kayna-marco's core.

lowercase.


halo, namaku kayna. kayna sherin calandra, panjangnya. eh, lengkapnya! kalo panjang sih jadi kaynaaaaaaaaaa gitu ya. DUH! aku digetok renan!

omong-omong renan ini bukan cowokku, kami hanya berteman saja. hm, lebih kayak saudara cowok sih ya sekarang. saking dekatnya! sebenernya aku punya sendiri temen cowok yang paling deket dan gak bisa digantiin sama siapapun. namanya marco. heem, marco alexander. udah kayak pembalap ya namanya? yah.. gak salah, anak itu juga sekarang lagi bergelut di dunia pembalap memang.

nah, baru aja aku bahas marco dalam otak, cowok itu sudah berlari-lari dengan langkah lebar menembus mbak-mbak dan mas pekerja yang lagi mondar-mandir membawa kardus besar berisi kain-kain dan benang dekat gudang besar.

biasa..

“kay! nunut nugas dong.”

nah, kehidupan dia memang rusuh. mana bisa fokus ngerjain tugas sih, kalau ada di tempat seramai ini? para pekerja juga bukannya semua bisu, semua bahkan bisa bicara dan kaki serta tangannya gak lumpuh.

aku hanya mengernyit, memukul tengkoraknya sebentar sebagai bentuk sapaan normal ala kami, lantas menarik poninya pelan agar mengikutiku pergi ke kantin.

perlu digaris bawahi bahwa marco memang sangat sering datang ke pabrik tempatku bekerja, tentu kehadirannya membuatku senang ditengah suntuk, tapi kadang juga membuat darah mendidih karena faktanya marco memang brengsek. cowok itu tidak segan-segan untuk membabuku setiap detik. menyuruhku ini itu sampai aku kerap ditertawakan oleh mbak-mbak jahit yang memang sama-sama mengenal marco begitu dekatnya. bahkan seluruh penjuru pabrik ini memang bersahabat dengan marco!

dimana ada marco, disitu pasti ada kayna.

omongan kayak gitu udah sering aku dengar sejak sd. pasalnya aku dan marco memang bertetangga dan satu sekolah sejak masuk sekolah dasar. dan memang juga, dimana ada aku, di sebelahku pasti ada marco. tak pelak banyak pula yang mengira kami pacaran. padahal mah.. ih, boro-boro! kami kan saat itu masih kecil!

persahabatan kami yang dilandasi oleh keinginan saling babu itu terus berjalan diiringi pergantian matahari dan bulan. makin hari makin menempel bak kertas di lem alteko, benar, aku tidak menyangkal. dia memang suka menempeli aku dimana-mana, dan aku juga suka menempeli dia kemana-mana. berangkat bersama, makan bersama, kerja kelompok bersama, pulang bersama. tidak ada bosannya!

tapi sekali lagi, hubungan ini hanya sekedar itu, kami tidak saling menaruh rasa cinta. kami hanya menyayangi satu sama lain, melindungi bak seorang kakak melindungi adiknya, dan hal-hal serupa lainnya.

makin dalam pula persahabatan kami ketika keluarga marco mulai terlihat tidak harmonis, hampir setiap hari mama menyuruh cowok itu untuk makan dan tidur di rumah karena kerap ditinggal sendirian.

sejujurnya aku geram pada dunia yang tega memperlakukan sosok baik marco seperti itu, tapi, apa yang bisa aku lakukan untuk ikut campur?

apa yang aku makan hari itu sudah jelas akan dimakan marco juga. bahkan masakan mamaku yang rasanya lebih seperti masakan aneh yang gak ngalor gam ngidul, marco tetap tertawa sambil menemaniku menghabiskan. cowok itu selalu menjaga aku dan dua adikku layaknya saudara yang bisa diandalkan. adikku, gideon dan ciara, bahkan memanggilnya papi! BAYANGKAN, PAPI!

tak jarang pula jika kami keluar ke pasar membawa gideon dan ciara, dan dua adikku itu mulai merengek papi papi, orang akan melotot sangsi seakan mengatakan anak muda jaman sekarang makin aneh-aneh! bisa-bisanya umur segitu punya anak dua!!!

ckckckck..

hari berganti hari, tahun berganti tahun. hanya aku dan marco yang tidak berganti. bahkan ketika memasuki SMP dan marco mulai bergelut dengan band serta organisasi, dan aku yang bergelut dengan ekskul biologi serta fisika, cowok itu AKAN selalu menyempatkan diri untuk pulang bersama-sama. padahal, waktu pulang kami sangat berbeda. atau minimal jika tidak bisa pulang bersama, marco akan sempat mengantarkan bekal ke ruang ekskulku setidaknya agar perutku tidak meronta kelaparan, sekaligus berpamitan.

