part of throwback. (highschool.)
lowercase.
happy reading!
siang ini panas sekali. matahari bersinar kelewat semangat membuat keringat menetes dari dahi butir demi butir.
jave mengelap keringatnya, mengusir seluruh anak basket agar menepi atau setidaknya menjauh dari posisinya berdiri. sensi. biasa. jave jika sudah kepanasan sisi setannya benar keluar. marah-marah terus, tidak peduli siapa subjeknya. kecuali..
“heiiii!”
ya benar. kecuali dengan rain.
lelaki itu langsung menyungging senyum, menoleh cepat. menyambut kehadiran gadisnya yang hari ini ada ekskul bahasa inggris di lab atas namun sudah selesai sebab terlihat dari tas bawaannya yang lengkap tanda bersiap akan pulang.
“aku masih 10 menit lagi rain. kamu keburu gak?” jave berjalan mendekat, menghampiri rain yang duduk di tribun itu sambil menyodor tangan. ingin minta minum, maksudnya.
“gak papa sih. santai aja. agak berdosa tapi nanti aku bisa bilang mama ekskulnya pulang agak molor hahahaha.” rain menyerahkan botol minumnya. kali ini sudah tidak ada satupun anak sekelas yang meminta di galon 2 liter tersebut seperti yang sudah-sudah, alias, eksklusif.
jave menepuk kening mendengar ucapan rain barusan, lalu duduk di sebelah gadisnya seraya menegak minum perlahan.
“kak jave, mana kak kalandra?”
“ada disana. mau apa?”
“ya gak sih, penasaran aja soalnya gak terlihat.” rain menjawab, melepas cangklongan tasnya.
“yang bener?” jave reflek memicing alis.
“iya beneeerrr hahah apa sih orang ini kan cuma bertanya.” rain menjawab, lalu mulai bangkit berdiri untuk meraih bola basket yang menggelinding asal di lapangan tersebut. ditinggalkan tergeletak sebab pemainnya sudah kelelahan semua. masih belum berniat meringkas peralatan dan memilih untuk ngadem di tempat lain.
“kak kak kak.. kamu tau gak kemaren ulangan olahragaku dapet nilai 70 soalnya pas lempar bola gaya lay up tuh aku gak bisa. tapi temen sekelas yang cewek juga dapet nilai segitu sih. kata pak angga, kita jalannya kayak kodok.” rain sambat, mulai mendribel bola asal seraya mendekati ring dan melempar sesuai apa yang diajarkan oleh pak angga minggu lalu.
jave masih diam di tempatnya duduk, tertawa saja mendengarkan rain mengomel sambil melempar ngawur bolanya tanpa kejelasan arahan.
“terus ya aku tuh agak sebel, maksudku kalo gak bisa ya udah gitu gak usah dimarah-marah. masa katanya kita gak dengerin dia pas belajar, padahal ya siapa juga yang mau remidi? ngeselin. dah gitu pake di sorak segala katanya olahraga aja gak bisa.. aduhhhhh. EMANG SEMUA HARUS JAGO KAH?”
“HAHAHAHAHAHA. emang ngeselin, marahin coba rain. itu orangnya masih di ruang guru hahahahahahaha.”
“gak berani lah nanti aku terkena tendangan maut.”
“siapa berani tendang cewekku?”
“gak tau tapi sepertinya dia berani.”
jave terpingkal, lalu memutuskan untuk berjalan mendekat. ia akan memberikan sesi belajar singkat pada rain setidaknya agar tidak salah langkah seperti yang sudah-sudah.
“gini loh yang bener, sayang.” jave menarik bola lain yang tergeletak di lapangan, lalu mulai memperagakan lay up dengan benar. langkahnya ringan, kelewat enteng sebab sudah terlalu biasa. lelaki itu lantas kembali lagi mendekati rain ketika bolanya sudah masuk ring dengan mudah dan mulus. “bisa, kan?”
“gak, lah?” rain tidak habis pikir. “maksudku, otak dan gerakanku gak sinkron. kalo liat kayak gampang, tapi pas pegang bola endingnya gak bisa.”
“bisaa. sini deh aku ajarin. yang penting berdiri startnya jangan kejauhan rain. kalo bisa di deket ring aja. gini..” jave menarik pelan lengan pacarnya agar berdiri di posisi yang benar. dan rambut yang seharusnya siang ini sudah bau matahari itu malah tercium harum ketika bergerak terkena angin. sepertinya rain punya taktik khusus agar rambutnya selalu enak dicium.
“terus?” rain bertanya.
“ehm.. terus, terus kalo udah berdiri disini dribel aja bolanya pelan-pelan sambil ngelangkah ke depan..” lelaki itu lanjut berbicara setelah terpergok melongo beberapa detik. ia memperagakan dengan sabar sebab tau rain memang tidak bisa dikasari. pun, memang siapa pula yang mau berkasar-kasar dengan gadis selembut itu? jave sih tidak akan pernah mau.
“hrrr... terus..?”
“terus kalo udah dribel maju kanan, kiri, lompat aja, shoot nih bola ke ring. lompatnya ke atas tapi jangan ke depan nanti kamu nyungsep hahahaha.”
rain mendengus, masih mendengarkan. matanya memandang fokus, namun sepersekian detik ia tersadar jika pikirannya tidak bisa konsentrasi. baper dan salting setengah mati. belum lagi ia baru melihat di taman atas ada beberapa anak lain yang pulang ekskul dan duduk makan cilok di pinggirannya. melihat terang-terangan ke arah lapangan bawah tempatnya berdiri saat ini.
