malam pertama, berdua.


sesuai ucapan rain, rumah satu lantai yang terbilang sangat luas ini menjadi sepi secara mendadak akibat mama dan papa sudah pulang ke rumah masing-masing. terletak di dalam sebuah perumahan besar yang tetangganya sudah pasti jarang suka membaur, makin tambah sepi saja lah keadaannya.

rain terdiam, ia sudah berganti baju menjadi pakaian normal dan duduk di depan cermin rias dalam kamar. ingin menghapus make up sebelum mandi, namun pikirannya jadi kacau balau. entah, rasanya campur aduk antara senang dan sedih sekarang ini.

jave keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya yang dilap kasar, berjalan ke pinggiran kasur untuk duduk disana sebentar agar bisa mengeringkan rambut dengan santai.

keduanya diam, tak bersuara, yang satu sibuk melihat dan mengobservasi keadaan, yang satu sibuk menetralkan pikiran.

“rain.” jave memanggil, lembut sekali. bangkit berdiri dari duduknya sambil menarik sofa kecil dari kejauhan agar bisa pindah duduk di samping perempuannya.

“yaaaa...”

“mau aku bantuin hapus make up?” alih-alih mengajak bicara yang aneh-aneh dan dirasa bisa menjatuhkan mood, ia malah menawarkan jasa secara mendadak.

“memang bisa?”

jave mengangguk, “buat kamu gak ada yang gak bisa.”

“hahaha oke siap, ini kapas, ini cairan pembersihnya. ini mukaku. dah, sekarang bersihin.” rain menghadap ke kiri dan memajukan kursi mendekat.

jave terkekeh sebentar, menuang pembersih itu ke kapas kemudian menyapukannya perlahan ke kulit wajah rain. “ini bulu mata nyabutnya gimana?”

“gak tau, katanya kamu bisa.”

“eh..”

“hahahahahaha tarik aja kak tarik.”

“nanti bulu mata aslimu ikut kecabut gak?”

“ENGGAK LAH.” rain seketika nyolot, pikiran kacaunya bahkan sudah meluap 50 persen secara mendadak.

laki-laki itu menggaruk kening sebentar, tampak ragu. “beneran langsung cabut?”

“iya tarik aja dari pinggir ke ping.. HEI YA AMPUN KAK JAVE DARI PINGGIR!!!!!”

jave terkejut sampai badannya mundur beberapa puluh senti ke belakang, “astaga maaf maaf. kecabut betulan itu?”

rain menggeleng, “enggak, belum, tapi kalo kamu terusin kayaknya bisa bikin botak bulu mataku.”

jave tampak menarik napas, kembali fokus. “nih nih serius, dari pinggir ke pinggir bentar. DIEM DULU JANGAN GERAK-GERAK SAYANG.” jave mencekali kepala rain dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya lanjut melepas bulu mata palsu tersebut. modelnya sudah seperti dokter bedah hendak melakukan operasi penting.

sepi. jave masih berusaha mencabut hingga akhirnya..

“NAHHHHH LEPAS.” lelaki itu bersorak kegirangan sebab telah berhasil, membuat rain ikut tertawa dan kembali menghadap cermin untuk melepas yang satunya secara mandiri.

“loh kok dicabut sendiri sih aku mau lagi aku udah jago.”

“hahaha kamu lama, aku udah mau mandi cepet-cepet ini risih sekali.”

jave mendengus, menyerahkan cairan pembersih wajah itu ke tangan rain kembali dan mempersilakan gadis itu lanjut sendirian.

kini jave hanya bisa memperhatikan rain lebih lekat dan lebih intens dalam diam. karena.. siapa pula yang tidak akan menatap istri sahnya di hari pertama masuk kamar secara legal berduaan? pikirannya bahkan mulai berjalan ke utara dan ke selatan, mulai dari yang benar, hingga ke yang paling tidak benar. seperti.. tidur, mungkin?

“kamu kalo melototin aku sambil diem gitu aku curiga nanti kamu lupa cara berkedip.”

jave langsung mengerjap, terkejut sempurna. “ah males ah rain jelek.” ia lanjut mengomel, pipinya panas secara dadakan.

“aku? aku jelek?”

“AKU AKU, AKU JELEK.”

“ye apa sih orang nanya juga..”

“diem sana fokus katanya mau mandi.”

rain langsung mendengus, menurut, lanjut membersihkan wajah kembali dengan hening.

“omong-omong rain, kamu tadi, mau nangis, ya?” jave menembak tepat sasaran, namun nada suaranya ragu karena ia takut gadisnya betul menangis malam ini.

