it's a bliss. it's love. it's us.
lowercase.
20+ idk. (not that explicit but still, be wise.)
PUKUL 10 MALAM. rumah rain yang tadi masih terbuka itu sudah terkunci rapat dengan lantai bawah yang dipenuhi oleh teman-teman jave. ya, mereka memutuskan menginap semalam dengan alasan sudah terlalu larut.
tidak sepenuhnya salah juga sih, jave tadi menjemput rain pukul 7 lalu lanjut membelikan teman-temannya makan di antrian lalapan dan baru kembali pukul 9 malam. murni mengantri karena memang ramai. belum lagi terpotong jarak dan tercegat lampu merah kota yang terkenal begitu lama.
suara kalandra yang berteriak akibat digoda gibran menggema sebentar, lalu berganti lagi oleh juna yang mengomeli teman-temannya agar tidak berisik.
rumah rain bukan terletak di perumahan besar, lokasinya tepat di depan lapangan golf luas dengan jarak antar bangunan yang jauh sekali. minim tetangga, satpam juga hanya beberapa.
oleh karena itu gadis ini jarang-jarang ada di rumah. kebanyakan ia tidur di rumah neneknya yang ada di dalam perumahan.
rain menggaruk kepalanya karena merasa canggung mendengar banyak suara lelaki di bawah sana. sesekali ia turun untuk menyapa, tapi kebanyakan duduk di ruang atas untuk mengerjakan tugas kampusnya yang masih menumpuk.
“hei.” jave menyapa, berdiri di belakang kursi tinggi tempat rain duduk.
“eh iya, halo kak jave.. udah pusing kah denger teriak-teriak di bawah sana?” rain yang sebelumnya sudah kaget itu bertanya, membalik badannya sebentar, lalu lanjut menyuruh jave duduk di kursi tinggi sampingnya.
“sorry, emang begitu, udah aku marahin sama juna. kalandra sama gibran taruhan cewek lagi.”
“taruhan cewek?”
“enggak, maksudku bukan yang taruhan ceweknya dipacarin gitu. jadi kalandra sama gibran ini ngechat satu cewek, terus mereka taruhan yang kayak lo kudu traktir gue disini kalo dia bales gue dulu. ya udah. tes popularitas aja, makanya teriak-teriak. kalandra kalah.”
“lahhhhh.. emang ngechat ceweknya gimana?”
“ya cuma hai doang sih keseringan.” jave menjawab, cengengesan.
“ooooh..” rain ber-oh paham. “tapi kak jave kenapa kamu gak duduk?” ia lanjut bertanya ketika menyadari bahwa jave masih berdiri tegak di belakang punggungnya.
lelaki itu menggeleng, “dari tadi udah duduk, capek.”
“ya minimal jangan di belakangku lah aku kan kalo ngajak ngomong jadi bingung harus berputar-putar antara laptop dan kamu.”
jave diam, wajahnya menampilkan raut sok berpikir.
“apa? kamu mau apa?” rain langsung curiga.
“gak mau apa-apa astaga. kamu nih sekarang jadi suka curigaan ke aku loh.”
“ya emang jalan pikiranmu suka diluar kendali. aku gak paham gerak-gerik dan tatapanmu.”
jave tertawa, matanya menyipit. tampan sekali. “masih bingung liatin aku sama laptop?”
“iya lah, kamu duduk lah di sampingku sini.”
“capek duduk rain.”
“ya udah, berdirinya di sampingku aja sambil nyender di meja ini kan enak tinggi.” gadis itu menunjuk meja marmer hitam yang tumben-tumbenan tampak sangat berantakan di hadapannya itu. kertas-kertas dan alat tulisnya ada dimana-mana. mungkin rain sudah benar-benar pusing terkena tugas hari ini.
