Start Over, Again.
“Hahahaha kak jangan cemberut. Iya aku join mereka, maaf, tapi kamu seneng kan? Aku yakin dibalik cemongmu ini kamu pasti bahagia.” Rain tertawa kencang, tangannya membersihkan wajah Jave yang penuh cream kue.
Biasalah, anak cowok. Tidak iseng, tidak asik.
Jave hanya menurut saja wajahnya dibersihkan pakai tisu berulang kali. Matanya fokus menatap Rain yang kini duduk di hadapannya. Cantik sekali.
Rambutnya yang tadi terkuncir rapi itu sudah tergerai. Pusing, katanya.
“Eh aku juga punya loh sesuatu buat kamu.”
Jave menelengkan kepala. “Apa?”
“Tunggu disini bentar. Aku lari. 2 menit aku akan kembali okay jangan kemana-mana.”
Jave terkekeh, membiarkan Rain pergi ke kamarnya.
Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri lagi di depannya. Membawa kotak hitam yang sepertinya pernah dilihat Jave sebelumnya.
“Itu kan....?”
“Ya.. Kotak yang kamu liat di laci kelasku. Ini buat kamu.” Rain berucap setelah mengatur napas. Menyerahkan kotak itu pada Jave.
Hening. Laki-laki itu membuka kotak Rain pelan hingga jemarinya menarik kotak kaca lagi yang di dalamnya terdapat gantungan kunci berbentuk bola basket.
Warna biru.
Terbuat dari manik-manik kecil yang disusun begitu rapi.
“Ayo tebak siapa yang buat?” Rain berucap sambil menaikkan sebelah alis.
“Siapa? Bukan kamu lah ya..” Jave berpura-pura bodoh. Balas menggoda Rain.
“Heeeeeeeei enak aja. Itu aku yang buat ya!!!!!!”
“Masa sih?”
“Ya udah kamu kalo gak percaya. Aku sampe rela rewatch youtube berulang-ulang tau.”
“Hahahahahaha Rain.......” Jave reflek tertawa dan mencubit pipi gadisnya gemas. “Kamu kalo istirahat gak mau aku ajak turun, alesannya ini?”
“Tuh kamu pinter. Gitu kok kamu gak percaya aku yang bikin.”
“Emang kenapa biru?” Jave bertanya.
“Biar kamu kalo liat itu inget aku yang bikin.” Rain menjawab agak menyindir. Bercanda.
“Aku gak perlu liat apapun buat inget kamu. Aku selalu inget kamu.”
“Heeei...” Rain lanngsung protes. “Kamu kenapa hari ini giniin aku terus?” Ia merengut, menatap Jave yang kini sudah menatapnya setengah tertawa. Matanya hilang menyipit. Lucu sekali.
“So, mumpung kamu bahas.. Apa jawabanmu?”
“Apa?”
“Yang tadi. Di gor. Gak mungkin lah kamu lupa. Orang pipimu merah banget ta..” Ucapan di bibir Jave terhenti akibat bibir Rain yang mendadak saja mendarat di pipinya.
Hening.
Jave benar-benar terkejut. Jantungnya seperti jatuh dari ketinggian seratus meter. Ia yakin telinganya juga sudah merah sekali saat ini.
Lelaki itu lantas menoleh, menghadap Rain yang kini mematung di sampingnya. Tidak bergerak barang satu senti.
“Maaf.. maaf kak.. it was an accident. Gak sengaja. Gak sadar. Itu tadi kayaknya aku kemasukan siluman kalajengking gitu jadi gak sad.. HEEEEIIII..” Rain reflek mundur menjauh ketika bibir Jave juga ikut mendarat di pipinya.
“Impas. Jangan maaf maaf. Udah. Impas.” Jave berucap, membuka jaketnya karena mendadak saja merasa gerah.
“Udah kejawab. Jadi kamu jangan tanya lagi.” Rain langsung buang muka, tidak ingin memandang Jave karena sudah jelas wajahnya merah padam. Tangannya kebas sekali di bawah sana.
Jave berulang kali juga mengatur napas. Bangkit berdiri, kipas-kipas. Lalu duduk. “Sinting.” Umpatnya tertahan karena jantung yang tak kunjung aman.
“Rain. Ke depan pager mau gak?”
“Biar apa?”
“Gerah Rain. Mules perutku kalo duduk terus.”
“Wajahmu belum dicuci.”
“Nanti. Nanti aja.”
Rain akhirnya memutuskan untuk berjalan ke depan pagar. Menuruti Jave.
“Bentar. Diem bentar.” Jave berucap, menyenderkan tubuh di pintu mobil.
Sedangkan Rain sudah tentu masih membisu. Pikirannya berjalan kesana kemari dan pipinya panas sekali.
