tonight, inside the water.


Malam pekat kembali hadir. Tanpa awan memang, bahkan terbilang cukup cerah dengan ratusan bintang yang tercetak jelas di atas sana.

Angin malam yang tak terasa dingin itu berhembus, menyapu kulit dua manusia yang sekarang tengah sibuk bermain air di kolam dengan kedalaman 2 meter tersebut.

“Anget kan Rain?” Jave bertanya, membuka percakapan. Lelaki itu sesekali memegangi siku Rain yang masih belum bisa dilepas jauh-jauh ketika sedang berenang.

“Ya anget, makasih, tapi kamu gak bilang kalo dalemnya 2 meter!!!!!”

“Pendek ini Rain.” Jave terkekeh, merapatkan cekalannya pada siku kanan Rain yang barusan oleng lagi.

“Ya menurutmu dengan tinggiku yang hanya segini apakah aku bisa menggapai permukaan lantai?!”

Jave terpingkal, mengibas rambutnya yang basah itu sebentar, lalu menyeret posisi mereka agar bergerak ke tepian saja.

“Udah, sini diem disini dulu. Kamu udah muter 10x mending minum beneran sekarang.”

“Kamu capek kan buntutin aku 10x?” Rain bertanya seraya memicing alis. Bercanda.

“Enggaklah hahahahaha. Habis kamu minum, aku temenin kamu muter lagi deh.”

Rain diam, memperhatikan wajah Jave yang sepertinya sudah kelelahan itu dengan seksama. Gadis itu lantas menyisir surai Jave yang basah tersebut dengan lembut. “Makasih atas kebaikannya, tapi gak deh. Aku capek.” ujarnya kemudian. Berbohong.

“Hahahaha, terus kamu mau apa sekarang?”

Rain tampak berpikir, menelengkan wajahnya. “Ke kolam di dalem yang cuma 20 senti itu aja apakah kamu mau? Kan disana juga ada kursi di tengahnya jadi kita bisa duduk.”

Jave mengangguk. “Oke. Kamu mau pindah kesitu?”

“Yaaaaaaaaa. Apakah kamu masih ada sisa energi?”

“Hahahaha ada lah!!! Oke ayo kita pindah main air disana aja.”

Mata Rain tampak berbinar bahagia. Gadis itu reflek naik tangga dengan semangat. Meraih minumnya sebentar dari atas meja, lalu mengulur tangannya kepada Jave. “Yuk sini aku gandeng..” Ajaknya, tersenyum senang.


“Disini lebih anget?” Jave tampak terkejut ketika menginjakkan kakinya di kolam dangkal yang berada di sisi kiri villa. Pencahayaannya cukup terang, tidak remang seperti kolam renang sebelumnya yang dibiarkan di tempat terbuka dengan sedikit lampu dan pencahayaan alami.

“Wow..” Gadis yang berada dalam cekalannya itu tampak terpukau. “Biasanya aku liat di kafe-kafe tapi kan kalo di kafe aku gak boleh masuk ya.. Wah.. kali ini aku menginjaknya sendiri.. Asal tau aja aku dari kemaren kepengen banget ngajakin kamu kesini hahaha.”

Jave ikut tertawa, “tapi kursimu cuma satu ini Rain.”

“Gak masalah. Kamu bisa duduk disitu terus aku main air di bawahnya.”

“Mana ada?!” Jave langsung protes.

“Ya terus itu kursi cuma satu, gak papa lah kan itu pendek kita masih bisa berbincang-bincang.” Rain berucap, mendorong pundak Jave agak dengan tenaga ekstra agar lelaki itu duduk di kursi hitam tersebut.

Sebenarnya kursi ini panjang, 2 meter kira-kira. Namun sayangnya bentuk kursi ini melengkung ke bawah tepat di bagian pantat, dan sisanya melengkung ke atas untuk tempat kepala dan kaki. Ya memang fungsinya untuk tidur bersantai satu orang sih.

Jave mendengus kencang ketika melihat Rain duduk di bawah, lalu ikut turun untuk menemaninya bermain air.

“Nah, gini aja biar adil.” Jave berucap, menjejeri posisi tubuh Rain.

Gadisnya tertawa, mengangguk. “Oke. Anggep aja disini nggak ada kursinya.”

“Tapi kalo ngobrol disini kita gak bisa keras-keras loh Rain.”

“Kenapa?”