“hm?” beruntungnya rain tak fokus mendengar akibat tangannya sibuk menggosok wajah. “betulan tebel banget ini 5 kapas masih gak mau-mau ajaa...” ia malah lanjut mengomel, membuat jave menghembus napas lega dan batal bertanya ulang. membiarkan rain menyibukkan diri saja.

“kamu tadi bilang apa?”

“gak ada. fokus bersihin sana terus makan.”

“ck. sama aja makan makan terus, tau banget emang laper sih..”

“makan dulu terus mandi kalo gitu.”

“gakkkkkkk. lengket banget ini keinginanku sejak siang tau gak!!!”

“tidur?”

“MANDI KAKAKKKKKK.”

jave terkekeh, kini ia menarik salah satu botol kaca dari atas meja dan menyodorkannya ke kapas terdekat.

“yak, dengan kapas satu, gimana hari pertama kerja membersihkan wajah rain chandra?” jave sok mengintrogasi.

hening.

“lumayan menyenangkan. wajah rain mulus soalnya.” itu suara rain sendiri yang menjawab dan memuji.

“bagus. gaji besok kamu aku tambahin karna sudah jujur. oke?”

rain spontan tertawa melihat tingkah jave yang mendadak abnormal tersebut. geleng-geleng kepala sebentar sebelum akhirnya bangkit berdiri dan masuk ke toilet. ia akan mandi. meninggalkan jave yang masih fokus menatap hingga sosoknya hilang di balik pintu


genap 45 menit sibuk sendiri di toilet, rain akhirnya keluar juga. dengan rambut terbebat handuk putih besar dan baju tidur lengan pendek. ia kepanasan. padahal, ac sudah menyala sejak tadi.

jave tak nampak di dalam kamar, sepertinya menunggu di luar karena membiarkan rain menjaga privasi terlebih dulu.

hari pertama, tak perlu tergesah-gesah.

rain melepas handuk dan melebarkannya di jemuran kecil balkon kamar setelah merasa rambutnya tak akan meneteskan air kembali.

ia lantas melangkah masuk kamar dan meraih hair dryer dari dalam koper yang masih belum tertata. siap mengeringkan rambut.

demi mendengar mesin hair dryer yang lumayan ribut di tengah sepinya rumah, jave langsung masuk kembali ke dalam kamar setelah sebelumnya sudah mengetok terlebih dulu.

“mau masuk langsung masuk aja kenapa ketok-ketok seperti orang mau bertamu?”

“gak enak, nanti kamu pas gak siap malah aku yang dijambak.”

rain tertawa, lanjut mengeringkan rambut.

“di depan banyak makanan...” jave memberi informasi karena sudah mengecek secara detail selama rain membersihkan diri.

“hm.....”

“mau apa?”

“temenin aku boleh engga........”

“makan?”

“iya, makan, makan besar kalo bisa ini kerucukan banget kamu gak tau aku menderita sebulan lebih...”

“hahahahahahahaa salah sendiri? padahal aku udah bilang boleh pesen dress berapa nomer di atasnya kan?”

“ya nanti di foto jelek lah kakak!!!! orang nikah cuma sekali masa iya aku tidak berjuang..”

jave menyeringai, menarik vitamin-vitamin rambut rain dari atas meja dan mulai membantunya mengoles dan menyemprot satu persatu. sudah ahli, jadi aman. “sini aku bantu, biar cepet makan.”


jave dan rain yang akhir-akhir ini makan hanya sedikit-sedikit karena terpotong sibuk itu akhirnya makan juga, mereka makan tak banyak omong dan lanjut sikat gigi, berdua. memang pasangan suami istri model lem alteco, lepasnya susah.

“sekarang apa?” rain mendongak melihat jave yang tak kunjung keluar toilet padahal sudah selesai membersihkan diri.

“nungguin kamu?”

“lah aku selesai sebelum kamu kok?”

“iya juga.. ngapain aku gak keluar?”

“kamu sepertinya sudah lelah kak jave.” rain mendorong dada jave agar mundur menjauhi pintu. “minggir cepat aku mau skincare bentar.”

“perlu bantuan?”

“gak. kamu gak ahli.”

“ih ngeledek?”

“diem ah minggir sana tidur aja lihat deh matanya merahhh tau gak.. HEI YA AMPUN BENTAR AKU MAU SKINCAREEEEEEEE.” rain seketika kalap ketika jave menguyel-uyel wajahnya gemas. selalu saja jave membuat ulah akibat gemas-gemas sesuka hati.

