waterrmark

Truth or Dare.


Semuanya benar berkumpul di ruang bawah sesuai instruksi. Dengan menggelar tikar besar di depan TV LED dan duduk mengitari botol bir kosong yang ditemu Kalandra di dekat pos penjagaan.

Pukul 9 malam waktu Bali, semua mata masih segar karena sudah terbiasa begadang. Meski badan sedikit lelah karena seharian tadi mereka memutari pantai, tapi pikiran mereka masih sangat fresh.

Karel memetik gitarnya pelan, memutar lagu-lagu yang tidak asing agar menambah semangat dalam ruangan. Kalandra dan Rendy sesekali menyanyi sambil berdiri di atas sofa. Sisanya hanya tepuk-tepuk saja menambah ricuh keadaan.

“AYO PUTER BOTOLNYA ANJIR MALAH SIBUK NGAMEN LO SEMUA.” Juna yang sejak awal paling semangat itu mulai mendekat ke arah botol, ingin memutarnya agar permainan segera dimulai.

“Truth or dare doang? Ini mah semuanya ntar pada milih truth..”

“Ya kaga apa-apa, hak asasi lah men.”

“Dah Jun puter Jun..”

Juna langsung bergerak memutar botol itu dengan semangat. Semua mata memandang bibir botol dengan jantung berdetak kencang, grogi.

“HAHAHAHAHA KENA JEVA. AYO JEV. TRUTH OR DARE?”

Jeva yang tertunjuk oleh bibir botol itu reflek memelas lucu, wajahnya seperti meminta tolong pada Rain dan Lea yang duduk mengapitnya.

“Maaf tapi truth aja ya. Kalian agak barbar, serem.”

“Oke.. Truth. Pertanyaannya apa woy?”

“Lo carilah di google anjir pertanyaan keren buat truth or dare. Males banget.”

“Kelamaan lo semua.” Lukas menyela. “Jeva, Jeva suka kak Lukas gak?”

Rain adalah manusia yang pertama kali tersedak. Cukup kencang sampai telinganya berdengung. Gio reflek berdiri untuk mengambil minum, bersamaan dengan Jave yang ikut kaget dan reflek menarik botol minumnya yang lebih dekat. Membuka tutup dan menyerahkannya ke tangan Rain.

“Gi.. Udah Gi gak usah ngambil minum.” Jave mencegah Gio berjalan lebih jauh dengan menunjuk Rain yang sudah minum di sampingnya. Gio mengangguk, mengacung jempolnya.

“Jeva ayo Jev dijawab.” Gibran menjadi kompor agar Jeva lekas menjawab.

Gadis yang seumuran dengan Gio itu menutup wajahnya yang kini sudah sangat memerah. Sama dengan Jave jika sedang malu, telinganya merah sekali. Jeva lantas mengangguk pelan setelah sebelumnya sudah mengumpat dalam bahasa asing.

“WOOOOOOOOOOOOO KAS, DEMEN LO KAS. CINTA TAK BERTEPUK SEBELAH TANGAN TINGGAL NUNGGU RESTU ABANG YA KAS.”

Suara ricuh Kalandra menggema keras, lelaki itu lantas bertos ria dengan Lukas yang wajahnya sudah menampilkan raut super PD.

“Udah jangan lo terusin adik gue ntar mateng di tempat.” Jave menghentikan kericuhan teman-temannya dengan memutar botol kembali. Dan sialnya, bibir botol itu mengarah tepat ke arahnya.

“Muter-muter sendiri kena sendiri. Adik kakak ini hari ini agak sial kayaknya.” Jinan berkomentar, tertawa puas.

“Truth or dare kakak cakep?” Lea bertanya. Mempercepat keadaan.

“Truth aja lah.”

“WOOOOOO KAGAK LAKI. MASA LAKI MILIHNYA TRUTH.”

“Kata lo hak asasi woy?”

“DARE LAH JAV DAREEE.”

“Tingkah lo semua kayak setan, gue ogah.”

“DARE DARE DARE DARE DARE.”

Telinga Jave memerah. “Oke. Oke dare. Tapi inget disini ada adik sama cewek gue, jangan aneh-aneh.”

“Apa nih Kal? Lo kan oknum yang paling sesat disini.”

“Ada adik gue.....” Jave mengingatkan.

“Nah, lo cium pipi adik lo Jav.”

“Gitu doang?”

Gibran menyilangkan tangan tak setuju. “Kalo si Lukas yang lo dare beginian gue setuju soalnya Lukas sama kakaknya gelut mulu. LAH INI JAVE JEVA MAN. SWEET TIAP HARI SINTING KALI LO?”

“Ya udah cium pipi Rain.”

“EH EH..” Rain langsung bangkit berdiri dan menyilangkan tangan. “Ini tolong jangan makin suka mendewasakan diri ya kakak-kakak..” ujarnya dengan pipi yang mendadak merah sekali.

“Yaelah Jun, kaga tau gue.. Lo aja dah kasih dia dare hahahahaha.”

Juna berdecih. “Tunjukin perut lo Jav.”

“Mendadak???? Perut gue?”

Rain melotot. “Kenapa perutnya kak Jave mau diliatin?”

“Ya lo kan sering liat Rain, gue mah kepo kotaknya ada 6 apa 8.” Juna meringis.

Rain menggeleng, ia belum pernah melihatnya, dan merasa sedikit malu juga jika harus melihat. Sebagai gantinya gadis itu kembali duduk ketika Jave berdiri. Menyibukkan diri dengan memandangi semut kecil yang kebetulan melintas.

“Sedetik doang.”

“MANA ASIK?”

“Pemerkosaan ya lo?”

“MULUT LO JAV.. TAPI OKE LAH SEDETIK DOANG.”

Jave setuju, mengangkat kaosnya cepat dan menurunkannya kembali. “Noh, udah.” ucapnya kemudian.

“Gue gak keburu ngitung kak.” Jinan protes, sedangkan Lea yang sejujurnya kepo juga dengan bentuk perut Jave itu ikut Rain menyibukkan diri dengan memainkan kukunya. Menurut Lea, tidak pantas saja jika ia ikut melihat ketika Rain saja masih menolak melihat akibat malu-malu padahal Jave adalah pacarnya sendiri.

“Gue sumpahin abis ini nih botol madep ke Juna.”

“Puter Ren...”

Rendy langsung bersemangat memutar hingga bibir botol berhenti di antara Gio dan Jave.

“GUE UDAH?” Jave protes. “Gio lah.”

“Mana adaa? Lo berdua suit lah.” Kalandra mencegah sampai Jave misuh-misuh.

Mereka berdua segera menurut. Melempar batu-gunting-kertas sebagai penentu pemenang.

“Apa tuh gue gak keliatan.”

“Jave kalah hahahahahahaha anjeng anjenggggg. AYO JAV TRUTH OR DARE.”

Jave menghela napas sabar. “Truth. Please turutin aja gue tadi kan udah lo paksa dare.”

“Oke truth guys..”

“Buruan.”

“Kalo di bumi sisa Clara sama Jasmine lo pilih siapa Jav?”

Jave terkejut, langsung menoleh pada Rain yang kini sudah melihatnya terang-terangan, ikut penasaran.

“Kagak ada.” Jave menjawab mantap, menelan ludah.

“YEEEEEE TAKUT SAMA RAIN YA LO YA. Tapi kalo gue jadi lo juga bingung sih, oke ganti, GANTI AJA GUYS LIAT TEMEN LO MERAH BANGET SEREM DIHAJAR LO NTAR.”

“Tapi kalo udah dilontarin harus dijawab gak sih kak?” Rain berucap, menghentikan kericuhan.

“Kepo ya lo Rain?”

“Iya lah.”

“Nah loh jawab Javvvvv cewek lo penasaran.”

Jave menelan ludah berulang kali, menyisir rambutnya ke belakang karena bingung setengah mati. Bukan bingung memilih, tapi bingung harus menjawab bagaimana karena Rain sudah tentu akan jadi “aneh” setelah mendengar jawabannya.

“Cuma ada 2 cewek ya ini kondisinya?”

“Iyaaa. Jangan hard feeling lah Jav, game doanggg.”

Jave reflek melotot. “Cewek gue ada disini.”

“Santai aja, anggep gak ada kak.”

“Noh anggep Rain kaga ada Jav hahahahahaha.”

Laki-laki itu tampak memejamkan mata, “Oke. Jasmine. Maksud gue soalnya dia gak seneng gue, terus dia gak nyusahin dengan nyatain cinta berulang kali kayak Clara. Udah. Itu kalo kondisinya cuma ada 2 cewek loh Rain. Ini dipaksa. SUMPAH. LIAT AJA LO SEMUA BAKAL GUE HAJAR KALO CEWEK GUE SAMPE NGAMBEK HABIS INI.”

Rain mengibas tangan, “gak ngambek, santai aja. Ini kan hanya gameeeee.”

Juna bertepuk tangan ricuh atas jawaban Rain barusan, “Kalo lo Le, di dunia ini cuma ada gue sama Jinan, lo pilih siapa?”

“Wuih.... Sorry Ji, sorry juga kak Jun, tapi gue mending menyendiri dulu karna lo berdua omongannya sarkas mulu.”

“LAH TAPI LO SEKARANG PACARIN JINAN ANJIR?” Lukas berteriak heboh, tertarik.

“Ya soalnya dia baperin gue mulu sejak kelas 10. Cinta lah gue karna baper kak..”

“Dih, baperin orang.. Tapi untung sih tanggung jawab gak kayak Gibran, baperin doang ditinggal minggat.”

Gibran langsung mengelus dada sabar.

Jagung Bakar, 18.00

“Kakakkkkkkkkk...” Suara Rain mendarat di telinga Jave, sedikit manja, entahlah, tumben-tumben. Jave segera menolehkan wajahnya ketika merasa kepala Rain itu jatuh tepat di lengan atas miliknya, menyender.

“Kenapa Rain?” Jave terkekeh, mengelus rambut Rain yang tersampir berantakan di samping pipi mulusnya itu perlahan.

Gadis itu menggeleng, “cuma pengen nyender aja.”

“Oke. Nyender aja sambil nungguin minummu dateng.”

“Kamu gak keganggu kan ngegamenya?”

“Nggak Rain... Bisa kok.”

“Okeeei.” Gadis itu membalas, tetap menyender sambil sesekali mengusel demi mendapatkan posisi yang enak.

“Omong-omong kak kemaren game yang township di kamu level berapa?”

“26 kayaknya. Kenapa?”

“Udah buat selai belum? Kirimin aku dong. Aku butuh selai. Ada ibu-ibu minta selai.”

“Hahahahahaha itu ibunya beli.”

“Ya itu pokoknya dia request selai.”

“Oke aku cek bentar.”

“Aku kesel ya, masa keretaku gak dateng-dateng.”

“Cepetin aja bayar Rain.”

“Gak mau. Gak ngefeel kalo dicepet-cepetin.”

“Tuh udah aku bantuin.” Jave berucap, menunjukkan layarnya.

“UIH JELEK BANGET TATAAN KOTAMU KAK JAVE. Itu dunia penuh lumpur kah?????” Rain mengernyit ketika melihat tatanan rumah di game Jave berantakan sekali.

“Yang penting duitku lebih banyak dari kamu ya.” Jave balas meledek, menunjukkan angka uang di gamesnya yang memang cukup banyak.

“Sombongnyaaaaa.”

“Tatain deh sini punyaku. Aku cariin uang di kamu.”

“Oke deaaal.” Rain mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia bawa, menyerahkannya ke Jave.

“Permisi mas, mbak.. Ini jagung serutnya dua yang satu pedes yang satu enggak ya. Minumnya nunggu sebentar pedagangnya lagi keburu toilet, kayaknya lagi ada panggilan.”

Jave tertawa pelan untuk menanggapi sedangkan Rain mengangguk memaklumi. Mereka mengucap terima kasih sebentar pada bapak-bapak penjual jagung itu sampai melihatnya pergi menjauh.

“Makan dulu matiin hpnya Rain.”

“Nanggung ini lagi membendung air.”

“Jagungmu dingin nanti enakan panas serius deh.”

“Kamu gak mau nyuapin ke aku satu sendok?”

“HAHAHAHAHAHAHA LIAT SIAPA YANG MANJA KE AKU????”

“Eh enggak maksudku aku nggak lagi manja aku cuma mau natain kotamu liattttttt ini jelek banget serius.”

“Ya udah sini aaa bentar.”

Rain menurut, membuka bibirnya dengan mata yang masih fokus pada gamesnya.

“Enak kan?”

“Ya enak. Kamu abisin punyamu cepetan.”

“Emang kenapa cepet-cepet? Mau cari makanan lain?”

“Gak sih. Basa-basi aja bingung mau bales apa kan tadi. Ya udah aku ulangi, makanmu pelan-pelan aja aku mau fokus membangun perumahan di pinggir pantai dulu. HEIIII JANGAN DISENGGOL.”