Jave menunjuk tiga kamar di lantai atas. “Itu kamar Kalandra sama Rendy, terus tengah itu kamar Juna, yang pojok kamar Karel sama Jinan.”

“Oooooh..” Rain mengangguk paham. Mengerti bahwa Jave tidak ingin diganggu oleh yang lain. “Ya udah kita ngomongnya bisik-bisik begini aja.”

Lelaki itu tertawa tanpa suara hingga matanya menyipit hilang, mengelus rambut Rain yang dicepol tinggi itu dengan sayang. “Gak bisik-bisik juga gak papaaaa..”

“Ya kali nanti volumenya kebablasan terus mereka turun kan gak lucu juga kalo ada renang jilid 2.”

Jave mengangguk, setuju. “Lagian juga jangan sampe mereka turun liat kamu malem ini sih Rain.” ujarnya, melihat ke arah Rain sebentar, lalu berpaling ke arah lain guna menutupi wajahnya yang tiba-tiba saja sudah memerah.

“Kenapa? Agak aneh ya aku? Ini dulu bajunya aku di kado Lea pas kelas 12, katanya semoga cepet pinter renang ya Rain. Soalnya kan aku pas itu lagi kamu ajarin renang gitu. Ih padahal kamu tau ya, lea sendiri tuh juga gak jago renang.. Tapi emang agak kebuka sih bajunya, ya.. SALAHIN LEA KAN LEA YANG MEMBELI.” Rain jadi salah tingkah sendiri.

Laki-laki itu menggeleng. “Sama sekali gak aneh kok. Cuma, ya itu, jangan sampe yang lain liat kamu. Udah maksudku gitu aja.” Ia menjelaskan ketika melihat wajah Rain ikutan memerah di sebelahnya. Lelaki itu lantas menunduk, memainkan bajunya sendiri sebagai bentuk pengalih perhatian.

“Kak Jave.”

“Apa?”

“Ini akan terdengar agak aneh sih. Tapi kamu kalo renang di tempat umum kayak tadi gitu gak mau pake pelampung dada aja kah? Eh, apa bantalan apa gitu lah buat nutupin petak sawahmu. Eh iya seriusan ya itu emang sejak kapan jadi begitu? Atau udah lama tapi aku gak ngeliat atau emang barusan atau gimana?”

Pfft. Tawa Jave hampir meledak. Matanya menyipit hilang lagi. Tampan sekali. “Maksudmu petak sawah itu kotak-kotak perutku ini Rain?”

“Eh.. Ya.. Iya itu maksudku.. Tolong ucapanmu jangan ceplas-ceplos laaah kakak, aku malu.”

“Heu.. Makanya sering-sering perhatiin akuuuu.”

“Kamu kira aku cewek apa yang diem-diem merhatiin perutmu? Kayak cewek mesum lah aku kak Jave...”

“Hahahaha Rain Rain... Udah lama kok ini. Tapi ya maklum lah, aku ajarin kamu renang aja udah berapa taun lalu. Iya gak? Terakhir kita renang bareng juga udah lama. Tapi tetep aja sih harusnya kamu liatin aku. Masa orang udah berusaha bagusin badan gak kamu liat? Meskilah ketutup baju masa kamu gak curi-curi pandang gitu sekali.. Curi-curi pandang dikit gak mesum kok. Serius.”

“Eh astaga kak Jave.....”

Hening. Cukup lama.

“Kamu mau pegang?”

Pupil mata gadis itu sontak melebar. Jantungnya berdetak kencang. “APA MAKSUDMUUUUU?!”

“SSST RAIN HAHAHAHAHA.” Jave membungkam bibir Rain dengan tangan kirinya. Melihat ke atas sebentar untuk mengecek keadaan. Lalu ketika sudah memastikan aman, lelaki itu segera melanjutkan ucapannya. “Tapi serius kalo mau pegang ya gak papa..”

“Diem. Please sudah tolong kamu lebih baik bungkam saja.”

“Ada enam ini Rain.” Jave tiba-tiba membeber informasi tanpa diminta.

Rain reflek menyumpal telinga, “gak tau gak tau, aku gak bertanya dan gak mendengar. TOO MUCH INFORMATION.

“Kotak di perutku ada enaaaaaam.” Jave makin giat saja menggoda ketika wajah Rain makin merah di sampingnya.

“Iya iya. Iya ada enam oke udah jangan bisik-bisik terus di deket telinga. AKU DENGER KAKAKKKK!!!!!!”

