pemberkatan nikah. gereja, 9 a.m


rain sibuk mengusap peluh di dahi meski dari tadi lea dan jeva bergantian menyodor kipas angin portable ke depan wajah. gugupnya terasa hidup. dan sialnya, tak mau berhenti mati meski sedetik. ratusan umat gereja menunggu di dalam demi menjadi saksi pemberkatan mereka hari ini.

jave di ruang lain juga sama saja gugupnya, belum mampu bertemu dengan rain lagi akibat ia mengaku bahwa jantungnya bekerja tidak normal melihat bayangan wajah rain yang tertutup veil. tampak sempurna sekali seakan tak nyata kebahagiaannya, begitu, ucapnya pada karel beberapa saat lalu.

“mama papa sudah masuk, kak. nanti bridesmaidnya megangin rok aja 2 orang kanan kiri. terus pas udah, kakaknya gandeng sama mempelai pria, di lengan. jangan gugup cuma pemberkatan aja kak hahahaha.” beberapa gadis anggota pemuda remaja memberikan beberapa patah kata untuk menenangkan, sementara bayang tubuh jave mulai terlihat keluar dari ruang samping. diikuti oleh kalandra dan karel yang selalu setia membayangi di belakangnya. gagah, tampan, entahlah, segala pujian sudah menguar dari dalam hati sejak tadi meski termakan grogi yang jauh lebih besar dari apapun.

keningnya terpampang bersih dengan rambut tertata rapi, jas putihnya yang licin hingga sepatu putihnya yang begitu mengkilap menambah kesan mempesona. membuat orang yang melihat tidak bisa mengabaikan dan membuang pandangan sebab javerio terlalu sempurna.

“pas 1 menit lagi masuk ke dalem ya kak.” salah satunya mengecek ke dalam ruangan untuk mengontrol bersama rekan lain, siap memberi arahan.

rain makin lemas, ia tidak suka diperhatikan. dan rasanya, sangat mustahil jika tidak diperhatikan karena ia adalah bintang utama. ia adalah mempelai wanita.

“hei.” jave berucap, menyapa. menaikkan sebelah alis pelan sembari menggelengkan wajah. seakan berucap gak apa-apa, ada aku. yang begitu kentara. tangannya mengelus siku rain pelan, menyalurkan hangat yang langsung merembet cepat membuat pipi rain bersemu merah.

jeva reflek meledek melihat kakaknya yang mendadak romantis tersebut. entah, ia tau kakaknya memang lembut. tapi tiap melihat kebucinannya dengan rain, jeva tak tahan untuk tak menggoda.

“yuk, masuk. gandengan. ceria. jangan gugup, ikutin aja kayak kemarin yang udah dikasih tau. oke kak?” anggota pemuda remaja itu mengepalkan tinju di udara, memberi semangat. sesekali tertawa melihat ekspresi rain yang hampir menangis seakan disuruh presentasi depan puluhan pemegang saham.

jave mengangguk berterima kasih, lalu menawarkan sikunya mendekat ke perempuannya. “yuk.” ajaknya kemudian.


mama papa jave, serta mama papa rain (read : om janu.) sudah duduk di masing-masing sisi kanan kiri tempat terdepan gereja. musik dimainkan dengan bunyi-bunyi khas suasana pernikahan yang kalem dan merdu, membuat perut rain semakin melilit mulas dan berakhir mencengkram erat lengan jave untuk menyalurkan rasa tidak enaknya.

jave menoleh sembari kakinya terus menyusuri deret tengah gereja supaya lekas sampai di altar, mengangkat tangan menganggurnya yang tadi terayun gagah demi mengelus jemari rain yang ada di lengannya itu supaya sedikit relax.

berhasil, meski sedikit. gadis itu mengendorkan cengkramannya dan berjalan menuju altar bersama dengan jave yang menuntun di sebelahnya.

keduanya berdiri tegap, setidaknya, rain berusaha untuk tetap tegap karena sekarang semua mata benar memandang ke depan untuk melihat wajahnya dengan jelas. meski tertutup oleh veil, semua mata itu jelas terlihat sangat mengintimidasi bagi rain.

suara-suara yang memuji jave kala berjalan tadi bahkan kembali menghunjam telinga. mereka penasaran gadis mana yang berhasil menikahi lelaki sekelas javerio. tentu saja. mungkin selama ibadah kemarin mereka mengira dirinya adalah adik jave, sudah biasa.

pendeta tersenyum menenangkan, berdiri di atas mimbar sementara tangannya terangkat. bersiap melanjutkan acara pemberkatan yang sah karena pengantin sudah berada di hadapan jemaat.

“Sebab itu, seorang lelaki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”

beberapa jemaat memejamkan mata fokus, beberapa yang lain sudah tidak sabar dan memandang jave serta rain bergantian dengan tatap tertarik. pendeta masih membawakan doa dan firman Tuhan untuk menjadi berkat bagi keduanya hingga sampai ke bagian ucap janji.

jave meremas tangan rain kuat karena gantian ia yang mendadak grogi. tentu saja ia sudah hafal, selain semalam ia benar begadang grogi, ia juga bolak-balik merapal janji bagai merapal mantra. isinya saja bahkan sudah tertulis di hadapan mata sekarang. sayangnya, pandangan para jemaat mengaburkan pikirannya.

“Javerio Gilverd Alkanira.”

“Will you take Rain Chandra Mahaeswari as your wedded wife?”

Javerio mengangguk, “I will.”

Rain Chandra Mahaeswari.”

“Will you take Javerio Gilverd Alkanira as your wedded husband?”

Rain diam sebentar, ia takut suaranya bergetar karena grogi. Beberapa temannya di depan sudah mengepalkan tangan dan menatapnya yakin. JAWAB AJAAAAAA. begitu kira-kira suaranya.

