THEIR NEXT LEVEL.


Saka tengah mendudukkan pantat dengan posisi kaku dan raut kosong di kursi besi teras Derry seorang diri. Punggungnya yang masih lebam itu masih tersisa dan terasa kian nyeri terkena tusukan liar udara dingin pagi hari.

Lelaki itu perlahan mengernyit ketika pergelangan kakinya yang bertambah sakit akibat digunakan untuk berlari semalam itu tidak sengaja terbentur dinding tinggi, lantas memutuskan untuk pergi dari teras dan kembali masuk ke dalam rumah demi melihat kondisi Kayna yang menurutnya sungguh sangat mengenaskan hari ini.

Sejak semalam gadis itu sadar dari pingsan, raut wajahnya yang muram dan pandangan mata kosongnya yang begitu terlihat menyedihkan itu tidak bisa disembunyikannya barang seinci.

Bahkan air mata yang kian mengering dan terkuras habis itu seakan masih ingin keluar kala tangan Saka menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam pelukannya malam tadi.

Benar-benar waktu gelap yang panjang.

Dengan kedua manusia yang terduduk diam bersama pikirannya masing-masing sementara tangan bertaut nyaman satu sama lain. Rasa rindu yang belum tersampaikan di antara keduanya itu juga terpaksa ditepis menjauh mengingat kondisi Kayna yang kian terlihat seperti mayat hidup duduk di samping tubuh.

Saka perlahan menundukkan kepala muram. Matanya yang mengawang itu tembus melewati pot-pot tanaman milik ibunda Derry yang terawat mulus di dekat pintu masuk yang masih saja terasa sepi seperti sebelumnya.

Maklum, orang tua Derry memang sudah berangkat bekerja dan teman-temannya yang semalam ikut menginap bersamanya itu juga masih terlelap di kamar belakang.

Pikirannya kacau. Bergerak jauh menelusur setiap kalimat yang Kayna ucapkan padanya tadi malam, tentang segala kekacauan yang terjadi di dalam pesta dan tentang bagaimana sepupu yang selama ini dianggapnya jahat itu membuka suara demi mengangkat kembali namanya.

Hening. Saka membuang nafas pelan dan memutuskan untuk menyambung langkah menuju kamar tamu Derry yang berada di tengah ruangan.

Dengan perlahan diketoknya pelan tempat yang dipakai oleh Kayna itu hingga akhirnya sang peminjam mempersilahkannya masuk ke dalam.

Saka menelan ludahnya ragu, lantas bergerak memasuki kamar dan membiarkan pintunya terbuka lebar.

“Lo mau pulang sekarang Kay?” Lelaki itu bertanya pelan ketika melihat Kayna tengah sibuk mengemas jepit-jepit salon yang kemaren menempel di kepalanya ke dalam tas kecil dengan kondisi luar yang terlihat sudah rapi.

Gadis itu menatapnya, lalu tersenyum simpul dan mengangguk. “Iya. Makasih banyak ya Saka. Gue nggak nyangka setelah lo ngilang hampir seminggu dateng-dateng malah jadi penyelamat kepala gue.”

Lagi, Kayna masih sempat-sempatnya melontar canda disela kesedihannya.

Saka hanya diam dan tidak memberikan respon apa-apa sementara kakinya mulai berlutut di depan tubuh Kayna yang kini tengah tenggelam di dalam hoodie putih tulang miliknya dengan tatap sendu yang belum menghilang.

Tangan lelaki itu bergerak pasti memegang kedua pundak Kayna dengan mata yang menatap fokus dan lurus ke depan. “Kay, please lo kalo masih sedih nangis aja nggak papa.. Nggak usah sok tegar kalo misalnya lo nggak kuat. Nangis itu nggak bikin dosa kok. Semua orang berhak buat nangis. Please jangan sok kuat di depan gue. Sebaliknya kalo lo emang mau marah dan ngelampiasin semuanya, ya keluarin aja. Gue janji bakal selalu denger dan pinjemin bahu gue buat lo selama gue emang masih ada di muka bumi.”