waktu SMA jarang ada perempuan atau lelaki lain yang berani mengusik kami karena mengira kami memang sedang pacaran dan kasmaran. padahal serius, aku dan marco tiap bertemu lebih banyak adu rambut! (baca: jambak-jambakan.) humor marco anjlok, begitu pula dengan humorku. yang beruntung adalah tingkat kewarasan marco jauh berada di atasku. ya, aku akui, aku lumayan gila. bisa dalam satu menit aku membenturkan kepala sambil merutuk ingin melepas otak selama 3x.

puncak sayangku pada marco adalah ketika papa meninggal, yang sialnya juga tepat dekat-dekat itu aku juga habis dicampakkan oleh lelaki super most wanted di sekolahku.

marco benar menemaniku setiap detik! garis bawahi.. SETIAP DETIK! aku berjalan kesana, dia menempel. aku jongkok di lantai, dia juga ikut. aku selonjor dekat pintu jenazah rumah sakit pun dia ikut selonjor. padahal aku tau marco sangat takut gelap (kondisi rumah sakit remang-remang) dan hal-hal berbau itu. tapi demi aku, setidaknya supaya aku tidak melakukan hal gila, dia mau ada membantu.

cowok itu bahkan menemaniku menangis di atas tanah kuburan selama 5 jam full! ia juga yang mau rutin membawaku ke makam meski akhir-akhir itu aku selalu sibuk mengurus pekerjaan.

marco adalah cowok pertama yang mau memelukku. cowok pertama yang menggandeng tanganku. cowok pertama yang berbagi tempat tidur denganku. cowok pertama yang mencium pucuk rambutku.. (oke, terlalu romantis. marco hanya mengendus pucuk kepalaku. tapi memang sempat nyaris mencium!) intinya, marco.. dia cowok pertama yang melakukan banyak hal denganku.

marco pula cowok yang bakal lari pertama jika aku jatuh kesakitan. cowok yang siap terjun payung ketika aku disudutkan oleh keluarga besarku sendiri. bahkan rela juga adu jotos dengan cowok yang bikin aku patah hati.

lebay banget memang, tapi jujur, aku terharu. dan aku bersyukur. aku bersyukur karena Tuhan memberikanku sosok marco yang sangat berharga. sosok yang selalu membelaku habis-habisan bahkan meski itu salahku sendiri sekalipun. (ya, meski habis membela dia bakal ngomel sambil maki-maki aku juga, sih.)

marco selalu ada. dimanapun kapanpun aku membutuhkannya. setidaknya jika ia tidak ada depan mukaku, ia akan selalu menyempatkan telpon atau berkirim pesan. dan menurutku, itu sudah sangat cukup. bahkan pacar-pacar terbaik di seluruh duniapun akan kalah dengan effort yang marco berikan padaku. padahal, aku hanya sahabat terdekatnya saja.

membahas perempuan, cowok itu sebenarnya menjulang tinggi sekali popularitasnya. marco ganteng, rambutnya meski agak keriting sedikit tetap terasa halus (sebab dia mencuri shampoo dan perawatan rambutku yang lain), belum lagi marco adalah pembalap yang sering kali menang di arena dan kemampuan gitar serta otaknya yang super encer itu membuat siapapun perempuan pasti menyukainya. dan betul juga.. marco sangat menghargai tiap manusia, cowok itu begitu ramah pada semua orang termasuk bapak becak yang mangkal di pertigaan pasar.

tapi, mereka bisa apa?

marco sudah ditetapkan menjadi kepunyaanku. padahal, aku sama sekali tidak berat hati jika... eh, iya kah? entahlah, tapi rasanya memang aku kadang merasa egois karena terus tempel-tempel dengannya. tidak seharusnya dia membuang masa mencari pacar itu dengan terus dekat denganku.

dan ya... meski begitu jangan salah, aku juga tau bahwa aku adalah cewek pertama versi marco yang pasti bakal dia ceritakan pada seseorang juga suatu hari nanti.

namun,

kapan?

nyatanya hari itu tidak pernah datang.

karena belum sempat semua terurai jelas, cowok itu malah meninggalkanku. SECARA KEJI DAN BRENGSEKNYA! bahkan aku tidak pernah tau ada dimana dia sekarang.

aku sudah seperti orang gila. oh ralat, memang sudah gila! banyak temanku menyarankan psikolog-psikolog ternama untuk mengobati kegilaanku akibat ditinggal pergi marco secara dadakan.