Jave terpingkal, menyudahi candaannya. “Kamu kalo malu suka buang muka. Coba sini yang merah itu aku mau liat.”

“Gak. Aku gak mampu liat kamu.”

“Ini aku kan pake baju sayang..”

“ENGGAK MAKSUDKU AKU GAK MAMPU LIAT KAMU TUH BAGIAN MATA. BUKANNYA AKU MAU LIAT PERUTMU.”

“Hahahahahaha. Ya udah hadep sini aja pokoknya.”

“Gaaak.”

“Gak perlu liat mataku hei.”

Rain mendengus. Menurut. “Laluuuu? Lalu apa yang kita dapatkan setelah aku menghadapmu selain kecanggungan tidak berarti ini?”

Jave membasahi bibirnya yang mendadak kering. Memandang Rain cukup lama. “Yang didapetin adalah aku bisa liat kamu?” jawabnya setelah jeda beberapa saat, tertawa.

“Yeuuuu. Candaanmu sudah seperti bapak-bapak.” Rain mendengus, mendorong pundak Jave mundur. Ya meskipun lelaki itu tidak mundur barang satu senti karena kuat sih.

Hening sesaat.

“Omong-omong Rain, besok kamu aku ajak keluar mau ya?”

“Uiiiii, khas kak Jave. Tanpa basa-basi.”

“Jadi mau?”

“Kemanakah kita?”

“Dinner.”

“Ooooh okee. Sama yang lain?”

Jave menggeleng. “Just us two.”

“Hahaha siap deal. Jam berapa?”

“Jam 7 kita berangkat. Gimana?”

Rain tersenyum, mengangguk. “Boleh. Memang mau dinner dimana? Maksudku biar aku gak salah kostum aja sih.”

“Restoran X?”

Rain melotot. “Betulan?”

“Betulan doonggg. Mau kan?”

“Ya oke, mau-mau aja. Itu tadi cuma agak kaget.”

Jave menghembus napas lega. “Besok aku pake putih. Ngasih tau aja kali kamu pengen kembaran kayak aku sih.”

“Aku besok pake kuning neon aja kali ya biar kita nyala dan mencolok.”

“Oke. Aku joinan pake ijo stabilo biar ikut ngejreng.”

Rain tertawa. Rautnya bahagia sekali. Gadis itu lantas mendekatkan badan, memeluk Jave dari samping dengan tiba-tiba. Erat sekali. Seperti menyalurkan rasa sayangnya.

“Hahahaha kenapaaa? Tumbenan kamu yang nempelin aku dulu loh ini.”

“Gak papa. Moodku bagus. Baumu juga enak banget. Aku suka.”

“Basah ini Rain bajuku.”

“Aku juga basah. Gak papa.”

Jave terkekeh, mengelus tangan halus Rain yang melingkari perutnya itu pelan.

“Kakak..”

“Ya?”

“Kamu gak mau nagih bayaran bonekamu sekarang mumpung gak ada orang?”

Jave melotot. Bulu tubuhnya reflek meremang. “Kamu kerasukan apa?”

Rain mengedik pundak. Gadis itu lantas menarik leher Jave mendekat, lalu mencium pipinya singkat. “Udah ya? Aku lunas.”

Lelaki itu reflek mematung, memegangi pipinya sendiri. Ia lantas menoleh, memperhatikan Rain yang sudah kembali dalam posisi menyender di pundaknya itu dalam hening.

Cukup lama. Hingga akhirnya, “boleh ngelunjak gak Rain?”

“Hm?” Gadis itu mengangkat pandangan, menatap mata Jave yang kini mendadak saja terlihat begitu serius.

Lelaki itu hanya diam, menjilat bibir bawahnya yang lagi-lagi kering itu perlahan sambil menatap mata dan bibir Rain bergantian.

Tanpa diucap Rain langsung mengerti, ia lalu tertawa sebentar. “Kamu betulan kepengen?”

“Masih tanya?”

“Ya kan aku hanya mengetes.”

“Pengen.”

Rain tertawa lagi. Membuat anak rambutnya reflek berjatuhan di wajah. “Gimana ya kak..”

“Jangan godain aku laaaah.”

“Lagian kenapa kamu hobi banget sih? Ini seriusan bertanya kayak soalnya kamu tuh kalo udah sekali nempel beneran yang gak mau lepas gitu aku kadang sampe sesek nafas.”

“Bibirmu enak.”

“HEEEEEEI ASTAGA. TOLONGLAH.”

