SPECIAL CHAPTER.
BE HAPPY. I LOVE U ALWAYS.
Marco tengah berdiri di samping meja bundar yang terdapat dalam sebuah acara besar malam ini. Tampilannya rapi, mengenakan setelan serba putih dengan sepatu hitam mengkilat yang terpasang rapi.
Senyum lelaki itu terus mengembang ketika lagu favoritnya, Lucky, mulai mengalun pelan dari arah pemain musik di ujung ruangan.
Lucky i'm in love with my best friend, lucky to have been where i have been lucky to be coming home again.
Entah, Marco sendiri sempat bingung kenapa bisa-bisanya Kayna memilih lagu ini untuk acara besar yang diadakan sekali seumur hidup itu. Bukannya apa, tapi lagu tersebut memang tidak nyambung sama sekali dengan acara ini.
Lelaki itu mengedik pundak, lalu menyingkir ke dekat pintu samping ketika para pramusaji mulai masuk ke ruangan membawa nampan-nampan berisi camilan ringan dan disusul oleh hidangan utama.
Belum, ia belum duduk di kursinya sejak datang tiga jam yang lalu. Pikirannya terlalu mengawang jauh seakan tidak punya arah.
Kaki yang sejak tadi berjalan kesana-kemari itu kini bahkan sudah membawa tubuhnya keluar area, ke arah ruangan putih yang kini tengah ramai oleh para wanita berlalu-lalang. Entah, tapi sudah pasti Kayna ada di ruangan itu sekarang.
Marco menghela nafas kelewat kencang ketika suara-suara keras mulai masuk ke telinganya.
Sial. Kepalanya mendadak berkedut.
“Kay!”
Marco menoleh, suara yang barusan terlontar itu tembus dengan lantang di antara bisingnya suasana.
Itu Saka.
Bisa ia lihat Kayna melambaikan tangan dari kursi kayu di depan sana, tepatnya berjarak 10 meter jika diukur dari letak kaki Marco berdiri detik ini.
Belum. Kayna masih belum melihat dan menyadari keberadaannya. Gadis itu kini bahkan tengah tersenyum cerah sambil sesekali memukul tangan Saka kencang. Biasa, mungkin Saka baru saja melempar jokes receh yang berhasil membuat perut Kayna geli secara dadakan.
“Mau minum?” Marco mengerjap dan menoleh ke belakang, lalu menyingkir mundur mendekati tembok setelah sebelumnya sudah tersenyum menolak.
Ia tidak haus.
Lagipula, ia masih ingin memandangi Kayna dan Saka sebentar saja dari jarak jauh.
Kini tangan Saka terulur pelan, mengajak Kayna agar segera bangkit berdiri dan berpindah tempat karena mama Kayna baru saja muncul dari balik pintu memanggil keduanya.
Marco berdecak, sudah mulai, rupanya.
Lelaki itu lantas bergerak cepat menembus kerumunan agar bisa kembali menuju area utama yang detik ini semakin ramai.
Kursi-kursi terisi penuh tak bersisa, dan aroma makanan sudah menguar lepas dari area dapur siap untuk masuk ke dalam ruangan.
Marco menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang kenalan melambaikan tangan dari kejauhan, tepatnya dari area depan.
“Marco.. Apa kabar?” Ia bertanya ketika kaki Marco sudah menapak di sekitarnya, lantas mempersilahkan lelaki itu untuk duduk disampingnya.
“Baik. Kelewat luar biasa.” Jawab Marco tertawa. “Papa gimana?” Lanjutnya bertanya.
“As you can see, i'm fine too Marco, hahahaha.” Suara tawa lelaki yang dipanggilnya papa itu menguar merdu di sampingnya. “Tapi dimana Kayna? Kok gak datang-datang?”
“Sebentar lagi kayaknya masuk pa.”
“Iya ya, sudah mau mulai juga.”
Marco hanya mengangguk. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan tenggorokannya kering setengah mati.
Ya, lelaki itu mulai menyesali perbuatannya menolak air yang tadi sempat ditawarkan.
“Nah itu dia, mulai masuk.”
Lagi-lagi Marco hanya mengangguk, tidak menoleh, juga tidak bergerak dari posisinya barang se-inci.
Suara tepuk dan sorakan yang berasal dari sekitarnya bahkan membuat kening lelaki itu nyeri setengah mati.
Hingga akhirnya disinilah ia melihat Kayna dan Saka berjalan melewati seluruh kursi dan mulai duduk di hadapannya. Berdiri berdua dengan tangan Kayna yang melingkar manis di lengan Saka.
Mata keduanya bahkan nampak bahagia dan begitu terpukau satu sama lain.
Rentetan acara panjang yang diikuti Marco malam ini berjalan begitu lancar dan mulus tanpa ada kendala sedikitpun.
Kenalannya yang tadi berada di sampingnya itu bahkan kini sudah berjalan-jalan bersama seorang lain yang entah siapa dan hilang termakan waktu.
