Sore hari, semua anggota vacation ini keluar lewat pintu belakang villa yang memang benar dekat dengan bibir pantai. Kira-kira berjalan sedikit melewati beberapa bar dan cafe-cafe penjual makanan ringan pun sudah sampai.
Rain dan Lea jalan bergandengan. “Gak sabar liat gue Rainnnnnnnn.” ujarnya, mencengkram tangan Rain gemas karena perutnya penuh dengan kupu-kupu.
Rain mengangguk tidak kalah antusias. “Sama. Gue juga gak sabar.” Gadis itu membalas sambil mengayun-ayunkan gandengannya dengan Lea.
Gibran yang mendengar itu reflek tersenyum, menyenggol lengan Jave. “Itu kalo dua lagi jomblo gue gebet gantian.” bisiknya, agar Jinan dan Gio yang memang masih belum dekat sekali dengannya itu tidak mendengar.
“Mata lo gue cungkil berani-berani deketin cewek gue.” Jave langsung melotot.
Kalandra terpingkal tanpa diminta. “Kan dia bilang kalo jomblo anjir, lo kenapa ngegas banget Javvvvv.”
“Makanya.. Perasaan juga barusan aja gelut.” Juna menimpali.
“Gak gelut itu gue cuma diem doang.”
“Sama aja. Lo liat cewek lo dari tadi kelabakan ngajakin lo ngomong mulu sampe berbusa kali kira-kira.”
Jave menghela napas. “Kesel aja, bisa-bisanya di antara banyak tempat Tama bisa nongol disitu. Mana shirtless? Pake acara peluk-peluk.”
“Takdir dari Tuhan kali.”
“Itu malah bikin gue makin kesel.”
“HAHAHAHAHA ya udah. Bungkam aja lo semua guys dari pada kena hajar tangan maut.”
Semuanya tertawa, meninju lengan Jave pelan sebagai bentuk candaan.
“Lukas telpon. Katanya dia udah nyusul jalan bareng Jeva.” Rendy yang barusan melipir itu memberi kabar. Tangannya lantas kembali bergerak untuk mengantongi ponsel.
“Wah Jav, itu kalo langgeng lo sama Lukas bakal jadi saudara hahahahahaha.”
“Ya semoga langgeng.”
“Aminnnnnn aminnnn.” Yang lain membalas kompak seperti tim paduan suara, lantas berjalan cepat menyusul Lea dan Rain yang makin jauh di depan sana.
“Sini Rain.” Jave mengajak, menarik pergelangan tangan Rain karena Jinan mengode padanya ingin berduaan dengan Lea. Entah, sepertinya ingin mengobrol penting.
Gadis itu menurut, melangkah mendekat mengikuti arah tarikan lelaki itu. “Kak Jave..” panggilnya, menggoyang tangannya yang ada dalam cekalan.
Jave masih belum menyahut, matanya tertuju fokus ke depan. Mengawasi air pantai yang berombak pelan dan warna jingga keemasan dari langit di atasnya. Lelaki itu menoleh tepat di detik ke 10. Tersenyum. “Kenapa Rain?” Tanggapnya kemudian.
Rain menggeleng, jantungnya berdetak diluar irama. Menggedor tidak menentu secara dadakan.
Javerio masih menatapnya dengan sorot lembut seraya sesekali mengusap tangan Rain halus di bawah sana. Wajah lelaki itu yang terkena pantulan cahaya mentari bahkan terlihat seratus kali lipat lebih indah dibanding biasanya.
“Rain?” Panggilnya kemudian, membuat yang dipanggil langsung mengerjap sadar. “Kenapa manggil? Kamu mau ngomong?”
“Eh enggak. Aku itu.. Gak tau.”
“Apa?”
“WOI JAV, RAIN!! SINI BURUAN MALAH BERDUAAN AJA MENTANG-MENTANG UDAH KAGA PERANG DINGIN.” Kalandra berteriak, menunjuk Lukas dan Jeva yang kini melangkah mendekat.
Rain terkejut lagi, wajahnya langsung memerah. “Orang ini suka banget ganggu-ganggu momen orang mau ngomong.”
“Hahahaha emang kamu mau ngomong apa sampe kaget jadi merah gitu?”
“Gak tau. Lupa.”
Jave tertawa, menarik tangan Rain lagi untuk kembali mendekati kerumunan.
Terlihat Lukas dan Jeva yang baru datang. Dengan wajah Jeva yang polos tidak tau apa-apa dan wajah Lukas yang sudah keringat dingin bingung harus melakukan apa.
Sorakan ricuh menguar dari bibir Kalandra dan Juna guna mencairkan suasana. “Yuk yuk. Main game yuk.” ujarnya, diluar skenario.
“Hah?” Lukas bingung. Wajahnya lucu sekali.
“Karna waktu yang mepet keburu mataharinya ilang kagak ada suasana romantis. Ngegame dare or dare ya kita!!” Lea melanjutkan rencana sesat Kalandra dan Juna.
“Yuk Le, mulai dari mana kita hahahahaha.”
“Kak Lukee.. Dare or dare kak?!”
“Apaan woy?” Lukas makin kebingungan.
Bulatan matahari yang cantik itu makin terlihat jelas di ujung sana, hampir ditelan lautan.
“Dare or dare kak Lukasssss..”
“Dare.... Apaan anjing?”