Jave terpingkal, membuat beberapa pengunjung yang dari tadi memang fokus melihat ke arahnya itu semakin semangat saja menonton.

Laki-laki itu dari dulu memang pesonanya tidak pernah luntur. Malah makin parah saja melejitnya.

“Kak ini kenapa kamu gak menanam wortel apa pohon kapuk aja kalo ditinggalin lama biar cepet panen?! Kenapa kamu malah menanam gandummmmm yang 2 menit selesai tolong aku sebel sekali.”

“Diem udah jangan ngomel liat sini buka mulutnya.” Jave menodong sendok lagi ke bibir Rain yang menurut. Lucu sekali.

Vibesnya sudah seperti ayah memomong anaknya sendiri.

*“Permisi mbak, mas.. Minumnya.”

Rain langsung meletakkan hp, menyingkirkan piring sedikit ke samping agar gelas bisa diletakkan. Mereka mengucap terima kasih sekali lagi hingga penjual pergi.

“Liaaaaaaaaaaaat STMJku kenteeeeel banget apakah kamu mau coba??????”

“Pedes.”

“ENGGAK. cobain serius enak.”

“Tapi itu susu.”

“Oke. Iya betul itu memang susu.” Rain batal menyerahkan gelasnya. “Tapi serius enak kak.”

“Punyamu panas enakan punyaku liat deh.. seger kan?”

“Ini malem sih.” Rain sudah hampir mengomel, namun batal ketika melihat ekspresi Jave yang memelas lucu. “Lagi pengen es Rain..” Katanya.

“Errrrrrrr.. Ya udah habisin aja.”

“Kamu gak mau?”

“Mau tapi aku males.”

“Aku abisin betulan?”

“Ya abisin aja esmu betulan real aku tidak akan meminta.”

Jave mengangguk. “Oke. Oke deal awas kalo kamu pas habis nanti tiba-tiba kepengen.”

“Oke...... Oke aku mau.”

“Nahhhhh..” Jave tersenyum puas, menyodorkan gelasnya. “Udah aku aduk, sedot aja langsung.”

“Eh omong-omong yang kemaren kak kalandra beli itu apa namanya kak? Aku lupa. Yang warna merah muda.”

“Sogem hahahahaha.”

“Mau aku bisikin gak?”

Jave mendekatkan telinga. Mendengar bisikan Rain. “Kayaknya aku bisa bikin sendiri. Besok di Bali bikin mau gak?”

“Boleh. Beli bahan disini apa disana enaknya?”

“Disana aja kak Jave hahaha masa jauh-jauh sini sana bawa sprite sama marjan.”

Jave tertawa, mengiyakan dalam hati. “Pokoknya besok aku gak akan bawa keripik singkong. Apalagi yang rasa barbeque..”

“Kenapa? Enak kan??”

“Justru. Bisa-bisa aku yang bawa yang habisin malah Kalandra.”

“Tapi kak Kalandra tuh meski modelannya ngeselin baik banget gak sih kak? Kayak dia tuh tipe yang berisik sok galak tapi perhatian?”

Jave menoleh. “Kamu tau banget yaaaa?”

“Errrrrrrrr... Memang keliatan begitu gak sih?”

“Ya oke fakta. Kalandra emang gitu. Dia cepet tanggap sama situasi tapi gak langsung nunjukin kalo peduli.”

Rain mengangguk-angguk. “Sayang aja dia ceweknya bejibun.”

“Kalo gak bejibun kamu mau?”

“Hahahahah. Kamu ijinin gak kalo aku mau?”

“Oooooohhh... Oke. Kamu mau ijin selingkuh ke Kalandra?”

Rain terpingkal, geleng-geleng kepala dan lanjut menghabiskan makanannya.

“Mau tau sesuatu gak Rain?”

“Apa apa?”

“Orang kira Kalandra itu emang gonta-ganti cewek, tapi aslinya dia sekarang cuma naksir sama satu aja. Temen kampusnya.”

“Woooooooow. Cewek ini menaklukkan buaya darat loh...”

“Namanya Celine. Agak ajaib sih emang modelannya kalo aku liat-liat.”

“Ajaib?”

“Iya. Salah satunya pas itu dia dateng ke cafe waktu aku sama yang lain lagi makan. Dia tau-tau beliin Kalandra makanan sambil bilang kalo lo mau makan berarti lo cowok gue.

“Hahahahahahaha astaga maksa juga. Terus?”

“Kalandra mah pas itu makan aja. Eh lama-lama kepincut.”

“Terus udah pacaran gak?”

“Gak tau. Belum cerita lagi anaknya.”

“Misi mas, itu gelang adiknya lepas bukan?”

Obrolan mereka terputus mendadak ketika ada segerombol perempuan baru datang yang menunjuk gelang manik-manik hijau di bawah meja.

Rain membungkuk, meraih gelang tersebut.

“Punyamu? Bukan kan?”

Rain mengangguk. Gelang itu bukan miliknya. Ia lantas meletakkannya di atas meja.

“Makasih ya mbak.”

“Iya, sama-sama.”

“Tapi mas, boleh kenalan nggak? Mas yang dulu sering main di lapangan DBL kan?”

Rain menghela napas, membiarkan mereka berkenalan setelah Jave sempat melirik ke arahnya lama untuk meminta ijin.

“Adiknya boleh minta tolong fotoin gak? Gak papa ya mas? Sekali aja.” Salah satu wanita tersebut meminta tolong pada Rain agar memotret mereka bersama Jave.

Pikiran Jave langsung semrawut karena terhimpit kanan kiri.

“Wah keren dik, ikut ekskul fotografer ya di sekolah?”

“fotografi bego.”

“nah sama aja. adiknya ikut fotografi?”

Rain menggeleng sopan. Ingin menyahut ketika ucapan Jave lebih dulu terlontar. “Itu pacar saya, mbak.”

Semuanya langsung bungkam. Ucapan Jave itu membuat Rain yang jarang suka pamer pacar mendadak tersenyum dalam hati.

it's a bliss. it's love. it's us.

lowercase. 20+ idk. (not that explicit but still, be wise.)


PUKUL 10 MALAM. rumah rain yang tadi masih terbuka itu sudah terkunci rapat dengan lantai bawah yang dipenuhi oleh teman-teman jave. ya, mereka memutuskan menginap semalam dengan alasan sudah terlalu larut.

tidak sepenuhnya salah juga sih, jave tadi menjemput rain pukul 7 lalu lanjut membelikan teman-temannya makan di antrian lalapan dan baru kembali pukul 9 malam. murni mengantri karena memang ramai. belum lagi terpotong jarak dan tercegat lampu merah kota yang terkenal begitu lama.

suara kalandra yang berteriak akibat digoda gibran menggema sebentar, lalu berganti lagi oleh juna yang mengomeli teman-temannya agar tidak berisik.

rumah rain bukan terletak di perumahan besar, lokasinya tepat di depan lapangan golf luas dengan jarak antar bangunan yang jauh sekali. minim tetangga, satpam juga hanya beberapa.

oleh karena itu gadis ini jarang-jarang ada di rumah. kebanyakan ia tidur di rumah neneknya yang ada di dalam perumahan.

rain menggaruk kepalanya karena merasa canggung mendengar banyak suara lelaki di bawah sana. sesekali ia turun untuk menyapa, tapi kebanyakan duduk di ruang atas untuk mengerjakan tugas kampusnya yang masih menumpuk.

“hei.” jave menyapa, berdiri di belakang kursi tinggi tempat rain duduk.

“eh iya, halo kak jave.. udah pusing kah denger teriak-teriak di bawah sana?” rain yang sebelumnya sudah kaget itu bertanya, membalik badannya sebentar, lalu lanjut menyuruh jave duduk di kursi tinggi sampingnya.

“sorry, emang begitu, udah aku marahin sama juna. kalandra sama gibran taruhan cewek lagi.”

“taruhan cewek?”

“enggak, maksudku bukan yang taruhan ceweknya dipacarin gitu. jadi kalandra sama gibran ini ngechat satu cewek, terus mereka taruhan yang kayak lo kudu traktir gue disini kalo dia bales gue dulu. ya udah. tes popularitas aja, makanya teriak-teriak. kalandra kalah.”

“lahhhhh.. emang ngechat ceweknya gimana?”

“ya cuma hai doang sih keseringan.” jave menjawab, cengengesan.

“ooooh..” rain ber-oh paham. “tapi kak jave kenapa kamu gak duduk?” ia lanjut bertanya ketika menyadari bahwa jave masih berdiri tegak di belakang punggungnya.

lelaki itu menggeleng, “dari tadi udah duduk, capek.”

“ya minimal jangan di belakangku lah aku kan kalo ngajak ngomong jadi bingung harus berputar-putar antara laptop dan kamu.”

jave diam, wajahnya menampilkan raut sok berpikir.

“apa? kamu mau apa?” rain langsung curiga.

“gak mau apa-apa astaga. kamu nih sekarang jadi suka curigaan ke aku loh.”

“ya emang jalan pikiranmu suka diluar kendali. aku gak paham gerak-gerik dan tatapanmu.”

jave tertawa, matanya menyipit. tampan sekali. “masih bingung liatin aku sama laptop?”

“iya lah, kamu duduk lah di sampingku sini.”

“capek duduk rain.”

“ya udah, berdirinya di sampingku aja sambil nyender di meja ini kan enak tinggi.” gadis itu menunjuk meja marmer hitam yang tumben-tumbenan tampak sangat berantakan di hadapannya itu. kertas-kertas dan alat tulisnya ada dimana-mana. mungkin rain sudah benar-benar pusing terkena tugas hari ini.

“kalo aku kayak gini, kamu keganggu gak?” lelaki itu maju, melingkarkan tangan kekarnya perlahan di perut rain sambil mulai meletakkan dagu di pundak gadisnya.

wangi stroberi khas rain yang menjadi favorit jave itu langsung menguar dari lehernya yang kali ini persis berada di dekat hidung jave.

“eh astaga kak jave.. ya anu, maksudku, apa kamu gak geli di posisi gini? perutku mules banget.”

“kamu kebelet?”

“enggak, bukan mules kebelet BAB ini tuh mules yang itu loh, grogi. kayak, hhhhhh.. kenapa kamu suka mancing-mancing aku?!”

jave tertawa. “udah sana kamu lanjut ngetik aja. kalo pundakmu capek, bilang aku.”

“kamu pergi?”

“nggak lah, aku nanti pindah ke pundak satunya.”

bulu leher rain meremang seketika.

“ya udah, oke. tapi jangan gerak-gerak soalnya leherku suka geli kalo kena pegang.”

“deal.” jave menjawab, memejamkan matanya.

berada di posisi ini meski sambil berdiri ternyata terasa nyaman sekali. aroma rain bahkan sudah berhasil memabukkan pikirannya. jave mengencangkan pelukannya sekali lagi ketika merasa rasa rindunya masih belum tersalur sempurna, lantas mengusel hidungnya di pundak rain pelan.

“heeeeei.. geli banget. kamu sedang apa?”

“wangi rain.”

“ya emang aku abis mandi tapi kamu itu.. astagaaaaaa hhhhhh kak jave sumpah geli jangan diterusin kamu jadi orang usil banget.”

jave terkekeh, lalu memutuskan untuk diam lagi sebelum ia diusir.

“kak kamu tau komik itu gak, yang tentang basket ada berpuluh-puluh series?” rain membanting topik pembicaraan.

jave menggeleng, “apa judulnya?”

“lupa. pokoknya gaya di permainan basket. dunk shot?”

“slam dunkkkkkkkk.”

“hahahahahaha astaga, iya slam dunk.”

jave ikut tertawa, “emang kenapa? kamu pernah baca?”

“enggak. cuma tadi kepikiran aja. dulu kan aku sering ke gramed pas SMP, terus pas jalan sama temenku aku keliatan series ini kayak laku aja gitu terus lucu jejer-jejer banyak.”

“temenmu?” jave malah tidak fokus.

“iya, kamu gak kenal.”

“bukan tama?”

rain reflek menoleh. “kamu tanya itu tadi soalnya mikir aku jalan sama kak tama?”

“yaa.. pacarmu yang pertama itu.”

“astaga kak jave.. gak, aku waktu itu jalan sama temen cewekku.”

“dulu tama ini gimana deketin kamunya?”

“emang penting banget buat ditanyain gitu kah kak jave?”

“iya dong.”

“seriusan ini gak penting.”

jave mengangguk, “iya sih. cuma emang sering kepikiran aja taktik pdktnya dia. kamu kan anaknya diem.”

“heu.” rain tidak menggubris lagi dan lanjut mengetik tugasnya.

“spasi rain.”

“oh iyaa..”

“terus itu kapitalnya juga.”

“itu nanti auto kapital pas di spasi. tuh kan, besar kan..”

“jangan dibiasain jagain spasi, nanti malah kalo ngetik di tempat lain jadi bingung loh.”