“mau sambil dengerin lagu?”

“boleh???”

“boleh.”

“gak deh, udah malem.”

“lah apa sih gak papa setel aja kalo mau kali kamu bosen.”

rain menggeleng, duduk kembali di depan cermin, mulai melakukan rutinitas. “males. udah kamu sana tidur aja, kalo sakit capek loh.”

“KEBALIKKKKK.”

“HAHAHAHAHA DIEM KAK JAVE.”

jave ikut tertawa sebagai tanggapan, namun kini ia memilih untuk menurut dan merebahkan diri di kasur. dengan posisi tengkurap menghadap kaca demi melihat wajah rain yang sudah sering dilihatnya itu dalam tenang.

suara mesin ac menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan malam karena sekarang keduanya diam saja tanpa obrolan. rain yang sudah selesai melakukan perawatan wajah itu berjalan mendekat ke kasur dan tertawa sebentar tanpa suara.

lihatlah, laki-laki itu ketiduran dengan posisi yang sama sekali tidak enak. kepalanya bahkan jika sekali gerak bisa merosot ke bawah. tampak kelelahan memang.

“kak jave..” rain duduk di sebelah tubuh tengkurap jave sambil mengelus pucuk rambut laki-laki itu pelan. tak ingin mengagetkan.

“bangun bentar pindah tempat yuk? pake bantal dulu itu nanti lehernya sakit.” rain melanjutkan, suaranya yang kecil itu semakin kecil saja akibat tak ingin terlalu mengganggu.

jave masih memejamkan mata, membuat rain tersenyum tanpa alasan berarti. gadis itu lantas diam saja sambil tangannya terus mengelus rambut-rambut jave yang lembut tersebut dengan gerak halus.

pandangan matanya berputar, mengawasi kamar utama berukuran besar yang didominasi warna beige kalem itu sebentar, lalu mulai bergerak kembali ke arah barang-barang yang memang masih belum semuanya tertata. beberapa masih ada di koper, beberapa masih ada di box-box besar.

tak apa, besok-besok mereka akan menatanya.

rain menjatuhkan pandang lagi ke arah lelakinya yang masih memejam, tidak ngiler seperti yang pernah dibongkar papa jave beberapa tahun silam, malah sebaliknya, lelaki itu tampak damai saja. tenang, dan sangat tampan. tangan rain masih aktif membelai hingga ia mendadak berhenti, ingin bangkit berdiri untuk melihat-lihat barang di depan kamarnya karena ia yakin tak akan bisa tidur meski sudah lelah sekalipun.

baru saja ia bangkit, tangan jave sudah terangkat dan mencekali pergelangan tangannya. tidak erat, biasa saja. sepertinya lelaki itu terusik karena pergerakannya barusan.

“udah-udah, tidur lagi aja kak. pindah dulu gih ke bantalnya nanti aku nyusul.”

jave menggeleng, kini cekalannya berubah menjadi sedikit erat dari sebelumnya yang lemas. “mau kemana?” tanyanya serak.

“gak kemana-mana cuma ke depan kamar itu sebentar.” rain menjawab, duduk kembali. jave reflek bergeser mendekat dan memeluk perut rain, manja sekali, heran.

“haha astaga bukan bantal aku hei.”

“enakan deket disini dari pada bantal. berapa taun aku tidur bareng bantal kalo sama kamu kan belum pernah.”

“hih.” rain bergidik, membuat jave langsung terkekeh meski suaranya tetap serak dan berat.

“kamu gak ngantuk?”

“ngantuk, tapi bentar lagi aja gak papa.”

“sini tidur di bantalnya aja sini.” jave bangkit duduk, menata tumpukan bantal agar bisa beranjak tidur karena jam terus bergerak mendekati tengah malam.

“kamu mau tidurin aku?”

“emang kamu siap?” jave bertanya setengah sadar karena matanya masih sayup-sayup ngantuk.

“hah?”

“siap aku tidurin?”

“hah?” rain langsung melotot, memukul tangan jave kencang. yang dipukul sampai limbung ke kasur sambil tertawa.

“orang ditanya kok malah dipukul?”

“abis omongannya???”

“lah aku tanya siap aku tidurin engga? di pukpuk kan maksudku?”

“ih enggak aku tau maksudmu bukan itu ya!! jangan bikin yang lain mikir kalo aku yang jorok deh kak jave!”

jave mengedik pundak, menarik tangan rain agar jatuh tidur disampingnya. “udah, jangan ngomel. tadi seharian dari subuh kamu bangun belum istirahat. sekarang tidur, oke?”