Kalimat panjang yang terlontar tegas itu spontan membuat Kayna tertegun. Matanya yang sebening kaca kembali memerah terisi air mata lengkap dengan bahu yang kian merosot akibat goyah hati.

Lelaki itu berhasil membuatnya merasa penting dan begitu diutamakan. Juga membuatnya merasa pantas disebut sebagai seorang wanita yang layak dilindungi dan dijaga.

Dengan perlahan dihapusnya sendiri air mata yang hampir saja keluar itu demi menatap fokus manik Saka yang masih melihat lurus ke arahnya dengan intens.

Keduanya terdiam dengan posisi tidak berubah sedikitpun. Seakan menikmati detik-detik yang terus bergerak diiringi oleh irama indah masing-masing jantung yang kian keras berdetak.

“Kay, gue tau ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin masalah lain. Tapi apa lo mau putusin gue sekarang?” Saka berucap dengan suara bergetar dipupuk rasa canggung.

“Maksudnya?”

Lelaki itu hanya diam, membiarkan jantungnya yang kian menggila itu untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan ucapannya.

“Gue mau putus dari hubungan drama kita kemaren Kay. Instead, ayo pacaran sama gue beneran mulai detik ini. Lo mau kan, percayain hati ke gue?”

Kayna reflek membulatkan matanya sempurna. Bahu dan kakinya yang tadi lemas itu seketika juga ikut menegang kaku.

“Apa?” Tanyanya bodoh.

Saka lagi-lagi hanya terdiam tanpa pernah melepas sedetikpun pandangan matanya dari mata Kayna. Wajah cantiknya yang berada dekat di depan tubuh dengan rambut panjang yang masih menguarkan aroma shampoo berbau cokelat bercampur mint itu benar-benar memabukkan pikiran.

Saka lantas tersenyum lemah dan menggeleng pelan, lalu mulai mendekatkan tubuh dan mengecup pipi merah Kayna yang sudah sepenuhnya memanas itu dengan gerakan ringan.

Gadis itu reflek terkejut, tangannya yang terkulai bahkan sudah mulai meremat sprei akibat kecupan Saka yang kini tengah bergeser perlahan menuju bibirnya.

Jantung kedua manusia itu kembali menari. Tangan Saka yang tadinya berada di pundak Kayna itu bergerak turun menggenggam lembut tangannya yang menegang kaku seraya sesekali mengelus halus.

Ciuman yang aneh, tidak dilakukan oleh dua orang profesional melainkan oleh kedua amatir yang sama-sama melepas firstnya satu sama lain.

Perlahan Kayna memejamkan matanya. Mulai menerbangkan rasa kaget yang ia dapat dan menikmati rasa rindu yang kini menguar lepas bersamaan di dalam sana.

Pacu jantung yang turut menggila menjadi sensasi tersendiri bagi keduanya hingga akhirnya Saka melepas ciuman tanpa aba-abanya itu dengan perlahan.

Ditatapnya dekat mata Kayna dengan lekat, lantas mengucapkan kalimat yang mampu membuat gadis itu kehilangan kewarasan di tengah masalah yang masih belum usai itu dalam sekejap.

“Gue kangen lo banget Kayna.. Gue harap lo juga ngerasain hal yang sama dan mau berbagi keberatan lo di bumi ini karena baru kali ini gue ngerasain bener-bener jatuh hati di tempat yang tepat. Biarin gue jaga lo semampu gue selama masih bisa dan masih sempet. Lo mau kan, Kay?” Lelaki itu bertanya pelan di samping telinga, membuat Kayna yang kini tengah memegangi bibir basahnya dalam hening itu kian melongo terbang dan lupa jalan untuk turun kembali ke bumi.

Gadis itu lantas mengangguk ringan mengiyakan dan menundukkan wajahnya yang kali ini benar-benar panas terbakar.