sebab ajakannya barusan pada jendria sebetulnya sangat-sangat impulsif. gadis itu lantas menghela napasnya sebentar sambil mematut diri sekali lagi di hadapan cermin.
cantik. sudah jelas nasya geovanny masih cantik seperti biasanya. bedanya kali ini gadis itu bisa melihat jelas lingkaran hitam yang makin parah bertengger di bawah matanya. nasya reflek berdecak dan makin menempel di cermin guna mengecek sebetapa parah mata pandanya sekarang, namun bukannya fokus pada bawah matanya, nasya kini malah melirikkan pandangan ke kiri dan menjumpai sosok yang terduduk di pinggiran kasurnya. tepat di belakangnya.
nasya mau tidak mau terkejut juga, sontak memutar tubuh sambil melangkah mundur. tangannya teracung ke depan sambil mulutnya mulai komat-kamit merapal doa agar tidak tumbang secara mendadak.
“tolong, gue gak tau apa salah gue, tapi serius ini gue mau pergi sama temen.. jangan buat gue pingsan lagi oke? please..” gadis itu berujar tanpa melihat sosok tersebut sama sekali. pandangannya ia arahkan totalitas ke jendela kaca sambil tangannya kini mulai mencekal kuat tali tas selempang yang ia gunakan.
“aku nggak pernah bikin kamu pingsan lho nas..” sosok tersebut menjawab lirih setelah hening cukup lama, selirih angin yang berhembus pelan dan menggoyang dedaunan di depan sana.
“maaf kalau kehadiranku bikin kamu kesakitan. gak niat begitu kok aku.”
nasya berdeham, “bisa ngomong panjang ternyata..”
“iya, bisa lah?” sosok tersebut menjawab dengan nada cukup terheran-heran.
nasya mengangguk, mendadak saja merasa canggung berhadapan dengan sosok yang membuatnya kesakitan akhir-akhir ini. banyaknya pertanyaan yang hinggap di pikiran terpaksa ia telan cuma-cuma sebab kerongkongannya sudah kering kerontang.
“namaku ariksa omong-omong.”
nasya menggaruk tengkuk sebab merasa linglung bukan kepalang. bahkan tangan serta kakinya kini sudah ikut-ikutan terasa kebas. “gue nasya.”
“i know. i know you.” ariksa mengangguk, mengakhiri obrolannya. lantas pemuda itu bangkit berdiri dan merapikan bajunya sebentar sebelum tersenyum singkat pada nasya guna berpamitan.
“have fun jalan sama jendria ya nas. he's nice person tho.” ujarnya kemudian, lalu dalam sekali kejap mata, sosok ariksa telah mengabur dan menghilang sempurna. meninggalkan sisa-sisa pening di kepala nasya yang mendadak saja datang menghampiri. dan belum sempat nasya mencerna segala hal yang terjadi, kesedihan yang tak masuk akal kembali menggerogoti jiwanya.
“Tuhan tolong. ini sesek banget.” gadis itu bermonolog sambil mulai bercekalan pada dinding kamar. matanya memerah menahan tangis sementara tangan yang menganggur ia gunakan untuk memijat area dadanya, ia harap oksigen terus masuk ke paru-paru tanpa hambatan hingga tidak ada adegan pingsan seperti sebelum-sebelumnya.
“ariksa, lo itu, sebenernya siapa?”
tanpa sadar, air mata nasya mulai menggenang dan menetes ke lantai perlahan-lahan.