Villa Hadiwangsa, Rabu 202X


Amelia dan Markiel sudah jelas datang paling akhir di acara kumpul-kumpul ini. Alasannya masih sama, Markiel tidak ingin istrinya diwawancara pekara anak ataupun hal ini itu yang ia rasa tidak perlu.

Langit masih terlampau cerah ketika mesin mobil Markiel akhirnya dimatikan persis di sebelah mobil putih milik Noah yang sepertinya juga datang terlambat hari ini. Sudah biasa, bahkan tidak akan ada yang terkejut lagi jika melihat Noah datang 2 jam dari waktu yang telah ditentukan, saking seringnya jika terlambat di perkumpulan keluarga.

“Langsung masuk aja kita Mel?” Markiel mengelus punggung tangan Amel yang baru saja dioles dengan hand cream beraroma bunga-bungaan oleh pemiliknya. Elusannya pelan, cenderung ingin skin ship saja tanpa ada alasan jelas. Atau sebenarnya pria itu ingin menenangkan Amelnya yang tadi bilang tengah dilanda grogi?

“Hm.. Iya udah ayo turun aja.” Amel akhirnya membalas setelah sempat mengheningkan cipta cukup lama, membenarkan polesan make upnya di cermin mobil sebentar sebelum akhirnya turun dari mobil.

“Cakep gak akunya?” Amel bertanya pada Markiel sambil membenarkan pakaiannya. Hari ini ia mengenakan dress putih tulang di bawah lutut dengan rambut tergelung rapi. Pemandangan yang jarang di mata Markiel sebab biasanya Amel jarang sekali menguncir rambutnya. Paling mentok hanya dikuncir separuh, itu pun bisa dihitung jari.

“Selalu cantik di mata saya kamu Mel.” Markiel akhirnya menjawab setelah mengamati penampilan Amel cukup lama. Pria itu benar-benar memperhatikan keseluruhannya secara detail sampai Amel sesak napas di posisinya berdiri.

“Yang bener? Katanya jelek..”

“Masih aja mau dibahas astaga.” Markiel benar tergelak karena Amel masih saja sensimen tentang guyonannya tempo hari.

“Duh tapi bentar ya, time time.. Itu rame banget lho Kiel.” Amel mendadak menggerutu karena rasa mulas mulai menyerang. Kepalanya bahkan mulai pening dadakan karena melihat keramaian keluarga inti Kavin Hadiwangsa yang kini berkumpul dan tampak seliweran di bagian dalam bangunan. Terlihat sangat jelas karena villa ini memang didominasi oleh kaca bening 60 persen.

Amel menghela napasnya pelan, merapatkan badannya ke Markiel sebentar agar baterai sosialnya terisi perlahan. Toh sudah jelas alasan berkumpulnya mereka hari ini karena ingin memberikan satu dua patah kata sebelum Markiel dan Amel berangkat ke Korea besok sore. Alias, bintang utama yang akan banyak diajak bicara adalah mereka berdua.

“Fokus sama saya aja Mel, jangan pikirin yang lain-lain. Kalau ada ditanya juga jawab apa adanya biar gak makin diruntut panjang. Ya... santai seperti yang lalu-lalu aja kitanya ya sayang.” Markiel tersenyum sambil merangkul pinggang Amel agar mulai melangkah masuk ke dalam bangunan.

Berbeda dengan Amelia yang ketar-ketir karena takut diajak mengobrol banyak topik oleh mertua, Markiel kini sudah hampir muring-muring karena melihat Hazel tengah duduk anteng persis di dekat pintu masuk.

Adiknya yang satu itu memang hanya duduk dan memainkan ponsel, tapi tak pelak Markiel takut Amelnya akan tantrum mendadak ketika berpapasan paling awal dengan Hazel.

“Oh, kalian udah dateng?”

Panjang umur untuk Hazel, karena baru saja adiknya itu menyapa sambil bangkit berdiri, Amel sudah mencengkram lengan Markiel kuat-kuat. Kebiasaan Amel jika baper ketika berinteraksi dengan Hazel.

“Diem kamu Zel.” Markiel spontan mendelik agar adiknya peka dan minggat saja dari hadapan.

“Lho?” Hazel hanya mampu tertawa kecil sambil menyapa singkat Amel sebelum akhirnya berlalu menuju area dapur yang kini tengah diisi oleh Noah. Adik Markiel yang jarang mengobrol itu kedapatan sedang menggoda beberapa asisten villa milik Opa Hadi yang tengah membuat jamuan makan malam. Memang Noah, diam-diam mencari mangsa.

“Itu kamu cuma disapa aja lho sama Hazel. Lah itu kalau kamu diajak salaman terus cipika-cipiki apa gak kayang mendadak di depan saya?” Markiel menyindir, menatap lekat Amelnya yang kini sudah tertawa lepas.

“Maaf maaf.. Abisnya atraktif banget main hp di sini.”

