SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan, beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping badan.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu memang benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika ia dibawa kabur, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Mana yang kemaren itu parah banget gak kayak sebelum-sebelumnya. Demi apa masih untung lo gak sampe patah tulang Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu reflek kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suara seraya mengernyit kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

“Enggak, cuma mau bilang aja kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya kaku.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar di atas pangkuan.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan yang masih belum semuanya dibuka.

“Temen-temen lo, pada nyariin.” Ia menjelaskan seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Deg.

Mendengar nama Kayna disebut, mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama mata yang mendadak memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas menjawil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo mirip orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

Hening.

Saka hanya diam sembari matanya mengawasi detik jarum jam yang terus berputar dengan pandangan yang kian mengabur.

“Dim. Cewek itu, gue suka.” Tutur lelaki itu secara tiba-tiba.

“Siapa? Kayna?”

“Hm.. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue.”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue mau bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas mengganti topik dengan mulai menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Tentang mereka yang nanyain kabar gue jawab aja kalo lo gak tau apa-apa ya Dim.”

“Ck. Selalu aja begitu. Lo kenapa sih gak mau cerita sama mereka Sak?”

“Ya gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas panjang aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue. Jadi ya bener mereka, ini semua salah gue.”

Dimas mulai berdecak kesal, “Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini tuh bukan kesalahan kayak kata mereka. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas sebelah Dimas duduk. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk dengan setengah cemberut karena lagi-lagi Saka berhasil merubah topik pembicaraan mereka. “Gue bakal recover semua data lo sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin, and please lo gak usah nolak jajanan gue..”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan dalam hati.

Tentang rasa rindunya pada Kayna yang kian memberat itu biarlah ditahannya sebentar hingga ia siap bertatap muka kembali esok nanti.