Is It Only Dream? Why?


Malam itu ia menangis lagi. Ya, lelaki itu terduduk hening di samping kasur sambil menatap album foto keluarga yang waktu itu baru selesai dicetak.

Saka mengerang, ingin menangis kencang tapi teringat jika Gia, Leon, dan Lia sudah tertidur lelap setelah seharian rewel panjang.

Lelaki itu lantas bangun dari duduknya, lalu berdiri menghadap cermin rias Kayna yang masih ada di dalam kamar.

Gak sih, Kayna jarang sekali dandan seperti kebanyakan gadis lain kecuali jika ada kepentingan rapat besar yang harus ia datangi.

Ya, cermin itu berguna hanya jika Kayna ingin skincarean atau sisiran saja.

Saka menunduk, mengawasi tangannya yang mengepal kaku di atas meja cermin seraya menahan gejolak rindu yang tiap hari datang tak kenal lelah.

Ia rindu gadisnya.

Kayna.

Segalanya tentang gadis itu membuatnya gila dan susah bernafas. Belum lagi fakta jika Kayna telah tiada dan tidak bisa ia jumpai lagi, sekarang, bahkan nanti.

Kecuali jika ia menyusul mati.

“Kay..” Saka tiba-tiba melirih pelan. “Kalo aku nyusulin kamu sekarang, gimana?” Lanjutnya, lantas menatap kosong bayangan gelap tubuh yang tercetak jelas di atas lantai marmer kamar.

“Aku gak kuat tiap hari gini. Aku mau pindah rumah, gak bisa. Mau ketemu kamu, gak bisa. Yang ada aku bisa gila Kay..” Keluhnya, lalu tak sadar air mata kesal yang terpendam itu jatuh lagi. Diiringi isak tangisnya yang terdengar begitu menyedihkan dan tanpa arah di penghujung malam.

Miris.

Sekali lagi, ia hanya rindu gadisnya. Ia rindu bagaimana cara gadis itu mengelus dan memeluknya kala ia sedih. Lelaki itu merasa sudah hilang tujuan dan hampir menyerah.

Suara rengekan Gia yang hampir membangunkan adik kembarnya bahkan terdengar begitu samar di telinga.

“Kay.. Aku susulin kamu ya?”

“Sakaaaaa!! BEGO IH TOLOL LARINYA GAK DILIAT-LIAT.”

Suara itu, suara gadisnya yang berputar. Entah dalam otak atau memang ia sedang berada disini.

“Iya tau kalo kangeen tapi gak usah lari-lari dari gerbang utama kesini lah. Kayak orang India lagi fallin love tau gak?!”

Sial. Saka meremat spreinya kasar ketika suara itu hadir lagi.

“Sini-sini. Kamu mau masuk dulu minta makan di dalem apa mau makan di luar aja? Aku kepengen makan bakso. Terakhir makan bakso udah sebulan lalu.”

“Itu loh Saaaakkk. Bakso yang tahunya dipotongin kecil-kecil terus daun seledrinya banyak.”

“Ih manjaaaa, kalo lagi rewel ngalah-ngalahin Giana ya kamu.”

Dalam pikirannya, ia bisa melihat gadis itu mengacak rambutnya, lalu menarik jemarinya agar berpindah menuju parkiran depan gedung utama GNC.

Bahkan semuanya berlalu begitu cepat, otaknya memutar jauh ke moment ketika mereka baru pertama kali pacaran.

Di rumah Derry. Saka ingat betul setiap percakapan dan kejadian yang terjadi, dan itu semua berputar layaknya rentetan televisi rusak di dalam tabung.

Saka mengerang. Lalu melangkah terseok keluar kamar agar suaranya tidak membangunkan ketiga anaknya yang masih saja terlelap. Seperti tanpa beban.

“Kay, please, come home. Aku stress banget. Tiap hari kamu muncul, tapi gak bisa aku pegang. Gak bisa aku peluk. Gak bisa aku ajak ngobrol. Aku beneran bisa gila Kay.”

“Aku gak ada pegangan lagi, aku gak punya kamu.” Lirihnya frustasi, lalu berlutut di hadapan sofa seraya menelungkupkan wajah di atas sana.

Bisa ia rasakan keadaan sekitarnya sepi, seakan tidak ada yang peduli akan rasa kehilangannya yang tak kunjung hilang dari hari ke hari.

“Aku mau nangis lagi. Kamu.. kamu mau peluk aku malem ini gak Kay?” Lelaki itu berucap serak, lalu memejamkan mata. Berusaha menetralkan nafasnya sebelum akhirnya ia tertidur sambil duduk di atas karpet ruang tengah.

Angin perlahan berhembus.

