THE WORDS THAT FALLIN DOWN.
“Kay..” Saka memanggil pelan ketika telinganya tidak menangkap getar suara Kayna sedikitpun dalam dekapannya malam ini.
Tertidur?
Saka benar-benar ragu akan hal tersebut.
“Kayna.. Beneran udah tidur?” Lelaki tersebut mengulang sapaannya sembari mengelus puncak kepala Kayna yang tertutup topi hoodie berwarna merah muda dengan halus.
Kayna hanya diam, tidak terdengar menjawab ataupun menggerakkan badannya barang satu senti.
Lelaki itu lantas mendesah berat, lalu mulai mengeratkan pelukannya dan mengusuk pelan lengan Kayna yang mungkin saja memang sudah jatuh terlelap akibat efek samping obat dokter yang beberapa hari lalu diresepkan kepadanya.
Gadisnya tengah memejamkan netra, terlihat begitu damai meski bengkak bawah matanya terlihat begitu jelas dan susah hilang akibat terlalu banyak mengurai air mata.
“Berat ya Kay, ditinggal orang yang disayang pergi buat selamanya? But it's okay, Tuhan tau kamu kuat buat jalaninnya. Anggep aja ini cara awal Tuhan buat nguji kalo kamu emang tegar dan tetep bisa bersyukur sama keadaan terburuk sekalipun. Percaya terus sama Tuhan ya Kay. Dia pemilik dan pencipta semesta yang baik kok. Serius.”
Saka menghela nafasnya ringan dan mulai menyenderkan kepala pada milik Kayna yang kini tengah tertidur diam di pundaknya.
Gadis yang masih baru beberapa minggu menjadi kekasihnya itu benar-benar hening tidak bersuara setelah sebelumnya sempat meracau marah tidak jelas akibat kelupaan menyapu halaman rumah Marco sore ini.
Sepi.
Angin malam mulai berhembus kencang menyapu tubuh dengan suhu dinginnya yang lagi-lagi begitu tidak bersahabat.
Cuaca mendung dan gelap di atas sana juga bahkan terasa tengah tertawa melihat cobaan hidup yang dialami kedua manusia muda tersebut.
Saka memejamkan matanya perlahan, lantas terdiam cukup lama hingga pikirannya yang sempat tenang itu mulai berlarian tak tentu arah tanpa tujuan.
Tentang Kayna yang akhir-akhir ini berubah total akibat ditinggal pergi oleh Marco hingga berakhir menuju psikiater, dan tentang betapa mengenaskannya gadis itu yang terus-terusan hampir memukulkan kepala ke tembok akibat sakit yang menyerang tidak tau ampun.
Tentu saja Saka paham betul bagaimana rasa sakit yang dialami oleh Kayna karena pernah mengalami hal serupa di masa lalu.
Lelaki itu lantas menarik nafas dalam ketika otaknya kembali berputar cepat dan berakhir jatuh pada moment dimana ia sedang duduk di pangkuan sang ibunda 13 tahun lalu. Dengan radio terputar keras di dalam mobil, memutar lagu-lagu ringan ala hari minggu yang begitu menyejukkan pendengaran.
“Saka, besok kamu pas besar mau jadi apa nak?” Mamanya bertanya sembari membenarkan anak rambut Saka yang berjatuhan kasar di depan wajah.
Saka tersenyum dan menoleh menghadap mamanya, “Mau jadi dokter dong ma! Kayak papa, keren.. Apalagi kalo berhasil nolongin banyak orang.”
Papanya menoleh dan reflek tertawa, “Jadi dokter harus mau berkorban lho Saka, gak boleh takut sama sekitar dan harus berani take all risk! Jadi dokter harus rela kalo kita akhirnya gak bisa nyelametin nyawa orang dan terpaksa liat dia pergi. Bisa?”
“Bisa Saka bisa!”
“Hahaha iya deh papa percaya.” Papanya lagi-lagi tertawa menanggapi kemudian mulai mengalihkan tatapannya kepada anak perempuan yang berada di pangkuannya sendiri, Sena Lionavia Hindrawan, kembaran Saka.
“Coba kalo Sena mau jadi apa besok pas besar? Papa mau tau.” Papanya ganti bertanya sembari mengoper gigi mobil dengan lihai.
