Sampai di lapangan basket itu suasana masih sangat ramai, banyak pemuda-pemudi berlalu-lalang melempar bola kesana-kemari. Maklum lah, masih pukul setengah lima.
Jave duduk di salah satu bangku sembari tangannya sibuk membuka bungkus lilin. Angka 17, Kalandra sudah berumur 17 hari ini. Entah, mungkin cowok itu akan mengadakan makan-makan sebentar lagi. Siapa pula yang mau melewatkan masa ulang tahun ketika umur 17?
“Sialan nih plastik kaku banget. Ada yang bawa gunting gak?” Jave berteriak jengkel, bertanya pada teman tim basketnya yang juga sibuk menyiapkan surprise.
“Gak lah, gue dompet aja kaga bawa pake acara gunting segala?”
Rain terkekeh, “Sini coba, itu tanganmu keringetan soalnya makanya licin kak.”
“Masa?”
“Iya. Makanya jangan gandeng-gandeng terus.”
“Dih.” Jave mendengus, menyerahkan plastik itu ke tangan Rain. Dan sebelum gadis itu sempat menyobek ujungnya, plastik berisi lilin tersebut sudah ditarik kasar oleh tangan seseorang yang baru saja datang mendekati posisi mereka.
“Gue bawa gunting Jav. Nih gue bukain.”
Rain mendongak, begitu pula dengan Jave dan teman-temannya. Sial. Itu Clara dan anak-anak satu circlenya.
Rain melongo, ia lalu menoleh ke arah Jave yang kini rupanya juga ikut diam terpaku. Wajah lelaki itu tampak mengeras kaku ketika menerima lilin dari tangan Clara.
“Gue Clara kapten dance, temennya Jave. Lo bendahara kelas 11 kan? Anak baru?” Gadis itu bertanya, menyelidik penampilan Rain dari atas hingga bawah dengan tatapan yang tidak bisa dibaca apa maunya. “Salam kenal, Rain?” Ia menyodorkan tangan.
Rain mengangguk, demi sopan santun ia segera bangkit berdiri untuk menyambut tangan Clara, namun sebelum tangannya terulur, Jave sudah bergerak menarik tangan Rain turun kembali. “Gak usah basa-basi Cla. Lo gak pernah ajak orang lain kenalan kecuali ada maunya.”
Clara mendecih, mengedik bahu singkat. Matanya menangkap tangan Jave yang kini menahan tangan Rain di bawah sana. “Gue cuma mau kenalan, apa salahnya?”
“Salah. Karena lo bukan tipe cewek yang mau lakuin hal beginian kalo gak ada niatnya.” Kali ini Gibran yang bersuara, berhenti sudah kegiatannya membuka kotak kue akibat kehadiran Clara.
“Lo juga belain cewek ini Bran? Bahkan gue dateng gak bikin keributan loh? Gue cuma ngajak kenalan.”
Gibran menghela napas, “Kalo lo mau join surprise Kalandra mending lo duduk aja Clar.”
“Wah.. Cuma gara-gara anak baru kelas 11 ini lo berdua jadi gini sama gue? Sebelumnya gue join juga tampang kalian biasa aja loh?”
“Gak gitu maksud mereka Clar..” Rendy berusaha menengahi supaya tidak terjadi keributan penting akibat masalah sepele di ulang tahun Kalandra.
“Gak gitu gimana maksud lo Ren? Hah.. Gue dateng baik-baik mau minta kenalan doang udah dilarang loh? Gue cuma mau tau lebih dalem apa kelebihan dia dari pada gue. Gue cuma mau tau apa yang dihasilin keluarganya lebih besar dari keluarga gue kalo papanya udah mening..”
“Stop. Stop it.” Jave bangkit berdiri, menghentikan kata yang hendak keluar dari mulut Clara. “Stop sebelum gue anggep lo beneran musuh Cla.” Lanjutnya.
“See? Lo belain dia lagi Jav?”
