waterrmark

their little messy night.


Rain masih diam, membiarkan Jave mencumbunya terlebih dahulu. Tidak seperti sebelumnya yang cenderung terburu-buru, ciuman Jave kini sudah kembali seperti biasanya. Halus, detail. Terasa begitu manis.

Rain perlahan tergoda. Faktanya gadis itu memang suka sekali dicium dengan gerakan pelan seperti ini. Rasanya seperti begitu dicintai dan begitu disayang. Tangan Jave yang tadinya masih mengunci jemari Rain di bawah sana perlahan bergerak, ganti bertumpu pada pinggul yang terbalut dress satin lembut berwarna putih tersebut.

Mengelusnya di beberapa waktu, lalu meremasnya pelan. Tangan Rain yang menggelantung bebas itu juga perlahan bergerak, menyusur dada Jave naik hingga akhirnya berkalung nyaman pada leher lelaki itu.

Bibirnya terbuka sedikit demi menyesap bibir Jave kembali atas dan bawah. Menarik pelan bibir merah lelaki itu gemas, lalu menggigitnya.

Jave tampak terkejut, tubuhnya menegang seperempat detik ketika Rain berani menggigit bibirnya. Sebelum ini gadisnya itu cenderung normal-normal saja, hanya membiarkan dirinya melakukan apapun dan jarang membalas pagutannya dengan agresif.

Rain menarik pelan bibirnya sendiri menjauh, menatap mata Jave yang sudah seperti pemburu siap memangsa lawannya itu dengan napas tidak beraturan.

“Why did you stop?” Jave bertanya halus.

“Bentar. Agak malu.”

Lelaki itu tertawa, “karena barusan kamu tarik bibirku sambil ngegigit?”

“Errrr... Iya. Maaf, itu aku kerasukan.”

“Kamu boleh brutal balik ke aku Rain astaga.”

“Ya sungkan, maksudku..”

Jave geleng-geleng kepala seraya mulai memeluk Rain mendekat. “Nih, cium.” ujarnya memerintah, menundukkan kepala.

Wajah Rain makin merah saja sepertinya, gerah sekali.

“Ini punyamu Rain. Ambil aja, tarik sesukamu.”

Gadis itu menelan ludahnya takut-takut. Tangannya yang tadi berada di leher itu perlahan mulai berpindah tempat demi mencekali kedua pipi Jave, lantas menariknya mendekat.

Rain menghentikan tarikannya tepat ketika jarak mereka tinggal beberapa senti lagi. Gadis itu menatap mata Jave lama sekali seraya mengusap pipi lelaki itu dengan ibu jarinya. Melihat bibir Jave sekali lagi sebelum akhirnya ia memiringkan wajah dan menempelkan miliknya dengan pelan.

Keduanya langsung memejamkan mata. Rain bahkan bisa merasakan Jave tersenyum ketika bibirnya mulai bergerak ringan. Mengecup pelan seraya melumat bibir bawahnya itu secara halus.

Tangannya yang masih berada di pipi itu bahkan kini sudah bergerak turun, kembali mengalung pada leher Jave karena pelukan di pinggangnya terasa semakin erat.

Tangan kanan Jave bergerak naik, berpindah pada tengkuk Rain agar gadis itu terpancing untuk memperdalam ciumannya kembali. Tangan kirinya tetap menahan pinggul agar gadisnya tidak terdorong kemanapun ketika nanti ia mulai membalas.

Sapuan ringan Rain berikan pada bibir Jave ketika ia merasa tengkuknya diremas halus. Gadis itu bahkan sudah berhasil meneroboskan lidahnya masuk karena Jave yang memang selalu mempersilakannya mengeksplor lebih jauh. Memainkannya pelan di dalam sana seraya terus menikmati debaran jantungnya yang tidak terkendali. Campuran wine yang tadi Jave minum itu menguar manis, Rain semakin mabuk saja dibuatnya.

“Jago banget sekarang.” Jave memuji, mencium kening Rain lama ketika ciuman bibirnya terlepas.

“Enak kak.”

“Emang.”

“Enggak maksudku rasanya minumanmu tadi itu enak.”

Jave mencibir, “jadi bibirku nggak enak?”

“Enggak gitu maksudku.. Heii astaga mau apa lagi????” Rain seketika protes ketika tubuhnya dijunjung masuk ke dalam kamar.

“Jeva sama Lukas udah dateng soalnya.”

“Ya terus mau diapain? Biarin aja astagaaa kak Jav stooooooppppppphhh JANGAN DI LEHERH..”

Jave tertawa, mencekali dua tangan Rain dengan satu tangan dan menguncinya di belakang punggung. Perlahan lelaki itumembawa langkah mendekati tembok agar Rain bisa menyender disana.

“Kak udah please jangan dimerahin lagi lehernya. Kamu sekali main disitu bisa merah-merahin banyak banget astaga.. ahh, kak!!”

“Liat atas cantik.”

“Nggaaaaaak mauuuuu.”

“Ya udah terserah.” Jave terkekeh sebentar, mencekali leher Rain dengan tangan kanannya yang menganggur. Mulai kembali mengecup bagian yang tadi belum sempat ia jamah.

“Kak.. Nggak kuathhhhh please jangan di leher.”

“Enak Rain.”

“Tapi, geli banget, serius.” Ucapannya tersengal karena tubuhnya menggelinjang sesaat. Lidah Jave sudah terulur kembali, menjilatnya naik turun dengan begitu erotis dan melumatnya di berbagai sisi.

Geli sekali. Rain sampai menjambak rambut Jave ketika lehernya disedot kuat di banyak tempat. Sudah hampir berteriak kesal ketika ia mendengar derap langkah ramai dari arah luar. Sepertinya memang yang lain sedang bermain di depan kamar Jave, entah berbuat apa.

“Denger kan? Makanya jangan berisik.”

“Nggak berisik kalo kamu nggak gangguin ak.. hmh kak Javeeee!!!!!”

“Sssst Rain. Jangan teriak.”

“Geli kak, serius aku tidak berbohong.”

“Lehermu enak.”

“Bukan makanan!”

“Sini bibirnya..”

“Lagiiii????????”

“Tadi belum selesai.”

“Kapan kamu lowbatt?!”

Jave menggeleng, “udah kelanjur gini, emang ada cowok normal yang bakal mendadak lowbatt?”

Rain menggigit bibir bawahnya karena Jave kembali menghujani area dada depannya dengan kecupan massal. Tangan kiri Jave yang dari tadi mencekali tangan Rain itu bergerak naik melepas talian pita agar rambut panjang gadisnya bisa tergerai lepas.

Ciumannya naik, kembali ke bibir. Lelaki itu tanpa memberi aba-aba langsung menyentak mulut Rain dengan meneroboskan lidahnya. Menyapu seluruh isinya dengan gerakan liar hingga sang pemilik kewalahan.

Decakan basah itu terdengar menggema, terasa aneh karena tangan Jave yang kini kembali mengunci tangan Rain di belakang punggung hingga tidak bisa berbuat apapun. Bibir Jave bahkan kini sudah bergerak ekstrim, menyedot kuat lidah Rain sambil sesekali melumat dagunya.

Rain mendesah pelan, ciuman Jave barusan itu berhasil membuat otaknya pecah seakan ingin meledak. Tangannya yang masih dikunci itu perlahan memberontak, ingin berpindah tempat.

Jave tersenyum lagi di tengah kegiatannya, ia membiarkan tangan Rain lepas dan berpindah pada tengkuknya. Tak disangka gadis itu malah menekan tengkuk Jave mendekat dan membalas ciuman agresif lelaki itu dengan sabar.

Suara Jave yang menggumam berat itu membuat perut Rain melilit lagi. Gadis itu semakin semangat membalas hingga sesekali menjambak rambut Jave demi menyalurkan nikmat.

Merasa Rain sudah aktif membalas, tangan Jave itu perlahan bergerak mengangkat tubuh Rain dan memindahkannya di atas kasur.

“Liat aku Rain.” ujarnya, memegangi dagu Rain.

Gadis itu menurut, mengatur napasnya yang terengah itu sembari menatap mata Jave yang sudah dibakar nafsu.

“Kamu mau pake bantal apa langsung di kasur aja?”

“Hm?”

Jave menggeleng, menyadari pertanyaannya terlalu aneh dan membingungkan untuk dijawab. Lelaki itu lantas memegangi kepala Rain ketika bantal putih villa itu ia pindah ke tempat lain.

“Wajahmu merah kak..”

“Mabuk kamu.”

“Hrrrrr..”

“Mau coba kamu di atas?”

Rain melotot lebar. “Enggaaaak!”

“Ya udah.” Jave melemparkan senyum miringnya sebelum kembali mencumbu Rain dari atas. Kali ini lelaki itu benar-benar meraup apapun yang ia temui. Kepala Rain yang menempel langsung di kasur itu benar-benar sampai tertekan karena gerakan liar Jave di atasnya.

Lelaki itu membawa dua tangan Rain naik ke atas kepala dengan satu tangan. Mulai menciuminya dari ujung jari hingga terus turun ke lengan atas, lalu kembali lagi ke bibir Rain yang kali ini sudah bisa dipastikan membengkak.

Rain benar-benar kewalahan, jemarinya diremat dan dielus bergantian di atas sana. Tidak bisa berbuat apapun lagi selain menyerah dan menurut karena kakinya juga sudah ditindih oleh berat tubuh Jave yang mengungkung sempurna.

Sinting, gadis itu menahan suaranya yang hampir saja lolos keras ketika Ciuman Jave mendarat di tempat baru lagi. Jika hari ini lelaki itu baru bisa mencium leher dan pundaknya, maka kali ini sasaran berikutnya adalah telinga.

“Kak.. Kamu ngapainhhh..”

“Cium.”

“Nghh..”

“Jangan desah.”

“Enggak, aku.. Kak!!! Demi.. hhh..” Rengekan Rain yang sejak tadi terdengar begitu seksi itu membuatnya semakin bersemangat. Dengan tanpa basa-basi lagi lelaki itu mulai menjulurkan lidahnya, menjilat memutar area telinga Rain itu dan sesekali meneroboskan lidah masuk ke lubangnya.

Ia bisa merasakan Rain menggelinjang geli di bawahnya. Bunyi-bunyi basah yang tercipta cukup lama itu membuat keduanya merinding.

“Rain..” Jave memanggil, berbisik.

“Hmh.”

“I love you.” ujarnya semakin serak, melepas pelan tangan Rain dan kembali menjatuhkan ciuman pada bibirnya.

Lagi, keduanya saling memagut. Tangan Rain yang sudah bebas itu tanpa sadar bergerak mengelus dada Jave. Merasakan petak-petak yang ada di perutnya itu dengan gerakan pelan.

Jave yang mengerti segera menarik sedikit badannya menjauh tanpa melepas ciumannya. Membuka kancing kemejanya satu persatu hingga terlepas cepat, lalu melemparnya ke samping.

Ini terhitung pertama kalinya ia membuka baju di depan Rain. Biasanya jika sedang berenang lelaki itu selalu mengenakan kaos karena ia tau jika Rain memang pemalu. Ia berusaha semaksimal mungkin membiarkan Rain merasa nyaman dan aman ketika sedang berenang berdua.

Berbeda dengan kali ini, tangan Rain yang tadi sempat mengelus dadanya itu kini mulai meraba halus di area punggung. Napas dalam ciumannya bahkan juga terasa memburu.

Jave melepas mundur bibirnya, memperhatikan Rain dengan alis berkerut. “Tumben?” tanyanya.

“Ini aneh ya, tapi serius aku baru tau.”

“Apa?”

“Punggungmu empuk. Padahal ini otot.”

“Mana ada sih?! Keras hei.”

“Enggak, serius empuk. Kayak, liat.. Tuh kan.. Eh, ITU KAMU KERASIN!!”

Jave mendengus pelan. Membiarkan tangan Rain mengelus punggung atasnya meski masih canggung.

Gadis itu lantas bergerak pelan, menggulingkan tubuh Jave sedikit dengan tenaga ke arah samping.

“Kak Jave.” panggilnya.

“Apa?”

Rain menggelengkan kepala, rambutnya bahkan sudah berantakan sekali saat ini akibat diusel terus menerus oleh Jave sejak tadi. Gadis itu lantas menempelkan bibirnya di kening Jave.

Jave tertawa pelan,“soft banget yang habis gulingin badanku pake tenaga ekstra? Kirain mau bales dendam.”

Rain hanya diam, menurunkan ciumannya ke hidung, bibir, lalu berhenti di area leher. Gadis itu bahkan kini sudah mengecup jakun Jave yang menyembul itu berulang kali hingga pemiliknya menelan ludah secara kasar.

Tangan Jave otomatis mengelus rambut belakang Rain ketika gadisnya itu sudah memberanikan diri melahap jakunnya, berusaha memberi ketenangan agar Rain tidak tiba-tiba melepas ciumannya hanya karena terbakar malu.

Jave merasakan tangan Rain bertumpu di atas perutnya. Mengelus halus kotak demi kotak, membuatnya semakin hilang akal.

Jilatan hangat Rain bahkan kini sudah terasa di jakun lalu turun menuju tulang selangkanya.

“Gosh.. Rain.” Jave melenguh berat juga pada akhirnya. Tangannya menarik jemari Rain yang sudah kembali diam itu agar masuk ke genggamannya.

Rain seketika tersadar, menarik kepalanya mundur. Ekspresinya bahkan sudah kaget sekali.

Jave seketika hampir muring-muring, dengan sigap ia menjatuhkan tubuhnya lagi di atas tubuh Rain dan menyekap tangannya erat kembali di atas kepala. Lelaki itu mencium ganas bibir Rain sampai lawannya tersengal lelah.

Lenguhan pelan mulai terdengar bersautan kala lidahnya yang beradu itu saling membalas di dalam mulut. Sentakan terakhir Jave berikan dengan menyedot kuat isi bibir Rain tanpa ampun.

“Gak mau lagi. Udah. Udah please. Itu brutal banget serius. Aku gak mampu.” Rain berucap, napasnya terengah-engah. Ia membiarkan Jave mengelap bibirnya yang basah karena sudah tidak mampu berbuat apapun lagi.

“Capek Rain?”

