random moment. lowercase.
happy reading!
terhitung sudah genap 3 jam mata jave masih setia memejam dan belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari kamar. kelelahan, katanya. namun manusia mana yang bisa dibodohi? bibir jave tadi sore terlihat pucat sekali. bahkan rain berani bersumpah baru kali ini melihat jave pulang kerja hanya mandi biasa dan tidak keramas. padahal lelaki itu terkenal paling risih jika rambutnya kotor terkena debu-debu dari luar.
rain melirik jam dinding sebentar lalu lanjut menata alat makan di atas nampan. gadis itu lantas membawanya masuk ke kamar, mengabaikan anjing-anjing peliharaan mereka yang kini ikut ribut di kandang sebab melihat bayangan majikannya yang hanya numpang melintas dan tak mengajak bermain meski cuma sedetik.
gelap. kamar yang harusnya menyala terang itu tampak gelap tak bercahaya. terselamatkan sedikit berkat lampu taman samping berwarna warm white yang membuat keadaan menjadi sedikit remang-remang. rain reflek menyalakan lampu, lalu kembali menutup pintu kamar dan berjalan mendekati badan kasur.
AC menyala dengan suhu sedang. dan di dalam selimut hitam itu berbaringlah jave dengan posisi terlentang anteng tidak bergerak sedikitpun. dengan peluh yang keluar beberapa titik di sekitar dahi, berhasil membuat rain langsung meletakkan nampan berisi nasi dan sayur bayam itu di atas meja, lalu ganti menarik sapu tangan asal yang ada dalam lemari untuk menyeka keringat suaminya.
“kakak kamu katanya cuma capek, kok jadi sakit..” suara rain cukup bergetar ketika tangan dinginnya mulai mendarat di sekitar dahi. panas. jave benar sakit sesuai dugaannya. gadis itu mendadak jadi ingin menangis saja sebab baru kali ini melihat jave tepar sampai tak bersuara. bangun saja tidak.
“kak jave..” rain memanggil kecil, mengelus kepala jave pelan agar lelaki itu bangun. “makan dulu ayo bentar aja terus nanti minum obat tidur lagi.” lanjutnya, berbicara di dekat telinga.
jave masih diam, belum tersadar. hembusan napasnya bahkan mulai terdengar berat dan kadang menderu hingga membuat rain sesekali mengusuk dadanya agar tenang.
“kakak..” rain memanggil lagi, masih berusaha membangunkan jave. “kepalanya pusing ya? ayo sini aku suapin, nanti abis makan sama minum obat boleh tidur lagi gak akan aku gangguin.” rain melanjutkan, tangannya mengelus mata jave agar lelaki itu setidaknya akan merasa terganggu dan bisa segera bangun.
suhunya tinggi. mata jave terasa panas sekali. dan beberapa detik sebelum rain beranjak untuk mengambil baskom di kamar mandi untuk mengompres, ia mulai melihat jave bergerak kecil. matanya pun turut terbuka perlahan, menyipit sepersekian detik sebab lampu yang asalnya mati total itu sudah menyala. silau.
“rain? ini jam berapa?” jave menyapa dengan suara berat dan serak kas bangun tidur, ingin bangun duduk ketika sadar pandangannya berputar dan kepalanya terasa berat. rain reflek membantu, mencekali kepala jave pelan dan menarik bantalnya agar berdiri menempel di kepala dipan. “pelan aja kalo bangun kak, sekarang senderan gih sebentar? ayo makan sini aku suapin nasi.”
jave menggeleng sesuai dugaan. “kenyang aku rain.”
“iya kalo sakit memang begitu, gak papa, dikit aja ayo. 3 sendok aja boleh.”
jave memijat pelipis, “aku gak sakit sayang. cuma capek. tadi kan aku udah bilang?”
