SOMETHING IN BETWEEN.

/warning : idk, but this one is a (very) sensitive naration.


Gadis bernama lengkap Kayna Sherin Calandra yang merupakan anak sulung dan cucu pertama di keluarga Calandra ini tengah berdiri di samping meja minuman dengan mata elangnya yang mengedar tajam ke seluruh penjuru ruangan.

Pesta yang ramai, lengkap dengan iringan musik lembut dan tamu-tamu kelas atas yang beberapa diantaranya merupakan client besar dari GNC. Teman-teman almarhum papanya yang kini juga berkawan dengan om dan tantenya itu juga terlihat beberapa. Sesekali mereka menyapa ramah dan bertanya perihal bagaimana kehidupan Kayna sekarang.

Gadis itu menunduk, menatap lantai marmer aula hotel yang dipesan untuk semalam penuh itu dengan perasaan campur aduk.

Antara aneh, sedih, asing, marah, dan kecewa. Semua itu terasa berkutat di satu waktu sehingga membuat dadanya seakan sesak kekurangan oksigen.

Pemandangan oma dan opanya yang terlihat begitu bahagia di meja utama juga berhasil mengiris hatinya.

Tidak adakah rasa rindu mereka pada menantu dan cucunya walau hanya sedikit? Setidaknya jika bukan untuk dia dan mamanya adalah untuk kedua cucu bungsu mereka yang masih balita. Bahkan untuk sekedar menelpon bertanya kabar atau menanyakan tentang perkembangan Ciara dan Gideon-pun tidak pernah mereka lakukan.

Kayna meremat kasar dress hitam panjangnya kala merasa cairan matanya hampir tumpah, lalu meraih segelas minuman alkohol dan menegaknya habis dalam sekali tegukan.

Rasanya panas, tapi juga begitu manis dan benar-benar menyegarkan pikiran di saat bersamaan. Mungkin kali ini tantenya sudah memilih wine dengan kualitas tinggi supaya bisa membangkitkan energi di dalam pesta.

Kayna mendesis pelan kala gelas ketiga sudah ia jajar kosong di depan mata, lantas melangkahkan kaki menjauh dari spot itu sebelum berakhir mabuk dan mempermalukan diri sendiri di acara tersebut.

Dalam perjalanan kembali menuju meja keluarga Ananta kepala Kayna berulang kali menunduk sopan karena sapaan beberapa orang yang tadinya sudah berhasil dikenalkan kepadanya oleh pak Tian yang memang sangat handal berbicara.

Memang masih belum semuanya, tapi entah kenapa ia sudah merasa cukup dan dianggap “ada” oleh mereka. Bahkan mendengar nama almarhum papanya yang dikenal baik sudah menjadi kepuasan tersendiri bagi gadis itu.

Kayna baru saja akan membelokkan diri di tikungan sudut ruangan ketika mendadak saja matanya menangkap pergerakan Kaela, sepupunya, yang tengah berjalan tepat di sebrang mata.

Dua saudara yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan itu saling menatap kaget dan canggung. Lengkap dengan mata keduanya yang terlihat bingung, seakan tampak ingin menyapa namun dilingkupi rasa asing sehingga terpaksa urung.

Hening yang diciptakan keduanya terasa cukup lama seakan orang-orang yang berlalu-lalang tidak nampak terlalu penting detik ini.

Kayna sudah hendak melayangkan sebuah sapaan ketika akhirnya Kaela memutuskan untuk menunduk dan berjalan menjauh kembali menuju meja utama.

Lagi, perasaan tidak enak itu kembali menghampiri diri ketika melihat Kaela yang tengah disambut hangat oleh oma opa-nya seakan belum pernah bertemu setelah sekian ratusan abad.

Tentu bukan iri yang Kayna rasakan, hanya saja titik kecewa itu sudah terlalu lama berkutat dan terpendam dalam hati lalu tergores begitu saja malam ini sehingga akhirnya butiran air mata lolos sempurna dari mata cantik gadis itu.

Kayna menggeleng cepat dan lekas mengusap area bawah matanya, berusaha menepis hal tersebut jauh-jauh dan memilih untuk melarikan diri ke toilet agar dapat menenangkan diri.

Namun belum jauh kaki gadis itu bergerak, om dan tantenya yang terlihat begitu mesra itu berjalan naik ke atas panggung dan mulai menyapa kembali para tamu agar mereka duduk menikmati acara potong kue yang sebentar lagi akan berlangsung.

Pasangan yang nampak bahagia itu saling bertaut jari ketika akhirnya berhasil memotong besar satu bagian kue dan menyerahkannya kepada orang tua masing-masing.

Para tamu reflek bertepuk tangan ricuh dan menantikan kepada siapakah potongan kedua akan diberikan.