“Kamu udah kayak mesin penyedot yang ada di film Baymax!!!!!!!”

Jave mendengus, “nggak ada yang lebih keren dari itu?”

“Nggak. Hhhh UDAAAAH.” Rain menutup bibirnya yang hampir diserang kembali itu dengan telapak tangan. “Minggir sana lepasin tanganku, kamu kayak ngeborgol anak anjing tau nggak?”

“Tapi enak kan ketahan?”

Rain melotot jengkel. “Diem diem!! Gak mau denger.”

“Hahaha sayangku ini..... Sini deh keningnya aja yang aku cium.”

“Gak usah sok manis kamu kak Jave. Andai ada cctv dunia akan tau kamu brutal banget sejak tadi.”

“No i'm nooot.”

“Bibirku udah kayak habis di filler!!!!!!!! Leherku merah semua.”

“Masa sih? Mana? Enggak ah perasaanmu aja.”

“Maleeeeees banget.”

Jave tertawa, menggulingkan tubuhnya ke samping. Ia lantas menarik Rain mendekat. Memeluknya rapat. “Untung gak perlu sampe bikin bayi udah sadar duluan..”

“KAK JAVE!!!”

“Ssst sayang jangan teriak-teriak.”

“Gak tau lah aku malu.”

“Udah tau kebiasaanmu, sini sembunyiin mukanya buruan.”

Rain menurut, menghilangkan wajahnya di pelukan Jave. Bau wangi segar lelaki itu reflek menguar menusuk-nusuk hidungnya. Enak sekali.

“Gimana caranya keluar kamar kak?”

“Gak ada. Leher sama pundakmu merah banget. Nanti bikin huru-hara.”

“Katamu tadi nggak merah?!”

“Bohong sih. AH RAIN ASTAGA.” Jave menjengit ketika perutnya dicubit keras. Membiarkan Rain bangkit demi berkaca pada cermin besar dekat sofa.

“Apa yang kamu lakukan pada leher dan pundakku kakakkkkkkkk.”

“Cium.”

“Ini sudah seperti bentuk penyiksaan. I MEAN LOOK AT YOU, kamu bersih banget tiada noda!!!!”

“Ya kamu kurang lahap tadi.”

Rain melotot, tatapannya menghunjam lurus ke manik Jave dengan jengkel. “Awas.. Awas aja kamu. Betulan tunggu sampe aku tarik rambutmu.”

“Hahahaha sini Rain. Jangan ngomel.”

Rain berdecak, membiarkan tangannya ditarik oleh Jave hingga dengan cepat kembali ke pelukan.

“Besok hilang.” ujarnya, menenangkan.

“Betulan?”

“Ya, betulan.”

Hening.

“Di depan masih ada suara kak Kalandra teriak-teriak.”

“Biarin aja, kamu disini.”

“Aku mau mandi.”

“Mandi disini aja pake bajuku banyak.”

Rain mengomel lagi dengan nada yang susah dipahami.

“Apa sih Rain hahaha ngedumelmu itu lucu seriusan.”

“Malessssssss.”

Jave terkekeh lagi, lanjut mengelus pucuk kepala Rain sayang. “Kalo ngantuk tidur dulu aja, nanti pas di depan sepi aku bangunin buat mandi. Oke?”

“Hmmmmm.”

“Sini cium sekali.”

“Gakkkkkkk.”

“Pelit banget.” Dengusnya, menyerah.


balkon.


“Disini lebih anget padahal sama-sama di balkon. Kerasa nggak?” Jave membuka obrolan, menoleh ke arah Rain yang masih saja melihat cincinnya dengan tatap takjub dan memuja.

Keduanya memang kini berpindah tempat menuju balkon kecil di depan kamar Jave karena tadi Lea dan Jinan ikut mampir di balkon belakang sana. Biasa, Jave sedang tidak mau diganggu siapapun. Apa lagi ketika masih sangat fresh melakukan momen penting dengan Rain.

Gadis itu akhirnya mengangguk, menoleh balik menatap mata Jave. “Soalnya anginnya beda arah kak.”

Hening.

“Kenapa?” Lelaki itu bertanya ketika Rain terus menghadap ke arahnya.

“Gak papa. Aku suka aja liatin molesmu yang ada di bawah mata.”

“Hahahaha astaga.” Jave tertawa, bergerak mendekat ke arah Rain dan langsung memeluk pinggang gadisnya itu dari arah belakang.

“Kan aku masih mau liat moles?” Gadis itu memprotes, menoleh ke arah wajah Jave yang kini tengah berada di atas pundak kanannya itu dengan pandang jengkel.

“Deg-degan.”

“Bohong banget.”

“Serius.”

Rain mendengus, mengalah. Ia lantas kembali mengangkat jemarinya di udara demi melihat cincin cantik pemberian Jave yang sudah melingkar indah tersebut.

“Suka?”

“Suka dong!”

Jave tersenyum lagi, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rain yang wanginya benar-benar meruntuhkan dinding kewarasan. Ia merasa sangat bahagia.

“Geliiiiiiiii. Kamu diem di pundak aja please jangan di leher. KAK..”

Lelaki itu hanya balas terkekeh, suaranya bahkan terdengar sangat tampan dan berat. “Baumu enak banget Rain.”

“Iya tapi geliiiiiii.” Ia lanjut memprotes ketika Jave semakin memperdalam tarikan napas di  ceruk lehernya yang terbuka. Tangan lelaki itu bahkan semakin erat melingkar di pinggangnya, tidak membiarkan Rain bergerak atau kabur dari cekalannya barang satu senti.

“Kak Jave astagaaa.”

“Enak.”

“Iya.. Iya enak, udah.. HEEIII CUKUP ASTAGA KAKKKKK JAVEEE..”

Jave tertawa, menjauhkan kepalanya dari leher Rain. “Kenapa gelian banget sih Rain?”

“Emang kamu kalo diusel di leher gak geli?”

“Enggak lah? Coba usel sini.”

“IHH..”

Lelaki itu tertawa lagi sebentar, lalu lanjut meletakkan dagu di pundak Rain dengan tenang. Menurut. Sesekali ia menciumi pundak Rain pelan hingga tangannya yang melingkar itu dicubit oleh pemilik pundak.

“GELIIIIIIIIII KAK JAVEEEE.”

“Cuma dicium ya ampun.”

“Perutku yang geli maksudnya.”

“Jadi pundakmu gak geli kan?”

“Enggak. Tapi, HHHHHH ASTAGA KAK!!!” Gadis itu menoleh jengkel, memperhatikan tampang tak berdosa Jave yang barusan menggigit pundaknya itu cukup keras akibat gemas.

“Pundakmu tuh lucu Rain, kayak mochi yang bulet itu.”

“Enak aja disama-samain kayak mochi?”

“Fakta. Empuk juga.”

Rain makin mendengus, membiarkan Jave yang kini sudah bergerak menciumi pundaknya lagi.

“Kenapa pake dress satin malem ini?”

“Memang adanya cuma itu.. Aku ada sih sebenernya satu warna item, tapi kan kamu pake putih.”

“You look so damn sexy in this dress.”

Rain langsung melotot, mencengkram pagar besi yang lebih tinggi dari pada dadanya itu kuat karena kupu-kupu yang barusan terbang liar di dalam perutnya.

Ia bisa merasakan tangan Jave yang mempererat pelukan seraya sesekali mengelus pinggangnya halus di bawah sana.

Sinting. Perut Rain semakin melilit ketika ciuman Jave di pundaknya itu jatuh lagi tak kunjung berhenti. Membuat suara kecupan itu masuk satu persatu ke gendang telinga.

“Kak Jave..” Rain memanggil pelan.

“Hmh.” Hanya sahutan itu yang keluar dari bibir Jave, bahkan tidak sedikitpun ia menghentikan kecupannya pada pundak bersih milik Rain tersebut.

Kecupannya bergeser perlahan menuju pipi merah Rain. “Hadep sini gih bentar.” Lelaki itu menyuruh dengan suara serak.

Rain menurut, menolehkan wajah. Menatap mata Jave yang kini tengah memandangnya penuh puja.

Dahi lelaki itu yang terbuka karena rambutnya dirapikan ke atas membuat jantung Rain reflek pontang-panting. Dengan perlahan cengkramannya pada pagar besi itu bergerak turun, menggenggam tangan Jave yang masih memeluk erat di bawah sana.

Tidak ada yang bersuara, hanya deru napas yang bersaingan dalam jarak dekat dan sapuan angin malam yang bergerak ringan. Seakan membiarkan keduanya menikmati dentuman jantung dan pujian tanpa suara yang terus terucap lewat tatapan mata.

Wajah Jave perlahan makin mendekat, dengan pandangan matanya yang menatap tulus dari mata dan bibir Rain secara bergantian. “I want to kiss this lips so bad.” Ia berujar pelan, matanya bahkan sudah menghunjam intens mata Rain yang kini mendadak saja bergetar.

“Aku gak minta ijin kali ini, karena dirasa meski gak kamu ijinin juga aku bakal tetep cium kamu.” Jave melanjutkan, tatapannya turun ke bibir merah muda Rain yang glossy tersebut. Terlihat penuh dan begitu mengundang hasrat.

Jantung Rain makin merosot kesana kemari. Memperhatikan bibir Jave yang barusan dibasahi sendiri oleh pemiliknya itu seraya sesekali menelan ludah.

“Mau posisi ini atau kamu mau ngelakuinnya sambil peluk hadep aku?”

“Kakakkkkk.” Protesan Rain akhirnya keluar sudah. Pipinya bahkan semakin memerah.

Jave kembali membasahi bibirnya yang mengering, mengabaikan raut salah tingkah Rain itu dengan menekan pelan punggung gadisnya menggunakan dada agar semakin menempel di pagar besi. Membuat posisi keduanya menyatu sempurna tak bercelah.

“Aku cium ya Rain.” Jave berucap dengan suara yang kian serak. Memberi tahu. “Mungkin bakal lebih brutal dari yang kemaren. Jadi kamu jangan marah ya?” Lanjutnya, mulai kembali mendekatkan wajah.

Rain belum sanggup bersuara, ia tau jika Jave memang tidak pernah basa-basi. Jika sudah bertekad lelaki itu bahkan bisa melakukan apapun dengan caranya sendiri. Gadis itu lantas meletakkan telunjuk di depan bibirnya sendiri sebelum bibir Jave mulai membabat miliknya tanpa ampun.

“Tunggu kak, bentar.” ia berucap, suaranya ikut bergetar.

Jave hanya balas menaikkan sebelah alisnya.

“Kayaknya kalo posisiku begini bakal nggak enak. Maksudku, apa aku boleh hadep kamu aja?”

“Pft.” Jave hampir tertawa karena jantungnya yang meledak tidak beraturan. Lelaki itu lantas hanya diam saja, lanjut menciumi telunjuk Rain yang menurutnya imut itu seraya sesekali memasukkannya ke dalam mulut. Agresif sekali. “Kamu kalo lucu-lucu aku abisin juga kayak telunjuk ini, mau?”

“Itu serem.”

“Kamu cantik Rain.”

“Kak Javeeee..” Gadis itu bersuara, perutnya sudah penuh dengan segala jenis hewan-hewanan. Geli sekali.

“Jadi mau hadep ke aku? Aku gak keberatan sih. Cuma..”

“Cuma?”

“Kamu yakin bisa nahan level brutalku?”

Rain menggigit bibir bawahnya sendiri. Grogi. Dan belum sempat jawabannya terlontar, Jave sudah terburu menyatukan bibirnya cepat.

Tangannya yang dari tadi tidak pernah melepaskan pelukan itu bergerak pelan untuk mengelus area pinggang Rain agar gadisnya itu tidak tegang.

Lelaki itu menyesap kuat bibir Rain atas dan bawah bergantian. Menjilati permukaannya itu berulang kali hingga basah dan lanjut melumatnya kasar.

Baru pertama kali ini Rain melihat Jave seliar ini. Bibir lelaki itu yang memang masih bekerja solo menciumi dirinya itu bergerak begitu agresif, lengkap dengan tangan kekar yang mengungkung tubuhnya possesif.

Rain berusaha menemukan ritme lelaki itu yang cenderung cepat tidak beraturan karena termakan nafsu, tapi tidak kunjung mendapatkan celahnya.

Gila. Situasi ini benar membuat perutnya melilit mulas. Ciuman Jave itu bahkan kini sudah turun menuju dagunya. Sesekali melahapnya, lalu naik lagi ke bibir untuk kembali melumat kasar.

Rain sadar, Javerio sangat menginginkannya.

Satu lenguhan kecil terdengar ketika ciuman Jave itu turun perlahan menuju leher Rain yang terbuka. Lelaki itu mengendus aromanya lama sekali sebelum mulai mengecup area leher kanan itu naik turun. Seperti menandai bahwa itu adalah miliknya seorang.

“Kak Jave serius jangan ke leher aku nggak kuat..”

Jave tersenyum singkat dalam kegiatannya, menulikan telinga. Rengekan Rain bahkan sekarang terdengar seperti memerintahkannya untuk berbuat kian jauh. Dengan perlahan lelaki itu menjulurkan lidah, menjilat leher itu turun perlahan sambil terus mengecupnya seduktif.

“Kak..” Rain menggelinjang saking gelinya. Gadis itu benar tidak tahan jika ada yang memainkannya di area leher. Terbukti dari pembuluh darah yang menyembul perlahan ditambah semakin merah dan frustasinya wajah Rain saat ini.

Jave menegang, urat-urat tipis yang baru keluar itu membuat pikirannya langsung kalang kabut. Lidahnya otomatis terjulur kembali, menelusur garis-garis yang menyembul begitu seksi itu dengan gerak cepat. Mengabaikan suara Rain yang makin protes minta dilepas.

Lelaki itu menangkap tangan gadisnya pelan dan membawanya masuk ke pelukan, membuat Rain kini sempurna berada di dalam kungkungannya agar tidak banyak bergerak. Sedotan pelan mulai ia berikan dari area leher atas hingga perlahan menyusur ke bawah. Tidak membiarkan satu celahpun luput dari jangkauannya.

“Ahh kak..” Suara Rain yang sudah tidak mampu memprotes itu jadinya malah semakin seksi saja. “Jangan, please.. Leherku nggak kuat. Sumpah, kak javhh.