“Ssst nanti yang lain ikutan turun Rain.”

“Ya abisnya jawabanmu kayak gak ada dosa.”

Jave mendengus. “Ya udah oke kalo gak mau kasih ijin.”

“Aku kan belum jawab?”

“Ya buruan dijawab.”

“Kamu nunggu jawabanku banget?”

“Rainnnnnnnnnnnn..”

“Hahahahahahahahaha kak Jave.” Rain terpingkal sebentar, lalu menarik dagu Jave agar mendekat ke arahnya. “Janji gak brutal?”

Jave menaikkan sebelah alis. “Jadi ini kamu ijinin?”

“Ya tapi janji jangan brutal.”

Lelaki itu tidak menjawab, kembali membasahi bawah bibirnya. “Asal kamu jangan pancing aku buat gerak brutal kayaknya aku bisa nahan.”

“Apa maksudmu?”

Jave menggeleng, mulai menggerakkan tangannya naik ke punggung Rain yang terbuka tersebut. Hangatnya tangan Jave begitu kontras dengan dinginnya kulit Rain, membuat lelaki itu tiba-tiba saja hilang fokus. “Punggungmu dingin banget Rain.”

“Iya memang dingin, tapi gak papa. Maksudku ini bukannya mau ngomong jorok apa gimana ya tapi seriusan kalo abis kamu cium itu badanku jadi agak anget.”

Sial. Rain selalu saja jujur di situasi yang tidak terduga.

“Mau kerasa lebih anget dari yang kemaren-kemaren gak Rain?”

“Agak serem.”

Jave tersenyum, mendekatkan wajahnya. “Kalo mau, kasih kode aja..”

“Kode apa?”

“Jambak rambutku.”

“Hm?” Rain sudah ingin bertanya apa maksudnya lagi ketika bibir Jave akhirnya menempel lembut di atas miliknya. Basah.

Namun lelaki itu rupanya hanya menempelkan bibir sebentar, karena yang terjadi kemudian adalah ia mulai menarik bibirnya mundur kembali.

“Why?”

“Di matamu aku gak mesum kan Rain?”

Rain menelengkan wajah. “Memang kenapa?”

“Ya rasa-rasanya kayak aku terus yang kepengen kamu kan..”

“Hah hahahaha.” Rain tertawa, menangkup wajah dingin Jave dengan tangan kecilnya yang sudah kebas. Gadis itu lantas berusaha menetralkan detak jantungnya ketika perlahan ia menggeser tubuhnya sedikit lebih maju untuk mendekati Jave yang tadi sempat mundur.

Jemari gadis itu bergerak pelan, menyisir surai lembut yang kini sudah separuh mengering itu dengan gerakan halus. Menatap mata kekasihnya yang tampak terkejut itu, lalu mengecupnya ringan.

Kecupannya turun ke hidung, pipi kiri, lalu lanjut ke pipi kanan. Perlahan-lahan. “We kissed because i want it too. Kalo secara sepihak kan berarti aku gak ijinin kamu?”

Deg. Jantung Jave reflek menggila. Tatapan Rain ketika mengucap kalimat itu begitu menggugah hasratnya untuk berbuat sedikit lebih jauh.

Gadis itu juga menginginkannya.

Dengan sigap Jave langsung mengangkat naik tubuh Rain yang masih dalam posisi berlutut itu agar naik ke pangkuannya.

Posisi mereka menjadi berhadapan dengan Rain yang berada di atas Jave.

Tanpa suara lagi lelaki itu segera menyusupkan telapak tangan kanannya masuk ke tengkuk Rain, sedang tangan kirinya mencekali pinggang gadis itu agar tidak bergerak mundur nantinya.

“Eh. Memang posisi kita harus seperti ini kah?”

Jave tertawa tanpa suara, mengangguk. Suara tawanya hampir menguar melihat ekspresi kaget Rain yang lucu tersebut.

“Rain.” Panggilnya sekali lagi dengan bisikan.

“Ya.....”

“Aku brutal dikiiiit aja, boleh ya?”

“Errr.... Yaah, ya.. Oke. Oke brutal dikit boleh.” jawabnya grogi, menyetujui.

Lelaki itu lantas menarik kepala Rain mendekat dengan pelan, mencium keningnya lama sebelum akhirnya turun ke hidung dan dua pipinya yang sudah memerah panas itu bergantian.

