JALAN-JALAN MALAM, 18.30
“Rain.” Lelaki itu memanggil, menarik hoodie salem pacarnya yang kebesaran itu agar berjalan lebih dekat dengannya.
Keduanya kini tengah berjalan di gelapnya malam, di pinggir jalan perumahan Rain, ditemani oleh sorot cahaya dari lampu-lampu penerangan trotoar yang berjarak 6 meter tiap tiangnya.
Sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang mau berjalan di perumahan besar ini, sisanya tentu tidak ingin berjalan ditengah udara dingin seperti Jave dan Rain.
Rain hanya mendengus, kekesalannya akibat teman sekelas dan kapten dance itu masih hinggap dan rasa-rasanya makin membuat Rain kian hening saja malam ini.
Jave masih belum menyerah, dari tadi cowok itu berusaha mengajak bicara dan menarik-narik pergelangan tangan Rain yang kali ini melemas tidak peduli. Jika ditarik mendekat, Rain memang mendekat, tapi beberapa detik kemudian kakinya berjalan menjauh lagi.
“Aku ada salah ya?” Lelaki itu bertanya, nadanya lucu sekali. Ia menarik sekali lagi gadisnya yang terus berjalan ke kiri, menjauhi dirinya.
Kali ini bahkan Jave tidak hanya menarik pergelangan tangan, lelaki itu dengan sigap merangkul pundak Rain agar gadis itu tidak kemana-mana lagi.
“Enggak. Kan udah dibilang kamu gak salah.” Rain menjawab. Memainkan tali topi hoodienya yang tadi sudah ditutupkan ke kepala oleh Jave yang tangannya tidak bisa diam.
Jave mengangguk. “Terus kenapa? Kamu kan biasanya mager, kok mendadak pengen jalan?”
“Enak aja kena angin.”
“Tapi kamu pake hoodie sekarang?” Jave menggoda, menunjuk hoodie Rain yang benar-benar menutupi separuh lebih tubuhnya.
“Ya kamu mau aku lepas hoodie ini sekarang kah?” Rain mendongak, menatap dengan raut kesal yang jatuhnya malah jadi lucu sekali.
Merasa gemas Jave hanya semakin merapatkan rangkulannya. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa jantungnya meledak sekali saat ini.
Rain lanjut berjalan saja menyadari Jave semakin mepet dengan tubuhnya. Kali ini rasa kesalnya melebihi rasa baper, jadi dia tampak kebal di apa-apakan Jave saat ini.
“Ngomong ke aku gak papa Rain kalo kamu kesel. Biar aku tau kamu kenapa gitu, kalo bisa biar aku senggol sekalian.”
Huh. Rain makin mendengus mendengar ucapan Jave. Gadis itu lantas menoleh ke kanan, ke arah jalan besar yang kini nampak mobil berlalu-lalang. Makin mendengus lagi ketika tau bahwa pemilik mobil atau penumpangnya mengawasi Jave bak mangsa siap diburu.
“Males. Males banget orang-orang ngeselin pengen aku usel-usel yang kayak diremet itu kamu ngerti gak kak yang kayak pas kamu emosi terus pengen ngeremes kertas terus disobek-sobek.. lagian maksudku juga ini semua salahmu tapi juga bukan salahmu, kamu tau temenku tiap hari bahas aku pacaran sama kamu ini itu, ya aku gak masalah sih cuma kalo keseringan dibilang ih keren banget rain pacaran sama kak jave, kadang malah ditanya pake pelet apaan, itu kan feelnya kayak aku emang gak pantes pacaran gitu, terus yang kedua itu yang paling bikin aku males.. kamu tau...!!” Ucapan Rain mengambang, sengaja saja dipotong karena ia tidak ingin membahas yang satu itu dengan Jave.
“Kamu tau..? Kamu tau apa, sayang? Lanjutin gih.”
“Males.”
Jave menghela napas. Mengerti sedikit alasan Rain mendadak kesal hari ini. Lelaki itu lantas merogoh saku hoodienya, meraih satu permen stroberi dari dalam sana.
“Nih..” Ucapnya, memberikan.
Rain mendongak, belum menerima permen tersebut dari tangan Jave.
“Kamu gak mau? Tumben?” Jave menunduk, memperhatikan mata Rain yang masih saja melihatnya tidak berkedip.
“Apa? Ada apa di mukaku?” Lelaki itu mendadak grogi sendiri.
Rain menggeleng. Menerima permen yang masih terulur dari tangan Jave. “Kamu gak bawa yang rasa melon?”
Jave menggeleng. “Ini di mukaku bener gak ada apa-apa?”
“Gak ada.”
“Terus kamu ngapain liatin aku lama?”