“iya iya..”

hening. hanya suara keyboard rain dan suara teman-teman jave yang bising kembali di bawah sana, sepertinya sedang bermain game online.

“eh omong-omong rain..” jave berucap, tangannya bergerak merapatkan pelukannya yang sempat mengendor.

“apa?”

“kamu tau dari mana jasmine kemaren aku yang anterin?”

“no komen.”

“serius aku penasaran.”

rain menghentikan kegiatannya mengetik, menoleh sebentar, “banyak foto. kamu gak tau kamu ini sudah seperti artis? lea yang kasih tau aku waktu itu.”

“lea?”

“ya, temen dia kan banyak. lagian juga untung-untung dia kasih tau aku jadi aku bisa tau kamu ngapain. liat, siapa yang bilang mau ngabarin eh tau-taunya gak dikabarin? terus tiba-tiba lea bilang kamu anterin cewek, aku liat lagi fotonya lah itu kan si gadis seksi yang kakinya lurus panjang banget itu. wuih, kamu gak tau betapa mikirnya aku kemaren..”

“cemburu?”

“pikir aja sendiri kamu ngapain bertanya...”

jave mengusel lagi, kali ini di dekat leher kanan rain. “iya maaf, itu hpku lowbatt. terus aku juga paginya mau kasih tau kayak ya kan udah telat, udah kejadian, jadi aku diem aja.”

rain merinding lagi. “kak iya, oke. tapi bisa tolong jangan ke deket leher sumpah aku gelian banget.”

“wangi rain.”

“demi...... nangis nih, seriusan kak pergi sana hhhhh HEII ITU PUNDAK GAK USAH DIGIGIT.”

jave tidak peduli, lanjut memejamkan matanya lagi.

“orang ini betulan keras kepala..” rain menoleh, melihat jave yang sudah dalam posisi enak itu kembali diam tanpa ada rasa berdosa sedikitpun.

“rain, kamu tau gak?” laki-laki itu bersuara, serak.

“apa?”

“alesan aku gak nanyain kamu keluar sama siapa waktu kamu ijin ke aku kemaren.”

“oh. gak tau, tapi emang gak penting sih.”

“aku gak nanya karna takut aja kamu nganggep aku ngekang kamu. lagi pula aku juga percaya kamu sih. makanya aku ya, ya udah, keluar aja. meski emang sempet cemburu liat dia masuk rumah ini sih.”

rain menoleh, melihat jave yang kini juga sudah membuka mata memandangnya.

“itu betulan udah kayak keluarga kok, gak perlu dicemburuin.”

“ya.. aku percaya kamu.”

“harus. karena aku memang orang yang sangat jujur.”

jave spontan terkekeh. “tau. omonganmu aja sering nyeplos tanpa filter.”

“eh enggak kalo itu aku suka berpikir dulu ya enak aja aku gak ngefilter..”

“inget itu gak kamu? yang kamu nanya aku suka cewek seksi apa gak?”

rain melotot. melepas paksa pelukan jave di perutnya, lantas membalik badan sebentar. “ITU BUKAN AKU YANG MENGETIK!!!!”

“HAHAHAHAHAHA. ya udah terus itu gak usah merah juga pipinya.”

“seriusan bukan aku, kamu jangan menuduh sembarangan.”

“iya bukan kamu, tapi jarimu sendiri. ya kan?”

rain kembali memutar badan, menutup wajahnya sendiri di atas meja. “udahlah, kamu selalu godain aku. aku merasa malu sekali.”

“hahahahahahaha sayaaaang.”

“SEMPET BEGITU?”

“sini-sini. siapa yang bikin marah?”

“kamuuu.”

jave tertawa makin kencang, mendekatkan tubuh dan memeluk rain lagi dari belakang.

“udah iya gak ganggu lagi. seriusan siniin deh mana muka cantiknya aku mau liat.”

“gak ada.”

“ada itu loh kamu tutupin rain.”

“gak ada.”

“aku usel leher belakangmu jangan teriak ya?”

“HEEEI, ITU ADALAH BENTUK PENGANCAMAN.” rain langsung menegakkan punggung. wajahnya makin merah saja detik ini.

jave tersenyum puas, melepas pelukannya dan lanjut memutar kursi rain agar menghadap ke tubuhnya. sedikit brutal memang javerio ini jika sudah bertekad.

“nah kannn.. merah.”

“diem.”

“kayak udang selesai digoreng rain.”

“diem dan jangan lihat-lihat aku.”

“cantik gini emang gak boleh diliat?”

“iya. gak boleh.”

jave tertawa puas, menangkup pipi rain dengan kedua telapak tangannya.

“panas banget rain pipimu.”

rain reflek menyatukan alis. jika sudah ditangkap begini maka tidak ada yang bisa ia perbuat lagi selain pasrah.

“awas aja kamu nanti.” ancamnya dengan suara tidak jelas karena pipinya ditekan oleh jave.

“bilang apa rain? gak jelas.”

“males-males.. males banget aku serius.”

“hahahaha bayiku ini.” jave menempelkan hidungnya di hidung rain, menggeseknya lama. “kamu definisi tambah umur tapi makin lucu.”

rain menurunkan pandang, tidak berani menatap mata jave yang berada sangat dekat di depan matanya. jantung gadis itu bahkan sudah berdetak kencang kala hidung jave berhenti menggesek namun tetap menempel di hidungnya lama.

“rain.” bisik jave pelan.

“ya?”

“can i kiss you?”

deg.

kupu-kupu dalam perut rain langsung membeludak keluar. terbang kesana-kemari membuat telapak tangannya kebas seketika.

gadis itu reflek menjauhkan jarak, menarik mundur kepalanya. “demi apa kak jave kenapa kamu blak-blakan sekali?!”

jave mengedik pundak, “rasain kangenku rain.”

“memang harus begitu? gak ada cara lain?”

“gak ada.”

“kamu bisa peluk aku.”

“rasa kangenku terlalu besar buat dibayar pake pelukan. terbukti dari tadi aku udah peluk kamu tapi aku masih ngerasa kurang.”

“itu kamu aja yang kepengen. ihhhhh jauh-jauh sana kak jave jangan deket-deket.”

“apa sih orang masih diem di tempat kok udah diusir aja.”

rain mendengus, punggungnya yang menempel di pinggiran meja itu seketika saja meremang ketika jave tiba-tiba mengungkungnya dari arah depan. memberi pagar dengan bertumpu pada pinggiran meja.

lelaki itu hanya diam, mengamati satu titik di dekat leher rain sambil sesekali mengunci pandang tepat di manik mata. begitu terus, cukup lama.

“kamu liat apa sih?”

jave membasahi bibirnya sendiri. “your collarbone?”

“hahhhh?!”*

“kamu tanya aku kenapa aku senyum-senyum sendiri sambil liat hape waktu itu kan? itu karena aku lagi liat fotomu. serius.”

rain masih membuka bibir, melongo sekali.

“aku selama ini selalu anggep kamu anak kecil, bayi, tapi akhir-akhir ini aku sadar kalo kamu udah sangat bertumbuh. kamu udah besar. maksudku, kamu bukan umur belasan lagi kan? kamu udah kepala 2 sekarang.”

“jadi apa maumu?”

jave menggeleng, “gak tau.”

rain menelan ludahnya sebentar, mengamati wajah jave dalam diam. rahangnya, tulang pipinya, matanya, hidung, hingga yang terakhir jatuh pada bibir merah muda lelaki itu.

“kak..” panggilnya dengan suara bergetar.

“apa?”

“you want my lips?”

jave menelengkan wajah kaget, namun mengangguk juga pada akhirnya. “ya.” jawabnya, jujur.

sial. jantung keduanya berdetak semakin tidak aturan. kencang sekali sampai mungkin jika dibiarkan bisa lompat keluar dari dalam tubuh.

gadis itu menarik napas banyak-banyak, mengumpulkan keberanian sebentar sebelum akhirnya meletakkan telapak tangannya di pundak jave yang terbalut kaos berwarna putih. “kak..”

“hm?”

“jangan digigit.”

jave tersenyum kecil karena mendapat lampu hijau sebelum bertindak. lantas tanpa suara lagi ia segera mengikis jarak dengan rain. perlahan-lahan, membangkitkan kupu-kupu di perut gadisnya dengan cara menatap matanya lamat-lamat. mengunci pandangan cukup lama selagi tangannya yang tadi menggelantung bebas itu mulai ia susupkan di belakang punggung rain, menguncinya agar tidak bergerak.

“kak..” rain memanggil, suaranya benar-benar bergetar.

“hm?” sahutnya, berhenti sekitar 5 senti di depan wajah rain yang sudah sangat memerah.

napas keduanya beradu, ditambah dengan tatap damba yang saling terpancar di bola mata mereka.

“temenmu gak akan naik?”

jave tersenyum, matanya fokus menatap bibir dan mata rain bergantian. “gak akan.” balasnya pelan. tangan kanan lelaki itu yang tadi masih bertumpu di meja ia gunakan untuk menyibak anak rambut rain yang berjatuhan halus di permukaan wajah.

“cantik banget.” pujinya jujur, mengelus pipi rain sebentar.

hening, cukup lama, hingga akhirnya tanpa banyak bicara lagi jave segera mengikis habis jarak yang tersisa. mengecup bibir ranum rain dengan pelan. menekannya sedikit hingga menyesapnya dengan gerakan ringan.

kepala rain terdorong ke belakang, jave benar-benar menciumnya gemas kali ini. laki-laki itu bahkan sudah memiringkan kepalanya, mulai melumat bibir lawannya itu dengan sedikit penekanan. tangan kiri jave yang tadi ada di punggung itu menahan agar punggung rain tidak tertatap meja. sesekali ia bahkan mengelus dan meremat pundak belakang rain cukup keras.

gadis itu mulai kelabakan, ciuman jave benar-benar menuntut sekali. memaksanya membuka bibir lebar-lebar agar lidahnya bisa masuk perlahan. decakan basah yang terdengar asing itu mulai bersahutan, menggema pelan di ruang atas sambil sesekali diselangi oleh rintihan tertahan rain karena jave yang sesekali menggigit bibir bawahnya.

tangan rain yang tadi berada di pundak mulai bergerak naik, mengimbangi tuntutan kekasihnya yang semakin menggila itu dengan meremat kasar rambut jave. membuat sang empunya semakin semangat saja menuang cinta melalui ciuman ini.

pukul 11 tepat, ponsel rain bergetar pelan. biasanya gadis itu memang menyalakan alarm agar bisa tau waktu bekerja.

jave tersenyum, melepas ciumannya sebentar untuk mengangkat tubuh rain naik ke atas meja. tangan lelaki itu bergerak mematikan alarm di hp rain sebelum tatapannya jatuh lagi ke arah gadisnya yang kini sudah terlihat sangat berantakan. sangat seksi, menurut jave.

“kamu brutal banget.” komplain rain, menahan pundak jave yang hendak maju menerkam lagi.

“is it over? aku lepas tadi cuma mau matiin alarmmu.”

rain mengerut alis, membenarkan rambutnya sendiri. dan sebelum gadis itu selesai dengan urusan rambutnya, tangan jave sudah melingkar di pinggang rain yang masih berada di atas meja. “lagi? please.

“kamu brutal.”

“tapi kamu bales aku.”

“ya soalnya aku merasa aneh kalo gak bales.”

“ikutin ritmenya biar gak capek rain.”

“kamu kira ini lagu?

jave tersenyum, tangan kirinya naik memegangi tengkuk rain. “jadi, apa boleh?”

“gak aku ijinin juga kamu tetep babat habis bibirku kan?”

“kalo gak kamu ijinin ya aku diem.”

rain masih diam, memperhatikan wajah jave yang sejajar dengan wajahnya itu sambil sesekali tersenyum kecil. “mukamu kalo gini lembut banget, tapi kalo di luar kayak penjahat.”

“kalo sama kamu ngapain aku kayak penjahat?”

rain terkekeh sebentar, lalu mengangguk. “boleh.” ujarnya, mulai mengalungkan tangan di leher jave dengan gerakan malu-malu.

jave termangu karena mendapatkan ijin lagi untuk kedua kalinya. sepertinya rain juga menginginkan hal yang sama saat ini.

“aku kangen kamu. dan ya, ini memang sangat mengobati.”

jave reflek membasahi bibirnya sebentar, menatap lama mata rain yang kini juga ikut menatapnya. kegemasan rain itu membuat keinginannya untuk menggigit jauh lebih besar dari pada sebelumnya.

“kak jave.”

“iya.”

“boleh gak, aku yang coba duluan?”

deg. jantung jave hampir merosot hilang. dengan kesadarannya yang terlampau tipis lelaki itu akhirnya mengangguk. memperhatikan rain yang terus menatap bibirnya ragu dan malu-malu.