Pandangan Jave terkunci tepat di manik mata gadisnya yang kini sudah sepenuhnya bergetar. Lelaki itu selalu saja tau caranya membangkitkan kupu-kupu pada perut Rain.

Sesekali ia tersenyum sembari mengusap bagian bawah bibir Rain sebentar. Membuat kebas tangan gadisnya yang bebas itu makin menjadi-jadi saja.

“Kakak..”

“Hm?”

“Jangan diliatin terus. Aku malu.”

Jave tertawa sebentar, mengangkat maju badan Rain agar menempel lebih dekat ke arahnya. “Kamu inget dulu pernah tanya ke aku ini gak Rain?”

“Apa?”

“Yang apa aku suka cewek seksi?”

Rain langsung melotot. Wajahnya makin memerah saja detik ini. “Kenapa kamu bahas itu? Itu sudah lamaaaa sekali...”

“Karena aku mau jawab sekarang.”

“Hrrrrr.. Oke. Apa jawabanmu?”

Jave meneleng wajah. Menjilat bibir bawahnya yang lagi-lagi kering kembali. Pandangannya juga mulai bergerak. Yang tadinya fokus di mata itu mulai ke telinga, lalu turun ke leher mulus Rain, dan terakhir pada tulang selangkanya yang kini terpampang bebas karena baju renang gadisnya yang terbuka. “Dipikir-pikir aku gak suka cewek seksi Rain. Tapi kalo yang seksi kamu, aku suka.”

Sial. Tidak biasanya ucapan Javerio sevulgar ini. Bahkan ini terhitung untuk yang pertama kalinya.

Jantung Rain langsung melompat liar kesana kemari ketika tangan Jave yang masih berada di tengkuknya itu perlahan menarik jepitan rambut Rain agar lepas tergerai. “I like your long messy hair.” Ucapnya berbisik serak, termakan suasana.

Lalu tanpa sepatah kata lagi ia kembali menarik wajah Rain mendekat, tersenyum sebentar untuk menenangkan, lantas menempelkan bibirnya pelan pada milik Rain.

Lelaki itu menekannya sesekali sambil mulai menjilati permukaan bibir Rain yang lembut itu dengan gerakan perlahan. Rasa bibirnya selalu saja menarik, manis, dan menurut Jave memang benar-benar nikmat. Mampu membuatnya kecanduan.

Jilatan kecilnya berubah menjadi sesapan pelan. Jemari tangan kiri Jave bahkan sudah bergerak lembut untuk mengusap bagian kulit pinggang Rain yang terbuka. Menyusupkannya sedikit masuk ke dalam dan mengelus kulit halus gadisnya itu seduktif.

Gerakannya barusan itu membuat Rain terkejut. Jave yang mengerti langsung melepas bibir Rain sebentar, tersenyum, mencium keningnya sekali lagi. Lalu ketika dirasa tegangnya sudah menyusut, lelaki itu kembali menempelkan bibirnya pada bibir Rain dengan halus.

Sapuan lembut kembali ia berikan pada bibir ranum yang selalu menjadi favoritnya tersebut. Sesapan ringan dan kecupan ia daratkan dengan sedikit tekanan, membuat kepala Rain terdorong mundur sedikit ke belakang.

Air kolam yang tadinya sempat tenang itu kembali berombak pelan akibat goncangan dua manusia yang duduk di dalamnya.

Jave melepas kembali ciumannya, kembali memandangi wajah Rain yang makin memerah itu gemas. “Selalu cantik.” ujarnya serak, memuji. Ia lantas kembali mendaratkan bibirnya di milik Rain. Memagutnya sedikit lebih dalam dari pada sebelumnya.

Menggigit kecil beberapa titik sebagai kode agar Rain mau membuka bibir lebih lebar lagi.

Lidahnya menyusup masuk ketika pemiliknya sudah memberi ijin. Mengeksplor isi mulut Rain tanpa terburu demi merasakan setiap sensasi dari manisnya bibir dan degup jantung yang sudah sama-sama meledak tidak beraturan.

Rain perlahan membalas pagutan lelaki itu. Menemukan ritme ciuman Jave, balas menyesap bibirnya dalam.

Tangan kanan Rain yang tadi hanya bertengger pada pundak itu mulai bergerak naik, berpegangan pada leher kekar Jave. Sedangkan tangan kirinya mengusap pelan dan sesekali menarik rambut kekasihnya, sedikit kencang, terbawa suasana.