Jave tidak berhenti, terus membubuhkan lumatan kecil dan beberapa sedotan kuat pada leher Rain hingga menciptakan banyak sekali bercak merah di berbagai tempat. Jemarinya bergerak menggenggam kuat milik Rain di bawah sana, mengusapnya lembut sesekali jika gadisnya itu dirasa tegang.

“Hh. Merah Rain.” Jave berucap pelan ketika melihat hasil karyanya. Setengah takjub karena leher putih bagian kanan itu sudah penuh dengan tanda yang berasal dari bibirnya.

“Gimana mau nggak merah??”

Jave mengedik pundak singkat. “Intinya aku nggak mau minta maaf.”

“Kenapa gak maaf?”

“Karena aku mau lanjut lagi?” Kekehnya sebentar, lalu lanjut menjatuhkan ciuman pada pundak Rain itu berulang kali. Menjilatnya di berbagai sisi seraya mulai menyedot liar termakan gemas.

Rain pasrah, gadis itu hanya mampu menggigit bagian bawah bibirnya sambil meremat jemari Jave ketika tali bajunya itu perlahan di turunkan dengan gigi hingga jatuh ke area lengan atas. Jilatan Jave terus bergerak tak kenal wilayah. Turun ke punggung sebentar dan kembali naik hingga ke leher belakangnya.

Lelaki itu melepas sebentar pelukannya untuk mengangkat rambut panjang Rain yang terkuncir dengan pita itu naik. Ia ingin mencium leher dengan bebas tanpa gangguan.

Lenguhan Rain terdengar lagi ketika bibir Jave kembali menjamah area lehernya, kini tukar ke area kiri. Sama seperti sebelumnya, lelaki itu menjilat naik dan turun seraya terus memberikan sedotan kencang di seluruh permukaannya.

“Rain.”

“Hmh?”

“Tahan aku kalo kebablasan nanti ya.” ujarnya pelan, membalik tubuh Rain cepat agar menghadap ke arahnya. “Kalo aku nggak denger, kamu jambak aja rambutku sampe sadar.”

“Kalo tetep gak sadar-sadar?”

“Then we're going to have a baby.”

“HEEEEEEEEEIIIIIII.”

Jave terkekeh, kali ini mendaratkan ciumannya di bibir Rain dengan perlahan.


bentar, pause, gak mampu gue. stopppppppppp, stop sudah. besok aj lagi dah 😭🧎‍♀️

u yang pada minta lanjut, EMG U SANGGUP LIAT MEREKA JD DEWASA?!!!!!!!!!!!!

qrt gimana2nya buruan!

boleh wtp asal CROP LINKNYA YA AWAS AJA U LIATIN NIH LINK 😠

hello, mrs. rain alkanira.


Rain berdiri seorang diri di balkon villa malam ini. Baru tiba, ia masih belum ingin masuk ke kamar dan memutuskan untuk menikmati angin saja di halaman belakang. Tempat mereka keluar menuju pantai senja tadi.

Tidak dingin, dengan langit bertabur bintang yang tampak begitu jelas. Rerumputan hijau yang sekarang terlihat gelap itu membentang luas hingga beberapa meter ke depan. Dihias oleh pohon palm rendah yang cantik dililit lampu berwarna warm white.

Gadis itu berpegangan pada pagar besi setinggi dada sambil sesekali menjinjitkan kakinya. Bermain. Kadang-kadang ia juga bersenandung pelan, menyanyi asal lagu apapun yang melintas di otak dengan suaranya yang bisa dibilang biasa saja sebenarnya. Tidak bagus, tidak buruk, tidak cempreng dan tidak fals. Biasa, suara Rain biasa saja.

Jave yang baru keluar dari ruang dalam itu reflek saja tersenyum. Kakinya berhenti di ambang pintu demi memperhatikan Rain dari belakang.

Tubuh gadisnya itu masih saja imut seperti dulu. Mungkin memang bertambah tinggi sedikit, tapi tetap saja menurut Jave gadis itu kecil sekali. Tingginya masih sebatas pundaknya sendiri saat ini. Dibalut dengan dress satin berwarna putih cantik dan rambut yang tengah dikuncir dengan pita berwarna senada. Menunjukkan kulit bagian atas dari pundak hingga setengah punggungnya yang halus dan bersih.

“Rain.” Jave akhirnya menyapa, membuat gadis itu menghentikan suara nyanyiannya dan menoleh sebentar.

“Sejak kapan berdiri disitu?”

“Baru aja. Aku kira kamu udah masuk kamar malah. Maunya aku telpon.”

“Hahaha enggak aku disini pengen liatin bulan tapi bulannya kecepit. Ilang.”

Jave geleng-geleng kepala, maju mendekat. Berdiri di samping tubuh Rain dengan kaki yang sudah naik di pembatas bawah pagar. Ikut bermain.

“Kamu nanti nyungsep ke bawah jangan minta tolong aku ya kak Jave..” Rain berucap, memperingatkan.

“Gak minta tolong juga paling kamu udah khawatir duluan, nyamperin ke arah aku nyungsep.”

“Eh omongannya jangan gitu kamu nanti betulan nyungsep ke bawah.”

“Kamu kan kuat megangin aku?”

“Mana ada??????”

Jave tertawa, wajahnya tampan sekali. Rain jadi grogi sesaat karena tiba-tiba mengingat paras Jave yang sempurna saat di bawah paparan senja beberapa jam lalu. “Kamu ada akhlak nggak?” Ucap Rain tanpa sadar, menatap wajah Jave yang ada di sampingnya itu dengan tatap mengawang. Lucu sekali.

“Hah? Apaan Rain hahahahaha.”

“Cakep banget. Serius. Mana kamu sok acara pake kemeja putih.. Ganteng? Gak bohong ini gak ngera.. EH EH HMPH.” Ucapannya terpotong ketika kecupan Jave mendarat 6x di permukaan bibirnya. “SIAPA YANG SURUH KAMU CIUM AKU?”

“HAHAHAHAHA. Abisnya?”

“Apaa? Aku hanya memuji.”

Jave tidak habis pikir, ia lantas kembali menjatuhkan pandangannya lurus ke depan. Memperhatikan cahaya lampu yang berpendar dari banyak arah seraya menjinjitkan kakinya sesekali di pagar besi. “Besok pulang Rain.” ujarnya, tiba-tiba.

“Iya.. Besok pulang. Aku males pulang. Bisa nggak, waktunya di stop aja?”

Lelaki itu menoleh. “Capek ya?”

“Iya. Capek. Kamu gak capek?”

“Capek.”

Hening. Bayangan kehidupan nyata yang mulai semakin berat itu melintas di otak mereka. Membuat helaan napas terdengar bersahutan.

“Gak papa sih capek. Maksudku kalo capek kita masih bisa berhenti gitu buat take a break.. Tapi kadang emang capeknya tuh capek yang kayak.. Bisa gak sih berhenti aja gitu? Gak mau lanjut.”

Jave menempelkan kepalanya di kepala Rain. Belum menyahut. Cukup lama sampai akhirnya ia berucap, “kamu kalo capek janji bakal lari ke aku ya, Rain?”

“Aku kalo capek gak pengen nambah bebanmu..”

“Aku gak terbebani. Ibarat nanti juga pas aku capek terus bakal lari ke kamu. Apa kamu ngerasa terbebani?”

“Enggak sih.”

“Nah. Itu namanya orang udah sayang pasti gak ada beban Rain. Lari ke aku, oke?”

Rain mengangguk dalam diam, tangan kirinya bergerak mengusap kepala Jave yang masih menempel itu dengan gerakan lembut. Membiarkan angin malam yang berhembus ringan itu menemani mereka menikmati sunyi.

“Rain.”

“Ya?”

“Besok-besok kalo aku ajak nikah mau nggak?”

“Hah?” Gadis itu reflek tersedak angin. Jantungnya memompa cepat seperti barusan dipacu di jalanan terjal.

“Kenapa? Kamu gak mau?”

“Enggak gitu. Maksudnya kasih lah aba-aba ke aku kalo mau ngajak ngobrol penting jangan cas cus aja kebiasaan banget.”

Jave menggigit bibir dan memejamkan mata. Terlihat berpikir panjang. Wajahnya bahkan sudah serius sekali saat ini.

“Kak?”

“Bentar. Ini lagi mikir biar kamu gak kaget lagi.” Jave membalas, tetap diam hingga 10 detik kemudian ia membuka kembali matanya.

“Jadi?” Rain bertanya, menghadapkan tubuh ke arah Jave. Rautnya tampak bingung meski jantungnya tetap berulah sama dengan memompa liar di dalam sana.

“Gimana cara aku ngomongnya?”

“Ya gimana?”

“Jangan kaget intinya sih.”

“Kamu mau apa?”

Lelaki itu diam, menatap mata Rain lama sekali. Berusaha menetralkan jantungnya sendiri yang tidak teratur itu dengan berulang kali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tangannya lantas bergerak, merogoh barang yang tadi sempat ia ambil di dalam kamar ketika baru saja tiba dari restaurant itu keluar dari dalam saku celana.

Kotak kaca hitam elegant muncul dan kini sudah berada di atas telapak tangan kanan Jave yang kebas. “Aku lamar kamu ya Rain?” ujarnya, membuka kotak kaca tersebut yang ternyata berisi cincin kecil berwarna perak seukuran jari Rain.

Gadis itu melotot lebar. Matanya langsung berair saking terkejutnya dengan ajakan Jave yang memang terkenal selalu tanpa basa-basi tersebut.

“Nggak harus nikah cepet-cepet. Aku lamar biar kamu tau kalo aku selalu serius sama kamu. Lah eh jangan nangis......???”

Rain menggelengkan kepalanya, tidak mampu menatap mata Jave yang menatap teduh itu terlalu lama. “Aku tau kamu selalu serius. Maksudku....”

“Maksudmu..?”

“Maksudku, makasih. Makasih udah selalu sama kayak kak Jave yang dulu aku kenal. Jujur sebelum aku kuliah dulu sering mikir hubungan kita gak lama. Tau gak? Kayak.. Emang cowok ini bisa gitu diajak LDR? Kan yang deketin banyak.. Arhhhh gak tau aku nangis aja.”

Jave tersenyum kala mendengar. Kotak kaca yang ada dalam genggamannya masih terbuka lebar, siap untuk diberikan. “Jadi Rain, kamu siap aku ajak ke tahap yang lebih serius ke depannya?”

“Sebentar kamu diem dulu.”

“Hahaha astaga iya oke aku diem.”

“Kamu curang banget loh jadi orang gak punya rasa deg-degan.”

“Aku deg-degan. Cuma kekontrol aja gak kayak kamu.”

“Enak ajaaaa.” Rain memprotes, mengelap ujung matanya yang betul basah itu dengan jari seraya mulai kembali menghadapkan tubuhnya ke arah Jave.

So?” Jave bertanya, meminta jawaban.

“So whaaaaaat?”

“Want to be my only forever mine in the future?”

Rain menelan ludahnya sendiri. Menatap mata Jave yang memang sangat serius itu dalam hening. Keduanya berusaha menikmati dentum jantung yang sama-sama lepas kendali itu lewat tatapan mata.

“I can't say no for you kak.”*

“Hm?” Jave membulatkan mata tanpa diminta. Jantungnya yang sudah bekerja ekstra itu makin parah saja berulah. Matanya bahkan kini sudah berkaca-kaca bahagia. “Rain, betulan?” tanyanya memastikan.

“Iya..” Ia menjawab mantap.

Lelaki itu spontan mengeluarkan cincin dari dalam kotak dan memakaikannya di jari manis kiri tangan Rain yang terulur pelan ketika ia minta.

Cantik. Cincin itu sangat pas melingkar di jari gadisnya. Tidak banyak basa-basi Rain langsung memeluk Jave erat. Seakan menyalurkan seluruh rasa bersyukurnya karena Jave masih berdiri disini untuknya.

“Kita stabilin finansial dulu buat sekarang ya, sayang?” Jave kembali mengantong kotak cincin tersebut agar aman, lantas balas memeluk Rain tidak kalah erat.

“Jangan sayang sayang kakak hrrrrrr diem dulu.”

“Jangan salting disitu juga aku nggak keliatan mukanya.”

“Diem.”

“Hello mrs. Rain Chandra Alkanira, boleh liat wajahnya?”

“DIEEEEEEEEMMMM.”

Jave tertawa sebentar. Turut mengucap banyak syukur dalam hati karena gadis kesayangannya itu mau berada dalam jangkauannya untuk waktu yang panjang di masa mendatang.


lanjut cepet apa perlu dijamur dulu seminggu? WKWKWK

like atau qrt dulu yah untuk menyambut next narasi.. *SOK2AN BGT.

dinner, just talking.


Suara alat makan beradu, berdenting lumayan nyaring dari kanan dan kiri. Dengan cahaya temaram dalam ruangan dan samar suara musik klasik yang mengalun perlahan dari kejauhan.

Pukul delapan, pengunjung masih setia menempel di kursi restaurant dan belum berniat beranjak pergi. Berceloteh panjang dengan lawannya sambil sesekali menyuap pesanan ke dalam mulut.

“Jadi gimana Rain?” Jave berucap, menutup peralatan makannya tanda ia sudah selesai menyantap hidangan.

Rain mengerjap, hari ini gadis itu mudah sekali terkejut tanpa alasan yang jelas. “Apanya?” Ia bertanya linglung.

Lelaki itu menggeleng pelan, tertawa tanpa suara. “Besok.. Besok kamu mau lanjut S2 apa mau langsung kerja?”

“Ooooohhh.. Aku kayaknya langsung kerja deh kak..”

“Pas itu kamu bilang banyak yang nawarin kamu lanjut kuliah di Australia. Kamu gak mau take?”

Rain menggeleng. “Gak tau, maksudku itu jauh banget. Banyak hal yang harus dipikirin sebelum jauh-jauh lepas dari negara ini kan.. Kayak, apa aku bisa mandiri? Apa mama bisa aku tinggal lama disana? Lebih penting lagi Gio sih, dia aku tinggal beda kota aja nyariin terus.”

Jave mengangguk paham, menyerahkan lembaran tisu pada Rain agar gadis itu bisa membersihkan tangannya.

