THEIR FIRST CLOSE TOUCH.
Karel dan yang lain tengah makan dan duduk di dalam salah satu tenda warung pinggir jalan. Lokasinya persis di dekat alun-alun, jadi bisa dibayangkan suasana malam ini begitu ramai luar biasa. Karel tadi juga sudah ijin dengan mamanya bahwa akan menemani Jave, jadi dia aman dan bebas akan pulang jam berapa.
Rain berdiri di ambang pintu mobil bagian depan dengan kakinya yang kini sibuk bermain sendirian. Kadang ia berjinjit, lalu berdiri normal. Ia melakukan hal itu berulang kali hingga Jave yang tadi masih membenarkan balutan perban kakinya itu berhenti. Lelaki itu lantas mendongak. “Kamu ngapain?” Tanyanya.
“Gak ngapa-ngapain. Main aja. Pesenan makanmu tadi apa ya omong-omong kok gak jadi-jadi?”
Jave menggeleng, tangannya meraih tangan Rain yang berada tepat di hadapannya. “Aku gak pesen makan. Kalo punyamu mana?”
“Kenapa kok gak pesen?” Bukannya menjawab, ia balik bertanya.
“Males, gak mood. Nanti aja. Pesenan makanmu mana?”
Rain lagi-lagi tidak menggubris, gadis itu lantas mengerutkan alisnya. “Kamu mesti mikirin basket tadi, kan?” Tembaknya tanpa basa-basi. “Jujur aja kenapa kamu nyalahin diri sendiri? Itu bukan salahmu kok. Serius aku gak lagi mau ngehibur atau ngomong hoax tapi emang bukan salahmu.”
“Tapi aku hari ini gak main maksimal Rain. Kalo kakiku gak sakit aku yakin bisa sumbang nilai lebih banyak dari hari ini. Omong-omong pertanyaanku belum dijawab, mana pesenan makanmu?”
“Aku gak pesen makan. Aku lagi kenyang.” Gadis itu menjawab, menghela napas. Ia bukan tipe manusia yang bisa mengucap kalimat-kalimat positif untuk menenangkan lawan bicara. “Tapi ya, kalo basket hari ini kalah tuh bukan berarti ini salahmu kak. Maksudku, anggota timmu banyak kan? Mereka bisa kok sumbang nilai juga, gak harus kamu. Maksudku.. kamu tau aku ngomong apa gak sih? Ya gimana ya, maksudnya itu anggota basket kan banyak gak cuma kamu aja. Jadi kalo ada kalahnya bukan kamu aja yang salah. Lagipula hari ini kamu sumbang nilai dari jarak 3 point juga banyak banget. Hampir separuh lebih nilai akhir kamu yang kasih. Kamu udah maksimal hari ini meski kakimu sakit. Harusnya kamu gak sedih.”
Jave hanya diam, mendengarkan. Lelaki itu menatap lurus mata Rain yang tadi sudah berbicara panjang lebar itu tanpa berkedip sekalipun.
“Apa kamu liat-liat? Omonganku muter, kan? Emang.” Rain berakhir memalingkan wajah karena merasa panas sekali.
“Liat sini Rain.”
“Males, kamu pasti mau ngeledek.”
“Enggak.”
Rain menggeleng. “Gak mau.”
“Kenapa?”
“Degdegan, kamu ngeliatin aku, kan?”
Jave tertawa. Tawa pertama yang lepas setelah dari tadi lelaki itu galau akibat kalah bertanding dan memikirkan nasib kaki yang cedera tersebut. Ia lantas menarik tubuh Rain maju dan memeluk pinggang gadis itu erat akibat gemas. Pelukan pertama mereka, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali karena terjadi ketika yang satu masih duduk menyamping di dalam mobil.
“Eh..” Rain reflek melotot. Hendak protes, tapi pelukan Jave tersebut terlalu rapat. Lelaki itu menyenderkan kepalanya pada perut Rain.
“Kamu tuh lucu and precious banget.”
“Kak..” Rain speechless. Tidak bisa berucap apa-apa lagi karena jantungnya yang sempurna meledak di dalam tubuh. Kaki gadis itu bahkan sudah melemas sempurna sekarang.
“Iya aku tau. Kamu deg-degan, kan? Kerasa.”
“Heh!”
“Tapi aku juga deg-degan. Sama. Jadi nikmatin dulu aja Rain.”
Gadis itu meringis karena rasa-rasanya ingin menangis. Ia lantas menarik napas banyak-banyak agar kondisi jantungnya stabil sesaat.
“Kak.”
“Hm?”
Rain hanya diam. Ia kemudian memberanikan diri untuk menyentuh kepala Jave yang sudah menemukan tempat nyaman itu dan mengelus rambutnya pelan. “Kamu kalo sedih gara-gara mikir yang lain nyalahin kamu, jangan ya? Gak ada yang nyalahin kamu kok. Kalopun ada ya gak usah didengerin. Mereka cuma gak tau apa yang udah kamu perjuangin aja makanya ngejudge seenak jidat.”
“Hm. Kamu tau gak Rain?”
“Apa?”
“Jantungku makin ribut pas kamu peluk kepalaku. Kamu gak kerasa?”
Rain menegak ludah. “Gak.” Jawabnya.
“Rasain bentar sini.” Jave berucap, lalu menarik lepas pelukannya. Lelaki itu lantas berdiri, menopang berat tubuh pada satu kakinya yang tidak sakit, kemudian menarik kembali tubuh Rain masuk dalam pelukan.
“Sekarang udah kerasa?” Jave bertanya ketika kepala gadis itu sudah menempel di dadanya.
Sial. Jave benar-benar wangi dan sepertinya enak sekali untuk dipeluk. Rain spontan memejamkan mata, dan tepat ketika ia masih mencari ketenangan itu ia mendengarnya. Detak jantung lelaki itu benar terasa di pipinya yang menempel. Tidak teratur, kencang sekali.
“Kak ini kamu gak ada turunan jantung apa gimana kan? Itu kayaknya mau lepas.”
“Kan?”
Rain mengangguk, “Punyaku tadi kayak gimana?” Ia bertanya polos sekali.
Jave langsung tertawa tanpa suara, tidak menanggapi. Lelaki itu lantas mengelus pucuk kepala Rain sayang. “Omonganmu yang tadi kamu kata muter-muter itu aku dengerin kok Rain. Thank you ya, aku ngerti kok kamu ngomong apa tadi.”
“Iya kah?”
“Iya lah.”
Rain sudah ingin membalas lagi ketika suara heboh Jinan tiba-tiba membuat pekak telinga.
“ANJIR LE, KITA BAHKAN BELUM PERNAH GANDENGAN!!!! TEMEN LO YANG SELAMA INI LO KIRA ANTENG DIAM DAN POLOS UDAH PELUKAN!!!!! SAMA COWOK IDAMAN LO PULAAA!!!!!”
Jave tersentak, melepas pelukan. Sedangkan Rain langsung memejam mata, tidak berani menoleh.