“hei hei. liat apa aku disini.” jave menjentik jemarinya pelan, membuat rain menoleh kembali.
“ini pentingnya shootmu biar lemes, ngelepas bolanya pake jari-jari tangan. jadi pas kamu lompat, bolanya kamu lempar gini... nah, itu pergelangan tangannya kayak yang ngelambai ke bawah tuh lho, ngerti gak?” jave masih berbicara sambil terus memperagakan. padahal sendirinya sudah lelah sejak tadi dipapar di bawah matahari oleh pelatih.
“err.. yaa, ya aku ngerti.”
“coba aku liat.”
rain menggaruk kening, grogi. “tapi nanti kalo tetep gak bisa aku jangan dimarahi.”
“lah apa sih dikira aku chef juna mau marah-marah?”
rain tuli seketika. dengan perlahan ia mencoba menuruti ajaran jave dan.. mau berharap apa? tentu saja, gagal.
“susaaaaaaah hei apa sih lagian kenapa orang-orang berebut bola ini ngeselin banget gak jelas.”
“aku gak jelas dong?”
“iya. kamu gak jelas.”
jave terpingkal lagi. menarik tangan rain mendekat untuk memposisikan dengan benar. bersiap untuk mengajar lagi.
“ini loh rain. kamu berdiri di area ini kan.. HEH JANGAN GESER-GESER.”
rain malah tertawa. usil saja.
“terus kalo udah gini mulai maju, 2 langkah depan terus lompat.”
“kanan.. kaki kanan dulu. soalnya kamu dari kanan. RAINNNNN.”
“HAHAHAHAHA.”
“kanannnnn.”
“ini kan sudah kanannnnnnnnnnn.”
“iya juga.”
rain mencibir. mulai melangkah pelan menuruti ajaran jave tadi dan melempar bolanya dalam ring. meski tidak masuk, jave tetap bersorak memberi pujian.
“ya gituuuu, tinggal pas-pasin bola aja. pokoknya entengin pikiran aja jangan dibawa beban. nanti makin dipikir makin bingung kamu.”
“tapi emang aku tiap olahraga kayak pengen muntah duluan.”
“awas aja aku liat tali sepatumu lepas pas lari.” jave mencibir, mulai mengomel.
“biar bisa berentiiiiiiiii.”
“tapi nanti kamu jatuh.”
rain mengangguk-angguk saja. “iya, oke.. oke.”
“sini main lagi.”
“sama kamu tapi.” rain melempar bolanya ke jave pelan dan langsung ditangkap dengan sigap.
“ayo deh, masuk-masukin ke ring asal aja. gimana?” jave meladeni. lagi pula anak lain juga masih belum kembali, siapa yang mau meringkas segala bola ini seorang diri?
“hahahaha oke. nanti nilainya yang banyak boleh minta request menu makan malem besok sabtu.”
jave tertawa, melangkah mendekat ke rain lagi. menganggukkan kepala. “ayo kamu dulu.”
gadis itu segera melemparkan bola ke ring dan tidak masuk, kurang kencang. “ANGIN NIH ANGINNNN.”
“lah iya kurang ajar anginnya. nah kan, punyaku juga gak masuk. emang kurang ajar.” jave bercanda, lemparan bolanya juga ia gagalkan dengan sengaja.
“hahaha aku ya sekarangg.”
“manaaa gak masuk-masuk?”
“ini tuh kayak susah. apa aku tidak berotot ataukah kurang tinggi?”
jave tertawa, “tangannya kalo megang yang bener makanyaa. sini, kayak gini.” lelaki itu memberi tau, membenarkan posisi jemari rain agar mencengkram bola dengan benar. “dah sekarang kakinya ditekuk dikit, nanti pas shoot baru dilurusin lagi.”
rain mencoba, dan entah kenapa bolanya kali ini menyentuh bibir ring. membuat jave gemas setengah mati, namun bukan gemas karena bola gagal masuk, tapi gemas karena....
“aaaaaaaaaaaaaaaa ini pertama kali aku lempar bola nyampe ke bunderan kak!!! kamu mau aku beliin mobil-mobilan kah? hahahahahahaha.”
iya. gemas karena randomnya isi pikiran rain.
memang sudah cinta ending-endingnya pasti bucin.
kalandra, gibran, lukas, rendy dan juna yang baru kembali dari kejauhan reflek mericuh. mulutnya berteriak kanan kiri membuat ramai lapangan. rain sampai langsung bergerak ke pinggiran dan memilih untuk mencangklong tasnya lagi.
“diem lo semua, bacot.” telinga jave memerah tanpa diminta. malu juga karena kepergok ketika bucin-bucinnya.
“cielaaaaaaahhhhhh coach javerio hahahahahaha.”
jave diam saja, tidak mau menggubris. lelaki itu lantas memunguti bola dari lapangan dan bergerak cepat menuju gudang belakang setelah sebelumnya sudah berbicara pada rain untuk menunggu sebentar.
rain mengangguk. memutuskan tuk berjalan ke parkiran saja untuk menunggu jave disana. ia tidak ingin kena ganggu bibir kalandra.