“Kalo kamu? Kamu gimana? Maksudku kan kamu udah selesai juga.”

“Aku bakal kerja. Ada perusahaan yang gerak di bidang makanan tawarin aku kerjaan beberapa bulan lalu. Ya, kamu tau.. Nilai kampusku kemaren lumayan.”

“Uihh sombongnyaaaaaaa..”

Jave tertawa, “enggak... Apa sih orang ini kan kamu ceritanya lagi nanya Rainnn..”

“Tapi seriusan keren.”

“Kamu juga keren.”

“Nggak ada yang nawarin aku kerjaan.”

“Masih belum sayang... Lulus juga barusan jangan cepet-cepet. Harus dipikir mateng-mateng beneran maunya kedepan kayak gimana.”

“Yaaaaa.. Tapi kamu belum lulus udah ditawarin kan aku iri dengki insecure. Iya banget ya kamu jadi cowok tuh keterlaluan. Kenapa bisa perfect? Maksudku kamu apa minum vitamin-vitamin gitu KESEL BANGET.”

“Belajar aja sih. Serius. Orang bisa kalo belajar Rain.”

“Aku belajar tapi bego.”

Jave langsung terpingkal, mengacak rambut Rain yang ada di depannya itu gemas. “Gak bego kamu astagaaaaa siapa yang ngatain kamu bego aku gampar sini.”

“Aku sendiri sih. Kamu mau gampar aku?”

Skakmat. Tawa Jave makin kencang saja terdengarnya.

“Omong-omong enak ya disini gak ada orang lirik-lirik kamu. Maksudnya ada tapi biasa aja, kayak.. ya udah gitu.”

“Artis masuk sini aja mereka kadang cuek Rain. Apa lagi aku yang bukan siapa-siapa?”

“Siapa-siapa gimana kan kamu cowokku.”

“Gak nyambuunggggggg.”

Rain tertawa. Gadis itu lantas mengulur telapak tangan ke arah Jave.

“Gandeng?”

“Enak aja.”

“Terus?”

“Kretekin dong.”

“HAHAHAHAHAHA ASTAGA.. Gantian ya?”

Rain mengangguk, membiarkan Jave menarik jemarinya satu persatu agar berbunyi.

“Udah nih.”

“Sini jarimu gantian.”

Jave tersenyum. Raut wajahnya tidak bisa berbohong, ia tampak senang sekali. Lelaki itu lantas menurut, mengulurkan tangannya.

“Ngerti sesuatu gak Rain?”

“Apa?”

“Apa?”

“YA APA? Apa coba sih maksudnya kok jadi apa apa terus?”

“Hahahahaha gak ada godain kamu aja.”

“Gak jelas banget. Sumpah.”

“Aku masih dendam sih omong-omong.”

Rain mendongak, melepas jari Jave. “Dendam? Aku melakukan apa? Kamu masih marah gara-gara aku dipeluk?”

“Bukannn..”

“Terus?”

“Gara-gara kamu nyuruh Kalandra ngegotong aku ke air.”

“OOOOH HAHAHAHA. Abisnya sih.. Kan itu momen-momen seru. Kak Lukas pasti udah nungguin sekian lama. Bayangin aja Jeva selucu itu apa dia gak nahan-nahan buat godain Jeva selama ini?”

“Iya sih. Jeva emang lucu.”

“Kan...”

“Kamu juga lucu.”

“Enggak. Aku sudah dewasa.”

“Tapi masih lucu. Kamu lucu tiap hari.”

Rain mendengus. “Ya udah, terserah. Tapi aku gak merasa sih. Maksudnya aku sekarang kan kalo chatting juga udah normal-normal aja gak menggunakan emoji yang biasa aku simpen. Aku gak tau lagi dimana lucunya.”

“Kamu diem anteng aja lucu Rain.”

“Yeuuuuu. Itu kamu yang mengada-ngada.”

“Sumpah.”

“Ya udah. Terseraaaaaaaaah.”

“Kan.. Kamu ngomong terserah gitu aja udah lucu.”

“Hngg.”

“Itu juga lucu.”

“Kamu aku pukul beneran ya?”

Jave langsung tertawa, geleng-geleng kepala. Kedua manusia itu lantas lanjut mengobrol sampai 10 menit kemudian hingga berakhir dengan Jave yang memanggil waiters untuk melakukan pembayaran.

Sore hari, semua anggota vacation ini keluar lewat pintu belakang villa yang memang benar dekat dengan bibir pantai. Kira-kira berjalan sedikit melewati beberapa bar dan cafe-cafe penjual makanan ringan pun sudah sampai.

Rain dan Lea jalan bergandengan. “Gak sabar liat gue Rainnnnnnnn.” ujarnya, mencengkram tangan Rain gemas karena perutnya penuh dengan kupu-kupu.

Rain mengangguk tidak kalah antusias. “Sama. Gue juga gak sabar.” Gadis itu membalas sambil mengayun-ayunkan gandengannya dengan Lea.

Gibran yang mendengar itu reflek tersenyum, menyenggol lengan Jave. “Itu kalo dua lagi jomblo gue gebet gantian.” bisiknya, agar Jinan dan Gio yang memang masih belum dekat sekali dengannya itu tidak mendengar.

“Mata lo gue cungkil berani-berani deketin cewek gue.” Jave langsung melotot.

Kalandra terpingkal tanpa diminta. “Kan dia bilang kalo jomblo anjir, lo kenapa ngegas banget Javvvvv.”

“Makanya.. Perasaan juga barusan aja gelut.” Juna menimpali.

“Gak gelut itu gue cuma diem doang.”

“Sama aja. Lo liat cewek lo dari tadi kelabakan ngajakin lo ngomong mulu sampe berbusa kali kira-kira.”

Jave menghela napas. “Kesel aja, bisa-bisanya di antara banyak tempat Tama bisa nongol disitu. Mana shirtless? Pake acara peluk-peluk.”

“Takdir dari Tuhan kali.”

“Itu malah bikin gue makin kesel.”

“HAHAHAHAHA ya udah. Bungkam aja lo semua guys dari pada kena hajar tangan maut.”

Semuanya tertawa, meninju lengan Jave pelan sebagai bentuk candaan.

“Lukas telpon. Katanya dia udah nyusul jalan bareng Jeva.” Rendy yang barusan melipir itu memberi kabar. Tangannya lantas kembali bergerak untuk mengantongi ponsel.

“Wah Jav, itu kalo langgeng lo sama Lukas bakal jadi saudara hahahahahaha.”

“Ya semoga langgeng.”

“Aminnnnnn aminnnn.” Yang lain membalas kompak seperti tim paduan suara, lantas berjalan cepat menyusul Lea dan Rain yang makin jauh di depan sana.


“Sini Rain.” Jave mengajak, menarik pergelangan tangan Rain karena Jinan mengode padanya ingin berduaan dengan Lea. Entah, sepertinya ingin mengobrol penting.

Gadis itu menurut, melangkah mendekat mengikuti arah tarikan lelaki itu. “Kak Jave..” panggilnya, menggoyang tangannya yang ada dalam cekalan.

Jave masih belum menyahut, matanya tertuju fokus ke depan. Mengawasi air pantai yang berombak pelan dan warna jingga keemasan dari langit di atasnya. Lelaki itu menoleh tepat di detik ke 10. Tersenyum. “Kenapa Rain?” Tanggapnya kemudian.

Rain menggeleng, jantungnya berdetak diluar irama. Menggedor tidak menentu secara dadakan.

Javerio masih menatapnya dengan sorot lembut seraya sesekali mengusap tangan Rain halus di bawah sana. Wajah lelaki itu yang terkena pantulan cahaya mentari bahkan terlihat seratus kali lipat lebih indah dibanding biasanya.

“Rain?” Panggilnya kemudian, membuat yang dipanggil langsung mengerjap sadar. “Kenapa manggil? Kamu mau ngomong?”

“Eh enggak. Aku itu.. Gak tau.”

“Apa?”

“WOI JAV, RAIN!! SINI BURUAN MALAH BERDUAAN AJA MENTANG-MENTANG UDAH KAGA PERANG DINGIN.” Kalandra berteriak, menunjuk Lukas dan Jeva yang kini melangkah mendekat.

Rain terkejut lagi, wajahnya langsung memerah. “Orang ini suka banget ganggu-ganggu momen orang mau ngomong.”

“Hahahaha emang kamu mau ngomong apa sampe kaget jadi merah gitu?”

“Gak tau. Lupa.”

Jave tertawa, menarik tangan Rain lagi untuk kembali mendekati kerumunan.

Terlihat Lukas dan Jeva yang baru datang. Dengan wajah Jeva yang polos tidak tau apa-apa dan wajah Lukas yang sudah keringat dingin bingung harus melakukan apa.

Sorakan ricuh menguar dari bibir Kalandra dan Juna guna mencairkan suasana. “Yuk yuk. Main game yuk.” ujarnya, diluar skenario.

“Hah?” Lukas bingung. Wajahnya lucu sekali.

“Karna waktu yang mepet keburu mataharinya ilang kagak ada suasana romantis. Ngegame dare or dare ya kita!!” Lea melanjutkan rencana sesat Kalandra dan Juna.

“Yuk Le, mulai dari mana kita hahahahaha.”

“Kak Lukee.. Dare or dare kak?!”

“Apaan woy?” Lukas makin kebingungan.

Bulatan matahari yang cantik itu makin terlihat jelas di ujung sana, hampir ditelan lautan.

“Dare or dare kak Lukasssss..”

“Dare.... Apaan anjing?”

Jave terpingkal, mengerling pada Lukas agar tenang. Gibran yang datang entah dari mana itu langsung menyelipkan bunga besar yang dipesan Lukas jauh-jauh hari itu ke tangan sang pemiliknya. Begitu pula Rendy yang datang dengan kue tart cantik berwarna merah muda. Menyerahkannya ke tangan Lukas juga.

Jeva melongo, wajahnya mengerut ikut kebingungan. Sesekali ia melihat ke arah kakaknya sendiri, lalu ke arah Lukas yang kini sudah berlutut di depannya.

Rain dan Lea sontak meremas tangan satu sama lain akibat ikut salah tingkah. Padahal mereka tidak diapa-apakan.

“Jev.. Anu, itu liat aja lah kamu kuenya aku bingung.”

“Apa kak?”

Jave ikut meremas pundak Kalandra, gemas. “Disuruh baca kamu Jev.” ujarnya, menunjuk kue yang ada di tangan kanan Lukas.

Hening.

Jeva membaca tulisan di kue tersebut dengan paru-paru yang kian terhimpit. Jantungnya bahkan sudah menggedor kuat.

“Kamu beneran mau jadi cowokku kak Luke?”

Lukas mengangguk antusias. Jeva spontan melirik pelan ke arah Jave, seperti meminta ijin.

Kakaknya itu hanya balas mengangguk singkat, membiarkan Jeva yang sudah dewasa itu menentukan pilihannya sendiri.

Gadis itu tersenyum, menoleh ke Rain dan Lea yang masih menampilkan ekspresi bahagia itu dengan raut yang seperti ingin ikut ambyar juga.

“Yaelah Jev buruan itu lilinnya mati kena angin!! Kalo lilinnya mati ya berarti lo iyain ajakan Lukas dong itu?”

“Nyalain lagi aja Bran. BRANNN NYALAIN.”

“Santai aja gue kagak budek bangsat.” Gibran yang memang perokok aktif dan selalu membawa korek kemanapun itu segera menyalakan kembali lilin yang ada pada kue tart merah muda tersebut.

“Ayo Jev.... Baca sekali lagi. Kalo tuh lilin lo tiup lo bakal pacaran sama nih siamang seumur hidup karna kalo putus udah pasti dia bakal bonyok digampar kakak lo hahahahahaha.”

Jeva menurut, membaca sekali lagi.

Jev, aku malu. Banyak temenku, ada kakakmu. Kalo mau jadi pacarku, tiup lilinnya ya!

Jeva tertawa lagi, ia lantas memperhatikan Lukas yang sudah mau menunggunya bertahun-tahun itu dengan tatap terima kasih.

“Gimana Jev buruan kaki temen gue kecengklak itu kalo kelamaan berlutut.”

Jeva tersenyum simpul, meniup lilin tersebut dengan kencang tanpa menunggu lama.

“JEV BENERAN?” Lukas reflek bangkit berdiri dari posisi berlututnya.

“Beneran itu udah aku tiup.”

“HAHAHAHAHAHAHAHA IPARAN SAMA JAVE LO KASSSSSS. LANGGENG2 YA.” Kalandra berteriak, menunggu adegan Lukas yang menyerahkan bunga ke tangan Jeva itu dengan gerak canggung.

“Makasih ya Jeva.”

“Hahahaha iya sama-sama.”

“PELUK PELUK PELUK!!!!!” Lea, Jinan dan Gio berteriak nyaring.

“Gue masih disini jangan aneh-aneh.” Jave memprotes, bercanda.

“Yaelaaaaah kakak. GOTONG AJA KAK JAVE-NYA CEBURIN AIR SOALNYA DIA GAK SERU.” Rain berucap, memberi aba-aba.

“EH SAYANG. KOK KAMU GITU?”

“DUILEH SAYANG SAYANGGGGGG.. GOTONG GUYS!!!!!!!!

“HAHAHAHAHA, GOTONGGGG!!!!!”

Lukas tertawa kencang, melihat temannya rusuh menggotong Jave agar masuk ke air pantai.

“Nih monyet ketawa mulu mentang-mentang udah jadian, CEBURIN LUKAS DULUAN WOYYY!!!”

Semuanya menoleh, ganti target. Menurunkan Jave dan ganti berlari mendekati Lukas yang masih melongo. Semuanya spontan mengangkat Lukas cepat dan langsung menceburkannya ke air.

Jeva langsung berlindung di balik tubuh Jave agar tidak ikut-ikut dibawa ke air.

“Nah.. Gitu kan adil. EH EH ANJING GUE GAK IKUT-IKUT.” Kalandra yang barusan berucap puas ikut masuk ke air akibat didorong oleh Jinan.

“Jangan sampe gue dendam.. GUE CEBURIN LO SEMUA LIAT AJA.”