“kalo aku kayak gini, kamu keganggu gak?” lelaki itu maju, melingkarkan tangan kekarnya perlahan di perut rain sambil mulai meletakkan dagu di pundak gadisnya.
wangi stroberi khas rain yang menjadi favorit jave itu langsung menguar dari lehernya yang kali ini persis berada di dekat hidung jave.
“eh astaga kak jave.. ya anu, maksudku, apa kamu gak geli di posisi gini? perutku mules banget.”
“kamu kebelet?”
“enggak, bukan mules kebelet BAB ini tuh mules yang itu loh, grogi. kayak, hhhhhh.. kenapa kamu suka mancing-mancing aku?!”
jave tertawa. “udah sana kamu lanjut ngetik aja. kalo pundakmu capek, bilang aku.”
“kamu pergi?”
“nggak lah, aku nanti pindah ke pundak satunya.”
bulu leher rain meremang seketika.
“ya udah, oke. tapi jangan gerak-gerak soalnya leherku suka geli kalo kena pegang.”
“deal.” jave menjawab, memejamkan matanya.
berada di posisi ini meski sambil berdiri ternyata terasa nyaman sekali. aroma rain bahkan sudah berhasil memabukkan pikirannya. jave mengencangkan pelukannya sekali lagi ketika merasa rasa rindunya masih belum tersalur sempurna, lantas mengusel hidungnya di pundak rain pelan.
“heeeeei.. geli banget. kamu sedang apa?”
“wangi rain.”
“ya emang aku abis mandi tapi kamu itu.. astagaaaaaa hhhhhh kak jave sumpah geli jangan diterusin kamu jadi orang usil banget.”
jave terkekeh, lalu memutuskan untuk diam lagi sebelum ia diusir.
“kak kamu tau komik itu gak, yang tentang basket ada berpuluh-puluh series?” rain membanting topik pembicaraan.
jave menggeleng, “apa judulnya?”
“lupa. pokoknya gaya di permainan basket. dunk shot?”
“slam dunkkkkkkkk.”
“hahahahahaha astaga, iya slam dunk.”
jave ikut tertawa, “emang kenapa? kamu pernah baca?”
“enggak. cuma tadi kepikiran aja. dulu kan aku sering ke gramed pas SMP, terus pas jalan sama temenku aku keliatan series ini kayak laku aja gitu terus lucu jejer-jejer banyak.”
“temenmu?” jave malah tidak fokus.
“iya, kamu gak kenal.”
“bukan tama?”
rain reflek menoleh. “kamu tanya itu tadi soalnya mikir aku jalan sama kak tama?”
“yaa.. pacarmu yang pertama itu.”
“astaga kak jave.. gak, aku waktu itu jalan sama temen cewekku.”
“dulu tama ini gimana deketin kamunya?”
“emang penting banget buat ditanyain gitu kah kak jave?”
“iya dong.”
“seriusan ini gak penting.”
jave mengangguk, “iya sih. cuma emang sering kepikiran aja taktik pdktnya dia. kamu kan anaknya diem.”
“heu.” rain tidak menggubris lagi dan lanjut mengetik tugasnya.
“spasi rain.”
“oh iyaa..”
“terus itu kapitalnya juga.”
“itu nanti auto kapital pas di spasi. tuh kan, besar kan..”
“jangan dibiasain jagain spasi, nanti malah kalo ngetik di tempat lain jadi bingung loh.”
“iya iya..”
hening. hanya suara keyboard rain dan suara teman-teman jave yang bising kembali di bawah sana, sepertinya sedang bermain game online.
“eh omong-omong rain..” jave berucap, tangannya bergerak merapatkan pelukannya yang sempat mengendor.
“apa?”
“kamu tau dari mana jasmine kemaren aku yang anterin?”
“no komen.”
“serius aku penasaran.”
rain menghentikan kegiatannya mengetik, menoleh sebentar, “banyak foto. kamu gak tau kamu ini sudah seperti artis? lea yang kasih tau aku waktu itu.”
“lea?”
