TEDDY BEAR, R-L-J.
“Morning, sweetheart.” Jave menyapa ketika melihat kaki Rain mendarat di anak tangga bawah sendiri, lalu segera bangkit berdiri dari duduknya. Lelaki itu lantas mengantong ponsel dan berjalan mendekat.
“Pagi kak Jave. Tapi tolong jangan cringe. Hari bahkan masih belum jalan tapi kamu udah main sweetheart sweetheart aja.”
“Hahahahahaha. Sini, ayo jalan ke depan. Gak usah bawa apa-apa aku bawa dompet kok udahan.”
“Aku juga bawa kok ini. Tapi omong-omong mana kipasku? Aku gak mau jalan di depan tanpa dia.”
Jave tertawa, menunjuk tas kecil di atas meja. “Aku masukin situ, gak tau kalo kamu mau bawa soalnya.”
“Baterainya penuh kan?”
“Penuh lah Rain.”
Rain mengangguk senang, “Oke ayo berangkat. Beli 10 porsi apakah mereka ada request minum juga?”
“Gak ada sih, biar pada minum air putih aja jangan keseringan minum manis-manis.”
“Oke, ayo sini kita jalaan.” Rain berucap, menyodor telapak tangan.
“Minta gandeng atau minta kipas nih Rain?”
“Oh gitu? Kamu sekarang suka main-main begini memang.. Oke.. Oke kamu jalan sendiri aja jangan sentuh aku.” Rain membalas, menurunkan tangan.
Jave reflek terpingkal makin kencang, berjalan menyusul Rain yang sudah agak jauh di depan karena langkahnya yang dipercepat tersebut. Lelaki itu lantas menyambar tangan Rain ketika sudah berdampingan, lalu menggenggamnya erat. “Yuk jalan.” ujarnya, tersenyum senang.
Panas. Satu kata yang dapat mendeskripsikan bagaimana kondisi jalanan pagi ini. Masih pukul 9 sebenarnya, tapi matahari memang semangat sekali menyinari bumi.
“Rain Rain liaaaaaaaattttt..” Dalam perjalanan kembali menuju villa milik sepupu Kalandra, Javerio tiba-tiba semangat menunjuk toko terbuka di pinggir jalan yang menjual boneka-boneka besar dengan tulisan DISCOUNT 25%.
Rain menoleh sebentar, lalu kembali melihat ke arah Jave. “Kenapa? Kamu mau beli kah?”
“Emang kamu gak mau?”
“Harga kalo disini itu lebih mahal meski ada tulisan discount tau.. Kamu gak tau.. HEEEI DEMI APA KAMU DENGERIN AKU DULU KENAPA MAIN DISERET AJA SIH???”
“Permisi, bli..” Jave menyapa, melemparkan senyumnya. “Harga per item berapa ya?” Ia bertanya, mengunci tangan Rain makin rapat agar tidak banyak berontak.
Penjaga toko tertawa hangat menyambut kehadiran mereka berdua. Umurnya kira-kira lebih tua sedikit dari pada Jave, atau malah seumuran.
“Panggil Daffa langsung aja ndak apa mas, saya asal Jawa Tengah.”
“Oh... Oke mas Daffa, jadi harganya?”
“Yang besar ini 200 ribu mas. Ada warna biru, merah muda, sama cokelat aja. Kalau yang kecil ini 150 ribu. Untuk warnanya sama sih. Tapi ada spesialnya mas, di kalungnya ini kan masih kosongan. Bisa ditulis inisial nama. Mau beliin buat ceweknya mas?”
Jave tersenyum, mengangguk. Semakin mengeratkan cekalan tangannya agar Rain tidak tiba-tiba menolak pemberiannya. “Dua yang besar ya mas? Yang satu R warna biru muda. Yang satu J warna merah muda.”
“Kakakkkkkkkkkkk..”
“Oh bentar.. Kasian Lea.”
“Udah nggak usah jangan aneh-aneh sumpah kamu ini astagaaaa..”
“Satu lagi mas biar adil warna cokelat muda besar inisial L ya mas.”