“do it rain.” ucapnya meyakinkan, mengarahkan tangan rain yang melingkar di leher itu agar menangkup dua pipinya yang mulai terasa panas terbakar. “i'm yours.” lanjutnya, memejamkan mata.

mendengar itu rain segera menyatukan bibirnya cepat, hanya beberapa detik saja karena tidak bernyali, namun ketika ia ingin melepasnya, tangan jave yang bebas itu langsung bergerak cepat menahan leher rain agar tidak menjauh.

menyesapnya cepat atas dan bawah bergantian, melumat dan menjilatnya di berbagai sisi.

lagi, tubuh rain terdorong mundur. jave benar-benar agresif kali ini. tangan kirinya yang menahan punggung itu bergerak, mengelus pinggulnya. memberikan ketenangan agar gadisnya tidak terlalu terkejut.

lumatan jave bergerak turun menuju rahang bawah rain, lalu naik ke bibirnya lagi. lelaki itu benar-benar meraup habis miliknya, seakan tidak ada hari esok lagi.

tanpa sadar, rain mengeluarkan suara kecil. lenguh pertama yang terdengar sangat seksi di telinga jave. membuatnya semakin semangat membubuhkan lumatan di rahang rain sembari menggigitnya kecil berulang kali.

alat tulis di atas meja mulai berjatuhan ketika jave mengecup turun dari bibir hingga ke leher jenjang gadisnya yang terbuka. sentuhan terakhir ia daratkan pada collarbone rain yang akhir-akhir ini menggoda otaknya.

jarak mereka masih belum terpisah jauh. hanya deru napas yang saling terdengar bersahutan.

“i'm deeply in love with you, rain.” jave berucap, mengusap bawah bibir rain yang sudah sedikit bengkak akibat sesapannya itu dengan ibu jari. “gimana bentuk tanggung jawabmu udah berhasil buat aku mabuk begini, hm?” bisiknya, menatap sendu.

rain menggeleng, mengecup pipi jave lama sekali. “gak ngerti, karna aku juga ngerasa sama kayak begitu.”

“no one ever made me feel like this. maksudku, ngerasa bener-bener yang disayang gitu.” rain melanjutkan, suaranya serak sekali.

“mereka gak berhak ngeliat kegemesanmu berarti.”

gadis itu tidak mau berkomentar, hanya fokus memandangi jave dalam diam.

“aneh.” ucap rain pada akhirnya.

“apa?”

“dulu cium pipi aja malunya sampe kayak gak mau ketemu lagi. tapi sekarang liat... kamu kayak penyedot debu.”

“hahahahaha. bibirmu lembut omong-omong.”

“diem.”

“manis banget.”

please, please kamu bungkam aja.”

jave terkekeh. “kamu baru-baru ini habis minum susu kan? enak, rasa stroberi.”

rain sudah tidak tahan lagi, menjatuhkan kepalanya di pundak jave. “diem kakakkkk.”

“hahahaha. kenapaaaa?”

“aku malu.”

jave langsung memeluk tubuh rain sayang, menepuk punggungnya pelan sambil berkata, “gak papa. aku aslinya juga malu banget.”

kekehan keduanya menguar pelan, menolak fakta bahwa suara ramai di bawah sana sudah perlahan menghilang diganti dengan keheningan malam.


“rain!” suara panggilan pelan itu menyentuh batas pendengarannya, membuat langkah rain yang tadi sedang asik menuruni loteng itu seketika terhenti.

“ya, kak jesz?” tanggapnya, menoleh.

“mau gue temenin gak? sekalian sih, gue mau ke parkiran.”

“oooooh, oke. oke boleh. jalan aja.” rain membalas, lalu lanjut melangkahkan kakinya turun menuju koridor paling bawah.

sebenarnya ia memang benar-benar bingung, orang siapa yang repot mencarinya sore-sore begini?

“mobil gue disana. mana orang yang nyari lo?”

“gak tau, katanya di koridor bawah kan tadi?”

jesze berdecak, “jangan-jangan orang iseng pengen ganggu doang?”

“gak tau, mungkin iya.” ucapnya setelah selesai memastikan bahwa koridor ini memang kosong. “lo ke parkiran aja kak, gue tunggu disini.”

“gak nemenin gue?”

“panas.” rain membalas, beralasan.

“lah kalo panas kenapa lo jaketan?”

sial. iya juga.

masalahnya jaket chandra ini benar-benar memiliki kain super dingin dan bau wangi yang enak sekali dihirup indra penciuman.

“itu bukan jaket lo kan? kebesaran. jaket karel?”

“bukan. ini punya kakak gue.”

“oh..” jesze ber-oh sebentar, lalu ketika tangan lelaki itu hendak menyentuh jaket yang rain kenakan, bayangan besar yang tadinya tidak terlihat itu mulai mendekat.

“rain.” suara lain yang sangat rain hapal siapa pemiliknya itu mendarat mulus tepat di telinga. membuat gadis itu menegang sepersekian detik, lalu membalik badannya cepat.

tidak. ini adalah hal teraneh setelah ia berpacaran dengan jave. 6 tim basket senior di SMA-nya dulu itu sudah berdiri dengan setelan serba hitam, tepat di hadapan tubuhnya.

sudah seperti adegan di film-film saja. bedanya, yang ini adalah kejadian nyata.

rain masih membuka bibir akibat terkejut ketika kalandra akhirnya mulai memecah hening, “ke mobil aja mending, ini kayak kita jadi om-om lagi ngelabrak bocah.”

gibran reflek tertawa, “asli. mana gue baru sadar lo semua pake item-item kek pengabdi roh halus.”

“lo tuh roh halus.” juna yang mulutnya biasa diam itu mulai sedikit nyolot, kepanasan.

rain mengerjap, makin bingung. “ini, kenapa? maksudnya, ada keperluan penting kah? maksudnya lagi, ini real apa ini halu?”

“real rain.” jave menjawab gemas, mengulur tangan untuk meraih lengan rain itu mendekat. wajahnya sudah mengerut lucu dengan mata yang sedikit memicing memperhatikan jesze dari ujung kepala hingga kaki.

jesze sendiri juga bingung, ingin menarik rain kembali ke dekatnya karena mengira 6 orang ini asing ketika jave akhirnya membuka suara, membungkam keadaan. “gak papa, ini saya cowoknya.”

rain melotot, kaget. “heei. astaga..”

“emang kan? masa bukan?”

rendy berdecak, “pindah mobil aja pindah mobil. karel telpon gue katanya temen-temen dia mau turun. males kan lo diliatin orang? gue sih males.”

rain setuju, reflek saja berpamitan cepat pada jesze dan menarik tangan jave untuk mendekati mobil kalandra yang terparkir di sudut jalan. tak jauh dari gedung fakultas.


setengah jam sebelum rapat rain dimulai. gadis itu sudah menyetel alarm agar tidak terlambat masuk di ruang pertemuan.

kaki mereka berdua berdiri tegak berhadapan di samping mobil.

teman-teman jave juga kini sudah semuanya berpindah tempat, menginjak kantin kampus dengan alasan ingin mencari minum. padahal jave dan rain tau bahwa mereka pergi agar tidak mengganggu obrolan keduanya.

“jadi, ini apa? maksudku, kenapa gak bilang? gak gitunya juga sih aku seneng kamu kesini tapi aku kaget. terus ini juga aku gak bisa temenin lama-lama karena aku mau ada rapat. seriusan.”

jave tidak bersuara, matanya masih memicing dari tadi. mengawasi jaket rain yang asing sekali di matanya itu dengan tatapan heran. “itu jaketnya kebesaran banget di kamu, jaket orang tadi kah?”

rain menghela napas, “bukan kak jave. ini jaket..”

“kayaknya emang dingin sih, wangi juga.” jave menyentuh jaket tersebut, mengendus sedikit.

“ini jaketnya..”

“jesze?”

rain mengerut kening. menarik tangannya mundur. “dengerin dulu aku ngomongnya lah kak jave!!!!!!” serunya gemas.

jave menunduk. “oke. oke aku dengerin kamu. jaket siapa?”

“kakak yang kemaren kamu tanyain di instagram.”

“yang mana?”

“yang chandra.”

“huh.” jave makin merengut saja.

rain menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “jadi kenapa kamu mendadak kesini? kamu mau balik kapan? maaf ini introgasi cepat-cepat karna aku dikejar waktu. aku mau siapin.. heeeei ini di kampus, ya ampun kakak.” gadis itu kelabakan, pelukan jave datang secara tiba-tiba. kencang sekali, membuat paru-parunya sempat sesak sepersekian detik.

“kangen rain.”

“ya oke, tapi kamu ini mau bunuh aku kah?”

“kangen banget.”

rain mendengus, berusaha mencari celah agar hidungnya bisa menarik oksigen.

“temen cowokmu disini cakep-cakep.”

“kenapa memang?”

“kamu gak naksir?”

“kamu mau aku naksir mereka kah?”

jave menggeleng. gelengan itu cukup terasa di pucuk kepala rain karena jave memang meletakkan dagunya disana.

“jangan.. jangan naksir.”

“ya memang aku gak naksir. ini kamu kenapa? kamu kesel sama kakak tadi kah? itu cuma temen organisasi aja. serius.”

“dia pernah deketin kamu, kata karel.”

“itu udah jaman maba. dia emang deketin banyak cewek kak jave.”

“tingginya hampir sama kayak aku.”

“teruss????” rain frustasi akibat kebingungan.

“kamu kalo liat dia gak pernah kepikiran aku?”

“Tuhan.. tolong.......” rain menenggelamkan wajah juga pada akhirnya akibat kesal. “kamu sama kakak tadi apa miripnya sampe aku kalo liat dia bisa kepikiran kamu? astaga kak jave.. kamu cemburu kah?”

“heem.” angguknya, mengaku.

“demi.... gak ada. aku gak ngapa-ngapain. serius. dua rius. sangat-sangat serius.”

Drrt Drrt

saku celana rain bergetar pelan. alarmnya berbunyi, 10 menit lagi rapat akan segera dimulai.

“kak, aku tau kamu jauh-jauh kesini. tapi rapatku sudah mau mulai. aku harus ada disana buat nyiapin materinya.”

jave melepas pelukan dengan enggan. “cepet banget?”

“ya memang jadwalnya begini. makanya kalo mau nyamperin aku bilang dulu. lagian kan kamu tau jadwal rapatku selalu sore.”

“keburu kangen. mumpung aku kosong.”

rain berdecak sok kesal. “nih. kamu sama yang lain ke rumahku aja. camilannya banyak kemaren habis distok sama kokoku. seriusan, banyak banget. makan aja. TAPI JANGAN SENTUH SUSU SAMA ROTIKU. kasih tau kakak yang lain, nanti kalo mereka sentuh, kamu pukul. oke?”

jave bergerak maju, “sungkan masuk tanpa ada pemiliknya rain.”

“gak papa. ada kamu.”

“aku emang apanya kamu sih?” tanyanya, sok memastikan.

“kamu kan orang tuaku. iya kan?”

jave tertawa, tawa pertama yang lepas setelah tadi ia sempat tersulut cemburu yang tidak jelas.

“nanti kalo rapatmu selesai, call aku. aku yang bakalan jemput.”

“siap.”

“pinter.” tepuknya pelan di pucuk kepala.

“omong-omong kak jave.” rain mencekal pergelangan tangan lelaki itu.

“ya?”

“itu di ruang tengah kayaknya ada barang sesuatu yang kayak privasi, boleh tolong ringkes dulu sebelum yang lain masuk?” bisiknya ketika jave mendekatkan telinga di dekat bibirnya.

laki-laki itu mengerut kening. “barang privasi?”

“iya. jangan banyak tanya. aku gak akan menjawab.”

“yaa, okeeee...”

rain langsung melangkah mundur, waktu rapat tinggal sedikit lagi. gadis itu lantas melambaikan tangan dengan raut yang jauh lebih segar dari pada sebelumnya. “ketemu nanti lagi ya kak, nanti aku kira-kira selesai jam 7. jangan telat kalo jemput aku atau aku bom call hpmu!!!!!!!!!”

jave mengacung jempol. “gak akan telat meski satu detik.”

“wuih.. keren!!” pujinya masih terus melangkah mundur.

“iya dong, tapi hati-hati itu jalannya diliat. rain astaga, puter badannya, liat jalan!!!”

“hahahahahaha.”

“kenapa ketawa?”

rain tidak menjawab lagi, gantinya ia menggoyang ponsel di udara. “aku chat!”

“oke..”

“hati-hati ke rumahku! salam buat yang lain dulu maaf gak bisa menyapa.”

jave mengangguk, membuat tanda oke dengan gestur tangan lengkap beserta senyumnya yang terus menguar lepas. lalu ketika melihat rain sudah hilang dari pandangan mata, ia segera membuka hp untuk memanggil teman-temannya agar kembali.

notifikasi chat baru segera masuk ketika ia menyalakan layar ponselnya.

Rain <3 3 notification.