“Cuma main hp?????” Markiel makin tidak habis pikir.

“Iya gak lagi-lagi, serius deh.” Amel masih tertawa tanpa suara melihat Markiel terang-terangan terganggu akan kehadiran Hazel yang mempengaruhi Amel sebegitu liarnya.

“Bener gak lagi-lagi?”

“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Amel mengusap sisa air mata yang menumpuk di ujung pelupuk karena terlalu banyak tertawa.


“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Ucapan itu menggema di pikiran Markiel dan kini rasanya ingin ia lontarkan lagi untuk mengingatkan Amelnya agar tak membuka mulut terlalu lebar.

Kejadiannya tepat ketika Adrian mengetuk pintu kamar Markiel ingin mengajak berenang di kolam belakang. Awalnya Markiel ingin menolak, tapi melihat Amel yang kini tengah disita oleh Oma Tessa dan membuatnya gabut akhirnya Markiel pun setuju saja.

Semuanya masih tampak normal sampai akhirnya Hazel dan Noah datang dari lantai 2 dengan bertelanjang dada. Markiel bersumpah ingin mencekik leher keduanya saat itu juga.

“Kemasukan lalat itu kamu nanti Mel.” Markiel mulai ribut ketika Amel sudah terbebas dari Oma Tessa dan kini memutuskan untuk duduk di sebelahnya. Tentu Markiel masih belum ikut terjun ke kolam bersama yang lain karena ia tadinya masih diajak mengobrol juga oleh Opa Hadi.

“Gak mangap aku, itu cuma apa ya.. salah satu gerakan menarik napas melalui bibir.”

“Halah!” Markiel mencibir, menolehkan pandang seutuhnya ke Amel yang kini duduk anteng di sofa ruang tengah sambil menghadap terang-terangan ke arah kolam renang. Pada dasarnya ia memang tidak tau mau melihat apa dan yang paling ribut ada di kolam, jadinya reflek pusat perhatiannya sudah ditentukan.

Alasan lainnya jelas karena Hazel sih, Amel tidak akan mengelak lagi.

“Badan saya jauh lebih bagus dari Hazel lho???” Markiel lagi-lagi ceriwis, menangkup kedua pipi Amel agar menghadap ke arahnya saja. Sebab ia mengaku gerah bukan main jika atensi Amel dimakan oleh keberadaan Hazel.

“Lah aku ngomong apa sih emangnya Kiel?” Amel memprotes dan ingin meledakkan tawa melihat Markiel uring-uringan begini.

“Ya kamu lihatnya ke sana terus..” Markiel masih lanjut, entah mengapa jika cemburu lelaki itu memang jauh lebih cerewet dan ekspresif sekali.

“Ya biar aku boleh liat ke kolam sekalian kamu nyebur aja lah sana. Aku sendirian gak papa ini.”

“Yang bener?”

“Ya iya, bener.”

“Lihatnya ke saya aja lho ya. Jangan ke yang lain..”

Amel sok menimbang. “Tergantung sihhh...........”

“Tuh kan! Kamu senang godain saya lho sekarang Mel.”

Amel tertawa dan kini mendorong Markiel agar bisa family time dengan adik-adiknya. “Dah sana main!”

Markiel mengerucutkan bibirnya sebentar sebelum akhirnya kembali mendekati Amel dan melepas kaosnya. “Titip ini.” Ujarnya, menyerahkan kaos hitamnya ke tangan Amel.

“Iya udah sana, ntar aku ambilin bathrobenya sekalian.”

Markiel mengangguk, tapi belum beranjak. Gantinya lelaki itu mendekati Amel lagi dan mencium pipinya kilat.

“Buat apa itu cium-cium?”

“Kepingin.” Markiel tertawa dan akhirnya berlari menuju kolam dan langsung melompat masuk menyusul adik-adiknya.

Memang dasar Markiel! Tindakannya barusan dilihat jelas oleh Kavin yang baru saja keluar dari toilet.

“Anakmu habis dijodohin kayaknya makin banyak ketawanya itu Ra.” Papa Markiel berujar sambil duduk di samping istrinya.

“Lah iya, puji Tuhan. Biasanya yang jodoh-jodoh begini kan susah berhasil.”

“Pintar-pintarnya papa pilihin jodoh. Markiel dijodohkan dengan Amel kan karena Tomo Gunajaya bilang cucunya jarang keluar rumah dan jomblo sejak lahir.”

“Hush!” Mama Markiel langsung menepuk pundak suaminya karena Amel baru saja melintas di dekat mereka untuk naik sebentar ke lantai 2.

“Tapi aku bersyukur karena di antara Gunajaya yang lain papa kenalin Markiel ke Amelia. Gak bisa aku bayangin dapet mantu Gunajaya yang bukan ini.”

Mama Markiel tertawa dan mengangguk setuju. “Berdoa aja biar besok mereka lancar-lancar biar perjodohan ini gak dirasa sia-sia.”