Marco merenung. Mengawasi kedua kakinya yang menapak di lantai dingin itu dengan tatap kosong.
Bukan, ia bukannya tidak bahagia atas pencapaian baru yang didapatkan oleh Kayna hari ini.
Hanya saja..
“Sak, aku kangen Marco.”
Suara yang barusan mendarat di telinganya itu membuat lelaki itu mendongak.
“Sama Kay. Aku juga.” Saka membalas ucapan Kayna itu dengan tatapan yang tidak kalah kosongnya.
Gue dateng..
“Dia dateng gak sih, kira-kira?”
Marco mengalihkan pandang, dadanya nyeri bukan main melihat mata Kayna yang berkaca-kaca itu tengah memandang ke arahnya secara cuma-cuma.
Hening.
Keadaan sekitar yang masih ramai itu seakan kosong secara mendadak.
“Mar..”
Itu suara Kayna lagi.
Marco menoleh. Menatap cuma-cuma mata Kayna yang kini duduk di kursi kenalannya itu dengan pandangan kelewat kabur.
“Gue tau lo dateng Mar.. Lo sahabat gue dari kecil.” Gadis itu berucap, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang mungkin sudah siap untuk keluar dan tengah ia tahan setengah mati.
“As you can see, gue udah bahagia Mar. Dia selalu ada buat gue pas gue jatuh jungkir balik sendirian ngatasin idup. Saka, maksudnya.”
Marco mendengarkan dalam diam.
“Gue tau ini salah, tapi kenapa rasanya kebahagiaan gue kurang? Gak, bukannya gue gak bersyukur, tapi semua ini emang kerasa gak complete.”
“Lo tau apa Mar? Ya. Karna lo gak ada disini.”
Marco menghela nafas, berusaha menyentuh dagu gadis itu agar mendongak, namun tidak bisa.
“Gue kangen lo banget. Gak ada detik kelewat tanpa gue keinget lo. Lo punya tempat sendiri di hati gue Mar, dan itu nyiksa banget.”
Kali ini Marco bisa mendengar suara Kayna mulai bergetar, mungkin gadis itu sudah menangis sekarang.
Lelaki itu membalik tubuhnya, mencari keberadaan Saka yang sialnya kini sedang dikerubuti oleh para ibu-ibu entah untuk tujuan apa.
“Mar..
“Apa sayang?”
“Lo denger gue kan?”
“Ya. Gue selalu bisa dengerin lo.”
“Mar, gue sayang lo. Maaf selama itu gue gak pernah bisa ngomong sayang serius, tapi gue harap malem ini lo bisa sadari rasa sayang gue tulus banget sama lo.”
Marco berusaha menarik oksigen ketika merasa paru-parunya seperti diikat tali dengan kencang. Matanya memanas, bahkan berair.
Ya, lelaki itu ikut menangis.
“Mar please kalo lo dengerin gue, kasih gue tanda kalo lo emang dateng dan ada disini. Gue frustasi Mar.”
Gue mau, tapi gue gak bisa Kayna.
Lelaki itu hanya bisa berlutut di hadapan Kayna dan berusaha menggapai tangannya.
Dulu, dulu sekali, ia memang terbiasa memeluk, mencium pucuk kepala, menggenggam, dan melakukan hal lain kepada gadis di depannya ini, namun sekarang semuanya tidak lagi mudah.
Waktunya terbatas.
Marco mendesah berat ketika lagi-lagi yang ia rasa hanya udara. Ia tidak bisa menggapai gadisnya.
“Kay..”
Entah mengapa, Kayna mengerjap, lalu sedikit mengangkat pandangannya sehingga Marco bisa melihat gadis itu menatapnya tepat di manik mata.
“Mar?”
Sial. Keadaan ini begitu mempermainkan mereka berdua.
Berada di ruangan yang sama namun dengan kondisi yang sudah jauh berbeda.
“Sialan. Gue halu lagi?” Kayna mengerang, dan sedetik sebelum Kayna memukul kepalanya sendiri, Saka hadir dan menghentikan pergerakannya.
“Kayna sayang. Jangan dipukul.” Ucapnya mengingatkan. “Jangan dipukul lagi, nanti kamu sakit.”
Beruntung Saka hadir di waktu yang tepat.
Kayna tidak menanggapi, gadis itu masih setia menatap ke arahnya seakan mencari jawaban akan panggilan yang tadi sempat dilontarkan.
Just if You let me hug her for the last time..
I mean, before i'm going home.
Dan detik itu juga air mata keduanya mengalir, disertai oleh hembusan udara hangat yang mendarat di sekitar tubuh Kayna serta bisikan pelan yang mungkin hanya bisa didengarkannya seorang diri.
Be happy on your special day Kay. I love you. Always.
Lalu semuanya kembali seperti semula.
Dingin, dan ramai.
Marco sudah pulang.