“kamu gak pake guling?” rain keheranan ketika jave menendang gulingnya ke pojokan.

“ngapain? ada kamu.” balasnya usil, memeluk rain erat hingga yang dipeluk tak bisa bergerak kemanapun lagi akibat terlalu rapat.

“wangi. kamu selalu wangi.” laki-laki itu memuji ketika hidungnya mengendus rambut rain yang kini ada di bawah dekapannya.

“makasih. besok-besok kasih surat pujian buat produknya aja kamu.”

“gak lah, pujinya ya, puji kamu aja..”

rain tertawa. kini aroma tubuh jave yang segar itu menguar karena ia berada dalam pelukan. kaki lelaki itu yang sesekali mengungkungnya juga terasa hangat. padahal, masih juga belum selimutan.

“enak?” rain mendongak, berusaha menemukan celah agar kepalanya bisa keluar.

“apanya?”

“guling barumu ini? kok kayaknya betah..”

“oh hahahahahahaha enak lah, bisa ngomong, bisa ngomel-ngomel juga, bisa gerak, wangi lagi.” jave menjawab dengan mata terpejam, sudah ngantuk lagi.

“kamu katanya mau tidurin aku malah tidur duluan?”

jave menunduk, meniup poni rain yang berantakan itu sebentar sebelum akhirnya mendekatkan bibir kesana. mencium keningnya, lama sekali.

“dah, sekarang, istrinya jave tidur dulu. mainnya, besok-besok aja, maybe? atau mau sekarang?”

rain langsung pura-pura tuli, bulu tubuhnya meremang karena jave menggodanya. sudah tentu tidak akan terjadi karena keduanya lelah dan sama-sama menghormati keputusan untuk istirahat terlebih dulu di hari pertama.

jave tertawa cukup lama melihat rain yang kecil dalam pelukannya itu. ia lantas mengelus-elus punggung rain sebentar sebelum mulai berkata-kata, dengan setengah ngantuk, tentu saja. “rain.” panggilnya pelan.

rain mendongak sedikit, “hm?”

“hari pertama emang akan selalu aneh dan keliatan berat. apapun itu, entah hari pertama sekolah, hari pertama masuk kampus, hari pertama masuk kerja, atau hari pertama buat apapun yang lain. semua pasti akan selalu gitu rain, rasa takut, seneng, cemas, nyampur-nyampur, ya kan? tapi gak papa, semuanya bakal lewat. kamu tinggal coretin semua tanggal di kalender nanti sampe gak sadar kalo kamu udah lewatin semuanya dengan baik. jangan mikir gak enak lagi, oke? aku disini.”

rain terpatung. “kamu bisa baca pikiran kah?”

“hahahaha ya gak lah astaga, tapi seenggaknya, aku tau kamu.”

“heuuuuu.” rain jadi ingin menangis bawang, gadis itu lantas mengangguk, mengucap terima kasih dan sebangsanya untuk menanggapi.

“nah gitu pinter, sekarang bayarannya aku udah nyerocos kasihin bibirnya bentar gih.” jave menggoda.

rain menggeleng.

“ih pelit. bentar aja.”

“nanti mode penyedot debunya on mendadak.”

“janji enggak cuma cup bentar gitu terus selesai. JANJI BENERAN ASTAGA.” jave tertawa karena rain makin dalam mengusel di dadanya tanda tak ingin disentuh.

“betul?”

“iya bener. kamu yang cium deh, nih tanganku diem meluk kamu gak gerak.”

rain mendongak, menatap mata jave sebentar, lalu bergerak mencium bibirnya sekilas. “dah.”

“pelit banget gak ada sedetik.”

“nah kannnn.. KAK, YA TUHAN KAK JAVE ENGGAK MAU.” rain mengomel setengah tertawa karena jave menghujani bibirnya dengan banyak ciuman.

“nah, kalo udah gini kan aku bisa tidur.”

“aku yang pusing.”

“pusing apa? kurang seru ya dari tadi pagi pemberkatan cuma sekilas-sekilas aja?”

“ah sudahlah.” rain memeluk perut jave dan hilang di balik dadanya yang terbalut kaos hitam. “aku mau tidur aja.”

jave tertawa, mengelus-elus pucuk kepala rain dan punggungnya dengan sayang. “pake selimut gak?”

“kamu pengen gak?” rain balik tertawa.

“gak sih. ada kamu, anget.”

“hihhhhhhhh.”

“hahahahahahahahahaha.”