“kamu sakit. kamu demam. kamu panasssssssss. jangan bilang gak sakit sambil senyum-senyum itu seriusan ngeselin banget. kalo sakit bilang aja sakit, kan kamu juga manusia bukannya superman. gak papa, aku yang rawat sini. boleh manja-manja yang manjaaa banget itu, boleh minta apa aja juga nanti aku turutin. yang penting anakku nggak boleh sakit..” rain berujar seraya bangkit berdiri untuk menarik nampan nasi dari meja di seberang dipan.
“aku anakmu?” jave terkekeh berat.
“iya, gantian. sekarang kamu anakku. harus sembuh. oke?”
jave tidak fokus. “bener aku boleh manja sampe sembuh?”
rain mengangguk. “iya, boleh. mau dipuk-puk pas tidur sampe pules juga boleh. tapi sekarang harus makan dulu. harus sembuh demamnya. oke?”
jave memijat pelipis sebentar, “oke.” ujarnya setuju. mulai membuka bibir ketika sendok rain akhirnya bergerak mendekat.
“kak jave gak boleh capek-capek. kalo malem capek langsung tidur aja, mau pijet pundaknya bilang ke aku. intinya kamu gak boleh sakit lagi.” rain berisik seorang diri sambil sibuk mendinginkan makanan. matanya jelas bergetar sebab tidak tega jika jave yang biasanya full energi itu jadi letih-lesu-gundah-merana (paket komplit) seperti ini.
“khawatir kah?” jave bertanya. separuh menggoda, separuh ingin mendengar validasi dari bibir rain sendiri.
“iya. aku gak suka liat cowokku sakit. besok-besok sebelum penyakitnya dateng harus dihajar dulu. oke?” rain berujar jujur seraya memajukan sendok kembali. menyuapkan nasi dan banyak kuah sebab jave memang tidak suka makan bubur.
merasa mendapatkan kasih dari perempuan yang selama ini selalu ia prioritaskan, jave mulai tersenyum dan mengelus pucuk kepala rain pelan. “habis ini aku boleh tidur sambil peluk perut?”
“boleh.”
“sambil elus-elus rambut sampe aku tidur juga mau?”
“mau. semuanya boleh. ayo sini tinggal 2 lagi terus kamu minum obat.”
jave mengangguk dengan ekspresi patuh. tampak menggemaskan sebenarnya, namun siapa yang peduli pada keimutan lelaki itu jika sudah di posisi seperti ini?
bahkan sejujurnya pula kepala jave memang sangat pusing dan pandangannya terlampau berkunang-kunang. ia ingin lanjut tidur sekarang agar kedutan di kepalanya mereda, namun melihat rain yang tampak linglung sebab melihat dirinya tumbang itu jave menjadi tidak tega.
“nah ini obatnya diminum semua oke? di kotak obat enggak ada paracetamol tapi itu obat pusing pasti ada kandungannya ya kan? semoga saja dia mempan sih. nanti aku bantu kompresin biar suhunya cepet turun juga.”
“iya sayang.”
“nanti abis minum obat kamu tiduran dulu aja sebentar aku ambilin baskom sekalian.” rain melanjutkan, lalu bangkit berdiri setelah meringkas alat makan jave. gadis itu lantas berjalan keluar kamar dengan langkah besar.
tidak sampai 5 menit rain kembali lagi membawa air hangat lengkap dengan handuknya.
“lampunya mau aku matiin lagi aja kah biar bisa istirahat?”
“kamu gak papa lampunya dimatiin? biasanya suka serem-serem sendiri.”
“gak papa. yang penting kamu bisa tidur. aku matiin ya?”
jave mengangguk, tidak bertenaga untuk bercengkrama lagi. lelaki itu lantas menidurkan kembali tubuhnya, menunggu rain agar mendekat naik ke kasur.