Jave terpingkal, mengerling pada Lukas agar tenang. Gibran yang datang entah dari mana itu langsung menyelipkan bunga besar yang dipesan Lukas jauh-jauh hari itu ke tangan sang pemiliknya. Begitu pula Rendy yang datang dengan kue tart cantik berwarna merah muda. Menyerahkannya ke tangan Lukas juga.
Jeva melongo, wajahnya mengerut ikut kebingungan. Sesekali ia melihat ke arah kakaknya sendiri, lalu ke arah Lukas yang kini sudah berlutut di depannya.
Rain dan Lea sontak meremas tangan satu sama lain akibat ikut salah tingkah. Padahal mereka tidak diapa-apakan.
“Jev.. Anu, itu liat aja lah kamu kuenya aku bingung.”
“Apa kak?”
Jave ikut meremas pundak Kalandra, gemas. “Disuruh baca kamu Jev.” ujarnya, menunjuk kue yang ada di tangan kanan Lukas.
Hening.
Jeva membaca tulisan di kue tersebut dengan paru-paru yang kian terhimpit. Jantungnya bahkan sudah menggedor kuat.
“Kamu beneran mau jadi cowokku kak Luke?”
Lukas mengangguk antusias. Jeva spontan melirik pelan ke arah Jave, seperti meminta ijin.
Kakaknya itu hanya balas mengangguk singkat, membiarkan Jeva yang sudah dewasa itu menentukan pilihannya sendiri.
Gadis itu tersenyum, menoleh ke Rain dan Lea yang masih menampilkan ekspresi bahagia itu dengan raut yang seperti ingin ikut ambyar juga.
“Yaelah Jev buruan itu lilinnya mati kena angin!! Kalo lilinnya mati ya berarti lo iyain ajakan Lukas dong itu?”
“Nyalain lagi aja Bran. BRANNN NYALAIN.”
“Santai aja gue kagak budek bangsat.” Gibran yang memang perokok aktif dan selalu membawa korek kemanapun itu segera menyalakan kembali lilin yang ada pada kue tart merah muda tersebut.
“Ayo Jev.... Baca sekali lagi. Kalo tuh lilin lo tiup lo bakal pacaran sama nih siamang seumur hidup karna kalo putus udah pasti dia bakal bonyok digampar kakak lo hahahahahaha.”
Jeva menurut, membaca sekali lagi.
Jev, aku malu. Banyak temenku, ada kakakmu. Kalo mau jadi pacarku, tiup lilinnya ya!
Jeva tertawa lagi, ia lantas memperhatikan Lukas yang sudah mau menunggunya bertahun-tahun itu dengan tatap terima kasih.
“Gimana Jev buruan kaki temen gue kecengklak itu kalo kelamaan berlutut.”
Jeva tersenyum simpul, meniup lilin tersebut dengan kencang tanpa menunggu lama.
“JEV BENERAN?” Lukas reflek bangkit berdiri dari posisi berlututnya.
“Beneran itu udah aku tiup.”
“HAHAHAHAHAHAHAHA IPARAN SAMA JAVE LO KASSSSSS. LANGGENG2 YA.” Kalandra berteriak, menunggu adegan Lukas yang menyerahkan bunga ke tangan Jeva itu dengan gerak canggung.
“Makasih ya Jeva.”
“Hahahaha iya sama-sama.”
“PELUK PELUK PELUK!!!!!” Lea, Jinan dan Gio berteriak nyaring.
“Gue masih disini jangan aneh-aneh.” Jave memprotes, bercanda.
“Yaelaaaaah kakak. GOTONG AJA KAK JAVE-NYA CEBURIN AIR SOALNYA DIA GAK SERU.” Rain berucap, memberi aba-aba.
“EH SAYANG. KOK KAMU GITU?”
“DUILEH SAYANG SAYANGGGGGG.. GOTONG GUYS!!!!!!!!
“HAHAHAHAHA, GOTONGGGG!!!!!”
Lukas tertawa kencang, melihat temannya rusuh menggotong Jave agar masuk ke air pantai.
“Nih monyet ketawa mulu mentang-mentang udah jadian, CEBURIN LUKAS DULUAN WOYYY!!!”
Semuanya menoleh, ganti target. Menurunkan Jave dan ganti berlari mendekati Lukas yang masih melongo. Semuanya spontan mengangkat Lukas cepat dan langsung menceburkannya ke air.
Jeva langsung berlindung di balik tubuh Jave agar tidak ikut-ikut dibawa ke air.
“Nah.. Gitu kan adil. EH EH ANJING GUE GAK IKUT-IKUT.” Kalandra yang barusan berucap puas ikut masuk ke air akibat didorong oleh Jinan.
“Jangan sampe gue dendam.. GUE CEBURIN LO SEMUA LIAT AJA.”
“HAHAHAHAHAHA. EH WOI GUE GAK SALAH APA-APA KALANDRA BRENGSEK!”
“MAMPUSSSSSSS BASAH KAN LO SEMUA.”
“CEWEK-CEWEKNYA MASIH PADA KERING. CEBURIN WOY!!!”
“BERANI MEGANG CEWEK GUE, GUE BIKIN LO SESEK NAFAS DALEM AIR.” Jave keluar, berlari ke arah Rain yang masih saja tertawa lucu.
“Lah aku gak dipeduliin?” Jeva protes.
“Minta dilindungi pacar barumu sanaaaa.”
“GAK GUNA, LIATLAH DIA DICEBURIN GITU AJA GAK BERDAYA.”
Semuanya langsung tertawa.