“ya, temen dia kan banyak. lagian juga untung-untung dia kasih tau aku jadi aku bisa tau kamu ngapain. liat, siapa yang bilang mau ngabarin eh tau-taunya gak dikabarin? terus tiba-tiba lea bilang kamu anterin cewek, aku liat lagi fotonya lah itu kan si gadis seksi yang kakinya lurus panjang banget itu. wuih, kamu gak tau betapa mikirnya aku kemaren..”
“cemburu?”
“pikir aja sendiri kamu ngapain bertanya...”
jave mengusel lagi, kali ini di dekat leher kanan rain. “iya maaf, itu hpku lowbatt. terus aku juga paginya mau kasih tau kayak ya kan udah telat, udah kejadian, jadi aku diem aja.”
rain merinding lagi. “kak iya, oke. tapi bisa tolong jangan ke deket leher sumpah aku gelian banget.”
“wangi rain.”
“demi...... nangis nih, seriusan kak pergi sana hhhhh HEII ITU PUNDAK GAK USAH DIGIGIT.”
jave tidak peduli, lanjut memejamkan matanya lagi.
“orang ini betulan keras kepala..” rain menoleh, melihat jave yang sudah dalam posisi enak itu kembali diam tanpa ada rasa berdosa sedikitpun.
“rain, kamu tau gak?” laki-laki itu bersuara, serak.
“apa?”
“alesan aku gak nanyain kamu keluar sama siapa waktu kamu ijin ke aku kemaren.”
“oh. gak tau, tapi emang gak penting sih.”
“aku gak nanya karna takut aja kamu nganggep aku ngekang kamu. lagi pula aku juga percaya kamu sih. makanya aku ya, ya udah, keluar aja. meski emang sempet cemburu liat dia masuk rumah ini sih.”
rain menoleh, melihat jave yang kini juga sudah membuka mata memandangnya.
“itu betulan udah kayak keluarga kok, gak perlu dicemburuin.”
“ya.. aku percaya kamu.”
“harus. karena aku memang orang yang sangat jujur.”
jave spontan terkekeh. “tau. omonganmu aja sering nyeplos tanpa filter.”
“eh enggak kalo itu aku suka berpikir dulu ya enak aja aku gak ngefilter..”
“inget itu gak kamu? yang kamu nanya aku suka cewek seksi apa gak?”
rain melotot. melepas paksa pelukan jave di perutnya, lantas membalik badan sebentar. “ITU BUKAN AKU YANG MENGETIK!!!!”
“HAHAHAHAHAHA. ya udah terus itu gak usah merah juga pipinya.”
“seriusan bukan aku, kamu jangan menuduh sembarangan.”
“iya bukan kamu, tapi jarimu sendiri. ya kan?”
rain kembali memutar badan, menutup wajahnya sendiri di atas meja. “udahlah, kamu selalu godain aku. aku merasa malu sekali.”
“hahahahahahaha sayaaaang.”
“SEMPET BEGITU?”
“sini-sini. siapa yang bikin marah?”
“kamuuu.”
jave tertawa makin kencang, mendekatkan tubuh dan memeluk rain lagi dari belakang.
“udah iya gak ganggu lagi. seriusan siniin deh mana muka cantiknya aku mau liat.”
“gak ada.”
“ada itu loh kamu tutupin rain.”
“gak ada.”
“aku usel leher belakangmu jangan teriak ya?”
“HEEEI, ITU ADALAH BENTUK PENGANCAMAN.” rain langsung menegakkan punggung. wajahnya makin merah saja detik ini.
jave tersenyum puas, melepas pelukannya dan lanjut memutar kursi rain agar menghadap ke tubuhnya. sedikit brutal memang javerio ini jika sudah bertekad.
“nah kannn.. merah.”
“diem.”
“kayak udang selesai digoreng rain.”
“diem dan jangan lihat-lihat aku.”
“cantik gini emang gak boleh diliat?”
“iya. gak boleh.”
jave tertawa puas, menangkup pipi rain dengan kedua telapak tangannya.