ya, marco itu. marco-ku.. sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali lagi. kecuali aku menyusulnya pergi.. untuk mati.

mati.

mati..

mati...

aku mau mati.

aku mau bertemu cowok itu sekali lagi bahkan meski jika untuk kali terakhir hanya untuk menamparnya.

menamparnya karena meninggalkan aku yang menangis sampai tertidur di sofa rumahnya sampai sesak napas.

menamparnya karena meninggalkan aku bangun dengan keadaan mata sembab dan melihat kekosongan tiap sudut dan celah rumahnya sampai berakhir menangis kembali.

menamparnya karena melarangku melepas kepergiannya di bandara dan tidak mengijinkanku memeluknya di kala terakhir kepergiannya.

aku ingin meluap. namun rasanya air mata frustasi saja tidak cukup untuk sekedar membuat diriku meledak.

aku ingin meraung. namun sekali lagi, raunganku juga tidak terasa cukup untuk sekedar melepas ikatan beban yang tertali rapat di jantung ini.

aku sedih. terlampau sedih.

bahkan musim hujan yang melanda kala itu tampak sangat paham dengan perasaanku karena mereka terus datang berjatuhan menemaniku menangis. gelegar guntur yang bersahut-sahutan juga seakan mau membantuku meredam teriakan yang terus saja aku lepaskan tak peduli waktu.

bagaimana aku tidak betul gila?

aku kehilangan teman, saudara, sahabat, soulmate dan apalah sebutan lainnya lagi yang cocok dengan sosok marco. aku merasa sangat sangat kehilangan.

terutama yang pasti, aku kehilangan sebuah rumah dengan pondasi kuat. sebuah rumah yang selalu aku cari dan singgahi dengan nyaman sebanyak sekian puluh ribu hari. aku kehilangan marco, tanpa jejak, tanpa ada tempat untuk sekedar mampir kembali esok hari.

dan ya.. tak pelak, aku kehilangan diriku sendiri.

aku mendapati diriku selalu tenggelam. kali ini betul tenggelam dalam kolam renang. dan memang sengaja.

sudah kubilang, aku ingin mati! namun rupanya Tuhan tidak ingin menerimaku lebih awal karena selalu ada yang menarikku keluar. entah itu mama yang sudah mulai hilang akal melihatku menjadi gadis sinting, atau teman-temanku yang lain. jangan salah, aku juga sering melihat mereka menangis untukku. mereka menangis sebab melihatku berubah kian jauh.

aku sudah tidak tergapai lagi.

perusahaan papaku yang aku pegang bahkan nyaris jatuh lagi jika tidak ditangani oleh renan dan beberapa staff yang lain dengan cepat dan akurat. sebab aku sering tidak hadir dan hanya masuk ke bawah kolong kasur dengan lampu kamar mati total.

sebegitu sedihnya, sebegitu gilanya, sebegitu tidak ikhlasnya..

aku, kayna..

aku merasa sudah tidak bernyawa sejak berita itu dikumandangkan kuat dari speaker televisi nasional.

oh ralat, aku sudah merasa tidak bernyawa sejak marco berpamitan padaku malam itu. malam terkutuk ketika aku berulang tahun di bulan desember!

akhir desember yang selalu berakhir pilu setiap tahunnya. padahal, itu adalah bulan favoritku. bulan ketika aku lahir, bulan ketika aku pertama kali berkenalan dengan marco..

bahkan ketika aku bernapas, oksigen bukannya memberikan kehidupan padaku, namun sebaliknya, oksigen itu membunuhku. ia terasa begitu menusuk dan paru-paruku seakan terikat ribuan tali tampar kuat yang susah diuraikan.

aku gila. aku sinting. aku hilang akal. tapi ternyata Tuhan memang benar baik, aku disembuhkan! beberapa minggu terlewati dengan ketenangan tidak masuk akal dari aku yang biasanya selalu berisik menangis.

bahkan beberapa dari mereka berpikir bahwa inilah titik kegilaanku yang sesungguhnya. diam, melamun, kadang juga tertawa. sebab katanya lagi, mungkin sarafku ada yang patah. aku sudah mirip orang gila yang berjalan asal di pinggir jalan. bedanya, aku masih terurus. tapi tetap saja, aku sudah dicap gila. kadang aku tetap diam tanpa ekspresi seharian, sisanya lanjut tertawa lagi.. padahal aku hanya mengenang sisa komedi yang menurutku tak pantas aku dapatkan setelah beratnya hidup bertahun-tahun.