“udah sekarang anaknya rain tidur, oke?” rain duduk persis di sebelah jave dan langsung disambut oleh tangan panas jave yang melingkar lemas di perutnya. gadis itu lantas meletakkan handuk yang baru ia peras itu di dahi jave. “kakinya jangan nendang kesana ya kak? ada air.”
lelaki itu hanya menggumam tak jelas sebagai balasan.
rain menghela napas, menoleh kanan kiri sebab sejujurnya ia memang tidak suka suasana gelap. gadis itu lantas fokus mengelus rambut jave dan beberapa kali menarik handuk ketika suhu panasnya sudah menempel disana. telaten sekali.
“rainh..”
“iya aku disini. kamu mau apa?”
“biarin aja handuknya gak usah diganti-ganti lagi nanti kamu capek.”
“gak capek aku kak jave.”
“sini aja kamu tidur, katanya yang aku minta diturutin.”
“selain ini aku turutin.”
“hei.” jave membuka mata sebentar, “aku kan udah minum obat, bentar lagi pasti keringetan soalnya dia kerja. udah kamu tidur aja sini, nanti kalo panas lagi aku bangunin kamu boleh kompresin aku lagi.”
rain menimbang, dan mengerti jika jave memang tidak bisa diajak berdebat dan lumayan keras kepala, gadis itu akhirnya menurut saja. setidaknya sampai jave sudah terlelap sempurna ia akan lanjut mengompres kening, kalau bisa sampai dingin sembuh.
“maaf ya aku sakit. tadi gak bilang biar kamu gak gupuh, tapi ketauan.”
rain berdecak, sok kecewa. bercanda.
“maaf dong?”
“iya tapi tidur dulu.” rain mengusuk rambut dan pipi jave bergantian. menyuruhnya lekas pergi ke alam bawah sadar.
jave mencekali tangan rain dan membawanya ke depan bibir. mengecup lama sekali. “besok kalo sembuh bakal aku cium kamu.”
“kamu kepengen kah?”
“tiap hari kepengen.”
“ya sekarang boleh. kamu gak kuat kissing pas sakit?”
“iya, gak kuat. tapi kalopun kuat juga jangan sih, nanti kamu ketularan. aku pilek dikit.”
rain mendengus, mencekali pipi jave sebentar dan maju mencium bibirnya tanpa aba-aba. gadis itu bahkan berani menjilat perlahan dan merasakan bahwa panas badan jave masih belum turun. bibir lelaki itu bahkan sampai kering padahal baru saja minum air putih.
“kali ini kamu diem aja, biar aku yang gerak.” rain berujar pelan, kembali menempelkan bibir dengan gerak lembut dan mulai melumat bawah bibir jave dengan halus. tidak bergerak aneh-aneh, gadis itu hanya mengeksplor luar bibir tanpa adegan brutal seperti yang biasa jave berikan. ciumannya terkesan lembut dan penuh cinta kasih.
“bibirku basah sekarang rain.” jave tertawa kecil, menunjukkan matanya yang melengkung sempurna. mengundang bibir rain bergerak naik ke atas dan mulai mengecup mata jave lama sekali. “kak, kamu boleh ngapa-ngapain aja, tapi please.. gak boleh sakit.” rain berujar, menaikkan kecupan ke dahi sebentar sebelum kembali ke posisi tidurnya lagi.
jave benar-benar merasa disayang sekali. lelaki itu lantas menarik tubuh rain menempel di dekatnya. “sini aku mau cium punyamu bentar.” tagihnya kemudian.
“punyaku apa?”
“ya apa maunya? kening lah sini.” lelaki itu gemas, lalu lanjut menarik kening rain mendekat dan menciumnya lama. “aku mau tidur begini biar kamu gak pindah-pindah. gak papa ya?”
“eh tapi kan..”
“iya, justru.. aku tau kamu mau begadang ngompres aku kan? gak usah. tidur aja udah sini diem sama aku.”
rain menghela napas, pasrah. “oke, nanti kalo butuh sesuatu bangunin aku.”
“siap sayang.”
rain langsung mengangguk-angguk. “anak pinter.” ujarnya, melingkarkan tangan pada pinggang jave. siap untuk tidur meski ia sendiri yakin tidak akan bisa sepenuhnya memejam.