“panas banget rain pipimu.”
rain reflek menyatukan alis. jika sudah ditangkap begini maka tidak ada yang bisa ia perbuat lagi selain pasrah.
“awas aja kamu nanti.” ancamnya dengan suara tidak jelas karena pipinya ditekan oleh jave.
“bilang apa rain? gak jelas.”
“males-males.. males banget aku serius.”
“hahahaha bayiku ini.” jave menempelkan hidungnya di hidung rain, menggeseknya lama. “kamu definisi tambah umur tapi makin lucu.”
rain menurunkan pandang, tidak berani menatap mata jave yang berada sangat dekat di depan matanya. jantung gadis itu bahkan sudah berdetak kencang kala hidung jave berhenti menggesek namun tetap menempel di hidungnya lama.
“rain.” bisik jave pelan.
“ya?”
“can i kiss you?”
deg.
kupu-kupu dalam perut rain langsung membeludak keluar. terbang kesana-kemari membuat telapak tangannya kebas seketika.
gadis itu reflek menjauhkan jarak, menarik mundur kepalanya. “demi apa kak jave kenapa kamu blak-blakan sekali?!”
jave mengedik pundak, “rasain kangenku rain.”
“memang harus begitu? gak ada cara lain?”
“gak ada.”
“kamu bisa peluk aku.”
“rasa kangenku terlalu besar buat dibayar pake pelukan. terbukti dari tadi aku udah peluk kamu tapi aku masih ngerasa kurang.”
“itu kamu aja yang kepengen. ihhhhh jauh-jauh sana kak jave jangan deket-deket.”
“apa sih orang masih diem di tempat kok udah diusir aja.”
rain mendengus, punggungnya yang menempel di pinggiran meja itu seketika saja meremang ketika jave tiba-tiba mengungkungnya dari arah depan. memberi pagar dengan bertumpu pada pinggiran meja.
lelaki itu hanya diam, mengamati satu titik di dekat leher rain sambil sesekali mengunci pandang tepat di manik mata. begitu terus, cukup lama.
“kamu liat apa sih?”
jave membasahi bibirnya sendiri. “your collarbone?”
“hahhhh?!”*
“kamu tanya aku kenapa aku senyum-senyum sendiri sambil liat hape waktu itu kan? itu karena aku lagi liat fotomu. serius.”
rain masih membuka bibir, melongo sekali.
“aku selama ini selalu anggep kamu anak kecil, bayi, tapi akhir-akhir ini aku sadar kalo kamu udah sangat bertumbuh. kamu udah besar. maksudku, kamu bukan umur belasan lagi kan? kamu udah kepala 2 sekarang.”
“jadi apa maumu?”
jave menggeleng, “gak tau.”
rain menelan ludahnya sebentar, mengamati wajah jave dalam diam. rahangnya, tulang pipinya, matanya, hidung, hingga yang terakhir jatuh pada bibir merah muda lelaki itu.
“kak..” panggilnya dengan suara bergetar.
“apa?”
“you want my lips?”
jave menelengkan wajah kaget, namun mengangguk juga pada akhirnya. “ya.” jawabnya, jujur.
sial. jantung keduanya berdetak semakin tidak aturan. kencang sekali sampai mungkin jika dibiarkan bisa lompat keluar dari dalam tubuh.
gadis itu menarik napas banyak-banyak, mengumpulkan keberanian sebentar sebelum akhirnya meletakkan telapak tangannya di pundak jave yang terbalut kaos berwarna putih. “kak..”
“hm?”
“jangan digigit.”
jave tersenyum kecil karena mendapat lampu hijau sebelum bertindak. lantas tanpa suara lagi ia segera mengikis jarak dengan rain. perlahan-lahan, membangkitkan kupu-kupu di perut gadisnya dengan cara menatap matanya lamat-lamat. mengunci pandangan cukup lama selagi tangannya yang tadi menggelantung bebas itu mulai ia susupkan di belakang punggung rain, menguncinya agar tidak bergerak.