“HAHAHAHAHAHA. EH WOI GUE GAK SALAH APA-APA KALANDRA BRENGSEK!”

“MAMPUSSSSSSS BASAH KAN LO SEMUA.”

“CEWEK-CEWEKNYA MASIH PADA KERING. CEBURIN WOY!!!”

“BERANI MEGANG CEWEK GUE, GUE BIKIN LO SESEK NAFAS DALEM AIR.” Jave keluar, berlari ke arah Rain yang masih saja tertawa lucu.

“Lah aku gak dipeduliin?” Jeva protes.

“Minta dilindungi pacar barumu sanaaaa.”

“GAK GUNA, LIATLAH DIA DICEBURIN GITU AJA GAK BERDAYA.”

Semuanya langsung tertawa.

all done.


Tidak banyak bicara lagi Jave segera menutup ponselnya, berlari keluar kamar demi menghampiri kamar Rain yang kini tengah tertutup rapat. Ruang depan bahkan kini terlihat kosong, beberapa penghuninya masih beristirahat setelah berjalan-jalan sejak pagi tadi.

Lelaki itu menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Kakinya telah tiba di depan pintu kayu berwarna cokelat yang menjadi tujuannya kali ini. Tangan Jave terulur, mengetuk beberapa kali permukaan pintu hingga akhirnya mulai terbuka sedikit.

Satu kepala menyembul dari dalam dengan ekspresi galak yang terpasang begitu jelas. “Apaaaaa?” Tanyanya, memprotes.

“Jeva.. Rain mana?” Jave berusaha melongok ke dalam, sedikit menggeser tubuh Jeva agar bergerak sedikit menyamping.

“Gak ada. Kan kamu tadi ngambek ke dia. Dia tidur.”

“Mana ada tidur orang barusan dia chat aku?”

“Tidur betulan.”

“Terus kamu kira tadi aku chatting bareng apa Jev? Hantu??”

“Dihhh.” Jeva mencibir, hendak menutup pintu kembali.

“Jev Jev.. Dengerin aku, bentar aja.”

“Apaa?”

“Mana cewekku?”

Jeva hampir menendang pintu karena perutnya mendadak terasa begitu geli, “tidur.”

“Ayo lah Jev. Suruh keluar gih Rain-nya.”

“Dia gak mau. Males katanya kamu galak.”

Jave menghela napas selagi kaki kanannya mengganjal pintu agar tidak tertutup. “Rain.. Aku nggak galaaaaakkk..” ujarnya, sedikit frustasi.

“Telat-telaattttt. Tadi kamu diemin aku!!!!!!!!!” Jawaban Rain secara tiba-tiba terlontar tidak kalah keras dari arah dalam.

“Nah kan.. Dia males ketemu kamu.” Jeva mengompor, ingin menutup pintu kembali.

“Rain nanti katanya kita mau makan?” Lelaki itu masih berusaha mengajak berbicara.

“Nanti ya nanti.”

“Katanya barusan kamu mau ngobrol sama aku juga loh?”

“Gak jadi aku males. Kamu pacaran aja sama angin sana.”

“Betulan? Betulan kamu tega aku ngobrol sama angin di depan?????”

“Yaaaaaa.”

“Oke. Oke aku ngobrol sama angin.”

Hening. Tidak ada sahutan.

“Rainnnnnnnnnn.”

“Apaaaaaa?!”

“Ayo.”

“Nanti kamu kalo aku temuin cuek lagi. Aku udah capek ya!!”

“Enggak. Janji gak diem-diem lagi habis ini.”

“Gak ah males-males.”

“Aku punya susu.”

“Kamu kira aku anak SD ditawarin susu langsung mau?!!”

“Kamu pas kampus aja ngambek aku tawarin susu langsung noleh loh Rain.”

“IHHHHHH ENGGAKKKKK.”

“Iya betulan aku inget. Orang aku beli di toko dadakan kok itu.”

“Ya udah. Apa susumu?”

“Moka.”

“Berapa?”

“Banyaaaaak banget.”

“Gak bohong?”

“Betulan ada di kamarku.”

“Oke.” Bersamaan dengan jawaban itu Rain menjawil bahu Jeva agar menyingkir hingga ia bisa keluar menghadapi Jave yang moodnya tengah tidak jelas tersebut.

Jave terlihat lega ketika kaki Rain menapak di hadapannya. Hembusan napasnya bahkan langsung teratur. Tangan lelaki itu perlahan bergerak hendak menarik Rain masuk ke dalam pelukan, namun terlambat.

“Kakakkkkkkk.” Rain berucap, matanya berkaca-kaca. Gadis itu masuk ke pelukan Jave terlebih dulu dan lanjut memeluk perut Jave erat. “Besok-besok jangan marah ke aku lagi.”

Jave melongo, menunduk. “Kan barusan kamu yang balik ngambek ke aku?”

“Enggak itu hanya pura-pura. Kak Jave serius besok-besok gak boleh marah lagi aku takut kalo kamu diemin aku kayak tadi.” Rain mengusel dadanya dan mengeratkan pelukannya. Lelaki itu reflek bisa merasakan air mata Rain yang sedikit keluar disana.

“Loh eh sayang..” Jave berujar, memeluk kepala Rain tidak kalah erat. Tampak kaget. “Iya iya besok janji gak marah lagi. Kamu jangan nangis.” lanjutnya, mengelus rambut Rain halus dengan tawa gemas yang hampir saja meledak.

tamarain(?)


“Oi Jav! Gantian lo main sana gue yang jagain tasnya.” Karel berucap, datang dengan setelan serba hitam khas menyelam sembari tangannya sesekali mengibas rambut basah ke belakang. Lelaki itu tidak datang sendiri, di belakangnya bersusulan Kalandra, Juna, Rendy dan Jinan yang berjalan santai sambil sesekali mengobrol. Melirik para bule seksi dengan benang minim, ataupun tertawa-tawa siap menggoda gadis cantik. Ciri khas buaya darat.

Jave menggeleng sebagai tanggapan. Malas. Gantinya lelaki itu kembali menegak sebotol air mineral yang dari tadi ia genggam itu seraya menolehkan wajah lagi membelakangi air. Mencari posisi Rain.

“Nyariin cewek lo?”

Ia mengangguk. Menemukan Rain yang masih berjalan ke arahnya di kejauhan itu sembari tangannya sibuk membawa 2 buah kelapa muda yang siap diminum. Tampak lucu. Dengan rambut panjangnya yang tadi sudah dikuncir tinggi lengkap dengan model kelabangnya yang kecil-kecil. Sepertinya 3 gadis tadi benar-benar bergantian menguncir rambut. Saling menolong satu sama lain.

“Kedip anjing.” Kalandra memukul pelan lengan atas Jave. Membuat sang pemilik siap mengeluarkan umpatan ketika tiba-tiba matanya menangkap satu lelaki asing mencegat gadisnya di kejauhan.

“Hahahahaha dicegat bule rambut coklat broooooo.” Rendy tertawa cukup kencang ketika melihat Jave yang mendadak batal membalas Kalandra tersebut. Menurutnya, Jave dan Kalandra jika tidak bertengkar adalah momen yang sangat langka.

Sial. Javerio reflek mendengus. Hanya memperhatikan Rain yang kini tengah bersalaman dengan lelaki asing itu dari tempatnya berdiri dalam diam. Gadisnya terlihat sesekali menyahut obrolan sembari tersenyum singkat.

“Pada ngeliat apa?” Gio bertanya ketika kakinya mendarat mulus di sekitaran titik kumpul bersama Gibran dan Lukas. Entah kemana perginya Lea dan Jeva karena masih belum juga kembali saat ini.

“Ngeliatin kakak lo lagi digodain bule Gi hahahahaha.” Juna menjawab, menunjuk posisi Rain agar yang baru tiba itu bisa ikut melihat.

Gio tampak memicingkan mata, menyadari dalam cepat siapa lelaki yang bersama dengan kakaknya di kejauhan. Ia lantas melirik sebentar ke arah Javerio yang ekspresinya kini sudah berubah menjadi sedikit tidak ramah itu sembari diam-diam menggigit bibir bawahnya grogi.

“Gue kayak kenal.” Jave berucap pelan, hampir tidak terdengar. Namun karena Gio dari tadi melihat ke arahnya, ia bisa tau apa yang diucap oleh Javerio dengan jelas. Lelaki berusia awal 20 tahunan itu lantas melangkah mendekat, menepuk pundak Jave perlahan. Menenangkan.

Kalandra menoleh, tertawa pelan. “Cuma bule itu Jav.. Muka lo jangan nyolot gitu lah hahahaha.”

“Bule mah emang gitu apa lagi cewek lo lagi cakep-cakepnya.. EH EH ANJENG LAH KOK MELUK FUCKKKKK..”

Jave spontan membasahi bibirnya sendiri yang mengering, meletakkan minumnya di kursi. Tidak memperhatikan sekitar yang mulai memandangnya, ia segera melangkah pergi.

“Woy jangan main hajar-hajar lo Jav..” Rendy terkejut, reflek membuntuti punggung Jave.

Gio meraup wajah kasar. Jantungnya ikut berdebar. Takut.

“Bule mainnya begitu ya coy.. Ngamuk lah Jave ceweknya dipeluk. Digodain cowok lain aja dia langsung bad mood.”

“Itu yang meluk mantannya Rain, kak.”

“HAH?”

Semua langsung melotot kaget.


Tama Widjaja. Lelaki kelahiran Indonesia yang kini menetap di negara lain itu berdiri di depan kakinya persis. Wajahnya terlihat terkejut dan senang di saat yang bersamaan. Seperti tidak menduga akan saling bertemu di pulau indah ini.

Dengan tangan yang masing-masing memegang botol minuman ringan, serta atasan yang tak terbungkus sehelai benangpun. Rambut coklatnya pun basah. Menyisakan titik-titik air yang jatuh, kemudian mengalir ke pelipisnya.

“Rain?” Ia menyapa, mencegat kaki Rain yang sudah ingin berjalan lagi itu dengan gerakan cepat.

Gadis itu reflek menelan ludah, tangannya bahkan sudah terasa kebas bukan main. Ia lalu menghentikan langkah. “Haha halo. Iya, ini Rain.” jawabnya canggung, lalu tersenyum sopan.

“Kamu sendirian?” Tama bertanya, melihat ke arah sekeliling Rain sebagai bentuk basa-basi.

Rain menggeleng. “Rame-rame kak. Kamu sendiri?” Ia lanjut bertanya.

“Hahahaha aku juga lagi sama temen-temenku ini Rain liburan. Kamu apa kabar?”

Rain menghela napas. “Baik. Kamu sendiri?”

“Hahahaha kamu tetep kayak BOT ya kalo ngobrol kata-katanya sama mulu. Tapi aku juga baik kok, makasih udah tanya.”

Hening. Keadaan ini terasa canggung sekali. Terakhir mereka bertemu benar-benar sudah sangat lama. Bahkan mereka juga tidak pernah sekalipun mengobrol di media sosial manapun.

Rain menggaruk tengkuknya grogi. Sudah hendak berpamitan ketika Tama tiba-tiba berucap kalimat lain, mengajaknya mengobrol lagi.

“Lanjut S2 kah Rain?”

“Masih belum tau. Kamu sendiri?”

“Haha aku udah kerja sekarang, lulus kemaren cepet sih jadi pas ada rekrutan ya aku join. Gajinya lumayan.”

Rain mengangguk. “Oke selamat. Semoga makin sukses kedepannya.”

Tak diduga, Tama terkekeh. “Kamu beneran tetep lucu. Persis kayak dulu.”

“Aku udah gak kayak dulu lagi.”

“Nggak. Maksudku, kamu lucunya persis kayak dulu.”

“Ya. Oke. Makasih.”

“Kamu lagi keburu?”

“Iya. Temen-temenku ada disana pada nungguin.” Rain menjawab, melihat ke arah Lea dan Jeva yang kebetulan tertangkap matanya baru keluar dari tempat orang berjualan manik-manik.

Tama mengangguk, rautnya terlihat kecewa. “Oke. Seneng ketemu kamu di pulau ini Rain. Semoga besok-besok kita ketemu lagi.”

“Ya semoga besok-besok kita ketemu lagi.”

“Kalo ada pertanyaan tentang kuliah di Aussie kamu kontak aku aja gak papa. Nanti aku DM nomerku.”

Rain mengangguk. Mengacung jempol.

Hening. Gadis itu sudah ingin melangkah menjauh ketika Tama tiba-tiba menariknya masuk ke dalam rengkuhan. Sangat singkat sebenarnya. Tidak sampai 3 detik.

“Eh eh..” Rain reflek melotot kaget. Dua buah kelapa yang ia bawa itu bahkan hampir saja oleng dan terjatuh.

“Maaf. Cuma mau pamitan. Karna menurutku kemungkinan kita buat ketemu lagi bakal sangat kecil.”

“Memang harus sampe meluk begitu?”

Tama menggeleng. “Nggak sih, tapi aku seneng liat kamu disini. Maaf Rain.”

“Errrrrr. Ya. Oke..” Gadis itu menjawab patah-patah setelah diam cukup lama.

Tama tersenyum simpul. “Buat yang dulu-dulu aku minta maaf.”

“Iya.”

“Semoga kamu bisa ketemu sama cowok yang lebih baik dan bisa ngasih kamu apa yang belum aku kasih sebelumnya ya Rain.”

“Gak perlu khawatir buat itu.”

“Pertemuan kita selesai sampe disini?”

Rain mengangguk. “Selamat liburan.” ujarnya kemudian sebagai penutup pembicaraan.

Tama menghela napas, ekspresinya tidak bisa dibaca sama sekali. Ia lantas berpamitan sebentar, ingin melangkah lebih dulu meninggalkan Rain ketika tiba-tiba saja Javerio muncul di hadapannya.

Hanya diam, tidak bersuara. Wajahnya bahkan tidak menunjukkan ekspresi bersahabat sama sekali. Terlihat seram.

Lelaki itu lantas menarik pinggang Rain mendekat ke sisi tubuhnya dengan tatapan yang masih menatap lurus ke arah Tama.

“Lain kali, jangan main sentuh cewek gue.” Ucapnya rendah, lalu membawa Rain melangkah pergi. Meninggalkan Rendy dan Kalandra yang masing-masing menghela napas lega di belakangnya.