Thankyou. I love you, kak jave. See all messages

jave hampir meninju mobil saking banyaknya kupu-kupu yang terbang di perutnya. tidak jadi memukul karena temannya sudah keburu mendekat.

“udah? enak cinta-cintaannya?” rendy berucap, menggoda.

telinga jave langsung memerah.


kepala threadnya 800+ dulu untuk dapatkan part ++ nya dengan password yang mudah.

“rain!” suara panggilan pelan itu menyentuh batas pendengarannya, membuat langkah rain yang tadi sedang asik menuruni loteng itu seketika terhenti.

“ya, kak jesz?” tanggapnya, menoleh.

“mau gue temenin gak? sekalian sih, gue mau ke parkiran.”

“oooooh, oke. oke boleh. jalan aja.” rain membalas, lalu lanjut melangkahkan kakinya turun menuju koridor paling bawah.

sebenarnya ia memang benar-benar bingung, orang siapa yang repot mencarinya sore-sore begini?

“mobil gue disana. mana orang yang nyari lo?”

“gak tau, katanya di koridor bawah kan tadi?”

jesze berdecak, “jangan-jangan orang iseng pengen ganggu doang?”

“gak tau, mungkin iya.” ucapnya setelah selesai memastikan bahwa koridor ini memang kosong. “lo ke parkiran aja kak, gue tunggu disini.”

“gak nemenin gue?”

“panas.” rain membalas, beralasan.

“lah kalo panas kenapa lo jaketan?”

sial. iya juga.

masalahnya jaket chandra ini benar-benar memiliki kain super dingin dan bau wangi yang enak sekali dihirup indra penciuman.

“itu bukan jaket lo kan? kebesaran. jaket karel?”

“bukan. ini punya kakak gue.”

“oh..” jesze ber-oh sebentar, lalu ketika tangan lelaki itu hendak menyentuh jaket yang rain kenakan, bayangan besar yang tadinya tidak terlihat itu mulai mendekat.

“rain.” suara lain yang sangat rain hapal siapa pemiliknya itu mendarat mulus tepat di telinga. membuat gadis itu menegang sepersekian detik, lalu membalik badannya cepat.

tidak. ini adalah hal teraneh setelah ia berpacaran dengan jave. 6 tim basket senior di SMA-nya dulu itu sudah berdiri dengan setelan serba hitam, tepat di hadapan tubuhnya.

sudah seperti adegan di film-film saja. bedanya, yang ini adalah kejadian nyata.

rain masih membuka bibir akibat terkejut ketika kalandra akhirnya mulai memecah hening, “ke mobil aja mending, ini kayak kita jadi om-om lagi ngelabrak bocah.”

gibran reflek tertawa, “asli. mana gue baru sadar lo semua pake item-item kek pengabdi roh halus.”

“lo tuh roh halus.” juna yang mulutnya biasa diam itu mulai sedikit nyolot, kepanasan.

rain mengerjap, makin bingung. “ini, kenapa? maksudnya, ada keperluan penting kah? maksudnya lagi, ini real apa ini halu?”

“real rain.” jave menjawab gemas, mengulur tangan untuk meraih lengan rain itu mendekat. wajahnya sudah mengerut lucu dengan mata yang sedikit memicing memperhatikan jesze dari ujung kepala hingga kaki.

jesze sendiri juga bingung, ingin menarik rain kembali ke dekatnya karena mengira 6 orang ini asing ketika jave akhirnya membuka suara, membungkam keadaan. “gak papa, ini saya cowoknya.”

rain melotot, kaget. “heei. astaga..”

“emang kan? masa bukan?”

rendy berdecak, “pindah mobil aja pindah mobil. karel telpon gue katanya temen-temen dia mau turun. males kan lo diliatin orang? gue sih males.”

rain setuju, reflek saja berpamitan cepat pada jesze dan menarik tangan jave untuk mendekati mobil kalandra yang terparkir di sudut jalan. tak jauh dari gedung fakultas.


setengah jam sebelum rapat rain dimulai. gadis itu sudah menyetel timer agar tidak terlambat masuk di ruang pertemuan.

teman-teman jave juga kini sudah semuanya berpindah tempat, menginjak kantin kampus dengan alasan ingin mencari minum. padahal jave dan rain tau bahwa mereka pergi agar tidak mengganggu obrolan keduanya.

“jadi, ini apa? maksudku, kenapa gak bilang? gak gitunya juga sih aku seneng kamu kesini tapi aku kaget. terus ini juga aku gak bisa temenin lama-lama karena aku mau ada rapat. seriusan.”

jave tidak bersuara, matanya masih memicing dari tadi. mengawasi jaket rain yang asing sekali di matanya itu dengan tatapan heran. “itu jaketnya kebesaran banget di kamu, jaket orang tadi kah?”

rain menghela napas, “bukan kak jave. ini jaket..”

“kayaknya emang dingin sih, wangi juga.” jave menyentuh jaket tersebut, mengendus sedikit.

“ini jaketnya..”

“jesze?”

rain mengerut kening. menarik tangannya mundur. “dengerin dulu aku ngomongnya lah kak jave!!!!!!” serunya gemas.

jave menunduk. “oke. oke aku dengerin kamu. jaket siapa?”

“kakak yang kemaren kamu tanyain di instagram.”

“yang mana?”

“yang chandra.”

“huh.” jave makin merengut saja.

rain menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “jadi kenapa kamu mendadak kesini? kamu mau balik kapan? maaf ini introgasi cepat-cepat karna aku dikejar waktu. aku mau siapin.. heeeei ini di kampus, ya ampun kakak.” gadis itu kelabakan, pelukan jave datang secara tiba-tiba. kencang sekali, membuat paru-parunya sempat sesak sepersekian detik.

“kangen rain.”

“ya oke, tapi kamu ini mau bunuh aku kah?”

“kangen banget.”

rain mendengus, berusaha mencari celah agar hidungnya bisa menarik oksigen.

“temen cowokmu disini cakep-cakep.”

“kenapa memang?”

“kamu gak naksir?”

“kamu mau aku naksir mereka kah?”

jave menggeleng. gelengan itu cukup terasa di pucuk kepala rain karena jave memang meletakkan dagunya disana.

“jangan.. jangan naksir.”

“ya memang aku gak naksir. ini kamu kenapa? kamu kesel sama kakak tadi kah? itu cuma temen organisasi aja. serius.”

“dia pernah deketin kamu, kata karel.”

“itu udah jaman maba. dia emang deketin banyak cewek kak jave.”

“tingginya hampir sama kayak aku.”

“teruss????” rain frustasi akibat kebingungan.

“kamu kalo liat dia gak pernah kepikiran aku?”

“Tuhan.. tolong.......” rain menenggelamkan wajah juga pada akhirnya akibat kesal. “kamu sama kakak tadi apa miripnya sampe aku kalo liat dia bisa kepikiran kamu? astaga kak jave.. kamu cemburu kah?”

“heem.” angguknya, mengaku.

“demi.... gak ada. aku gak ngapa-ngapain. serius. dua rius. sangat-sangat serius.”

Drrt Drrt

saku celana rain bergetar pelan. alarmnya berbunyi, 10 menit lagi rapat akan segera dimulai.

“kak, aku tau kamu jauh-jauh kesini. tapi rapatku sudah mau mulai. aku harus ada disana buat nyiapin materinya.”

jave melepas pelukan dengan enggan. “cepet banget?”

“ya memang jadwalnya begini. makanya kalo mau nyamperin aku bilang dulu. lagian kan kamu tau jadwal rapatku selalu sore.”

“keburu kangen. mumpung aku kosong.”

rain berdecak sok kesal. “nih. kamu sama yang lain ke rumahku aja. camilannya banyak kemaren habis distok sama kokoku. seriusan, banyak banget. makan aja. TAPI JANGAN SENTUH SUSU SAMA ROTIKU. kasih tau kakak yang lain, nanti kalo mereka sentuh, kamu pukul. oke?”

jave bergerak maju, “sungkan masuk tanpa ada pemiliknya rain.”

“gak papa. ada kamu.”

“aku emang apanya kamu sih?” tanyanya, sok memastikan.

“kamu kan orang tuaku. iya kan?”

jave tertawa, tawa pertama yang lepas setelah tadi ia sempat tersulut cemburu yang tidak jelas.

“nanti kalo rapatmu selesai, call aku. aku yang bakalan jemput.”

“siap.”

“pinter.” tepuknya pelan di pucuk kepala.

“omong-omong kak jave.” rain mencekal pergelangan tangan lelaki itu.

“ya?”

“itu di ruang tengah kayaknya ada barang sesuatu yang kayak privasi, boleh tolong ringkes dulu sebelum yang lain masuk?” bisiknya ketika jave mendekatkan telinga di dekat bibirnya.

laki-laki itu mengerut kening. “barang privasi?”

“iya. jangan banyak tanya. aku gak akan menjawab.”

“yaa, okeeee...”

rain langsung melangkah mundur, waktu rapat tinggal sedikit lagi. gadis itu lantas melambaikan tangan dengan raut yang jauh lebih segar dari pada sebelumnya. “ketemu nanti lagi ya kak, nanti aku kira-kira selesai jam 7. jangan telat kalo jemput aku atau aku bom call hpmu!!!!!!!!!”

jave mengacung jempol. “gak akan telat meski satu detik.”

“wuih.. keren!!” pujinya masih terus melangkah mundur.

“iya dong, tapi hati-hati itu jalannya diliat. rain astaga, puter badannya, liat jalan!!!”

“hahahahahaha.”

“kenapa ketawa?”

rain tidak menjawab lagi, gantinya ia menggoyang ponsel di udara. “aku chat!”

“oke..”

“hati-hati ke rumahku! salam buat yang lain dulu maaf gak bisa menyapa.”

jave mengangguk, membuat tanda oke dengan gestur tangan lengkap beserta senyumnya yang terus menguar lepas. lalu ketika melihat rain sudah hilang dari pandangan mata, ia segera membuka hp untuk memanggil teman-temannya agar kembali.

satu notif chat masuk segera ketika ia menyalakan layar ponselnya

Rain <3 3 notification.

Thankyou. I love you, kak jave. See all messages

jave hampir meninju mobil saking banyaknya kupu-kupu yang terbang di perutnya. tidak jadi memukul karena temannya sudah keburu mendekat.

“udah? enak cinta-cintaannya?” rendy berucap, menggoda.

telinga jave langsung memerah.


kepala threadnya 800+ dulu untuk dapatkan part ++ nya dengan password yang mudah.

“rain!” suara panggilan pelan itu menyentuh batas pendengarannya, membuat langkah rain yang tadi sedang asik menuruni loteng itu seketika terhenti.

“ya, kak jesz?” tanggapnya, menoleh.

“mau gue temenin gak? sekalian sih, gue mau ke parkiran.”

“oooooh, oke. oke boleh. jalan aja.” rain membalas, lalu lanjut melangkahkan kakinya turun menuju koridor paling bawah.

sebenarnya ia memang benar-benar bingung, orang siapa yang repot mencarinya sore-sore begini?

“mobil gue disana. mana orang yang nyari lo?”

“gak tau, katanya di koridor bawah kan tadi?”

jesze berdecak, “jangan-jangan orang iseng pengen ganggu doang?”

“gak tau, mungkin iya.” ucapnya setelah selesai memastikan bahwa koridor ini memang kosong. “lo ke parkiran aja kak, gue tunggu disini.”

“gak nemenin gue?”

“panas.” rain membalas, beralasan.

“lah kalo panas kenapa lo jaketan?”

sial. iya juga.

masalahnya jaket chandra ini benar-benar memiliki kain super dingin dan bau wangi yang enak sekali dihirup indra penciuman.

“itu bukan jaket lo kan? kebesaran. jaket karel?”

“bukan. ini punya kakak gue.”

“oh..” jesze ber-oh sebentar, lalu ketika tangan lelaki itu hendak menyentuh jaket yang rain kenakan, bayangan besar yang tadinya tidak terlihat itu mulai mendekat.

“rain.” suara lain yang sangat rain hapal siapa pemiliknya itu mendarat mulus tepat di telinga. membuat gadis itu menegang sepersekian detik, lalu membalik badannya cepat.

tidak. ini adalah hal teraneh setelah ia berpacaran dengan jave. 6 tim basket senior di SMA-nya dulu itu sudah berdiri dengan setelan serba hitam, tepat di hadapan tubuhnya.

sudah seperti adegan di film-film saja. bedanya, yang ini adalah kejadian nyata.

rain masih membuka bibir akibat terkejut ketika kalandra akhirnya mulai memecah hening, “ke mobil aja mending, ini kayak kita jadi om-om lagi ngelabrak bocah.”

gibran reflek tertawa, “asli. mana gue baru sadar lo semua pake item-item kek pengabdi roh halus.”

“lo tuh roh halus.” juna yang mulutnya biasa diam itu mulai sedikit nyolot, kepanasan.

rain mengerjap, makin bingung. “ini, kenapa? maksudnya, ada keperluan penting kah? maksudnya lagi, ini real apa ini halu?”