Rain mengerut kening. Separuh merasa ciut berhadapan dengan semua kakak kelas yang ada di lapangan ini, separuh lagi merasa kesal karena diam-diam dia sepertinya dijadikan bahan gosip oleh kelompok Clara yang sekarang hanya diam mengawasi cekcok tidak penting tersebut. Sisa perasaannya campur aduk ketika mendengar almarhum papanya ikut diungkit-ungkit.
“Rain cewek gue.” Jave berucap. Memberi penekanan pada tiap katanya.
“Lo gak berani pacaran di sekolah. Semua anak di sekolah juga taunya lo pacar gue. Jadi kenapa tiba-tiba lo claim pacaran sama dia? Liat, bahkan gue jauh lebih sempurna dari dia. Gue bisa kasih apapun buat lo Jav. Lo selama ini diem-dieman karena lo jaga image gue di depan anak sekolah kan? Lo sebenernya peduli sama gue.”
Jave menghela napas, mengatur kesabaran yang makin terkikis. Dan sebelum cowok itu meledak, Rain sudah mengangkat tangannya di udara. “Stop. Jangan ribut sama adegan-adegan aneh. Kak Kalandra dateng itu, sama pelatih basket.”
Semuanya tersentak, menoleh. Benar saja Kalandra memang baru masuk gerbang dengan tas basket besarnya. Siap latihan. Lelaki itu datang bersamaan dengan Lukas, Jeva, Karel, dan dua pelatihnya.
Clara berdecak, lalu ia memutuskan untuk pergi dari situ karena hampir saja mengeluarkan tangisan kesal. Tidak masalah sebenarnya jika ia menangis di depan umum, tapi kehadiran Jeva dan Karel membuatnya ingin pergi dari situ secepat kilat.
Hening. Rain merosot cepat ketika Clara dan teman-temannya hilang ke parkiran. Kakinya melemas sempurna. Bohong jika ia bilang tidak takut, prinsip hidupnya selama ini adalah ketenangan dan kedamaian. Bahkan ia saja berusaha tidak menonjol dimanapun supaya menghindari masalah yang membawa namanya, tapi sekarang? Gadis itu menggelengkan wajah. Tangannya mencekal kaki Jave supaya tidak oleng ke belakang.
Jave menunduk, matanya yang tadi masih mengawasi Kalandra masuk gerbang itu ganti melihat gadisnya yang kini berjongkok dibawah kakinya. “Rain astaga.” Ia berucap, melepas tangan Rain dan ganti menggenggamnya. Lelaki itu ikut berjongkok. “Sorry. Sorry kalo dia bawa-bawa keluarga ya Rain.. Kamu gak papa?”
Rain menggeleng. Dia cuma deg-degan. Walau benar pikirannya jadi kacau membayangkan yang tidak-tidak, ia tetap tidak kenapa-kenapa. Gantinya gadis itu mulai menyenderkan kepala di pundak Jave karena merasa lega Clara sudah pergi. “Makasih udah dibelain. Meski dia begitu karena suka kamu tetep aja bawa-bawa keluarga emang gak pantes. Makasih udah stop omongannya ya kak Jave.”
Jave terdiam. Ia kaget karena Rain mau sedekat ini dengannya di depan umum. Meski bukan waktu yang tepat untuk baper-baperan, lelaki itu akhirnya mengusuk pucuk kepala Rain pelan. “Ayo ke toko sebelah itu aku beliin susu moka biar gak bad mood. Mau?”
Rain menggeleng, mengerutkan kening. “Bukan bocah ya kak Jave.”
“Di mataku kamu tetep bocah gimanapun gedenya. Ayo, itu Kalandra masih omong-omongan sama coach juga. Sekalian beli air putih, tadi anak tim gak sempet beli.”
Rain mengangguk, menatap mata Jave yang kini tengah melihatnya teduh. “Karena hari ini kamu jadi cowok baik aku traktir boleh?”
Jave tertawa, matanya menyipit. “Ya udah. Nanti gantinya pas pulang kamu aku traktir ronde sama terang bulan. Oke?”
“Deal.” Rain bangkit berdiri, menyodorkan telapak tangan dengan perasaan yang jauh lebih tenang. “Mau gandeng?” Bisiknya menjinjitkan kaki.