Kind of Complete Night.


“TIUP DULU LILINNYA RAIN.” Lea, yang suaranya sejak dulu tidak pernah mengecil itu berteriak, membawa kue tart besar yang dipesan Jave jauh-jauh hari itu mendekat.

Tidak. Rain masih bingung. Ia ingin mengeluarkan beberapa kata untuk membalas ataupun bertanya, namun bibirnya terkunci. Terkatup mulus.

Gadis itu menoleh kanan kiri. Mendapati mama, om Janu, Gio, teman-teman basket Jave masa SMA, Lea, Jinan dan Karel berdiri dengan wajah sumringah di sekelilingnya. Mengucapinya selamat ulang tahun.

Benarkah ia memang berulang tahun hari ini? Rain mengerjap, berusaha mengingat tanggal. Dan ya, hari ini memang betul tanggal kelahirannya. Mungkin ia tak sengaja melupakan hari penting ini karena pikirannya kelewat kalang kabut. Kacau sekali.

Jave masih memeluknya, mengelus rambut panjangnya berulang kali untuk menyadarkan Rain dari lamunan.

Satu menit, dua menit.. Rain masih speechless. Gantinya ia mendongak, mengerut alisnya jengkel tanda permusuhan. Gadis itu lantas mendorong bahu Jave menjauh, melotot kesal dengan mata yang masih menyisakan merah.

Jave mengedik pundak, merasa bersalah. Namun seperti tak ingin berdebat di hadapan orang lain, Rain segera berbalik badan menghadap teman-temannya dan menerima kue tersebut dengan air mata yang ia tahan. Dalam hati, ia sungguh terharu. Meski kesal setengah mati, ia tetap merasa dicintai oleh teman-teman dan keluarganya. Pun oleh Jave sendiri.

Gadis itu menutup mata, menyebut beberapa permintaan. Lantas ketika selesai segera meniup kue bernuansa biru cerah itu, warna kesukaannya.

“Mama tau Rain mau diginiin?”

Mama Rain mengangguk, mengerling pada Gibran. Teman Jave satu itu dari dulu memang pandai sekali memikat hati semua orang. Bahkan mamanya yang keras dan galak itu bisa kalah dalam sekali bertemu.

“Jangan ngambek ke Jave loh Rain, ide Kalandra tuh kemaren.” Juna memberi tau, terkekeh singkat.

“Iya.”

“Iya iya doang, diliat tuh cowok lo Rain, melas.” Rendy menimpali. Menunjuk Jave yang masih terdiam di dekat mobil sambil menyender. Benar kata Rendy, wajah kekasihnya itu melas sekali.

Rain akhirnya membalik badan, menatap Jave. Pandangannya masih jengkel karena mengingat ia diperlakukan sedemikian rupa sejak seminggu terakhir. Belum lagi fakta ia sudah menangis akibat foto gadis yang ternyata hanya dicomot cuma-cuma dari aplikasi pinterest. Mengesalkan.

“Hehe.” Jave tertawa canggung ketika Rain tak kunjung mengajaknya berbicara. Jika posisinya sedang berdua, mungkin Jave sudah merajuk agar Rain tak menatapnya galak seperti ini.

“Kan tadi udah minta maaf Rain.” Lelaki itu memberanikan diri maju selangkah, menggaruk tengkuk.

“Iya.”

“Jangan didiemin terus akunya.” Jave berujar lagi, membiarkan yang lain terkekeh akibat Jave yang tidak berani maju lagi menghampiri Rain saat ini. Tatapan gadis itu masih benar memusuhinya.

“Akur Rain, please banget. Nyawa motor gue beneran ada di keputusan lo.” Kalandra berujar dengan nada memelas. Membuat Rain menoleh dan berdecak kencang. Sekarang ia tau kenapa Kalandra ada di kafe menghampirinya ketika menangis kemarin. Ia pasti diikuti sejak dari rumah.

“Ayolah Rain...”

Baiklah. Gadis itu hening sebentar, lalu mengangguk.

Lagi pula ia memang tidak marah. Ia hanya jengkel. Seminggu terakhir makan dan tidurnya jadi tidak teratur akibat banyak pikiran.

“NAH AKURRRRRRRR.. JAVENYA DIPELUK BOLEH GAK TANTE?”

“Lah anaknya tante Kiara si Rain kenapa lo malah minta ijin atas nama Jave?”

“YA INTINYA JAVE SAMA RAIN PELUKAN LO KENAPA BEGO DAH?”

Sial. Kiara hanya geleng-geleng kepala memperhatikan keributan ini, ia lantas mengangguk saja. Tak keberatan.

“Enak aja peluk-peluk. Yang begituan ntar aja pas lo berdua sendirian. Mentang-mentang gue jomblo dipanas-panasin mulu modal makanan berkuah aja.” Jinan yang sedari tadi lebih banyak diam itu berujar nyolot, menolak. Bercanda.

Sebagai gantinya lelaki itu maju mendekat, menyerahkan bingkisan kado. “Selamat nambah umur Rain, partner petinggi kelas gue jaman kelas sebelas.” Ia berujar, mengucap dengan sungguh-sungguh. Jinan, laki-laki yang dulunya suka sekali bergurau itu kini bisa serius akibat bertambah dewasa.

Rain mengangguk, berterima kasih. Ia menoleh sebentar ke arah Lea yang posisinya sedikit jauh dari ia berdiri itu dengan hening. Wajah temannya tampak senang, namun juga murung di saat bersamaan. Mungkin yang dijadikan lelucon kemarin hanya hubungannya dan Jave. Hubungan Jinan dan Lea benar sudah selesai.

“TELETIN KRIMNYA KE MUKA RAIN WOY.” Satu suara berteriak mengacau suasana. Membuat yang lain reflek menyerbu dan mengotori wajah Rain dengan krim kocok yang sebelumnya sudah disemprotkan ke tangan Kalandra terlebih dulu.

Kacau sudah. Mama dan om Janu memutuskan masuk rumah, sedangkan Gio.. Lihatlah, adik laki-lakinya itu malah paling semangat mencemongi pipi Rain. Membiarkan gadis itu pasrah diserang dari banyak sudut.

Jave menghela napas, niatnya untuk melamar Rain 2x gagal sudah. Gantinya ia melotot pada teman-temannya yang sudah asik sendiri itu. Lupa, mungkin. Padahal tadi di ruang obrolan sudah dibahas. Ya sudahlah, tak apa. Jave bisa melakukannya nanti, jika berdua dengan Rain.