Sang anak terlihat sok berpikir, lalu ketika telah menemukan jawaban, ia menjentikkan jari kecilnya sembari berucap dengan semangat, “Sena mau kayak mama aja, pokoknya sayang sama orang-orang, baik, terus sabar banget sama anak kecil. Males jadi dokter, capek, biar Saka aja yang nolongin orang, Sena diem di rumah jadi mama-mama rumah tangga yang ngurus kerjaan rumah.”
Lucu.
Jawaban super menggemaskan itu keluar bergantian dari bibir anak kembar berusia 6 tahun yang tengah menikmati acara liburan minggu mereka menuju pedesaan.
Bersama kedua orangtua yang suka melempar tawa dan gurau satu sama lain serta kembar dua yang sesekali meracau kacau membuat ulah, benar-benar sebuah paket komplit untuk suatu perjalanan keluarga.
Keempatnya masih bercakap-cakap santai ketika mendadak saja sebuah klakson yang berbunyi keras dari arah samping membuat mereka semua menoleh dan melihat sebuah truk pengangkut kayu yang tengah melaju kencang tanpa kendali.
Semuanya berlalu begitu cepat, truk kayu tersebut menghantam mobil keluarga Saka hingga terseret jauh dan berguling ke sudut jalan.
Teriakan-teriakan warga sekitar yang tidak sengaja menonton terdengar ricuh dan tidak ada diantaranya yang langsung menelpon ambulan demi meminta pertolongan.
Saka mendengar mama, papa dan adiknya menjerit serta menangis. Darah ada dimana-mana. Serpihan kaca yang pecah sudah berserakan dan bahkan beberapa diantaranya menancap kaku pada kulit tubuh.
Saka meraba kulit badannya yang hanya terdapat luka sebagian karena sang mama memeluknya begitu erat, hanya titik-titik cairan oli pekat yang menetes kental pada dahi dan beberapa bagian tubuhnya.
Anak lelaki tersebut lantas mendongak pelan, mencari celah agar kepala kecilnya bisa bergerak mencari keberadaan keluarganya yang terhimpit satu sama lain di dalam sana.
Papanya yang sudah memejamkan mata dengan darah yang mengucur deras bersama adiknya yang sudah terpental keluar, serta mamanya yang kini perlahan juga mulai terkulai, melepaskan dekapan kuatnya pada Saka yang hingga detik ini masih utuh bernyawa tanpa cacat sedikitpun.
“Minggir-minggir, diharap kerumunan untuk bubar! Petugas akan segera datang!”
Sayup-sayup Saka mendengar suara orang-orang yang berteriak gaduh dan suara sirine ambulan yang mendekat hendak memberikan pertolongan.
Namun terlambat, semuanya terasa telah usai karena Saka kecil melihat para petugas yang menutup perlahan mata keluarganya dan menutupi seluruh tubuh mereka dengan sebuah kain hitam hingga ke kepala.
Dunianya jatuh, dan detik berikut yang ia benar-benar ingat adalah jatuh pingsan pada pelukan seorang petugas ambulan.
Saka menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, tanpa sadar air matanya keluar sedikit demi sedikit mengingat ketiga anggota keluarganya yang telah pergi secara tragis tersebut.
Oma yang diam-diam ingin mengakhiri hidup akibat sedih berlarut panjang dan opa yang melampiaskan segala emosi kepada Saka hingga bertahun-tahun, serta kembaran papanya, om Arya, papa Dimas, yang juga turut membabatnya habis tanpa ampun secara diam-diam.
Kalimat-kalimat kasar seperti, “Anak sial.” “Anak gak berguna.” dan “Pembunuh kecil.” yang kerap kali ia dengar juga kini mulai bersaut-sautan, membuat tubuhnya bergidik sebentar kala mengingat benda-benda yang kerap kali dilayangkan kepadanya di 13 tahun ia hidup.
Saka kembali membuka mata agar bayangan buruk itu segera pergi dari otak, lantas mengeratkan pelukannya pada Kayna seakan tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai untuk kedua kalinya.
Gadisnya bergerak pelan dalam pelukan, tangan yang sejak tadi terkulai di bawah itu bahkan perlahan mulai memeluk pinggang Saka dengan tidak kalah erat.
“Kay? Kamu bangun?” Saka nampak terkejut merasakan pergerakan Kayna yang secara tiba-tiba tersebut.
Gadis itu lantas hanya bisa membisu dan sesekali membenamkan wajahnya pada dada bidang Saka agar bisa meredam tangisnya yang mulai turun.
Iya, tanpa sadar, Kayna memang terbangun akibat Saka yang menyuarakan pikirannya sejak awal tadi.