namun kewarasanku itu tidak berangsur lama rupanya, sebab, mama marco yang sudah lama tak menempati rumah di depan rumahku itu memutuskan untuk menjual rumah beserta isinya. ia bercerita pada mamaku ketika mampir.

wanita itu tidak memperdulikan bahwa rumah tersebut masih menyisakan banyak hal tentang anaknya yang sudah tiada, tidak memperdulikan rumah itu adalah tempat berlindung anaknya dulu ketika ia minggat lupa jalan pulang.

aku masih ingat bagaimana teriakan kencangku itu mendadak menggema setelah dua minggu terlewati dengan damai. aku menolak pernyataan tersebut sambil sujud di lantai memeluk kaki mama marco.

padahal itu bukan rumahku..

aku mau membelinya, namun aku belum sekaya itu. sebab aku masih termasuk bangkrut kala itu semua terjadi.

aku masih bisa melihat memori diriku sendiri yang tiap hari tidur di lantai rumah marco sambil berharap rumah itu tidak laku. entah, sepertinya waktu itu aku berharap ditelan oleh lantai. tentu saja sambil menangis kencang. yang sialnya, tak ada lelahnya.

aku tidak bohong, bahkan ketika papaku meninggal waktu itu aku tidak sedih berlarut panjang sebab masih ada marco yang mendorongku dari bawah. namun, ketika marco pergi? siapa yang akan mampu mendorongku dengan kuat?

tidak ada.

tidak ada yang bisa.

bahkan jika itu mama, atau pacarku sekalipun.

aku membiarkan diriku berlarut dalam sedih dari bulan ke bulan, bahkan memarahi pula penghuni baru rumah depan seperti orang kerasukan. ya, rumah itu akhirnya laku setelah harga diturunkan sedikit. sempat pula aku hampir membanting cat dinding dan sebagainya sebab mereka menyatakan ingin merombak desain rumah tersebut. rumah marco..

tetangga sudah maklum dengan sikapku yang baru tersebut, sebab mama bercerita aku memang masih terpukul dan tidak bisa terima kenyataan meski sudah sejauh ini. namun, para tetangga sendiri memang sudah maklum bahkan tanpa mamaku memberi tau mereka. sebab di mata mereka, aku dan marco memang satu kesatuan utuh. mereka bisa merasakan kesedihanku.

tapi, apa gunanya?

aku merasa hanya aku yang kehilangan.

aku merasa hanya aku yang bersedih dan tidak terima.

aku merasa kematian marco tidak diperlukan dalam skenario. atau memang, Tuhan begitu menyayanginya? lalu, apakah Tuhan juga tidak tau bahwa aku juga menyayangi marco begitu hebatnya?

dibalik setiap suruhan yang terucap terselip rasa bahagia karna bisa saling membantu. dibalik setiap amukan terselip rasa sayang agar tidak mengulang kesalahan yang sama. dibalik setiap penghiburan yang datang bersama pelukan hangat pula, terselip rasa cinta yang samar dan tak kami sadari.

marco..

cowok itu begitu berarti bagiku. bahkan ketika aku sudah menikah sekalipun, aku tidak pernah lupa berkunjung ke pantai untuk sekedar melepas surat-surat panjang berisi doa dan tetesan besar air mataku yang herannya tak kunjung habis dimakan tahun.

DUH! aku meringis. kepalaku digetok renan!

aku mengerjap, menoleh kanan kiri.

aku tidak di pabrik! tidak ada mbak-mbak dan mas-mas mengangkat kardus.

aku bangkit berdiri, memutar.

tidak ada marco.

hanya ada rendy membawa setumpuk kertas desain.

“jangan dibiasain ngelamun, dodol. suami lo tuh, ampirin di depan!”

ah.. saka.

iya, benar. itu nama suamiku.

dan benar juga, aku lagi-lagi melamun.

tidak ada aku yang memukul tengkorak marco. tidak ada aku yang menarik poninya. tidak ada marco yang mau mengerjakan tugas seperti tahun-tahun sebelumnya.

sebab, aku gila. aku masih gila. setidaknya, aku tau, bahwa waktu tidak benar-benar berjalan untukku.

bagiku, waktu berhenti di tahun itu. tahun ketika marco memasangkan kalung bintang yang selalu kukenakan setiap hari.

bagiku, itu adalah hari terakhir aku bisa benar-benar merasa hidup.

sebab kini, aku meralat segala ucapanku.

aku tidak gila. tidak benar-benar gila. hanya saja, aku mati.

ya, jiwaku sudah mati.