“Sorryyyyyy.. Maaf bikin canggung. Tapi serius kenapa kamu bales juga itu bikin makin luar biasa canggung.”
“Biar kamu gak ngerasa aneh sendirian. Aku join.”
Rain mendecih. Berjalan mundur. Masih malu. Ralat, sangat malu.
Tangan Jave reflek menarik pergelangan tangan Rain agar tidak menjauh. “Jantungku gak aman Rain. Kenapa kamu giniin aku!!!”
“Heii. Samaa..” Rain yang tadinya mau mengomel itu langsung batal. Gadis itu lanjut mengaku.
Jave memutuskan untuk mendongak saja ke atas. Membiarkan jantungnya normal sendiri sementara tangan Rain masih ada dalam cekalannya.
Langit sedang bagus. Tidak ada bulan memang, tak terlihat. Tapi ratusan bintang terbentang nyata, tampak sangat jelas.
Hening. Lama sekali. Mereka berdua hanya diam membiarkan masing-masing hati bekerja menuruti aliran waktunya sendiri-sendiri.
“Kak..”
“Hm?”
“Kamu inget yang di pertigaan sekolah kemaren aku bilang makasih?”
Jave menundukkan wajah kembali. Melihat Rain di matanya. “Inget.”
“Itu makasih buat apapun yang kamu kasih ke aku.”
“Aku kasih apa ke kamu? Aku belum pernah beliin sesuatu yang official buat kamu. Malah kamu duluan yang kasih gantungan ini buat aku.”
“Bukan barang. Tapi atas perhatianmu ke aku. Makasih udah kasih sebagian waktumu buat aku, makasih udah kasih ke aku semua jenis pengertian yang sebelumnya jarang aku dapet sejak papa gak ada. Makasih kak.. Makasih udah suka ke aku dan pilih aku kemaren.”
“FFFFFFF..” Jave hampir meninju mobil.
“Apa sih orang lagi serius.”
“Kamu.. Kamu diem aja.. please. Sebelum tanganmu aku gigit beneran.”
“Lah apa sih kan aku berbicara apa adanya ini serius reaaaal.”
Jave menahan seluruh perasaannya karena tidak bisa berbuat apapun lagi. Sudah cukup hatinya tidak keruan karena kecupan singkat beberapa menit lalu.
“So, yes?” Jave akhirnya bertanya, memastikan.
“Apanya sih ya kan kita memang sudah berpacaran. Kenapa kamu pake acara tembak aku lagi.”
*“Just wanna start over again, i guess?” *
“Wah...” Rain speechless. “Bisa-bisanya masih bertanya.”
“Aku mau ajak kamu ngedate beneran malming besok. Kemana aja. Aku turutin.”
Rain memicing. “Mau keluar kota?”
“Sure.”
“Ke makam papaku..”
Jave mengelus punggung tangan Rain. Mengangguk.
“Aku bohong.. Itu jauh.”
“Deket sih.. Tol lah.”
“Bener?”
“Yaaa.”
Rain mendadak berkaca-kaca. “Aku udah lama gak kesana. Makasih banyak.” Serunya tertahan.
Jave mengangguk. Mengusap-usap mata Rain yang sempat basah beberapa detik lalu.
“Wanna hear another confession?” Rain bertanya.
“Ya.. Apa?”
“I love you too. I mean i like you, like.. like a lot? i don't know how to show feeling to other people, so that's why i kissed you on your cheek before. People said, kissing is the another language of love. Yeah.. so.. you know..”
Rain mengerjap juga pada akhirnya, jengah diperhatikan oleh Jave terus-terusan.
“Hahahahahahahaha. Jadi hari ini kita hari pertama lagi, kan?”
Sial.. Untuk pertama kalinya Rain ingin mengumpat karena jantungnya tidak mau diam.
“Ya. Oke. Akan kuturuti semua maumu termasuk pacaran lagi.”
Jave mengangguk puas. Mengayun tangannya yang masih berpegangan itu semangat. Seperti anak kecil yang sedang kegirangan.
“Gak nyangka.”
“Gak nyangka apa?”
“Ya maksudku, kalo aku kemaren gak jadi ketua basket dan kamu gak jadi bendahara kelas.. kayaknya sampe sekarang kita gak akan mungkin bisa kenal.”
“Oh.” Rain terkekeh. Mengiyakan kebenaran ucapan Jave.
Karena jauh di lubuk hati ia sadar jika dirinya sendiri terlalu pasif dan posisi Jave terlalu melambung tinggi di sekolah. Keduanya bertolak belakang.
“Jadi besok aku boleh mondar-mandir temuin kamu di sekolah?”
Rain mengangguk. “Ya. Ayo mulai dari pertama lagi secara bebas besok.” Ucapnya tersenyum cerah.
Jave mengusap pucuk kepala Rain lama. Lalu lanjut mendekapnya erat.