TRUTH OR DARE.

Kayna tengah berdiri sembari menyandarkan punggung di dekat pintu masuk studio demi menunggu pesanan susu yang baru saja ia minta kepada kepala dapur beberapa menit yang lalu.

Mata gadis itu tak henti menatap ke arah Saka yang kini tengah berjalan menuju area ruang duduk dengan kaki terseok.

Aneh. Saka aneh.

Kayna kembali teringat beberapa jam lalu ketika ia memberikan sebuah outfit dengan setelan minim dan langsung Saka sanggah begitu saja,

Outfit itu buat terakhir aja gak papa ya Kay? Nanti habis gue dari toilet kita langsung foto pake yang itu. Katanya entah karena apa.

Kayna kembali terdiam dan memikirkan keheningan yang Saka berikan hari ini, lelaki yang mudah tersenyum dan sering menyapa orang sekitar itu terlihat begitu muram dan kusut.

Wajah tampannya yang biasa terlihat cerah dan penuh tawa itu berubah total, tidak nampak seperti Saka Hindrawan yang biasa Kayna kenal.

Seharusnya gadis itu tau perubahan Saka sejak kemarin sore ketika mereka berdua berjalan beriringan di mall. Lelaki itu kerap mengernyit kesakitan kala beberapa perempuan menyenggol tangannya.

Aneh. Sekali lagi Saka terlihat aneh.

Beberapa bulan mengenal lelaki itu baru kali ini Kayna menyadari bahwa Saka tidak pernah sekalipun menceritakan kehidupan pribadinya, juga tidak sedikitpun ia mengeluarkan satu dua kalimat sambatan tentang betapa keras kehidupan bumi yang dialaminya.

Entah karena memang tidak punya masalah, atau memang Saka yang terlalu pintar untuk menutup diri.

Kayna menghela nafas panjang, lalu berjalan menghampiri Saka yang sekarang sedang duduk seraya memejamkan mata setelah sebelumnya sudah menerima pesanan susu dari kepala dapur yang baru saja tiba.

Lelah.

Setidaknya itu yang bisa Kayna simpulkan detik ini ketika melihat bengkak bawah mata Saka yang tercetak jelas.

Gadis itu berdeham singkat, lalu meletakkan pantat disamping Saka dengan perlahan.

“Sak, minum dulu yuk.” Sapa Kayna menyuruh sembari meletakkan segelas susu cokelat panas di meja kayu rendah yang ada di hadapannya.

Lelaki itu mengerjap, lalu perlahan menoleh ke arah Kayna yang kini juga menatap lekat.

Keduanya diam, membiarkan lagu-lagu yang terputar di dalam studio menemani hening seraya sesekali menarik nafas dalam.

“Lo sakit Saka?” Kayna memutuskan untuk bertanya ketika sudah tidak mampu menatap manik hitam itu lebih lama lagi.

Saka tersenyum, lalu menggeleng. “Nggak. Cuma capek aja Kay.”

Jawaban yang sama sekali tidak memuaskan.

“Mau janji sesuatu sama gue gak Sak?” Entah kenapa gadis itu tiba-tiba mengulur kelingkingnya maju.

“Janji apa Kay?”

“Janji buat selalu berbagi sama gue tentang apa yang lo rasain.”

Saka menelan ludah singkat setelah diam beberapa saat lalu menegakkan punggungnya maju mendekat.

Lelaki itu lantas menggenggam jemari Kayna yang masih terulur tersebut dan meletakkannya di atas meja kembali tanpa ada adegan mengaitkan jari seperti yang diharapkan.

Saka tersenyum dan mengelus punggung tangan Kayna seraya matanya menatap dalam manik cokelat tersebut dengan tenang, tangan kirinya yang kosong ia gunakan untuk membenahi anak rambutnya yang berjatuhan halus di samping wajah.

“Kay, truth or dare?” Ujarnya tiba-tiba, membuat gadis itu mengernyit alis setelah sebelumnya sudah mengatur jantung akibat genggaman hangat Saka pada tangannya.

“Dare.” Jawab Kayna singkat dengan lapang dada karena tadi pagi memang ia yang kalah taruhan dengan Saka pekara balapan mandi.

Saka terkekeh pelan, lalu merentangkan tangannya. “Then i dare you to hug me tightly this night..”

“Hah?”

Keduanya lagi-lagi terdiam, menikmati dentuman kasar masing-masing jantung dengan tempo dan irama yang lebih giat dari sebelumnya.

“Kelamaan.” Saka akhirnya berkomentar dan menarik punggung Kayna masuk ke dalam pelukan.

Deg.

Seketika semua terasa membeku dan dunia berhenti menari dalam sekejap.

Tangan Saka mengelus rambutnya lembut seraya sesekali hidungnya mencium pelan puncak kepala Kayna yang untung-untung saja sudah keramas.

“Saka?” Gadis itu berucap setelah kesadarannya jatuh kembali ke bumi, lantas berusaha melepaskan pelukannya.

Bisa gila, pikir Kayna dalam hati.

“Jangan dilepas dulu, taruhannya 3 cup starbucks ukuran venti Kay. Masih inget?”

Sial.

Kayna menelan ludahnya kasar seraya mengangguk pelan.

“Biar gue aja yang lepas lo duluan, lagipula gue masih capek.” Ucap Saka seraya meletakkan dagu di atas pundak Kayna. “Malem ini gue peluk lo lama nggak papa kan, Kay?” Lanjutnya dengan nada rendah, nyaris berbisik.

Capek.

Entah kenapa kata capek yang didengar Kayna detik ini memiliki makna lain yang seakan menyimpan ratusan rahasia pelik didalamnya.

Maka dengan sadar Kayna memejamkan matanya, lalu mengangguk dan mulai menepuk-nepuk ringan punggung Saka seraya sesekali mengelus rambutnya halus.

Ya.

Setidaknya itu yang pernah dicontohkan Saka ketika Kayna mengalami masalah beberapa hari yang lalu.