“Oi Jav! Gantian lo main sana gue yang jagain tasnya.” Karel berucap, datang dengan setelan serba hitam khas menyelam sembari tangannya sesekali mengibas rambut basah ke belakang. Lelaki itu tidak datang sendiri, di belakangnya bersusulan Kalandra, Juna, Rendy dan Jinan yang berjalan santai sambil sesekali mengobrol. Melirik para bule seksi dengan benang minim, ataupun tertawa-tawa siap menggoda gadis cantik. Ciri khas buaya darat.

Jave menggeleng sebagai tanggapan. Malas. Gantinya lelaki itu kembali menegak sebotol air mineral yang dari tadi ia genggam itu seraya menolehkan wajah lagi membelakangi air. Mencari posisi Rain.

“Nyariin cewek lo?”

Ia mengangguk. Menemukan Rain yang masih berjalan ke arahnya di kejauhan itu sembari tangannya sibuk membawa 2 buah kelapa muda yang siap diminum. Tampak lucu. Dengan rambut panjangnya yang tadi sudah dikuncir tinggi lengkap dengan model kelabangnya yang kecil-kecil. Sepertinya 3 gadis tadi benar-benar bergantian menguncir rambut. Saling menolong satu sama lain.

“Kedip anjing.” Kalandra memukul pelan lengan atas Jave. Membuat sang pemilik siap mengeluarkan umpatan ketika tiba-tiba matanya menangkap satu lelaki asing mencegat gadisnya di kejauhan.

“Hahahahaha dicegat bule rambut coklat broooooo.” Rendy tertawa cukup kencang ketika melihat Jave yang mendadak batal membalas Kalandra tersebut. Menurutnya, Jave dan Kalandra jika tidak bertengkar adalah momen yang sangat langka.

Sial. Javerio reflek mendengus. Hanya memperhatikan Rain yang kini tengah bersalaman dengan lelaki asing itu dari tempatnya berdiri dalam diam. Gadisnya terlihat sesekali menyahut obrolan sembari tersenyum singkat.

“Pada ngeliat apa?” Gio bertanya ketika kakinya mendarat mulus di sekitaran titik kumpul bersama Gibran dan Lukas. Entah kemana perginya Lea dan Jeva karena masih belum juga kembali saat ini.

“Ngeliatin kakak lo lagi digodain bule Gi hahahahaha.” Juna menjawab, menunjuk posisi Rain agar yang baru tiba itu bisa ikut melihat.

Gio tampak memicingkan mata, menyadari dalam cepat siapa lelaki yang bersama dengan kakaknya di kejauhan. Ia lantas melirik sebentar ke arah Javerio yang ekspresinya kini sudah berubah menjadi sedikit tidak ramah itu sembari diam-diam menggigit bibir bawahnya grogi.

“Gue kayak kenal.” Jave berucap pelan, hampir tidak terdengar.

Namun karena Gio dari tadi melihat ke arahnya, ia bisa tau apa yang diucap oleh Javerio dengan jelas. Lelaki berusia awal 20 tahunan itu lantas melangkah mendekat, menepuk pundak Jave perlahan. Menenangkan.

Kalandra menoleh, tertawa pelan. “Cuma bule itu Jav.. Muka lo jangan nyolot gitu lah hahahaha.”

“Bule mah emang gitu apa lagi cewek lo lagi cakep-cakepnya.. EH EH ANJENG LAH KOK MELUK FUCKKKKK..”

Jave spontan membasahi bibirnya sendiri yang mengering, meletakkan minumnya di kursi. Tidak memperhatikan sekitar yang mulai memandangnya, ia segera melangkah pergi.

“Woy jangan main hajar-hajar lo Jav..” Rendy terkejut, reflek membuntuti punggung Jave.

Gio meraup wajah kasar. Jantungnya ikut berdebar. Takut.

“Bule mainnya begitu ya coy.. Ngamuk lah Jave ceweknya dipeluk. Digodain cowok lain aja dia langsung bad mood.”

“Itu yang meluk mantannya Rain, kak.”

“HAH?”

Semua langsung melotot kaget.


Tama Widjaja. Lelaki kelahiran Indonesia yang kini menetap di negara lain itu berdiri di depan kakinya persis. Wajahnya terlihat terkejut dan senang di saat yang bersamaan. Seperti tidak menduga akan saling bertemu di pulau indah ini.

Dengan tangan yang masing-masing memegang botol minuman ringan, serta atasan yang tak terbungkus sehelai benangpun. Rambut coklatnya pun basah. Menyisakan titik-titik air yang jatuh, kemudian mengalir ke pelipisnya.

“Rain?” Ia menyapa, mencegat kaki Rain yang sudah ingin berjalan lagi itu dengan gerakan cepat.

Gadis itu reflek menelan ludah, menghentikan langkah. “Haha halo. Iya, ini Rain.” jawabnya kemudian, canggung, lalu tersenyum sopan.

“Kamu sendirian?” Tama bertanya, melihat ke arah sekeliling Rain sebagai bentuk basa-basi.

Rain menggeleng. “Rame-rame kak. Kamu sendiri?” Ia lanjut bertanya.

“Hahahaha aku juga lagi sama temen-temenku ini Rain liburan. Kamu apa kabar?”

Rain menghela napas. “Baik. Kamu sendiri?”

“Baik juga.”

Hening. Canggung sekali.

Terakhir mereka bertemu benar-benar sudah sangat lama. Bahkan mereka juga tidak pernah sekalipun mengobrol di media sosiak manapun.

Rain menggaruk tengkuknya grogi. Sudah hendak berpamitan ketika Tama tiba-tiba berucap kalimat lain, mengajaknya mengobrol lagi.

“Lanjut S2 kah Rain?”

“Masih belum tau. Kamu sendiri?”

“Haha aku udah kerja sekarang, lulus kemaren cepet sih jadi pas ada rekrutan ya aku join. Gajinya lumayan.”

Rain mengangguk. “Oke selamat. Semoga makin sukses kedepannya.”

Tak diduga, Tama terkekeh. “Kamu tetep lucu. Persis kayak dulu.”

“Aku udah gak kayak dulu lagi.”

“Nggak. Maksudku, kamu lucunya persis kayak dulu.”

“Ya. Oke. Makasih.”

“Kamu lagi keburu?”

“Iya. Temen-temenku ada disana pada nungguin.” Rain menjawab, melihat ke arah Lea dan Jeva yang kebetulan tertangkap matanya baru keluar dari tempat orang berjualan manik-manik.

Tama mengangguk, rautnya terlihat kecewa. “Oke. Seneng ketemu kamu di pulau ini Rain. Semoga besok-besok kita ketemu lagi.”

“Ya semoga besok-besok kita ketemu lagi.”

“Kalo ada pertanyaan tentang kuliah di Aussie kamu kontak aku aja gak papa. Nanti aku DM nomernya.”

Rain mengangguk. Mengacung jempol.

Hening. Gadis itu sudah ingin melangkah menjauh ketika Tama tiba-tiba menariknya masuk ke dalam rengkuhan. Sangat singkat sebenarnya. Tidak sampai 3 detik.

“Eh eh..” Rain reflek melotot kaget. Dua buah kelapa yang ia bawa itu bahkan hampir saja oleng dan terjatuh.

“Maaf. Cuma mau pamitan. Karna menurutku kemungkinan kita buat ketemu lagi bakal sangat kecil.”

“Memang harus sampe meluk begitu?”

Tama menggeleng. “Nggak sih, tapi aku seneng liat kamu disini. Maaf Rain.”

“Errrrrr. Ya. Oke..” Gadis itu menjawab patah-patah setelah diam cukup lama.

Tama tersenyum simpul. “Buat yang dulu-dulu aku minta maaf.”

“Iya.”

“Semoga kamu bisa ketemu sama cowok yang lebih baik dan bisa ngasih kamu apa yang belum aku kasih sebelumnya ya Rain.”

“Gak perlu khawatir buat itu.”

“Pertemuan kita selesai sampe disini?”

Rain mengangguk. “Selamat liburan.” ujarnya kemudian sebagai penutup pembicaraan.

Tama menghela napas, ekspresinya tidak bisa dibaca sama sekali. Ia lantas berpamitan sebentar, ingin melangkah lebih dulu meninggalkan Rain ketika tiba-tiba saja Javerio muncul di hadapannya.

Hanya diam, tidak bersuara. Wajahnya bahkan tidak menunjukkan ekspresi bersahabat sama sekali. Terlihat seram.

Lelaki itu lantas menarik pinggang Rain mendekat ke sisi tubuhnya dengan tatapan yang masih menatap lurus ke arah Tama.

“Lain kali, jangan main sentuh cewek gue.” Ucapnya rendah, lalu membawa Rain melangkah pergi. Meninggalkan Rendy dan Kalandra yang masing-masing menghela napas lega di belakangnya.

tonight, inside the water.


Malam pekat kembali hadir. Tanpa awan memang, bahkan terbilang cukup cerah dengan ratusan bintang yang tercetak jelas di atas sana.

Angin malam yang tak terasa dingin itu berhembus, menyapu kulit dua manusia yang sekarang tengah sibuk bermain air di kolam dengan kedalaman 2 meter tersebut.

“Anget kan Rain?” Jave bertanya, membuka percakapan. Lelaki itu sesekali memegangi siku Rain yang masih belum bisa dilepas jauh-jauh ketika sedang berenang.

“Ya anget, makasih, tapi kamu gak bilang kalo dalemnya 2 meter!!!!!”

“Pendek ini Rain.” Jave terkekeh, merapatkan cekalannya pada siku kanan Rain yang barusan oleng lagi.

“Ya menurutmu dengan tinggiku yang hanya segini apakah aku bisa menggapai permukaan lantai?!”

Jave terpingkal, mengibas rambutnya yang basah itu sebentar, lalu menyeret posisi mereka agar bergerak ke tepian saja.

“Udah, sini diem disini dulu. Kamu udah muter 10x mending minum beneran sekarang.”

“Kamu capek kan buntutin aku 10x?” Rain bertanya seraya memicing alis. Bercanda.

“Enggaklah hahahahaha. Habis kamu minum, aku temenin kamu muter lagi deh.”

Rain diam, memperhatikan wajah Jave yang sepertinya sudah kelelahan itu dengan seksama. Gadis itu lantas menyisir surai Jave yang basah tersebut dengan lembut. “Makasih atas kebaikannya, tapi gak deh. Aku capek.” ujarnya kemudian. Berbohong.

“Hahahaha, terus kamu mau apa sekarang?”

Rain tampak berpikir, menelengkan wajahnya. “Ke kolam di dalem yang cuma 20 senti itu aja apakah kamu mau? Kan disana juga ada kursi di tengahnya jadi kita bisa duduk.”

Jave mengangguk. “Oke. Kamu mau pindah kesitu?”

“Yaaaaaaaaa. Apakah kamu masih ada sisa energi?”

“Hahahaha ada lah!!! Oke ayo kita pindah main air disana aja.”

Mata Rain tampak berbinar bahagia. Gadis itu reflek naik tangga dengan semangat. Meraih minumnya sebentar dari atas meja, lalu mengulur tangannya kepada Jave. “Yuk sini aku gandeng..” Ajaknya, tersenyum senang.


“Disini lebih anget?” Jave tampak terkejut ketika menginjakkan kakinya di kolam dangkal yang berada di sisi kiri villa. Pencahayaannya cukup terang, tidak remang seperti kolam renang sebelumnya yang dibiarkan di tempat terbuka dengan sedikit lampu dan pencahayaan alami.

“Wow..” Gadis yang berada dalam cekalannya itu tampak terpukau. “Biasanya aku liat di kafe-kafe tapi kan kalo di kafe aku gak boleh masuk ya.. Wah.. kali ini aku menginjaknya sendiri.. Asal tau aja aku dari kemaren kepengen banget ngajakin kamu kesini hahaha.”

Jave ikut tertawa, “tapi kursimu cuma satu ini Rain.”

“Gak masalah. Kamu bisa duduk disitu terus aku main air di bawahnya.”

“Mana ada?!” Jave langsung protes.

“Ya terus itu kursi cuma satu, gak papa lah kan itu pendek kita masih bisa berbincang-bincang.” Rain berucap, mendorong pundak Jave agak dengan tenaga ekstra agar lelaki itu duduk di kursi hitam tersebut.

Sebenarnya kursi ini panjang, 2 meter kira-kira. Namun sayangnya bentuk kursi ini melengkung ke bawah tepat di bagian pantat, dan sisanya melengkung ke atas untuk tempat kepala dan kaki. Ya memang fungsinya untuk tidur bersantai satu orang sih.

Jave mendengus kencang ketika melihat Rain duduk di bawah, lalu ikut turun untuk menemaninya bermain air.

“Nah, gini aja biar adil.” Jave berucap, menjejeri posisi tubuh Rain.

Gadisnya tertawa, mengangguk. “Oke. Anggep aja disini nggak ada kursinya.”

“Tapi kalo ngobrol disini kita gak bisa keras-keras loh Rain.”

“Kenapa?”

Jave menunjuk tiga kamar di lantai atas. “Itu kamar Kalandra sama Rendy, terus tengah itu kamar Juna, yang pojok kamar Karel sama Jinan.”

“Oooooh..” Rain mengangguk paham. Mengerti bahwa Jave tidak ingin diganggu oleh yang lain. “Ya udah kita ngomongnya bisik-bisik begini aja.”

Lelaki itu tertawa tanpa suara hingga matanya menyipit hilang, mengelus rambut Rain yang dicepol tinggi itu dengan sayang. “Gak bisik-bisik juga gak papaaaa..”

“Ya kali nanti volumenya kebablasan terus mereka turun kan gak lucu juga kalo ada renang jilid 2.”

Jave mengangguk, setuju. “Lagian juga jangan sampe mereka turun liat kamu malem ini sih Rain.” ujarnya, melihat ke arah Rain sebentar, lalu berpaling ke arah lain guna menutupi wajahnya yang tiba-tiba saja sudah memerah.