“real rain.” jave menjawab gemas, mengulur tangan untuk meraih lengan rain itu mendekat. wajahnya sudah mengerut lucu dengan mata yang sedikit memicing memperhatikan jesze dari ujung kepala hingga kaki.

jesze sendiri juga bingung, ingin menarik rain kembali ke dekatnya karena mengira 6 orang ini asing ketika jave akhirnya membuka suara, membungkam keadaan. “gak papa, ini saya cowoknya.”

rain melotot, kaget. “heei. astaga..”

“emang kan? masa bukan?”

rendy berdecak, “pindah mobil aja pindah mobil. karel telpon gue katanya temen-temen dia mau turun. males kan lo diliatin orang? gue sih males.”

rain setuju, reflek saja berpamitan cepat pada jesze dan menarik tangan jave untuk mendekati mobil kalandra yang terparkir di sudut jalan. tak jauh dari gedung fakultas.


setengah jam sebelum rapat rain dimulai. gadis itu sudah menyetel timer agar tidak terlambat masuk di ruang pertemuan.

teman-teman jave juga kini sudah semuanya berpindah tempat, menginjak kantin kampus dengan alasan ingin mencari minum. padahal jave dan rain tau bahwa mereka pergi agar tidak mengganggu obrolan keduanya.

“jadi, ini apa? maksudku, kenapa gak bilang? gak gitunya juga sih aku seneng kamu kesini tapi aku kaget. terus ini juga aku gak bisa temenin lama-lama karena aku mau ada rapat. seriusan.”

jave tidak bersuara, matanya masih memicing dari tadi. mengawasi jaket rain yang asing sekali di matanya itu dengan tatapan heran. “itu jaketnya kebesaran banget di kamu, jaket orang tadi kah?”

rain menghela napas, “bukan kak jave. ini jaket..”

“kayaknya emang dingin sih, wangi juga.” jave menyentuh jaket tersebut, mengendus sedikit.

“ini jaketnya..”

“jesze?”

rain mengerut kening. menarik tangannya mundur. “dengerin dulu aku ngomongnya lah kak jave!!!!!!” serunya gemas.

jave menunduk. “oke. oke aku dengerin kamu. jaket siapa?”

“kakak yang kemaren kamu tanyain di instagram.”

“yang mana?”

“yang chandra.”

“huh.” jave makin merengut saja.

rain menggelengkan kepala, tidak habis pikir. “jadi kenapa kamu mendadak kesini? kamu mau balik kapan? maaf ini introgasi cepat-cepat karna aku dikejar waktu. aku mau siapin.. heeeei ini di kampus, ya ampun kakak.” gadis itu kelabakan, pelukan jave datang secara tiba-tiba. kencang sekali, membuat paru-parunya sempat sesak sepersekian detik.

“kangen rain.”

“ya oke, tapi kamu ini mau bunuh aku kah?”

“kangen banget.”

rain mendengus, berusaha mencari celah agar hidungnya bisa menarik oksigen.

“temen cowokmu disini cakep-cakep.”

“kenapa memang?”

“kamu gak naksir?”

“kamu mau aku naksir mereka kah?”

jave menggeleng. gelengan itu cukup terasa di pucuk kepala rain karena jave memang meletakkan dagunya disana.

“jangan.. jangan naksir.”

“ya memang aku gak naksir. ini kamu kenapa? kamu kesel sama kakak tadi kah? itu cuma temen organisasi aja. serius.”

“dia pernah deketin kamu, kata karel.”

“itu udah jaman maba. dia emang deketin banyak cewek kak jave.”

“tingginya hampir sama kayak aku.”

“teruss????” rain frustasi akibat kebingungan.

“kamu kalo liat dia gak pernah kepikiran aku?”

“Tuhan.. tolong.......” rain menenggelamkan wajah juga pada akhirnya akibat kesal. “kamu sama kakak tadi apa miripnya sampe aku kalo liat dia bisa kepikiran kamu? astaga kak jave.. kamu cemburu kah?”

“heem.” angguknya, mengaku.

“demi.... gak ada. aku gak ngapa-ngapain. serius. dua rius. sangat-sangat serius.”

Drrt Drrt

saku celana rain bergetar pelan. alarmnya berbunyi, 10 menit lagi rapat akan segera dimulai.

“kak, aku tau kamu jauh-jauh kesini. tapi rapatku sudah mau mulai. aku harus ada disana buat nyiapin materinya.”

jave melepas pelukan dengan enggan. “cepet banget?”

“ya memang jadwalnya begini. makanya kalo mau nyamperin aku bilang dulu. lagian kan kamu tau jadwal rapatku selalu sore.”

“keburu kangen. mumpung aku kosong.”

rain berdecak sok kesal. “nih. kamu sama yang lain ke rumahku aja. camilannya banyak kemaren habis distok sama kokoku. seriusan, banyak banget. makan aja. TAPI JANGAN SENTUH SUSU SAMA ROTIKU. kasih tau kakak yang lain, nanti kalo mereka sentuh, kamu pukul. oke?”

jave bergerak maju, “sungkan masuk tanpa ada pemiliknya rain.”

“gak papa. ada kamu.”

“aku emang apanya kamu sih?” tanyanya, sok memastikan.

“kamu kan orang tuaku. iya kan?”

jave tertawa, tawa pertama yang lepas setelah tadi ia sempat tersulut cemburu yang tidak jelas.

“nanti kalo rapatmu selesai, call aku. aku yang bakalan jemput.”

“siap.”

“pinter.” tepuknya pelan di pucuk kepala.

“omong-omong kak jave.” rain mencekal pergelangan tangan lelaki itu.

“ya?”

“itu di ruang tengah kayaknya ada barang sesuatu yang kayak privasi, boleh tolong ringkes dulu sebelum yang lain masuk?” bisiknya ketika jave mendekatkan telinga di dekat bibirnya.

laki-laki itu mengerut kening. “barang privasi?”

“iya. jangan banyak tanya. aku gak akan menjawab.”

“yaa, okeeee...”

rain langsung melangkah mundur, waktu rapat tinggal sedikit lagi. gadis itu lantas melambaikan tangan dengan raut yang jauh lebih segar dari pada sebelumnya. “ketemu nanti lagi ya kak, nanti aku kira-kira selesai jam 7. jangan telat kalo jemput aku atau aku bom call hpmu!!!!!!!!!”

jave mengacung jempol. “gak akan telat meski satu detik.”

“wuih.. keren!!” pujinya masih terus melangkah mundur.

“iya dong, tapi hati-hati itu jalannya diliat. rain astaga, puter badannya, liat jalan!!!”

“hahahahahaha.”

“kenapa ketawa?”

rain tidak menjawab lagi, gantinya ia menggoyang ponsel di udara. “aku chat!”

“oke..”

“hati-hati ke rumahku! salam buat yang lain dulu maaf gak bisa menyapa.”

jave mengangguk, membuat tanda oke dengan gestur tangan lengkap beserta senyumnya yang terus menguar lepas. lalu ketika melihat rain sudah hilang dari pandangan mata, ia segera membuka hp untuk memanggil teman-temannya agar kembali.

satu notif chat masuk segera ketika ia menyalakan layar ponselnya

Rain <3 3 notification.

Thankyou. I love you, kak jave. See all messages

jave hampir meninju mobil saking banyaknya kupu-kupu yang terbang di perutnya. tidak jadi memukul karena temannya sudah keburu mendekat.

“udah? enak cinta-cintaannya?” rendy berucap, menggoda.

telinga jave langsung memerah.

“Halo, selamat siang kak? Benar ini nomornya saya gak salah sambung?” Jave membuka percakapan, menggoda sedikit meskipun dalam hati ia juga ketar-ketir akan mood Rain yang sepertinya sedang naik turun tidak jelas.

Hening.

Gadisnya masih kelabakan malu di ujung sana. Lagi pula ini juga pertama kalinya mereka saling mendengarkan suara setelah hampir satu bulan mereka tidak sempat berbicara sama sekali di telepon.

“Halo cantik? Jangan diemin aku terus dong.” Jave akhirnya menyerah, mendudukkan diri di dalam mobil sembari kepalanya ia senderkan di atas setir kemudi.

Jadwal kampus laki-laki itu mulai 2 jam lagi, dan ia memang sempat memutuskan hendak menitip absen hari ini karena ingin menyelesaikan “masalah”nya dengan Rain.

Jujur saja, didiamkan satu hari ditambah dengan fakta bahwa Rain sedang salah paham dengannya itu membuat pikiran Jave kalang-kabut tidak keruan.

Rain menghela napas. “Iya, halo kak Jave selamat siang. Benar anda tidak salah sambung.”

“Nah..” Laki-laki itu bernapas lega.

“Kak..” Rain menyapa, nadanya mendadak serius karena waktunya yang terpepet kali ini. Ia sedang dalam perjalanan menemui Jesze, membicarakan jadwal rapat besok sore. “Yang itu tadi, apa namanya, chatku, ya pokoknya chatku itu gak usah dipikirin. Aku udah gak kenapa-kenapa sekarang. Maksudku, itu aku kayaknya emang lagi capek aja sama kampus dan organisasi seminggu terakhir jadi pikiranku malah ngawur. Maaf ya kak Jave. Aku gak maksud jadi ngeselin kok.”

“Sama sekali gak ngeselin aku Rain. Kamu jangan mikir kamu ganggu aku, lah.. Aku gak pernah ngerasa risih atau apa ke kamu kok. Serius.”

“Iya, gitu pokoknya.”

“Kamu udah makan gak?”

“Udah sih, tadi aku goreng udang. Kamu?”

“Belum. Aku mikirin kamu.”

Rain hampir tersandung kakinya sendiri ketika berjalan di koridor kampus saat ini. Jantungnya yang sudah lama tidak deg-degan itu mulai berulah. Suara Jave yang lembut dari awal telpon itu membuat perasaannya tenang meskipun jawaban atas semua pertanyaan itu belum sempat terjawab.

“Makan kak.”

“Habis aku ngobrol sama kamu, aku makan.”

“Ya udah makan aja sekarang. Kamu kampus jam berapa?”

“Aku mau ampirin kamu hari ini.”

“Hah? Eh.. Maksudku, kamu kan sibuk? Bukan aku nolak kehadiranmu tapi ini masih hari sibuk. Ini bukan weekend. Dan ini udah siang sekali. Jalanan macet lah kak Jave.”

“Tol bebas hambatan sih.”

“Jangan keras kepala. Kuliah dulu, jangan bolos.”

“Kepalaku penuh mikirin kamu Rain. Gak bisa fokus juga kan percuma aku kelas.”

“Aku gak kenapa-kenapaaa. Serius. Maaf jadi bikin pikiranmu penuh. Maaaaaaaf.” Rain jadi ingin menangis saja detik ini.

“Itu Ariel yang buang kulit kuaci di maskerku cowok Rain, Ariel Dimas Wijaya nama panjangnya. Serius.”

“Iyaa kak.”

“Terus Jasmine ini temen satu fakultasku, iya, yang ini emang cewek. Dan ya bener yang kamu bilang aku anterin dia balik ke rumah malem kemaren itu. Tapi aku barengin dia karena dia minta, aku mau nolak juga serba salah soalnya dia temen labku juga jadi kita lumayan deket. Tapi serius itu cuma pulang aja. Aku gak ngapa-ngapain, dia juga gak ngapa-ngapain. Jasmine ini emang termasuk yang sosialnya bagus, tapi dia gak kayak Clara. Kamu tau maksudku kan?”

“Err.. Cantik kak?” Pertanyaan itu reflek saja keluar tanpa ada filternya lagi.

“Semua cewek itu cantik Rain.”

Hening, terjeda sudah percakapan ini.

“Tapi kalo aku disuruh milih diantara semua cewek cantik, aku tetep milih kamu.” Sambungnya ketika Rain tak kunjung merespon balik jawabannya.

“Kamu jangan gombalin aku kak Jave. Lagi gak mempan karna moodku lagi gak jelas. Aku merasa aneh sekali. Aku.. Aku kayaknya mau bulanan. Serius. Kak.. Aku matiin dulu aja boleh gak? Aku bingung mau jawab apa la...”

“Yow, Rain Chandra Mahaeswari!” Jave mendengar suara berat dari ujung sana memanggil nama gadisnya. Nada bercanda, namun cukup gagah. Derap langkahnya juga ikut terdengar di telepon.

“Eh iya kak Jesze, maaf kak, sebentar lagi terima telpon.”

“Lama banget gue tungguin dari tadi. Udah makan gak lo Rain?”

“Eh, udah kak. Aman.”

“Baru aja gue mau ngajakin. Ya udah lah, sini buruan.”

“Siapa itu?”