“Yes. I will.”

pendeta tersenyum, merasakan mempelai wanita yang mungkin sudah berkeringat dingin di atas altar dan hampir kebelet pipis karena tak biasa di depan umum. ia lantas melanjutkan cepat untuk menyuruh dua mempelai berdiri berhadapan dan memegang tangan satu sama lain untuk pengucapan janji.

dengan separuh kesadaran yang tersisa akibat kaki sudah melemas sempurna, hanya ada kalimat jave yang menaungi pikiran rain saat ini.

“Saya, Javerio Gilverd Alkanira, mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

lelaki itu mengucapkan dengan sungguh-sungguh seraya menatap lekat matanya tanpa putus dan tanpa keraguan. sehingga sampai kembali di giliran rain, jave kembali mengangguk untuk meyakinkan. berucap lewat tatap mata agar melihat matanya saja dan tak usah memperdulikan umat lain yang menonton.

rain mengatur napas sebentar, mengangguk. membalik posisi tangannya cepat lalu mengulang janji yang sama. meski, tatapannya sering berpendar akibat tetap saja grogi. mata jave terlalu mengintimidasi, dan beberapa kali ia tangkap tengah memancarkan raut jail. dari pada rain berakhir salah atau apa, ia memilih untuk melirik sedikit ke arah lain.

pendeta kembali mengangguk, kini berjalan turun dari mimbar, berdiri di depan jave dan rain tetap menghadap ke jemaat. ia menerima nampan berisi kotak cincin yang disodor oleh groomsmen dan bridesmaid yang mendekat, lukas dan jeva, lalu meraih kotak cincin. pendeta segera membuka dan mengangkatnya tinggi di atas kepala.

“Cincin ini bulat, tanpa awal dan tanpa akhir, sebagai lambang kasih Kristus, yang tanpa awal dan tanpa akhir. Atas dasar itu, cincin ini menyatakan bagi saudara berdua, untuk meniru kasih Kristus dalam kehidupan rumah tangga; dengan mengasihi pasangan tanpa awal, juga tanpa akhir.“

jave dan rain masih bertatapan, yang satu masih serius, yang satu sudah hampir pingsan. apa lagi, ketika jave mulai memasangkan cincin pernikahan ke jari manisnya, mulus, tanpa hambatan.

“mempelai wanita?” pendeta mempersilakan rain bergantian memasang cincin. ia menatap manik jave yang menyeringai dalam diam itu dengan tatap sedikit nyolot. ia tau dari tadi jave menggodanya diam-diam, dan itu semakin membuat perutnya mulas tak bisa berhenti. rain akhirnya memasangkan kembali cincin milik jave agar masuk ke jari manisnya juga.

sambutan ricuh terdengar semakin tak karuan akibat acara yang terus berjalan hingga pendeta mempersilakan jave untuk mengangkat veil milik rain agar tak menghalangi wajah. dua bridesmaidnya yang setia menemani di atas altar ; lea dan jeva, sudah berdeham-deham karena mengerti apa yang akan terjadi setelah veil dibuka.

jave menaikkan sebelah alisnya, tersenyum, seakan berbicara, siap belummm? namun rain hanya balas menatap dongkol karena benar laki-laki itu tak berhenti sembarangan menggoda, bahkan, akan terus begitu nantinya. untung, acara sudah hampir selesai. rain tau jave begitu agar ia tidak gugup, ya, setidaknya, memang berhasil.

laki-laki itu mengulur kedua tangan maju, menaikkan perlahan kain tipis itu agar tak menghalangi wajah cantik perempuannya yang tak pernah lewat sedetik tanpa pujian menguar dari mulutnya. beberapa desis dan ucapan wow ikut menggema keras dari jemaat yang kini penasaran dan ikut berdiri dari duduknya demi melihat wajah rain dengan jelas.

hening.

bahkan kaki jave sampai melemas akibat sadar bahwa memang hubungannya dengan rain sudah sejauh ini, sekarang, jantungnya sendiri sudah ikut berdegup kencang tak mau diam. rasa sayang dan cintanya makin membludak melihat wajah cantik rain yang ada di hadapannya ini. terlihat polos, lucu, arhhh entahlah, ia hanya ingin berseru gemas saja detik ini.

sesaat kemudian terdengar seruan kompak jemaat muda yang menyuruh,

CIUM! CIUM!!

membuat pikiran jave kalang kabut, ia tau ia akan melakukannya, tapi, di gereja, di hadapan papa dan mamanya, jeva, tak luput ia ikut kaget juga.

“rain.” jave memanggil, seruan disana makin seru saja.

“diam. jangan tanya aku, aku gak tau.”

“tapi memang ada acaranya begitu kemarin.”

“pilihan kali kakakkkkkkk.”

keduanya malah debat tak penting sampai ditatap pendeta yang ikut-ikut tertawa. jave mengusap ujung hidungnya sebentar, menggenggam tangan rain mantap. “shall we?”

rain mengangguk, biar saja, ia tak keberatan. karena selama itu jave, kenapa pula ia susah hati?

dengan sigap kepala jave maju mendekat, menatap sebentar mata rain yang juga kini bergetar malu. ia tersenyum meyakinkan sementara terus mengikis jarak.

“CIEEEEEEEEEEEE.”

“SELAMAT ATAS PERNIKAHANNYA, SEMOGA ACARA RESEPSI DI GEDUNG LANCAR SAMPAI SELESAI.”

begitulah, rentetan pemberkatan hari ini selesai. dengan satu kecupan lama di bibir yang jika tak dicubit tangannya, tak akan mau lepas.