“Kenapa? Agak aneh ya aku? Ini dulu bajunya aku di kado Lea pas kelas 12, katanya semoga cepet pinter renang ya Rain. Soalnya kan aku pas itu lagi kamu ajarin renang gitu. Ih padahal kamu tau ya, lea sendiri tuh juga gak jago renang.. Tapi emang agak kebuka sih bajunya, ya.. SALAHIN LEA KAN LEA YANG MEMBELI.” Rain jadi salah tingkah sendiri.

Laki-laki itu menggeleng. “Sama sekali gak aneh kok. Cuma, ya itu, jangan sampe yang lain liat kamu. Udah maksudku gitu aja.” Ia menjelaskan ketika melihat wajah Rain ikutan memerah di sebelahnya. Lelaki itu lantas menunduk, memainkan bajunya sendiri sebagai bentuk pengalih perhatian.

“Kak Jave.”

“Apa?”

“Ini akan terdengar agak aneh sih. Tapi kamu kalo renang di tempat umum kayak tadi gitu gak mau pake pelampung dada aja kah? Eh, apa bantalan apa gitu lah buat nutupin petak sawahmu. Eh iya seriusan ya itu emang sejak kapan jadi begitu? Atau udah lama tapi aku gak ngeliat atau emang barusan atau gimana?”

Pfft. Tawa Jave hampir meledak. Matanya menyipit hilang lagi. Tampan sekali. “Maksudmu petak sawah itu kotak-kotak perutku ini Rain?”

“Eh.. Ya.. Iya itu maksudku.. Tolong ucapanmu jangan ceplas-ceplos laaah kakak, aku malu.”

“Heu.. Makanya sering-sering perhatiin akuuuu.”

“Kamu kira aku cewek apa yang diem-diem merhatiin perutmu? Kayak cewek mesum lah aku kak Jave...”

“Hahahaha Rain Rain... Udah lama kok ini. Tapi ya maklum lah, aku ajarin kamu renang aja udah berapa taun lalu. Iya gak? Terakhir kita renang bareng juga udah lama. Tapi tetep aja sih harusnya kamu liatin aku. Masa orang udah berusaha bagusin badan gak kamu liat? Meskilah ketutup baju masa kamu gak curi-curi pandang gitu sekali.. Curi-curi pandang dikit gak mesum kok. Serius.”

“Eh astaga kak Jave.....”

Hening. Cukup lama.

“Kamu mau pegang?”

Pupil mata gadis itu sontak melebar. Jantungnya berdetak kencang. “APA MAKSUDMUUUUU?!”

“SSST RAIN HAHAHAHAHA.” Jave membungkam bibir Rain dengan tangan kirinya. Melihat ke atas sebentar untuk mengecek keadaan. Lalu ketika sudah memastikan aman, lelaki itu segera melanjutkan ucapannya. “Tapi serius kalo mau pegang ya gak papa..”

“Diem. Please sudah tolong kamu lebih baik bungkam saja.”

“Ada enam ini Rain.” Jave tiba-tiba membeber informasi tanpa diminta.

Rain reflek menyumpal telinga, “gak tau gak tau, aku gak bertanya dan gak mendengar. TOO MUCH INFORMATION.

“Kotak di perutku ada enaaaaaam.” Jave makin giat saja menggoda ketika wajah Rain makin merah di sampingnya.

“Iya iya. Iya ada enam oke udah jangan bisik-bisik terus di deket telinga. AKU DENGER KAKAKKKK!!!!!!”

Jave terpingkal, menyudahi candaannya. “Kamu kalo malu suka buang muka. Coba sini yang merah itu aku mau liat.”

“Gak. Aku gak mampu liat kamu.”

“Ini aku kan pake baju sayang..”

“ENGGAK MAKSUDKU AKU GAK MAMPU LIAT KAMU TUH BAGIAN MATA. BUKANNYA AKU MAU LIAT PERUTMU.”

“Hahahahahaha. Ya udah hadep sini aja pokoknya.”

“Gaaak.”

“Gak perlu liat mataku hei.”

Rain mendengus. Menurut. “Laluuuu? Lalu apa yang kita dapatkan setelah aku menghadapmu selain kecanggungan tidak berarti ini?”

Jave membasahi bibirnya yang mendadak kering. Memandang Rain cukup lama. “Yang didapetin adalah aku bisa liat kamu?” jawabnya setelah jeda beberapa saat, tertawa.

“Yeuuuu. Candaanmu sudah seperti bapak-bapak.” Rain mendengus, mendorong pundak Jave mundur. Ya meskipun lelaki itu tidak mundur barang satu senti karena kuat sih.

Hening sesaat.

“Omong-omong Rain, besok kamu aku ajak keluar mau ya?”

“Uiiiii, khas kak Jave. Tanpa basa-basi.”

“Jadi mau?”

“Kemanakah kita?”

“Dinner.”

“Ooooh okee. Sama yang lain?”

Jave menggeleng. “Just us two.”

“Hahaha siap deal. Jam berapa?”

“Jam 7 kita berangkat. Gimana?”

Rain tersenyum, mengangguk. “Boleh. Memang mau dinner dimana? Maksudku biar aku gak salah kostum aja sih.”

“Restoran X?”

Rain melotot. “Betulan?”

“Betulan doonggg. Mau kan?”

“Ya oke, mau-mau aja. Itu tadi cuma agak kaget.”

Jave menghembus napas lega. “Besok aku pake putih. Ngasih tau aja kali kamu pengen kembaran kayak aku sih.”

“Aku besok pake kuning neon aja kali ya biar kita nyala dan mencolok.”

“Oke. Aku joinan pake ijo stabilo biar ikut ngejreng.”

Rain tertawa. Rautnya bahagia sekali. Gadis itu lantas mendekatkan badan, memeluk Jave dari samping dengan tiba-tiba. Erat sekali. Seperti menyalurkan rasa sayangnya.

“Hahahaha kenapaaa? Tumbenan kamu yang nempelin aku dulu loh ini.”

“Gak papa. Moodku bagus. Baumu juga enak banget. Aku suka.”

“Basah ini Rain bajuku.”

“Aku juga basah. Gak papa.”

Jave terkekeh, mengelus tangan halus Rain yang melingkari perutnya itu pelan.

“Kakak..”

“Ya?”

“Kamu gak mau nagih bayaran bonekamu sekarang mumpung gak ada orang?”

Jave melotot. Bulu tubuhnya reflek meremang. “Kamu kerasukan apa?”

Rain mengedik pundak. Gadis itu lantas menarik leher Jave mendekat, lalu mencium pipinya singkat. “Udah ya? Aku lunas.”

Lelaki itu reflek mematung, memegangi pipinya sendiri. Ia lantas menoleh, memperhatikan Rain yang sudah kembali dalam posisi menyender di pundaknya itu dalam hening.

Cukup lama. Hingga akhirnya, “boleh ngelunjak gak Rain?”

“Hm?” Gadis itu mengangkat pandangan, menatap mata Jave yang kini mendadak saja terlihat begitu serius.

Lelaki itu hanya diam, menjilat bibir bawahnya yang lagi-lagi kering itu perlahan sambil menatap mata dan bibir Rain bergantian.

Tanpa diucap Rain langsung mengerti, ia lalu tertawa sebentar. “Kamu betulan kepengen?”

“Masih tanya?”

“Ya kan aku hanya mengetes.”

“Pengen.”

Rain tertawa lagi. Membuat anak rambutnya reflek berjatuhan di wajah. “Gimana ya kak..”

“Jangan godain aku laaaah.”

“Lagian kenapa kamu hobi banget sih? Ini seriusan bertanya kayak soalnya kamu tuh kalo udah sekali nempel beneran yang gak mau lepas gitu aku kadang sampe sesek nafas.”

“Bibirmu enak.”

“HEEEEEEI ASTAGA. TOLONGLAH.”

“Ssst nanti yang lain ikutan turun Rain.”

“Ya abisnya jawabanmu kayak gak ada dosa.”

Jave mendengus. “Ya udah oke kalo gak mau kasih ijin.”

“Aku kan belum jawab?”

“Ya buruan dijawab.”

“Kamu nunggu jawabanku banget?”

“Rainnnnnnnnnnnn..”

“Hahahahahahahahaha kak Jave.” Rain terpingkal sebentar, lalu menarik dagu Jave agar mendekat ke arahnya. “Janji gak brutal?”

Jave menaikkan sebelah alis. “Jadi ini kamu ijinin?”

“Ya tapi janji jangan brutal.”

Lelaki itu tidak menjawab, kembali membasahi bawah bibirnya. “Asal kamu jangan pancing aku buat gerak brutal kayaknya aku bisa nahan.”

“Apa maksudmu?”

Jave menggeleng, mulai menggerakkan tangannya naik ke punggung Rain yang terbuka tersebut. Hangatnya tangan Jave begitu kontras dengan dinginnya kulit Rain, membuat lelaki itu tiba-tiba saja hilang fokus. “Punggungmu dingin banget Rain.”

“Iya memang dingin, tapi gak papa. Maksudku ini bukannya mau ngomong jorok apa gimana ya tapi seriusan kalo abis kamu cium itu badanku jadi agak anget.”

Sial. Rain selalu saja jujur di situasi yang tidak terduga.

“Mau kerasa lebih anget dari yang kemaren-kemaren gak Rain?”

“Agak serem.”

Jave tersenyum, mendekatkan wajahnya. “Kalo mau, kasih kode aja..”

“Kode apa?”

“Jambak rambutku.”

“Hm?” Rain sudah ingin bertanya apa maksudnya lagi ketika bibir Jave akhirnya menempel lembut di atas miliknya. Basah.

Namun lelaki itu rupanya hanya menempelkan bibir sebentar, karena yang terjadi kemudian adalah ia mulai menarik bibirnya mundur kembali.

“Why?”

“Di matamu aku gak mesum kan Rain?”

Rain menelengkan wajah. “Memang kenapa?”

“Ya rasa-rasanya kayak aku terus yang kepengen kamu kan..”

“Hah hahahaha.” Rain tertawa, menangkup wajah dingin Jave dengan tangan kecilnya yang sudah kebas. Gadis itu lantas berusaha menetralkan detak jantungnya ketika perlahan ia menggeser tubuhnya sedikit lebih maju untuk mendekati Jave yang tadi sempat mundur.

Jemari gadis itu bergerak pelan, menyisir surai lembut yang kini sudah separuh mengering itu dengan gerakan halus. Menatap mata kekasihnya yang tampak terkejut itu, lalu mengecupnya ringan.

Kecupannya turun ke hidung, pipi kiri, lalu lanjut ke pipi kanan. Perlahan-lahan. “We kissed because i want it too. Kalo secara sepihak kan berarti aku gak ijinin kamu?”

Deg. Jantung Jave reflek menggila. Tatapan Rain ketika mengucap kalimat itu begitu menggugah hasratnya untuk berbuat sedikit lebih jauh.

Gadis itu juga menginginkannya.

Dengan sigap Jave langsung mengangkat naik tubuh Rain yang masih dalam posisi berlutut itu agar naik ke pangkuannya.

Posisi mereka menjadi berhadapan dengan Rain yang berada di atas Jave.

Tanpa suara lagi lelaki itu segera menyusupkan telapak tangan kanannya masuk ke tengkuk Rain, sedang tangan kirinya mencekali pinggang gadis itu agar tidak bergerak mundur nantinya.

“Eh. Memang posisi kita harus seperti ini kah?”

Jave tertawa tanpa suara, mengangguk. Suara tawanya hampir menguar melihat ekspresi kaget Rain yang lucu tersebut.

“Rain.” Panggilnya sekali lagi dengan bisikan.

“Ya.....”

“Aku brutal dikiiiit aja, boleh ya?”

“Errr.... Yaah, ya.. Oke. Oke brutal dikit boleh.” jawabnya grogi, menyetujui.

Lelaki itu lantas menarik kepala Rain mendekat dengan pelan, mencium keningnya lama sebelum akhirnya turun ke hidung dan dua pipinya yang sudah memerah panas itu bergantian.

Pandangan Jave terkunci tepat di manik mata gadisnya yang kini sudah sepenuhnya bergetar. Lelaki itu selalu saja tau caranya membangkitkan kupu-kupu pada perut Rain.

Sesekali ia tersenyum sembari mengusap bagian bawah bibir Rain sebentar. Membuat kebas tangan gadisnya yang bebas itu makin menjadi-jadi saja.

“Kakak..”

“Hm?”

“Jangan diliatin terus. Aku malu.”

Jave tertawa sebentar, mengangkat maju badan Rain agar menempel lebih dekat ke arahnya. “Kamu inget dulu pernah tanya ke aku ini gak Rain?”

“Apa?”

“Yang apa aku suka cewek seksi?”

Rain langsung melotot. Wajahnya makin memerah saja detik ini. “Kenapa kamu bahas itu? Itu sudah lamaaaa sekali...”

“Karena aku mau jawab sekarang.”

“Hrrrrr.. Oke. Apa jawabanmu?”

Jave meneleng wajah. Menjilat bibir bawahnya yang lagi-lagi kering kembali. Pandangannya juga mulai bergerak. Yang tadinya fokus di mata itu mulai ke telinga, lalu turun ke leher mulus Rain, dan terakhir pada tulang selangkanya yang kini terpampang bebas karena baju renang gadisnya yang terbuka. “Dipikir-pikir aku gak suka cewek seksi Rain. Tapi kalo yang seksi kamu, aku suka.”

Sial. Tidak biasanya ucapan Javerio sevulgar ini. Bahkan ini terhitung untuk yang pertama kalinya.

Jantung Rain langsung melompat liar kesana kemari ketika tangan Jave yang masih berada di tengkuknya itu perlahan menarik jepitan rambut Rain agar lepas tergerai. “I like your long messy hair.” Ucapnya berbisik serak, termakan suasana.

Lalu tanpa sepatah kata lagi ia kembali menarik wajah Rain mendekat, tersenyum sebentar untuk menenangkan, lantas menempelkan bibirnya pelan pada milik Rain.

Lelaki itu menekannya sesekali sambil mulai menjilati permukaan bibir Rain yang lembut itu dengan gerakan perlahan. Rasa bibirnya selalu saja menarik, manis, dan menurut Jave memang benar-benar nikmat. Mampu membuatnya kecanduan.