“Eh itu katingku kak. Emang agak berisik. Sebentar, ini aku bukan sengaja nyuruh dia manggil aku supaya call kita berakhir kok. Ini lagi mau bahas sesuatu aja mungkin 10 menitan. Aku gak marah ke kamu. Serius kak. Penjelasanmu cukup. Makasih banyak. Maaf juga aku kalo agak alay terus sok posesif gitu. EH UDAH SERIUSAN KAKAKNYA NYAMPERIN SOALNYA AKU GAK BURU-BURU BERGERAK. Dadah kak Jave, see u when i see u. I love you. Aku serius gak marah. Aku cuma ribut sendiri aja sama kepalaku. Jadi kamu jangan kesini dan jangan bolos kampus. Nanti selesai aku ngobrol sama kakak ini, aku hubungi kamu lagi. Jangan bolos ya kak. Janji?”

Jave mengangguk, “Oke. Oke janji. Tapi kamu janji juga gak diemin aku lagi?”

“Iya kak Jave, janjiiiii.”

Senyum lelaki itu mengembang perlahan. Dilihatnya layar panggilan yang sudah mati itu sekali lagi, lalu ia masukkan ke dalam tas.

Jave hening cukup lama ketika akhirnya memutuskan untuk menepati janjinya pergi ke kampus. Ia segera menjalankan mobil menjauh dari basement apartment Kalandra tanpa banyak tingkah lagi.

Ya, meski sesekali masih tersenyum ketika ucapan i love you dari Rain itu berputar dalam otaknya, sih.

jave tertawa lagi, entah kenapa jika bersama rain ia memang selalu saja seperti ini. tiap tingkah gadis itu berhasil membuat setiap selnya terasa sangat hidup.

“tiduran aja gih sana, nanti makin pusing aku yang kamu marahin.”

rain menggeleng. “aku kangen kamu.”

“hahaha ya aku disini rain. gak kemana-mana kok beneran. see?”

“ya tapi kalo aku tiduran nanti aku gak liat kamu.”

“kamu bisa clingy ke aku gini ya sekarang ya.” jave berucap, mendorong pundak rain perlahan agar tidur kembali di sofa. untung-untung sofa ini empuk dan lebar.

“kamu gak mau tidur di sebelahku? aku serius kangen kamu. maksudku.. aku bukannya mau aneh-aneh tapi betulan aku kayak pengen deketan sama kamu.”

jave menampilkan raut mengejek. “dulu aja kalo dideketin sukanya minggir bilang risih.”

“hei. itu kan dulu ya kak jave ya.”

“oke oke deal tindakan ini dilakukan atas requestmu jadi kamu gak boleh protesin aku. oke?”

rain mengangguk, bergeser ke kanan agar jave masih bisa nyempil di sampingnya.

“sini kepalanya angkat bentar tanganku taruh situ aja biar bisa hadep kamu dan gak makan tempat.”

rain diam, tidak bergerak. “kamu mau tanganmu aku pake bantal gitu maksudnya?”

“iya, lah?”

“kak jave.. itu memang posisinya aman kah? apa jantungmu dan jantungku nanti gak kenapa-kenapa?”

“kalo kenapa-kenapa ya kamu yang tanggung jawab dong? kan ini atas requestmu.”

“oke apa bisa dibatalkan aja karna aku agak grogi..”

jave tertawa, menggeleng. “enak aja, angkat kepala sana cepet.”

mau tidak mau rain menurut juga pada akhirnya. membiarkan lengan kekar jave itu masuk, menerobos di bawah leher belakangnya.

rain spontan membelakangi jave. malu sekali. menyesali permintaannya di awal tadi.

“ya hadep sini lah cantik astaga ya ampun.. kamu minta ditemenin tapi hadep ke sana itu liat apa?”

“kamu kalo jarak deket agak serem.”

“serem apa sih aku gak pernah ngapa-ngapain kamu.”

“ya kamu nanti gigit aku lagi.”

“hahaha ya.. ya..... oke, bener sih. gak salah.”

“kan?”

“tapi hadep sini dulu lah, iya aku gak akan gigit kamu.”

rain perlahan membalik tubuhnya menghadap jave. dan sial, baru sedetik ia membalik badan jantungnya langsung berbuat ulah. meledak tidak aturan.

“kalo kesemutan bilang biar aku angkat kepala.”

“gak kerasa kok.” jave menjawab, tangan kirinya bergerak mengusuk kepala rain supaya gadis itu bisa tidur.

“kamu mau tidurin aku?”

“iya lah.. harus istirahat.”

“tapi aku gak mau tidur.”

“kan udah aku temenin.. tanganku aja ada di bawahmu loh, aku gak kemana-kemana rain. janji.”

“aku kangen kamu.”

jave tersenyum. jantungnya semakin menggila berada di posisi ini, belum lagi rain yang dari tadi manja, berulang kali mengucap rindu tanpa malu-malu.

“aku juga kangen kamu.”

“ya udah, gini aja. diem gak papa tapi aku gak mau tidur.”

“sini-sini, masuk sini.” jave berucap, mengangkat tangan kirinya dengan maksud agar rain bisa masuk dalam pelukannya.

“ya tapi ini posisi kita agak aneh.” rain berkomentar, suaranya bergetar.

bagaimanapun, berpelukan dengan posisi tiduran memang masih baru pertama kalinya bagi mereka.

“aneh gimana? kamu deg-degan yaaaa..”

“iya.”

sial. rain ini selalu saja jujur dengan segala perasaannya.

“rain kamu tau pak asep gak? guru sma yang dulu ada di T.U?” jave membanting topik obrolan untuk menetralkan detak jantungnya.

“lupa mukanya, tapi aku tau. kenapa?”

“kata anak-anak kena diabetes.”

“loh eh..” rain kaget, memundurkan kepala agar bisa melihat mata jave.

“iya serius, masuk rumah sakit udah berapa kali gitu.”

“kasian banget..” ucap rain, prihatin. “semoga bapaknya sehat terus pulang ke rumah dan kerja lagi. semoga pak asep gak kayak papaku.. semoga pak asep cepet sembuh.”

“rain..”

gadisnya cuma balas merapatkan pelukan, menghilangkan wajah di dada jave.

“kangen papa?”

“tiap hari.”

jave mencium pucuk kepala rain. “besok-besok kalo udah sembuh kita ke papa ya?”

“betulan real?”

“ya. serius. janji.”

rain mengeluarkan bunyi-bunyi aneh yang tak bisa dijelaskan, mengucap terima kasih.

“kak kamu tau aku gak pernah bilang love ke orang lain?”

“hm? ke tama sekalipun?”

“ya, aku gak pernah bilang ke dia. tapi..”

jave tiba-tiba mengerti, tersenyum menggoda. “kamu mau bilang love-love an ke aku sekarang?”

“ya, apakah boleh?”

“ofcourse, aku gak pernah denger secara langsung dengan serius juga.”

rain mengangguk, menarik kepalanya mundur sedikit sekali lagi untuk menatap wajah jave. “betulan boleh?”

“ya coba sini aku dengerin.” balasnya, menaikkan sebelah alis. usil sekali.

rain mengatur napas dan detak jantungnya yang menggila. “tapi jangan kaget ya?” ucapnya memperingatkan.

“aku gak akan kaget..” ucapan jave itu langsung terhenti ketika bibir rain mendarat tepat di atas bibirnya. tangan gadis itu bahkan sempat bergerak menarik dan memegangi rahangnya beberapa detik.

bibir mereka bersatu sebentar, cepat sekali hitungannya. tapi mampu membuat tubuh jave terbakar seketika.

“wow..” lelaki itu melongo, menyentuh bibirnya sendiri. ia tidak tau ucapan cinta rain itu ternyata lagi-lagi keluar lewat bentuk yang lain.

“maaf itu tadi emang reflek.”

jave tidak bisa berbicara apapun lagi untuk membalas selain menarik tengkuk rain yang masih salah tingkah itu agar maju mendekat. lelaki itu menatap mata rain lamat-lamat dan memajukan bibirnya dengan perlahan. memastikan rain mengijinkannya atau tidak.

jantung keduanya benar-benar berdetak kencang. rain bahkan sudah mulai memejamkan matanya ketika tangan jave mengelus tengkuknya lembut. menyalurkan kenyamanan.

sapuan napas jave terasa hangat di wajah rain sebelum akhirnya terasa makin panas karena jaraknya makin menipis. hidung jave bahkan sudah menempel dengan hidungnya saat ini.

jave tersenyum sebentar, menyisir anak rambut rain yang menghalangi pandangan, lantas mendaratkan bibirnya di bibir rain dengan perlahan.

ciuman pertama mereka setelah 5 tahun berpacaran, dilakukan dengan sangat lembut dan halus. seakan benar-benar ingin menyalurkan rasa cinta dan sayang yang tidak selamanya harus terucap lewat untaian kata-kata.

jave tersenyum kecil disela ciumannya, lalu menarik mundur sedikit bibirnya menjauh. “rain.” panggilnya berbisik. mengetes kesadaran.

gadisnya membuka mata, menatap mata jave malu-malu.

“cantik.” lelaki itu memuji, berucap serak, lalu menyatukan lagi bibirnya dengan bibir rain. membuat semua hewan yang ada di perut mereka sama-sama ricuh berterbangan kesana kemari.

kali ini lelaki itu bahkan sudah memberi sentakan kecil agar rain mau membuka bibirnya sedikit.

suara rintihan pelan mulai terdengar ketika jave menggigit bagian bawah bibir rain yang terbuka itu gemas. melepas rasa rindunya akibat lama tidak bertemu. dua bulan lebih tepatnya.

tangan jave bergerak, menahan tengkuk rain lebih kuat dari sebelumnya karena ciumannya yang kini mulai terasa sedikit bersemangat. bagaimana tidak? rain benar-benar membuka bibirnya secara sukarela sekarang. membiarkan jave mencicip bagian dalamnya sesuka hati.

lumatan lembut jave berikan pada bibir atas dan bawah rain secara halus. tidak tergesah-gesah.

“kak..” rain memundurkan kepalanya.

“hm?”

“i love you.”

sial. jave semakin deg-degan saja. rain benar-benar tidak pernah mengucap kalimat itu secara langsung di hadapan mukanya. di chat saja bisa terhitung jari.

“seriously love me?” pancingnya.

“ya. deeply, madly in love.. kalo kata one direction.”

jave tertawa. jarak mereka belum sama-sama terpisah. “so can i continue?” tanyanya, melihat bibir rain kembali.

gadisnya tidak menjawab, gantinya ia mendaratkan bibirnya terlebih dahulu di bibir jave dengan gerakan malu-malu.

kata lainnya, iya, ia mengijinkan.


menurutmu siapa yang lebih bucin? jave? apa rain? 😭🤣 qrt coba.

ANW HSSH PENGEN PACARIN JAVE JG WTF RAIN APAKAH KM MENGIJINKANKU MENCURI JAVEMU? 😭 *jeritan hati admin waterrmark.

her worst ever dream

lowercase


rain masih memejamkan mata mencari posisi enak agar kepalanya tidak makin pening ketika mendengar suara pintu depan terbuka pelan. sangat pelan sebenarnya, hanya saja memang rain agak sensitif jika sedang sakit makanya mudah terganggu.

gadis itu mengerjap pelan, mengusir kunang-kunang yang ada di pandangannya itu cukup lama, lalu bangkit untuk duduk.

“hei hei udah gak usah duduk, kamu tiduran aja.” jave yang entah sejak kapan sudah berada di sekitaran tubuhnya itu mencegah. menyuruh rain berbaring kembali.

“kalo duduk aja aku mampu.”

“gak usah. tiduran aja. lagian siapa yang suruh kamu di ruang tengah gini sih astaga rain..”

rain menulikan telinga. ia tau javerio akan mengomel memang.

“terus ini.. KATANYA OBAT UDAH KAMU MINUM? INI KOK UTUH?”

“itu yang pagi belum soalnya aku kesiangan. terus kemaren aku juga tidur seharian jadi aku gak minum.”

“ya Tuhan terus kamu kapan sembuhnya sayang..” jave frustasi, melepas jaketnya, meletakkannya di kursi lain. lelaki itu lantas berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.

“sini-sini duduk lagi, ayo minum dulu. obatnya apa aja kemaren? obat batuk, pilek, paracetamol, amoxilin? udah? apa ada lagi? tapi di kotak obatmu cuma ini aja.”

“iya itu aja emang.”

“udah makan gak kamu?”

“aku tau aku emang harus makan. tapi aku kalo makan kepengen muntah terus.”

jave menangkup dua pipi rain gemas. “makanya tidur di rumah nini sayang... kan kalo disitu nanti diingetin makan minumnya bisa bangunin kamu secara langsung. kemaren aku telpon kamu lebih dari 60 kali gak ada yang kamu gubris. dih.”

