PART 1.1

content warning : apa yah.. gak ada sih.

baca aja lah. HAPPY READING!


Raga. Lelaki bernama lengkap Arasaga Himmillian ini adalah partner kerja Alea yang memiliki tingkat setara dalam hal menembak. Keduanya pintar. Mempunyai paras elok dan disukai banyak orang. Hanya paras saja tentunya, karena jika sudah berbicara mengenai sikap, keduanya bahkan sudah tidak bisa lagi disamakan dengan manusia.

Mereka berdua keji. Membunuh separuh besar musuh adalah tugas mereka. Selain bayarannya tinggi, Alea dan Raga memang sudah tidak punya tumpuan apapun lagi. Mereka berdua tidak memiliki orang tua. Direkrut dan dilatih sejak kecil untuk menjadi anak buah di sebuah perusahaan aneh yang tak bernama. Bahkan sampai sekarang Alea dan Raga tidak pernah bertemu dengan atasannya. Entah, bosnya terlalu pandai menutup diri. Ia tidak mau namanya tercoreng, mungkin.

DARRR!

Suara bantingan pintu itu berasal dari arah depan. Helga dan beberapa bodyguard lainnya segera memasang kuda-kuda dan menodong senjata. Sebenarnya tidak perlu, karena keamanan apartment Alea sendiri sangat terjaga. Tidak ada yang bisa masuk atau membobol sembarangan. Maka jika orang itu bisa masuk tentunya adalah bagian dari tim, atau malah..

“Mana Alea?!”

Yup. Raga. Lelaki ini sudah seperti kembar dempetnya Alea. Dimana ada Alea harus ada Raga disisinya. Helga menyuruh yang lain untuk menurunkan senjata. Gadis berambut hitam sebahu itu lantas menunjuk sebuah ruangan berpintu hitam di sebelah kanannya. “Alea ada di dalam.”

“Masih belom keluar juga?!” Raga frustasi.

Helga lantas hanya mengangguk, lalu memutuskan untuk menggiring langkah Raga untuk masuk ke ruang khusus pengintaian. Ruang CCTV.

Raga menurut, mengikuti langkah asisten Alea tersebut dan duduk di salah satu bangku depan layar besar.

Ruangan pengintaian milik Alea memang luas, 9x9 meter kira-kira. Terdiri dari banyak layar-layar yang menunjukkan banyak sekali kejadian karena terpasang di mana-mana. Gadis itu memang memiliki mata tajam, cocok sekali untuk tugas yang satu ini. Sayangnya, Alea memang terlalu sibuk hingga ruangan ini diserahkan total pada Hima, asistennya yang lain, saudara kembar Helga.

“Kamu tinggal pencet tombol ini saja ya Raga.”

“Lo mau kemana? Ninggalin gue di ruangan ini?”

Helga mengangguk. “Alea tidak ijinkan saya mengecek satupun CCTV. Lagi pula, ini bukan tugas saya.”

“Alea atasan lo!”

Gadis berambut pendek itu lagi-lagi mengangguk. “Tapi tetap bukan tugas saya, saya tidak ingin diputus hubungan kerja oleh Alea.”

“Lo pilih bos lo mati di dalem apa gimana sih?”

“Alea gak akan pernah mati percuma, Raga. Jadi dari pada kamu berisik makan jam kerja saya, lebih baik kamu cek sendiri CCTV. Saya akan berjaga di titik D kembali.”

Sial. Raga merinding. Baru pertama kali ini lelaki itu duduk sendirian di ruangan ini tanpa ada yang menemani. Dengan perlahan ia mulai mengambil earphone besar yang ada di gantungan atas meja, lantas menekan tombol yang telah ditunjuk Helga tadi untuk memutar cam 01. Kamera CCTV yang dipasang di ruangan khusus target milik Alea.

Kosong. Ruangan besar dengan ukuran 6x5 meter itu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bahkan angin lewat pun sepertinya tidak ada.

Raga sudah ingin misuh meneriaki Helga ketika satu suara desahan masuk ke saluran earphonenya. Desahan berat, bukan desahan milik Alea.

Sudah tentu suara itu berasal dari bibir target, dan sialnya desahan itu semakin lama semakin berat dan berhasil mengganggu pikiran Raga.

“What the fuck?” Raga memicing, berusaha mencari titik dimana Alea berada. Sudah pasti kamera ini diputar sedikit supaya tidak ada yang bisa melihat kegiatannya di dalam sana.

Raga menghela napas. Ia seharusnya sudah tau bahwa Alea ada di posisi aman, tapi ada satu hal lain yang membuatnya tidak ingin berpindah tempat.

“Why you're not untie this chain? I can please you too, ladies.”

“I'm not that stupid.”

“I just need to touch you. Rantai ini nahan gerakan gue. Lo nyiksa gue pelan-pelan dengan cara yang aneh.”

Hening. Raga tidak mendengar apapun lagi selain suara desahan berat yang lagi-lagi terdengar.

Sial. Ia tau apa yang dilakukan Alea di dalam sana dan ia tidak bisa berbuat apapun selain menunggu.

“Fuckh.. Gimana bisa punya lo gak tidur-tidur meski udah keluar 2x?”

“Karna gue masih punya keinginan yang lain selain bibir lo?”

“No one ever touch mine except my partner.”

“Who?”

“Arasaga Himmillian. You know him, right?

Suara tawa lelaki itu menguar. “Dia yang tembak papa gue waktu itu. Gimana bisa gue gak ke... ahh fuckhh alea.. you and your damn mouth..

“Why?”

“Lo cuma kepengen nyiksa gue. Kenapa gak sekalian aja lo bunuh gue?”

Alea diam tidak menjawab. Entah apa yang dilakukan gadis itu di dalam sana karena tidak ada yang bisa dilihat Raga selain ruangan kosong tak berpenghuni.

Hening cukup lama hingga lelaki itu mendengar suara Alea mendesah ringan. Desahan yang biasanya hanya Raga yang dengar.

“SHIT!” Raga reflek melepas earphonenya dan melangkah keluar dengan terburu. Membanting pintu ruang pengintaian dengan keras lalu berjalan melewati bodyguard Alea yang kini mulai menepi ketika Raga mulai menggedor-gedor ruangan khusus target dengan liar.

Pintu hitam itu hanya diam tidak terganggu sedikitpun karena memang terbuat dari material tangguh.

“Kamu tau kalau Alea gak akan dengar gedoranmu, kan?” Helga datang dan berdiri di sisi Raga yang wajahnya sudah menunjukkan emosi tidak berujung.

“Alea can't do this Hel!”

“Actually she can do anything she want. Termasuk berhubungan badan dengan orang lain selain kamu..”

“Target itu berbahaya!”

“Alea gak mungkin ceroboh.”

“ANJING!”

Helga mengedik pundak, lalu menepuk punggung Raga dua kali. “Hati-hati dengan perasaan kamu Ga. Alea sudah mati rasa. Dia tidak punya hati.”

Raga mendengus. Menghantam meja dengan telapak tangan. “Lo jangan sok tau Hel..”

Gadis berambut sebahu itu hanya diam dan berlalu, memanggil separuh tim untuk berjaga di titik depan untuk menyambut kedatangan tim A satu jam lagi.


chapter 1.2 lanjut pas kepala thread ini 100+ likes yah, ini ceritanya tes ombak wkwk lol.