“kak..” rain memanggil, suaranya benar-benar bergetar.
“hm?” sahutnya, berhenti sekitar 5 senti di depan wajah rain yang sudah sangat memerah.
napas keduanya beradu, ditambah dengan tatap damba yang saling terpancar di bola mata mereka.
“temenmu gak akan naik?”
jave tersenyum, matanya fokus menatap bibir dan mata rain bergantian. “gak akan.” balasnya pelan. tangan kanan lelaki itu yang tadi masih bertumpu di meja ia gunakan untuk menyibak anak rambut rain yang berjatuhan halus di permukaan wajah.
“cantik banget.” pujinya jujur, mengelus pipi rain sebentar.
hening, cukup lama, hingga akhirnya tanpa banyak bicara lagi jave segera mengikis habis jarak yang tersisa. mengecup bibir ranum rain dengan pelan. menekannya sedikit hingga menyesapnya dengan gerakan ringan.
kepala rain terdorong ke belakang, jave benar-benar menciumnya gemas kali ini. laki-laki itu bahkan sudah memiringkan kepalanya, mulai melumat bibir lawannya itu dengan sedikit penekanan. tangan kiri jave yang tadi ada di punggung itu menahan agar punggung rain tidak tertatap meja. sesekali ia bahkan mengelus dan meremat pundak belakang rain cukup keras.
gadis itu mulai kelabakan, ciuman jave benar-benar menuntut sekali. memaksanya membuka bibir lebar-lebar agar lidahnya bisa masuk perlahan. decakan basah yang terdengar asing itu mulai bersahutan, menggema pelan di ruang atas sambil sesekali diselangi oleh rintihan tertahan rain karena jave yang sesekali menggigit bibir bawahnya.
tangan rain yang tadi berada di pundak mulai bergerak naik, mengimbangi tuntutan kekasihnya yang semakin menggila itu dengan meremat kasar rambut jave. membuat sang empunya semakin semangat saja menuang cinta melalui ciuman ini.
pukul 11 tepat, ponsel rain bergetar pelan. biasanya gadis itu memang menyalakan alarm agar bisa tau waktu bekerja.
jave tersenyum, melepas ciumannya sebentar untuk mengangkat tubuh rain naik ke atas meja. tangan lelaki itu bergerak mematikan alarm di hp rain sebelum tatapannya jatuh lagi ke arah gadisnya yang kini sudah terlihat sangat berantakan. sangat seksi, menurut jave.
“kamu brutal banget.” komplain rain, menahan pundak jave yang hendak maju menerkam lagi.
“is it over? aku lepas tadi cuma mau matiin alarmmu.”
rain mengerut alis, membenarkan rambutnya sendiri. dan sebelum gadis itu selesai dengan urusan rambutnya, tangan jave sudah melingkar di pinggang rain yang masih berada di atas meja. “lagi? please.“
“kamu brutal.”
“tapi kamu bales aku.”
“ya soalnya aku merasa aneh kalo gak bales.”
“ikutin ritmenya biar gak capek rain.”
“kamu kira ini lagu?
jave tersenyum, tangan kirinya naik memegangi tengkuk rain. “jadi, apa boleh?”
“gak aku ijinin juga kamu tetep babat habis bibirku kan?”
“kalo gak kamu ijinin ya aku diem.”
rain masih diam, memperhatikan wajah jave yang sejajar dengan wajahnya itu sambil sesekali tersenyum kecil. “mukamu kalo gini lembut banget, tapi kalo di luar kayak penjahat.”
“kalo sama kamu ngapain aku kayak penjahat?”
rain terkekeh sebentar, lalu mengangguk. “boleh.” ujarnya, mulai mengalungkan tangan di leher jave dengan gerakan malu-malu.
jave termangu karena mendapatkan ijin lagi untuk kedua kalinya. sepertinya rain juga menginginkan hal yang sama saat ini.