“aku tidur. dan ya, iya, aku harusnya tidur di rumah nini aja. tapi serius aku gak kuat kepalaku kayak mau meledak disitu rameeee banget.”

jave menghela napas. “ya udah oke aku gak akan ngomel lagi, tapi sini makan dulu. roti yang katamu bentuk batako punya x bakery atau roti coklat aja?”

“wah..” rain langsung memuja. “kamu bawa roti dari x bakery?”

“ya tadi aku mampir. mau itu aja?”

“ya boleh dikit aja ya please seriusan aku kenyang.”

“tenggorokanmu sakit gak?”

“enggak.”

“pilek?”

“nggak pilek aku aslinya juga nggak batuk itu cuma kayak awal-awal pembukaan mau sakit aja.”

“kamu kira sakit ada prolognya?”

rain mendengus. membuka bibir ketika jave menyuapkan sepotong roti ke mulutnya.

“jangan sakit lagi. besok-besok jangan terlalu sering begadang juga. kamu ini masih bayi, inget?”

“mana ada bayiii yang umur 20?!”

“ada. kamu.”

rain tidak menjawab lagi, menelan rotinya susah payah.

“nih minum. obatnya bisa nelen gak? atau perlu diancurin dulu?”

“langsung minum lah kak jave kenapa kamu kecil-kecilin aku?!”

jave terkekeh lepas, memeluk kepala rain sayang. “kamu nih anakku tau gak?”

“pacarmuuuu.”

“ya dua-duanya merangkap jadi satu.”

“mana ada.”

“adaaa. sini sih mana keningnya yang panas tadi coba cium kali aja langsung sembuh.”

“gak ada. heei. HEI ASTAGA KAMU GAK TAU BEDA KENING SAMA PIPI YA. KAK JAVE ITU JANGAN DIGIG.. YA AMPUN.”

“hahaha ssst udah jangan berisik kamu nanti makin pusing.”

“ya kamu gigit-gigit kok..”

“kamu lucu.”

“lucu gak harus digigit.”

“itu karna gemesnya udah keterlaluan.”

rain lanjut mendengus.

“tapi baumu wangiiii banget loh rain.”

“ya kamu kira aku kalo sakit gak mandi kah?”

“aku kalo sakit seminggu gak mandi seminggu.”

rain bergidik. “kamu jorok.”

jave balas tertawa, mengelus rambut rain yang benar-benar wangi sekali itu dan membiarkannya meminum semua obat terlebih dulu.

hening.

jave yang sejak tadi menatap lekat wajah rain itu seketika mengerut alis keheranan.

“rain.” panggilnya.

“apa?”

“aku tadi kira mata kamu bengkak gara-gara sakit. tapi ini kayaknya bengkak yang habis nangis. kamu nangis kah?”

hening.

“nangis beneran?”

“iya. iya aku nangis brutal banget sampe sesek, capek.”

“loh eh kenapa? kemaren pusingnya kebangetan? atau ada yang gangguin kamu?”

rain menggeleng. “aku pusing parah memang. terus suhuku kayak yang tinggi gitu dan aku gak kuat berdiri sama sekali yang kayak beneran pusing yang pusiiiiing gitu kan. ya udah aku terus tidur aja lemes. nah ini...”

“ini?” jave meneleng, menunggu rain melanjutkan ceritanya.

“ini kamu jahat banget.” ucapnya, memukul tangan jave kencang sekali. “aku nangisin kamu ya serius kamu jahat banget aku sampe bener-bener pusingnya kebawa di dunia lain. jahaaaaaaaaaaaaat banget aku pengen maki-maki tapi aku gak mampu.”

“aku? aku ngapain?” jave mengerut alis, bingung.

“kamu putusin aku dengan gak adil tau gak?!!!!!” rain berseru, tiba-tiba saja menangis. rasa frustasi tidak bisa marah-marah ke jave di dalam mimpi entah kenapa lepas sekarang.

“hah? aku apa???” jave yang tadinya mau tertawa itu seketika batal karena melihat rain menangis. lelaki itu lantas bergerak mendekat, memeluk rain rapat. “kamu mimpi jelek ya?”

“iya.”

“pfft.” jave tertawa, tawa gemas.

“kakak...” rain balas memeluk jave, kepalanya ia tenggelamkan di dada lelaki itu. “jangan putus.” ucapnya.

“hahahahahaha astagaaaaaaaaa...” pecah sudah tawa jave sekarang. ia lantas menepuk-nepuk punggung rain pelan. membiarkan rain lanjut meluapkan kesalnya dalam mimpi itu dengan memeluknya erat.

“di mimpi aku kangen kamu yang udah hampir gak ada harapan gitu. sedih banget sampe bantalku basah tadi.”

“kamu yakin itu bukan iler?”

“HEI ITU KARENA AIR MATA YA BUKAN AKU NGILER ENAK AJA.”

“HAHAHAHAHA RAIN RAIN.. cewek siapa kamu hah?”

“cewekmu.”

“bagus. dulu-dulu aja kalo ditanyain jawabnya cewek jersen.”

“cewekmu kok.”

jave mencium pucuk kepala rain berulang-ulang saking gemasnya.

rain. sakit tidak sakit kegemasannya tidak pernah luntur barang sedikitpun.

“coba cerita aku putusin kamu kenapa?”

“gak tau kamu gak jelas banget, tapi yang aku inget gara-gara karel sama kak kalandra suka aku.”

jave menarik pelukan, wajahnya mengerut lucu sekali. “gitu doang alesannya?”

“yaaaaaaa gitu doanggggg. aku marah sekali. tapi herannya aku disitu gak bisa marah. kayak bisa-bisanya aku gak marah? aku aslinya marah banget.”

“jadi kamu kemaren sakit mimpi buruk terus chat sama telponku semua gak digubris karena kamu marah ke aku?”

“ya. maaf nonsense tapi itu adalah fakta.”

“terus kamu tanya kalandra suka ke kamu apa gak gara-gara mimpi?”

“iya. itu bentuk antisipasi dan larangan secara terbuka karna biasanya mimpi ada yang bisa jadi beneran aku takut banget.”

“hahahaha ya ampun pleaseeeeeeee..”

“kalo beneran mereka suka aku, kamu putusin aku kah?”

jave tertawa cukup kencang, menarik kembali rain masuk dalam pelukannya. “ngapain? hak mereka mau suka kamu apa gak, yang jelas kan kamu sukanya aku. kamu punyaku. kamu anakku, kamu pacarku. kamu pokoknya sama aku. udah.”

rain mengangguk. “oke deal kamu memang rada possesif. tapi anehnya aku suka dipossesif-in kamu.”

“possesifku gak ngelarang kamu main sama orang lain yang sampe gimana-gimana loh rain.”

“ya aku tau.”

jave tersenyum, meletakkan dagu di atas pucuk kepala rain. sayang sekali.

“kak jave.”

“apa?”

“kemaren di mimpi kayak ada satu adegan aneh.”

“adegan aneh kayak apa?”

“ada cewek rambut panjang duduk di atasmu.”

“maksudnya pangku?”

“ya. aku jengkel banget tapi gak keliatan mukanya kayak apa.”

“kamu cemburu sama orang dalem mimpi rain astaga.” jave seketika ngakak dan memundurkan kepalanya demi melihat ekspresi rain.

sudah diduga, gadisnya mengerut alis kesal. sedang kesal betulan rupanya.

“aku punyamu rain.” laki-laki itu berucap, menggesekkan hidungnya dengan hidung rain sebentar. menggoda.

“ya. oke.”

“mau coba pangku biar kamu gak kesel sama cewek rambut panjang itu kah?” jave bertanya, mengerling.

“heeeei astagaaaa.” rain langsung melotot dengan kepala yang makin terasa pening tidak keruan.


kepalanya 250+ dulu untuk dapatkan part tambahan yang agak agak +. APASI, ya udah gitu.

“rain, ada kakak basketmu. maksudku, kak jave. kalian janjian kah? atau kamu mau aku usir baik-baik dia aja? aku terserah kamu.” gio berucap setelah badannya masuk ke kamar rain seutuhnya. membawa kabar.

“oh.. aku janjian kok gi.” rain membalas, turun dari kasur. sebenarnya ia masih harus beristirahat. selain badannya masih panas kepalanya pun juga masih pusing.

“oke. aku turun dulu, kamu turun juga kan?”

rain tertawa. “ya masa dia naik ke kamarku?”

“kamu mending pake kaca mata lagi rain.”

“mataku bengkak kah?”

“ya. kamu gak keren.”

rain mendengus, tapi menurut. meraih kaca matanya dari atas meja, lalu melangkah turun. menemui javerio.

lelaki itu duduk di ruang tamu dengan tampilan rapi. meski wajahnya terlihat lelah juga, jave tetap berdiri menyambut kedatangan rain. raut khawatirnya tercetak begitu jelas.

“sore kak.” rain berucap, menyapa. canggung karena sudah lama tidak pernah bertemu.

javerio tidak bersuara, gantinya lelaki itu melangkah mendekat, menarik pinggang rain dengan tiba-tiba untuk kemudian masuk dalam pelukan.

hangat. temperatur tubuh keduanya yang memang masih dalam keadaan belum benar pulih itu menyatu beberapa saat.

“sorry rain.” jave berucap, merapatkan pelukan. “but can we stay like this for a moment?”

rain jadi malah ingin menangis lagi. dua tahun ia rindu, ternyata tidak sendirian. lelaki itu sepertinya merasa sama dengannya.

merasa dadanya basah, javerio melepas pelukan rapatnya. membawa rain duduk di sofa ruang tamu.

“sorry buat kamu nangis. jangan nangis.” ucapnya, menarik kacamata yang masih bertengger di mata pemiliknya itu lembut. mengusap mata rain dengan hati-hati.

rain masih enggan bersuara, lebih tepatnya suara gadis itu masih tercekat tak ingin keluar.

jave mengulur tangan, mengelap air mata yang jatuh malah makin deras di depannya tersebut.

“jahat banget.” ucapnya.

“aku?”

“ya. siapa lagi?”

jave terenyak, menarik kembali tangannya. ia tau ini salah, tapi melihat keadaan rain seperti ini juga bukan keinginannya. ia sama sekali tidak menyukainya.

“maaf.”

“gak usah maaf terus. udah kelewat.”

“maaf udah selalu marah-marah ke kamu waktu itu.”

rain diam, membuang pandangan wajahnya. sekarang ia menyesal sudah potong rambut karena biasanya rambut panjangnya bisa menutupi wajah dan sekarang tidak bisa lagi.

“maaf udah selalu nuduh kamu sama karel terus. maaf rain.”

“gak papa.”

“maaf udah jahat ke kamu.”

“iya gak papa.”

“marah lah rain. kamu marah ke aku bisa buat aku lega, jangan kamu sabarin aku terus-terusan.”

rain mengerjap, menggeleng. “aku gak marah ke kamu, cuma rasa-rasanya kita emang ketemu di waktu yang salah aja. harusnya kita ketemu nanti waktu udah lulus kuliah atau apa gitu.. aku gak marah ke kamu.”

jave menunduk, air matanya tumpah sudah. “aku minta maaf rain.”

“ya. gak salah kok.”

“aku udah jarang kontak sama karel juga sejak kita putus kemaren. aku marah, sama diriku sendiri.”

“aku gak ada rasa sama karel, kalo kamu mau tau jawabanku pas itu.”

“iya.”

“karel emang mabuk dan pulangnya sama aku, tapi itu aku juga bareng sama temen-temen organisasi yang lain. emang aku sama karel dianter terakhir karna searah sama yang setir mobil. udah. gak ada apa-apa lagi. aku gak ngapa-ngapain. aku gak mabuk. karel juga tidur sambil ngigo doang, dia gak ngapa-ngapain aku.”

“iya, aku minta maaf udah over waktu itu.”

“ya.”

“karel suka kamu.”

“aku tau.”

“kalandra juga.”

kali ini rain menoleh. terkejut. “dia gak suka aku.”

“suka.”

“tau dari apa?”

“dia pas mabuk, ngelantur. orang mabuk bawaannya meski teler itu jujur rain.”

hening.

“aku gak ada rasa sama kak kalandra.”

“iya. tau.”

“kamu.. maksudku, waktu itu kita selesai. karena karel sama kak kalandra kah?”

jave menunduk. diam. “maaf rain.”

jawaban yang sangat tidak terduga.

“meski aku gak ada rasa sama keduanya?”

“iya.”

“oke.”

“kita emang ketemu di waktu yang salah.”

rain menggeleng. tidak mau berkomentar lagi. “kepalaku pusing kak.”

jave reflek bergerak. “udah minum obat? kamu ada obatnya kan?”

“aku mau tidur.”

“minum obat dulu rain.”

“aku mau tidur.”

“rain, please.”

“makasih udah mampir kesini. aku besok udah bakal stay di luar kota dan jarang balik soalnya kejar banyak materi sama rapat organisasi. makasih udah dateng. seenggaknya sebelum aku berangkat nanti.”

“rain..”

“makasih juga, udah khawatirin aku.”