Jilatan kecilnya berubah menjadi sesapan pelan. Jemari tangan kiri Jave bahkan sudah bergerak lembut untuk mengusap bagian kulit pinggang Rain yang terbuka. Menyusupkannya sedikit masuk ke dalam dan mengelus kulit halus gadisnya itu seduktif.

Gerakannya barusan itu membuat Rain terkejut. Jave yang mengerti langsung melepas bibir Rain sebentar, tersenyum, mencium keningnya sekali lagi. Lalu ketika dirasa tegangnya sudah menyusut, lelaki itu kembali menempelkan bibirnya pada bibir Rain dengan halus.

Sapuan lembut kembali ia berikan pada bibir ranum yang selalu menjadi favoritnya tersebut. Sesapan ringan dan kecupan ia daratkan dengan sedikit tekanan, membuat kepala Rain terdorong mundur sedikit ke belakang.

Air kolam yang tadinya sempat tenang itu kembali berombak pelan akibat goncangan dua manusia yang duduk di dalamnya.

Jave melepas kembali ciumannya, kembali memandangi wajah Rain yang makin memerah itu gemas. “Selalu cantik.” ujarnya serak, memuji. Ia lantas kembali mendaratkan bibirnya di milik Rain. Memagutnya sedikit lebih dalam dari pada sebelumnya.

Menggigit kecil beberapa titik sebagai kode agar Rain mau membuka bibir lebih lebar lagi.

Lidahnya menyusup masuk ketika pemiliknya sudah memberi ijin. Mengeksplor isi mulut Rain tanpa terburu demi merasakan setiap sensasi dari manisnya bibir dan degup jantung yang sudah sama-sama meledak tidak beraturan.

Rain perlahan membalas pagutan lelaki itu. Menemukan ritme ciuman Jave, balas menyesap bibirnya dalam.

Tangan kanan Rain yang tadi hanya bertengger pada pundak itu mulai bergerak naik, berpegangan pada leher kekar Jave. Sedangkan tangan kirinya mengusap pelan dan sesekali menarik rambut kekasihnya, sedikit kencang, terbawa suasana.

Jemari gadis itu bergerak, menyusur garis pembulu darah Jave yang menyembul dan terakhir berhenti pada jakunnya.

Jave spontan saja terpancing karena merasa bahwa Rain betul membalasnya aktif kali ini.

Decakan itu kembali menguar, lebih keras dari pada yang pernah mereka ciptakan sebelum-sebelumnya. Air kolam kembali bergerak pelan ketika Jave mendorong mundur tubuh Rain hingga separuh telentang di atas kolam. Tangan kanannya memegangi kepala Rain ketika bibirnya terus mencium dan menyedot bibir merah di depannya itu gemas. Menyalurkan segalanya.

“Kak.” Rain memanggil ketika ciuman itu akhirnya terputus. Gadis itu menatap mata Jave yang mulai menggelap itu dengan sesekali mengisi oksigen agar masuk ke paru-parunya yang sempat terkuras.

Jave belum merespon, hanya sibuk mengelap bibir Rain yang sedikit bengkak akibat ciumannya itu lembut. Tangan kirinya mengelus wajah Rain pelan, “Sorry, rambutmu basah..”

Rain menggeleng, membiarkan keadaan hening sebentar. Lalu tanpa kata apapun lagi, gadis itu mulai mengalungkan tangannya di leher Jave. Memajukan kepala sedikit karena jarak mereka yang tadi belum menjauh itu, lalu segera mengikis jarak dengan mencium bibir Jave kembali.

Jave tersenyum disela kegiatannya. Membiarkan Rain mencium dirinya dengan ritme berantakan yang menurutnya begitu seksi. Mengecup dagunya singkat, lalu melahapnya pelan.

Sial. Malam ini Rain bukan seperti Rain yang biasanya diam. Jantung Jave semakin ketar-ketir saja ketika lidah gadisnya itu perlahan menyusup masuk. Ganti mengeksplor miliknya. Meski gerakannya masih canggung, Jave merasakan bahwa Rain betul menginginkannya hari ini.

Lenguhan pelan mulai terdengar ketika Jave menyedot kuat lidahnya sembari mulai mengangkat tubuh Rain agar bangkit dari posisinya. Menggendong gadis itu naik ke kursi hitam panjang yang ada di belakangnya duduk tadi itu sembari terus memainkan lidah.

Sensasinya begitu luar biasa. Jave sudah ingin bergerak lebih jauh ketika ingat janjinya pada Rain tadi supaya tidak brutal.

“Ahh kak Javeee...” Rain mendadak protes ketika gigitan kecil ia terima tepat di dagunya yang tidak bersalah itu akibat frustasi tidak bisa berbuat apapun lagi.

“Mau gini aja atau balik ke posisi tadi?” Ia bertanya setelah merebahkan Rain dengan nyaman di kursi tersebut.

“Apa sihhhhhh pertanyaanmu tuh buat aku malu tau gakkk??” Rain semakin protes, wajahnya merah sekali.

Jave tertawa, mencium pipi gadisnya itu gemas.

Satu kali.

Dua kali.

Lima kali.

“Udaaahhhhh.”

“Mau balik di bibir lagi?”

“Engg.. Hhh” Ucapannya terpotong ketika Jave mengecup bibirnya berulang-ulang.

“Kakakkk..”

“Apaaaaaa?”

“Bisa-bisanya kamu bertanya apaa?????”

Jave tertawa. “Omong-omong siapa yang ajarin kamu kayak tadi eh?”

“Maksudmu?”

“Makan daguku!!!”

Rain melotot. “HEEEEEEEI DEMI APAPUN, KAKAKKKKK!!!!!” Gadis itu mengomel panjang. Matanya bahkan kini sudah berair, hampir menangis.

“Hahahahahaha sayaaanggg. Gak papa. Makan aja besok-besok iya gak akan kubahas.” Jave berucap, menarik kepala Rain itu agar masuk di dekapannya.

“Janji besok-besok akan dieemmmmmm??”

Jave mengangguk, “emang kamu prepare mau ngapain aku besok-besok?”

Rain memeluk Jave, menenggelamkan wajahnya semakin dalam di leher lelaki itu. Kebiasaannya jika sedang malu akut.

“Hahahaha astaga iya oke. Oke aku diem Rain.” ujarnya kemudian, membalas pelukan Rain dengan senyumnya yang terus melebar.


next pvt kalo tweet pvt ini 100+ likes yah.. CEK OMBAK DULU siapa yang mau kan wkwk T__T

TEDDY BEAR, R-L-J.


“Morning, sweetheart.” Jave menyapa ketika melihat kaki Rain mendarat di anak tangga bawah sendiri, lalu segera bangkit berdiri dari duduknya. Lelaki itu lantas mengantong ponsel dan berjalan mendekat.

“Pagi kak Jave. Tapi tolong jangan cringe. Hari bahkan masih belum jalan tapi kamu udah main sweetheart sweetheart aja.”

“Hahahahahaha. Sini, ayo jalan ke depan. Gak usah bawa apa-apa aku bawa dompet kok udahan.”

“Aku juga bawa kok ini. Tapi omong-omong mana kipasku? Aku gak mau jalan di depan tanpa dia.”

Jave tertawa, menunjuk tas kecil di atas meja. “Aku masukin situ, gak tau kalo kamu mau bawa soalnya.”

“Baterainya penuh kan?”

“Penuh lah Rain.”

Rain mengangguk senang, “Oke ayo berangkat. Beli 10 porsi apakah mereka ada request minum juga?”

“Gak ada sih, biar pada minum air putih aja jangan keseringan minum manis-manis.”

“Oke, ayo sini kita jalaan.” Rain berucap, menyodor telapak tangan.

“Minta gandeng atau minta kipas nih Rain?”

“Oh gitu? Kamu sekarang suka main-main begini memang.. Oke.. Oke kamu jalan sendiri aja jangan sentuh aku.” Rain membalas, menurunkan tangan.

Jave reflek terpingkal makin kencang, berjalan menyusul Rain yang sudah agak jauh di depan karena langkahnya yang dipercepat tersebut. Lelaki itu lantas menyambar tangan Rain ketika sudah berdampingan, lalu menggenggamnya erat. “Yuk jalan.” ujarnya, tersenyum senang.


Panas. Satu kata yang dapat mendeskripsikan bagaimana kondisi jalanan pagi ini. Masih pukul 9 sebenarnya, tapi matahari memang semangat sekali menyinari bumi.

“Rain Rain liaaaaaaaattttt..” Dalam perjalanan kembali menuju villa milik sepupu Kalandra, Javerio tiba-tiba semangat menunjuk toko terbuka di pinggir jalan yang menjual boneka-boneka besar dengan tulisan DISCOUNT 25%.

Rain menoleh sebentar, lalu kembali melihat ke arah Jave. “Kenapa? Kamu mau beli kah?”

“Emang kamu gak mau?”

“Harga kalo disini itu lebih mahal meski ada tulisan discount tau.. Kamu gak tau.. HEEEI DEMI APA KAMU DENGERIN AKU DULU KENAPA MAIN DISERET AJA SIH???”

“Permisi, bli..” Jave menyapa, melemparkan senyumnya. “Harga per item berapa ya?” Ia bertanya, mengunci tangan Rain makin rapat agar tidak banyak berontak.

Penjaga toko tertawa hangat menyambut kehadiran mereka berdua. Umurnya kira-kira lebih tua sedikit dari pada Jave, atau malah seumuran.

“Panggil Daffa langsung aja ndak apa mas, saya asal Jawa Tengah.”

“Oh... Oke mas Daffa, jadi harganya?”

“Yang besar ini 200 ribu mas. Ada warna biru, merah muda, sama cokelat aja. Kalau yang kecil ini 150 ribu. Untuk warnanya sama sih. Tapi ada spesialnya mas, di kalungnya ini kan masih kosongan. Bisa ditulis inisial nama. Mau beliin buat ceweknya mas?”

Jave tersenyum, mengangguk. Semakin mengeratkan cekalan tangannya agar Rain tidak tiba-tiba menolak pemberiannya. “Dua yang besar ya mas? Yang satu R warna biru muda. Yang satu J warna merah muda.”

“Kakakkkkkkkkkkk..”

“Oh bentar.. Kasian Lea.”

“Udah nggak usah jangan aneh-aneh sumpah kamu ini astagaaaa..”

“Satu lagi mas biar adil warna cokelat muda besar inisial L ya mas.”

Daffa mengangguk. Banjir uang, pikirnya. “Tunggu 15 menit ya mas. Sambil makan sate di depan situ bisa. Atau es hawaii banyak nanasnya.”

Jave mengangguk, menyerahkan kartu debitnya sebagai bentuk pembayaran. Memprosesnya cepat, lalu melangkah keluar.

“Kamu gak dengerin akuuuuuuuu.” Rain mengomel pelan, wajahnya memerah menahan malu.

“Itu keitung murah tau yang besar. Bulunya lembut banget tadi. Lagian aku gak pernah beliin kamu yang beginian di depan mata sendiri. Kamu gak pernah minta barang ke aku dan gak pernah ijinin aku beliin apapun buat kamu.”

“Kakakkkkkk....” Rain tiba-tiba menyenderkan wajahnya ke lengan Jave. “Oke thank you, besok gantian kamu aku beliin yang lain oke?”

“Beliin apa coba?”

“Ya gak tau apa gitu.”

“Gak usah sayanggg..” Jave tertawa, mengelus rambut Rain pelan.

“Tapi aku serasa ngutang ke kamu.”

“Ya udah bayar sini.”

“Mau dibeliin apa?”

Jave menyodor pipi. “Cium.”

“HEEEEI.”

“HAHAHAHAHA. Makanya nggak usah. Nggak ada aku ngerasa kamu utang ke aku astaga mikir apa sih Rain..”

“Mas! Sudah selesai..” Daffa berteriak, memberi tahu. Wajahnya sumringah sekali ketika menenteng 3 bungkusan besar yang diserahkan satu persatu ke tangan mereka.

“Saya bungkusin spesial ini buat masnya.”

“Haha iya, thanks ya mas Daffa.” Jave menunduk sopan, melangkah menjauh dengan tangan penuh barang.

“Aku bawa 1 doang kan ini, mana bungkusan buburmu aku aja yang bawa..”

“Berat Rain.”

“Ya udah kasih aku 1 bonekanya lagi aku bawain. JANGAN NOLAK LIATLAH TANGANMU PENUH SIAPA YANG TEGA???”

Jave menurut, menyerahkan 1 bungkusan boneka ke tangan Rain. Lelaki itu lantas menoleh, tertawa keras. “Loh loh... Cewekku mana kok ilang?”

“Maksudmuuuuuuuu?”

“Heei serem banget Rain, ada suaranya tapi gak kelihatan.”

Rain paham bahwa Jave tengah meledeknya. “Oke. Awas aja nanti kamu aku jambakin betulan. Tiada ampun pokoknya.”

“HAHAHAHAHAHA. Omong-omong banget aku baru sadar, kenapa tadi beli buburnya gak pake jasa online aja ya? Kan pasti mereka terima pesanan online?”

Rain mengangguk. “Iya juga.. Kenapa gak pesen di aplikasi aja?”

“Gak tau, kayaknya aku ngehang betulan. Tapi gak papa, dengan jalan tadi kita dapet 3 anak lucuu.” Jave memainkan alisnya naik turun.

“Anakmu aja.”

“Kamu gak suka?”

“SIAPA BILANG AKU GAK SUKA?”

“Kalo gitu kamu mau bayar aku beneran?”

“Katanya tadi gak usah dibayar kenapa kamu plinplan?”

“Pipi sekali aja please?”

“Gak.”

“Pipi kiri aja.”

“Ini rame orang berlalu lalang kenapa kamu minta ciummmm terusssss.”

“Oke.. Oke kalo kamu gak mau sekarang, bisa nanti-nanti pas tanganku free.”

Rain mendengus. Berjalan lebih cepat untuk belok ke gerbang villa sewaan mereka.

“Rainnn.” Jave tiba-tiba berteriak.

“Apaaaaa.........”

“Besok-besok aku nikahin mau nggakkkkkkkk?”

“IH.” Rain melotot. Berlari naik di tangga batu untuk masuk ke ruang utama. Meninggalkan Jave yang semakin semangat saja mengejar di belakang sana.