Daffa mengangguk. Banjir uang, pikirnya. “Tunggu 15 menit ya mas. Sambil makan sate di depan situ bisa. Atau es hawaii banyak nanasnya.”
Jave mengangguk, menyerahkan kartu debitnya sebagai bentuk pembayaran. Memprosesnya cepat, lalu melangkah keluar.
“Kamu gak dengerin akuuuuuuuu.” Rain mengomel pelan, wajahnya memerah menahan malu.
“Itu keitung murah tau yang besar. Bulunya lembut banget tadi. Lagian aku gak pernah beliin kamu yang beginian di depan mata sendiri. Kamu gak pernah minta barang ke aku dan gak pernah ijinin aku beliin apapun buat kamu.”
“Kakakkkkkk....” Rain tiba-tiba menyenderkan wajahnya ke lengan Jave. “Oke thank you, besok gantian kamu aku beliin yang lain oke?”
“Beliin apa coba?”
“Ya gak tau apa gitu.”
“Gak usah sayanggg..” Jave tertawa, mengelus rambut Rain pelan.
“Tapi aku serasa ngutang ke kamu.”
“Ya udah bayar sini.”
“Mau dibeliin apa?”
Jave menyodor pipi. “Cium.”
“HEEEEI.”
“HAHAHAHAHA. Makanya nggak usah. Nggak ada aku ngerasa kamu utang ke aku astaga mikir apa sih Rain..”
“Mas! Sudah selesai..” Daffa berteriak, memberi tahu. Wajahnya sumringah sekali ketika menenteng 3 bungkusan besar yang diserahkan satu persatu ke tangan mereka.
“Saya bungkusin spesial ini buat masnya.”
“Haha iya, thanks ya mas Daffa.” Jave menunduk sopan, melangkah menjauh dengan tangan penuh barang.
“Aku bawa 1 doang kan ini, mana bungkusan buburmu aku aja yang bawa..”
“Berat Rain.”
“Ya udah kasih aku 1 bonekanya lagi aku bawain. JANGAN NOLAK LIATLAH TANGANMU PENUH SIAPA YANG TEGA???”
Jave menurut, menyerahkan 1 bungkusan boneka ke tangan Rain. Lelaki itu lantas menoleh, tertawa keras. “Loh loh... Cewekku mana kok ilang?”
“Maksudmuuuuuuuu?”
“Heei serem banget Rain, ada suaranya tapi gak kelihatan.”
Rain paham bahwa Jave tengah meledeknya. “Oke. Awas aja nanti kamu aku jambakin betulan. Tiada ampun pokoknya.”
“HAHAHAHAHAHA. Omong-omong banget aku baru sadar, kenapa tadi beli buburnya gak pake jasa online aja ya? Kan pasti mereka terima pesanan online?”
Rain mengangguk. “Iya juga.. Kenapa gak pesen di aplikasi aja?”
“Gak tau, kayaknya aku ngehang betulan. Tapi gak papa, dengan jalan tadi kita dapet 3 anak lucuu.” Jave memainkan alisnya naik turun.
“Anakmu aja.”
“Kamu gak suka?”
“SIAPA BILANG AKU GAK SUKA?”
“Kalo gitu kamu mau bayar aku beneran?”
“Katanya tadi gak usah dibayar kenapa kamu plinplan?”
“Pipi sekali aja please?”
“Gak.”
“Pipi kiri aja.”
“Ini rame orang berlalu lalang kenapa kamu minta ciummmm terusssss.”
“Oke.. Oke kalo kamu gak mau sekarang, bisa nanti-nanti pas tanganku free.”
Rain mendengus. Berjalan lebih cepat untuk belok ke gerbang villa sewaan mereka.
“Rainnn.” Jave tiba-tiba berteriak.
“Apaaaaa.........”
“Besok-besok aku nikahin mau nggakkkkkkkk?”
“IH.” Rain melotot. Berlari naik di tangga batu untuk masuk ke ruang utama. Meninggalkan Jave yang semakin semangat saja mengejar di belakang sana.