Jemari gadis itu bergerak, menyusur garis pembulu darah Jave yang menyembul dan terakhir berhenti pada jakunnya.

Jave spontan saja terpancing karena merasa bahwa Rain betul membalasnya aktif kali ini.

Decakan itu kembali menguar, lebih keras dari pada yang pernah mereka ciptakan sebelum-sebelumnya. Air kolam kembali bergerak pelan ketika Jave mendorong mundur tubuh Rain hingga separuh telentang di atas kolam. Tangan kanannya memegangi kepala Rain ketika bibirnya terus mencium dan menyedot bibir merah di depannya itu gemas. Menyalurkan segalanya.

“Kak.” Rain memanggil ketika ciuman itu akhirnya terputus. Gadis itu menatap mata Jave yang mulai menggelap itu dengan sesekali mengisi oksigen agar masuk ke paru-parunya yang sempat terkuras.

Jave belum merespon, hanya sibuk mengelap bibir Rain yang sedikit bengkak akibat ciumannya itu lembut. Tangan kirinya mengelus wajah Rain pelan, “Sorry, rambutmu basah..”

Rain menggeleng, membiarkan keadaan hening sebentar. Lalu tanpa kata apapun lagi, gadis itu mulai mengalungkan tangannya di leher Jave. Memajukan kepala sedikit karena jarak mereka yang tadi belum menjauh itu, lalu segera mengikis jarak dengan mencium bibir Jave kembali.

Jave tersenyum disela kegiatannya. Membiarkan Rain mencium dirinya dengan ritme berantakan yang menurutnya begitu seksi. Mengecup dagunya singkat, lalu melahapnya pelan.

Sial. Malam ini Rain bukan seperti Rain yang biasanya diam. Jantung Jave semakin ketar-ketir saja ketika lidah gadisnya itu perlahan menyusup masuk. Ganti mengeksplor miliknya. Meski gerakannya masih canggung, Jave merasakan bahwa Rain betul menginginkannya hari ini.

Lenguhan pelan mulai terdengar ketika Jave menyedot kuat lidahnya sembari mulai mengangkat tubuh Rain agar bangkit dari posisinya. Menggendong gadis itu naik ke kursi hitam panjang yang ada di belakangnya duduk tadi itu sembari terus memainkan lidah.

Sensasinya begitu luar biasa. Jave sudah ingin bergerak lebih jauh ketika ingat janjinya pada Rain tadi supaya tidak brutal.

“Ahh kak Javeee...” Rain mendadak protes ketika gigitan kecil ia terima tepat di dagunya yang tidak bersalah itu akibat frustasi tidak bisa berbuat apapun lagi.

“Mau gini aja atau balik ke posisi tadi?” Ia bertanya setelah merebahkan Rain dengan nyaman di kursi tersebut.

“Apa sihhhhhh pertanyaanmu tuh buat aku malu tau gakkk??” Rain semakin protes, wajahnya merah sekali.

Jave tertawa, mencium pipi gadisnya itu gemas.

Satu kali.

Dua kali.

Lima kali.

“Udaaahhhhh.”

“Mau balik di bibir lagi?”

“Engg.. Hhh” Ucapannya terpotong ketika Jave mengecup bibirnya berulang-ulang.

“Kakakkk..”

“Apaaaaaa?”

“Bisa-bisanya kamu bertanya apaa?????”

Jave tertawa. “Omong-omong siapa yang ajarin kamu kayak tadi eh?”

“Maksudmu?”

“Makan daguku!!!”

Rain melotot. “HEEEEEEEI DEMI APAPUN, KAKAKKKKK!!!!!” Gadis itu mengomel panjang. Matanya bahkan kini sudah berair, hampir menangis.

“Hahahahahaha sayaaanggg. Gak papa. Makan aja besok-besok iya gak akan kubahas.” Jave berucap, menarik kepala Rain itu agar masuk di dekapannya.

“Janji besok-besok akan dieemmmmmm??”

Jave mengangguk, “emang kamu prepare mau ngapain aku besok-besok?”

Rain memeluk Jave, menenggelamkan wajahnya semakin dalam di leher lelaki itu. Kebiasaannya jika sedang malu akut.

“Hahahaha astaga iya oke. Oke aku diem Rain.” ujarnya kemudian, membalas pelukan Rain dengan senyumnya yang terus melebar.


next pvt kalo tweet pvt ini 100+ likes yah.. CEK OMBAK DULU siapa yang mau kan wkwk T__T