“Emang aku gak boleh ngeliatin kamu?”
“Enggak, maksudku kamu tumben liatnya lama terus gak bersuara.”
“Kamu cakep.”
Sial. Jave tersedak angin seketika. Lelaki itu sampai melepas rangkulan akibat terlalu kaget. Pasalnya Rain memang jarang sekali berucap blak-blakan pada Jave seperti ini.
“Maaf. Tapi emang itu jujur.” Rain jadi salah tingkah juga pada akhirnya. Gadis itu berjalan agak cepat demi menyejajari langkah Jave di depannya.
“Kak maaf keselek.” Gadis itu berucap, menggoyang lengan Jave yang masih tidak mau melihat ke arahnya.
“Kak Javeeeeeee. Maafin aku bikin keselek.”
“Hm.”
“Kamu jangan ikut cuek ya hari ini cukup aku yang marah-marah gara-gara omongan temanmu yang menyakiti aku. Kamu tau itu tadi level kekeselanku udah sampe level dewa perhutanan dan pertambangan yaaaaaaaa. KAK JAVE KAMU GAK DENGERIN AKUUUUUUUU.”
“Sssst iya sayang ini dari tadi dengerin sumpah. Temenku siapa emang? Sini aku hajar.” Jave reflek menutup mulut Rain yang baru saja meledak untuk pertama kalinya.
Tidak terlalu keras sebenarnya, tapi ini malam hari. Meski sebelah kiri mereka hanya pemandangan kosong dan kanan mereka hanya jalan besar, tetap saja, ini sudah gelap.
“Emangnya kamu mau menghajar kaum hawa?”
“Lah perempuan? Siapa temenku perempuan yang gangguin kamu sampe murka?”
“Gak tau.” Ucapnya, sedikit mengerut alis.
“Siapa kasih tau aku..”
“Rahasia negara top secret paling nomer satu jadi kamu tidak diijinkan untuk tau.”
“Ya udah gak usah dikasih tau siapanya, dia ngapain kamu?”
Rain menarik lepas topi hoodie dan mengeluarkan rambut panjangnya. Wangi stroberi langsung menguar dan menusuk hidung Jave yang memang cukup sensitif dengan bau-bauan.
“Ya gitu, dia ngajak aku ngomong. Awalnya baik, sampe akhir baik sih, tapi ngeselin. Gak tau aku gak mau cerita ke kamu konteksnya apa soalnya disini dia lagi curhat ke aku. Tapi tetep aja aku keseeeeeeeeeeeellllllllllll soalnya ini fakta emang dia bikin aku keselllllllll.”
Jave tidak konsentrasi, pikirannya terbelah karena ingin sekali menarik Rain dan mengendus rambutnya. Aroma wangi gadis itu benar memabukkan.
“Kakkkk aku ini lagi ceritaa!!!!!”
“Iyaa.. iya aku dengerin kok.”
“Apa coba?”
“Temenku yang kaum hawa tadi curhat ke kamu. Bikin kesel. Ya kan?”
“Huh.” Rain berjalan cepat meninggalkan lelaki itu yang masih linglung hanya gara-gara aroma shampoo.
Dengan cepat lelaki itu mengejar, menyuruh gadisnya berhenti.
“Apa? Kamu mau melakukan apaa?” Rain jadi grogi karena Jave yang baru mendapatkan tangannya itu hanya diam memandangi sembari memegang pundaknya.
“Gak ngapa-ngapain. Cuma mau ini aja...” Lelaki itu berucap, maju selangkah, menarik punggung Rain mendekat ke arahnya.
Tangan Jave itu bergerak, menarik helai rambut Rain dan menjadikannya satu, lantas memasukkannya perlahan ke dalam hoodie seperti semula. Ditutupnya topi hoodie Rain, lalu ia rapatkan.
“Apaaaa? Aku kepanasan habis jalan kenapa kamu tali lagi heeeeeeeeei ini kerapetan kamu mau bunuh aku kah?”
Jave menggeleng, menyatukan dahinya dengan dahi Rain akibat gemas karena tidak bisa berbuat apapun. Dan sialnya, jantung Jave makin meledak saja gara-gara dahinya yang saling menempel dekat seperti itu. Meski cuma satu detik.
“Kak kamu tau...”
“Hm?”
“Aku kira kamu mau cium aku.”
Jave melotot kaget. “Rain hhhhhh astaga stop gemesin atau aku cium beneran kamu.”
Gadis itu ikut kaget. Menggampar Jave, lalu berjalan menjauh mendahului.
Yang jelas, kekesalannya tadi sudah meluap sempurna sekarang. Ia siap makan martabak dan membelikan mama terang bulan di depan sana dengan hati ringan. Berkat Jave, tentu saja.