“aku kangen kamu. dan ya, ini memang sangat mengobati.”
jave reflek membasahi bibirnya sebentar, menatap lama mata rain yang kini juga ikut menatapnya. kegemasan rain itu membuat keinginannya untuk menggigit jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
“kak jave.”
“iya.”
“boleh gak, aku yang coba duluan?”
deg. jantung jave hampir merosot hilang. dengan kesadarannya yang terlampau tipis lelaki itu akhirnya mengangguk. memperhatikan rain yang terus menatap bibirnya ragu dan malu-malu.
“do it rain.” ucapnya meyakinkan, mengarahkan tangan rain yang melingkar di leher itu agar menangkup dua pipinya yang mulai terasa panas terbakar. “i'm yours.” lanjutnya, memejamkan mata.
mendengar itu rain segera menyatukan bibirnya cepat, hanya beberapa detik saja karena tidak bernyali, namun ketika ia ingin melepasnya, tangan jave yang bebas itu langsung bergerak cepat menahan leher rain agar tidak menjauh.
menyesapnya cepat atas dan bawah bergantian, melumat dan menjilatnya di berbagai sisi.
lagi, tubuh rain terdorong mundur. jave benar-benar agresif kali ini. tangan kirinya yang menahan punggung itu bergerak, mengelus pinggulnya. memberikan ketenangan agar gadisnya tidak terlalu terkejut.
lumatan jave bergerak turun menuju rahang bawah rain, lalu naik ke bibirnya lagi. lelaki itu benar-benar meraup habis miliknya, seakan tidak ada hari esok lagi.
tanpa sadar, rain mengeluarkan suara kecil. lenguh pertama yang terdengar sangat seksi di telinga jave. membuatnya semakin semangat membubuhkan lumatan di rahang rain sembari menggigitnya kecil berulang kali.
alat tulis di atas meja mulai berjatuhan ketika jave mengecup turun dari bibir hingga ke leher jenjang gadisnya yang terbuka. sentuhan terakhir ia daratkan pada collarbone rain yang akhir-akhir ini menggoda otaknya.
jarak mereka masih belum terpisah jauh. hanya deru napas yang saling terdengar bersahutan.
“i'm deeply in love with you, rain.” jave berucap, mengusap bawah bibir rain yang sudah sedikit bengkak akibat sesapannya itu dengan ibu jari. “gimana bentuk tanggung jawabmu udah berhasil buat aku mabuk begini, hm?” bisiknya, menatap sendu.
rain menggeleng, mengecup pipi jave lama sekali. “gak ngerti, karna aku juga ngerasa sama kayak begitu.”
“no one ever made me feel like this. maksudku, ngerasa bener-bener yang disayang gitu.” rain melanjutkan, suaranya serak sekali.
“mereka gak berhak ngeliat kegemesanmu berarti.”
gadis itu tidak mau berkomentar, hanya fokus memandangi jave dalam diam.
“aneh.” ucap rain pada akhirnya.
“apa?”
“dulu cium pipi aja malunya sampe kayak gak mau ketemu lagi. tapi sekarang liat... kamu kayak penyedot debu.”
“hahahahaha. bibirmu lembut omong-omong.”
“diem.”
“manis banget.”
“please, please kamu bungkam aja.”
jave terkekeh. “kamu baru-baru ini habis minum susu kan? enak, rasa stroberi.”
rain sudah tidak tahan lagi, menjatuhkan kepalanya di pundak jave. “diem kakakkkk.”
“hahahaha. kenapaaaa?”
“aku malu.”
jave langsung memeluk tubuh rain sayang, menepuk punggungnya pelan sambil berkata, “gak papa. aku aslinya juga malu banget.”
kekehan keduanya menguar pelan, menolak fakta bahwa suara ramai di bawah sana sudah perlahan menghilang diganti dengan keheningan malam.