Kedua orang pemilik pesta itu terlihat gugup didepan sana, namun seakan telah meyakinkan satu sama lain mereka akhirnya memutuskan untuk membuka suaranya kembali.

Dengan senyum lebar yang terpasang di wajah, tante Kayna yang malam ini terlihat begitu anggun itu menyerahkan slice kue kedua kepada Kaela, anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. “Potongan kedua ini kami berikan untuk anak perempuan kami, Mikaela Sheraneena Calandra, yang di usia muda sudah mau berbaik hati membantu orang tuanya untuk mengelola pabrik dengan sangat bijaksana.”

Deg.

Jantung Kayna terasa seakan berhenti berdetak detik itu juga. Matanya yang tadi baru saja dipaksa untuk tidak menangis kembali panas tersulut emosi. Bahkan kedua tangannya yang harusnya kaku kedinginan itu mendadak juga ikut terasa berat dan begitu ingin ia hantamkan ke meja kaca terdekat.

Gadis itu sudah menarik nafas berat dan ingin maju mendekat ketika matanya menatap Kaela yang tiba-tiba saja membanting piring kaca yang baru diberikan kepadanya itu disertai teriakan kencang yang begitu menusuk indra pendengaran.

Sepupunya berjongkok kaku di depan sana seraya menutup kedua telinga dengan ekspresi aneh yang tidak pernah Kayna lihat sebelumnya.

Pesta yang mulanya begitu ramai tersebut mendadak senyap karena Kaela yang kembali berteriak menolak uluran tangan oma dan opa yang hendak membantu bangkit berdiri.

Raut wajah gadis itu begitu tidak bisa diprediksi, dan sedetik sebelum kedua orang tuanya melangkah mendekat, Kaela sudah menghadang jalan mereka dengan sebuah ungkapan yang mampu membuat tubuh Kayna kehilangan tumpuannya secara sempurna.

“Mama sama papa gak boleh gitu terus sama Kayna, selama ini Kaela selalu diem dan gak pernah minta apa-apa sama kalian tapi kenapa kalian bilang ke para tamu kalo Kaela yang ngurusin pabrik? Kaela gak pengen jadi tontonan, tapi ini udah keterlaluan. Mama dan segala ambisi mama buat dapetin uang dari perusahaan yang udah jelas kepunyaan om Gavin, dan papa yang selalu aja ikut sama keputusan jahat mama.. Kaela gak tahan, dikira Kaela juga gak tau kalo kecelakaan yang dialami sama om Gavin juga ada hubungannya sama mama? Kaela denger mama telpon nyuruh orang buat ngikutin dan nyelakain om Gavin waktu perjalanan tapi ternyata meleset dan akhirnya orang itu juga ikut meninggal ditempat. Kaela tau ma, sumpah Kaela tau, dan Kaela yakin papa juga tau.. Kaela terpaksa ngomong gini karena ini udah ngelewatin batas banget, terlebih ada Kayna juga di acara ini. Mau ditaruh mana lagi muka Kaela ma, pa? Seakan selama ini Kaela udah jahat banget ditambah mau ngaku-ngaku kerjaan ini Kaela yang ngurusin padahal Kaela sekali aja gak pernah nginjek kaki di pabrik? Kaela masih punya hati demi apa..”

Hening.

Kayna menelan ludah susah payah mendengar ucapan yang lolos panjang tersebut dan spontan berpegang kaku pada tembok disampingnya.

Pandangan semua orang dalam pesta tertuju sempurna kearahnya tanpa diminta. Namun bukan merasa spesial sesuai yang pak Tian harapkan sebelum ia masuk ke dalam pesta, kali ini Kayna merasakan sebuah kutuk karena harus diperhatikan akibat berita dadakan tersebut dengan raut terkejut dan iba serentak seperti itu.

Dunianya mendadak gelap.

Terasa begitu seram dan sangat mencekam sehingga detik berikutnya yang ia ingat adalah suara-suara dalam ruangan yang menjadi samar lengkap dengan pandangan yang mendadak mengabur sempurna.

Air mata yang akhirnya bisa mengucur deras itupun menjadi akhir dari kehadirannya di pesta malam ini.

Kali terakhir sebelum kesadarannya hilang total, Kayna perlahan mendengar sebuah suara yang begitu ia rindukan meneriakkan namanya, disusul dengan tubuhnya yang ditangkap sebelum tergeletak jatuh di atas lantai.

Saka. Itu jelas suara milik Saka.

Entah pikirannya memang sudah kacau atau terlampau kaget hingga bisa berhalusinasi seperti itu, tapi satu hal yang ia tau adalah rasa hangat yang ia dapatkan detik ini terasa sangat nyata dan nyaman.

Dengan begitu, untuk pertama kalinya di 20 tahun ia hidup, Kayna-pun kehilangan kesadaran dengan air mata yang belum mengering sepenuhnya.