Kafe N 8 Malam.
Rain benar tidak sanggup menahan air matanya sendiri, ia menunduk dalam-dalam di atas meja. Bahunya terguncang. Tadi ketika berangkat ia memang betul ingin menyendiri, tapi sekarang ia menyesal. Ia ingin ditemani, atau minimal, ingin pulang dan menangis di dalam kamar saja.
Beberapa pengunjung ingin mendekat, namun karena tidak saling mengenal, lantas batal dan berjalan menjauh. Tidak ingin mengganggu.
Beberapa menit menangis hingga hidungnya tersumpal, ia akhirnya mengangkat pandang. Ingin membayar roti dan susunya agar bisa segera pulang ke rumah sampai ia melihat sosok tak asing berada di depannya.
“Udah kalo nangis?”
Rain mengerjap, itu suara Kalandra. Cowok itu duduk di kursi kosong hadapannya seraya menyodorkan tisu mendekat. Entah sudah sejak kapan ia duduk disitu karena Rain hanya fokus menunduk sejak tadi.
Gadis itu menggeleng, ingin menangis lagi namun batal. Gantinya ia menyeka hidungnya yang tersumpat itu dan menetralkan napasnya sebentar.
“Kok tau gue disini kak?”
“Lewat aja, kebetulan.”
“Oh.”
“Kesini naik apa?”
“Motor.”
“Sendiri?”
“Ya sama siapa lagi?”
Kalandra mengangguk, ia lantas bangkit berdiri. “Ayo balik, gue anterin.”
“Maksudnya?”
“Ya gue anter, gue setirin.”
“Lo kesini bawa kendaraan apa?”
“Gampang lah ntar bisa diurus.” Kalandra menjawab, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket denim yang ia kenakan. “Ayo buruan. Gak enak ini vibesnya kayak gue abis nyiksa lo.”
Rain menoleh ke kanan kiri, beberapa pengunjung memang menatapnya. Baiklah, ia akan menurut dan pulang dengan Kalandra.
“Mata sama idung lo merah banget, nanti mama kalo nanya bilang aja lagi kelilipan aspal terus bablas kena bulu ayam pinggir jalan.”
Tak disangka, Rain menyunggingkan senyumnya pelan.