Bukan. Bukan angin dingin yang tidak enak dirasa, namun angin hangat yang seakan datang entah darimana menyelimuti tubuh.

Lelaki itu mulai masuk ke dalam mimpi. Membiarkan dunia halusinasi yang mungkin tercipta akibat rasa frustasinya atau memang itu pesan dari gadisnya yang baru bisa masuk saat ini.

“Nah kaaaaannnn.. Jatuh. Gia sini nak, gendong mama aja jangan main jalan-jalan sendiri kamu masih belom bisa jalan 3 langkah.. KAAANN...” Kayna berlari, lalu berlutut di hadapan putri kecil yang rambutnya coklat bermata lentik itu sambil dengan cekatan menggendongnya.

“Gak papa. Gak sakit. Sini mama liat.” Gadis itu menunduk mengawasi kaki Gia yang untung-untung saja memang tidak kenapa-kenapa.

Ya maklum sih, anak kecil kan suka cari perhatian.

Gak berdarah dan sakitpun, ia masih menangis.

Saka terkekeh dari posisinya, lalu memutuskan untuk berjalan menghampiri 2 perempuan favoritnya itu seraya menyampirkan selendang di pundak.

“Sini sini, Gia sama papa aja. Kasian mama dari tadi habis repot benerin genteng.”

“Hah? Genteng siapa?”

Saka mengedik. “Asal ngomong aja sih.” Kekehnya, disambut dengan tempilingan ringan khas Kayna yang mendarat di kepala.

“Sakit Kay..”

“Masaaaaaaaa..”

“Iyalah ini liat.” Saka mengadu sambil menundukkan kepala.

“Aduh kasian bangeeeet. Sini-sini, diapain deh biar gak sakit lagi?”

Lah Kayna malah ikutan drama.

“Cium boleh gak?”

Kayna melotot. “Ada Giaaaaa, gak boleh.”

Saka cemberut. Lalu berjalan meninggalkan Kayna di teras depan.

“Saaaaaaaakkkk. Kok ngambek.” Gadis itu tertawa sambil berlari menyusul langkah besar Saka yang kini mulai masuk di dalam ruang tamu.

“Kamu gak mau ngobatin jidatku kok.”

Kayna menghela nafas, lalu akhirnya menutup mata Gia sebentar dengan telapak tangan dan mulai mengecup kening Saka berulang kali.

“Tuh sembuh.” Kekehnya pelan, menarik telapak tangan dari mata Giana.

“Mana masih beloom.”

“Sakit dimana lagii sih hahahahaha.”

Saka menaikkan sebelah alisnya, “banyak, di sini, sini, sini, sini.. Semuanya sakit.” Lelaki itu berucap sembari menunjuk pipi, bibir, pundak, dan YA SEMUANYA DITUNJUK SIH, asal aja. Dasar Saka.

Kayna tertawa. Lalu menggelengkan kepala, dan melangkah menuju dapur meninggalkan Saka sendiri di ruang tamu. “Aku mau bikin susu, bentar.”

“Ikut Kaaaaay.”

“Bikin susu doaaang ya Tuhan.”

“Ikutttt.”

“Kamu lagi PMS? Kenapa manja banget hari ini?”

“Aku mau ikut kamu kemana aja. Asal sama kamu.”

“APASIH OMONGANNYA KAYAK BARU PACARAN.” Kayna geli. Gadis itu memang gak bisa romantis. Padahal ia juga sama cintanya setengah mati.

“Ikut yaaaa. Liat, Gia mau ikut. Ya kan? Gia mau ikut mama bikin susu kan?”

Anak kecil itu diam saja. Masih tidak paham omongan orang dewasa. Maklum sih, masih satu tahun kurang.

“Apaan orang Gia males pengen goler-goler di kasur. Ya kan sayang?”

“Iya sayang.”

“KAN TADI NGAJAK NGOBROL GIA.”

“Ya aku yang balesin sama aja kan.”

Kayna menyerah, lalu memutar bola matanya. Antara gemas dan greget. Saka hari ini benar-benar rewel sekali.

“Ayo katanya kita mau bikin susuuu.”

“Ya ayoo kita jalan ke dapur lah ya masa mau bikin susu disini? SAKAAAAA JANGAN CIUM-CIUM.”

“Apaaaa?”

“ADA GIA. GIA MASIH KECIL.”

“Ya ditutup matanya.”

Kayna mencubit pinggir perut Saka lumayan kencang akibat salah tingkah, lalu benar-benar berlari meninggalkan Saka di ruang tamu sendirian.

“Tuh kan Gia, liat deh. Papa mesti ditinggal-tinggal sama mamamu.”

“SAKA AKU DENGERRRR.”

“HAHAHAHA IYA SAYANG, BERCANDA.”