their little messy night.
Rain masih diam, membiarkan Jave mencumbunya terlebih dahulu. Tidak seperti sebelumnya yang cenderung terburu-buru, ciuman Jave kini sudah kembali seperti biasanya. Halus, detail. Terasa begitu manis.
Rain perlahan tergoda. Faktanya gadis itu memang suka sekali dicium dengan gerakan pelan seperti ini. Rasanya seperti begitu dicintai dan begitu disayang. Tangan Jave yang tadinya masih mengunci jemari Rain di bawah sana perlahan bergerak, ganti bertumpu pada pinggul yang terbalut dress satin lembut berwarna putih tersebut.
Mengelusnya di beberapa waktu, lalu meremasnya pelan. Tangan Rain yang menggelantung bebas itu juga perlahan bergerak, menyusur dada Jave naik hingga akhirnya berkalung nyaman pada leher lelaki itu.
Bibirnya terbuka sedikit demi menyesap bibir Jave kembali atas dan bawah. Menarik pelan bibir merah lelaki itu gemas, lalu menggigitnya.
Jave tampak terkejut, tubuhnya menegang seperempat detik ketika Rain berani menggigit bibirnya. Sebelum ini gadisnya itu cenderung normal-normal saja, hanya membiarkan dirinya melakukan apapun dan jarang membalas pagutannya dengan agresif.
Rain menarik pelan bibirnya sendiri menjauh, menatap mata Jave yang sudah seperti pemburu siap memangsa lawannya itu dengan napas tidak beraturan.
“Why did you stop?” Jave bertanya halus.
“Bentar. Agak malu.”
Lelaki itu tertawa, “karena barusan kamu tarik bibirku sambil ngegigit?”
“Errrr... Iya. Maaf, itu aku kerasukan.”
“Kamu boleh brutal balik ke aku Rain astaga.”
“Ya sungkan, maksudku..”
Jave geleng-geleng kepala seraya mulai memeluk Rain mendekat. “Nih, cium.” ujarnya memerintah, menundukkan kepala.
Wajah Rain makin merah saja sepertinya, gerah sekali.
“Ini punyamu Rain. Ambil aja, tarik sesukamu.”
Gadis itu menelan ludahnya takut-takut. Tangannya yang tadi berada di leher itu perlahan mulai berpindah tempat demi mencekali kedua pipi Jave, lantas menariknya mendekat.
Rain menghentikan tarikannya tepat ketika jarak mereka tinggal beberapa senti lagi. Gadis itu menatap mata Jave lama sekali seraya mengusap pipi lelaki itu dengan ibu jarinya. Melihat bibir Jave sekali lagi sebelum akhirnya ia memiringkan wajah dan menempelkan miliknya dengan pelan.
Keduanya langsung memejamkan mata. Rain bahkan bisa merasakan Jave tersenyum ketika bibirnya mulai bergerak ringan. Mengecup pelan seraya melumat bibir bawahnya itu secara halus.
Tangannya yang masih berada di pipi itu bahkan kini sudah bergerak turun, kembali mengalung pada leher Jave karena pelukan di pinggangnya terasa semakin erat.
Tangan kanan Jave bergerak naik, berpindah pada tengkuk Rain agar gadis itu terpancing untuk memperdalam ciumannya kembali. Tangan kirinya tetap menahan pinggul agar gadisnya tidak terdorong kemanapun ketika nanti ia mulai membalas.
Sapuan ringan Rain berikan pada bibir Jave ketika ia merasa tengkuknya diremas halus. Gadis itu bahkan sudah berhasil meneroboskan lidahnya masuk karena Jave yang memang selalu mempersilakannya mengeksplor lebih jauh. Memainkannya pelan di dalam sana seraya terus menikmati debaran jantungnya yang tidak terkendali. Campuran wine yang tadi Jave minum itu menguar manis, Rain semakin mabuk saja dibuatnya.
“Jago banget sekarang.” Jave memuji, mencium kening Rain lama ketika ciuman bibirnya terlepas.
“Enak kak.”
“Emang.”
“Enggak maksudku rasanya minumanmu tadi itu enak.”
Jave mencibir, “jadi bibirku nggak enak?”
“Enggak gitu maksudku.. Heii astaga mau apa lagi????” Rain seketika protes ketika tubuhnya dijunjung masuk ke dalam kamar.
“Jeva sama Lukas udah dateng soalnya.”
“Ya terus mau diapain? Biarin aja astagaaa kak Jav stooooooppppppphhh JANGAN DI LEHERH..”
Jave tertawa, mencekali dua tangan Rain dengan satu tangan dan menguncinya di belakang punggung. Perlahan lelaki itumembawa langkah mendekati tembok agar Rain bisa menyender disana.
“Kak udah please jangan dimerahin lagi lehernya. Kamu sekali main disitu bisa merah-merahin banyak banget astaga.. ahh, kak!!”
“Liat atas cantik.”
“Nggaaaaaak mauuuuu.”
“Ya udah terserah.” Jave terkekeh sebentar, mencekali leher Rain dengan tangan kanannya yang menganggur. Mulai kembali mengecup bagian yang tadi belum sempat ia jamah.
“Kak.. Nggak kuathhhhh please jangan di leher.”
“Enak Rain.”
“Tapi, geli banget, serius.” Ucapannya tersengal karena tubuhnya menggelinjang sesaat. Lidah Jave sudah terulur kembali, menjilatnya naik turun dengan begitu erotis dan melumatnya di berbagai sisi.
Geli sekali. Rain sampai menjambak rambut Jave ketika lehernya disedot kuat di banyak tempat. Sudah hampir berteriak kesal ketika ia mendengar derap langkah ramai dari arah luar. Sepertinya memang yang lain sedang bermain di depan kamar Jave, entah berbuat apa.
“Denger kan? Makanya jangan berisik.”
“Nggak berisik kalo kamu nggak gangguin ak.. hmh kak Javeeee!!!!!”
“Sssst Rain. Jangan teriak.”
“Geli kak, serius aku tidak berbohong.”
“Lehermu enak.”
“Bukan makanan!”
“Sini bibirnya..”
“Lagiiii????????”
“Tadi belum selesai.”
“Kapan kamu lowbatt?!”
Jave menggeleng, “udah kelanjur gini, emang ada cowok normal yang bakal mendadak lowbatt?”
Rain menggigit bibir bawahnya karena Jave kembali menghujani area dada depannya dengan kecupan massal. Tangan kiri Jave yang dari tadi mencekali tangan Rain itu bergerak naik melepas talian pita agar rambut panjang gadisnya bisa tergerai lepas.
Ciumannya naik, kembali ke bibir. Lelaki itu tanpa memberi aba-aba langsung menyentak mulut Rain dengan meneroboskan lidahnya. Menyapu seluruh isinya dengan gerakan liar hingga sang pemilik kewalahan.
Decakan basah itu terdengar menggema, terasa aneh karena tangan Jave yang kini kembali mengunci tangan Rain di belakang punggung hingga tidak bisa berbuat apapun. Bibir Jave bahkan kini sudah bergerak ekstrim, menyedot kuat lidah Rain sambil sesekali melumat dagunya.
Rain mendesah pelan, ciuman Jave barusan itu berhasil membuat otaknya pecah seakan ingin meledak. Tangannya yang masih dikunci itu perlahan memberontak, ingin berpindah tempat.
Jave tersenyum lagi di tengah kegiatannya, ia membiarkan tangan Rain lepas dan berpindah pada tengkuknya. Tak disangka gadis itu malah menekan tengkuk Jave mendekat dan membalas ciuman agresif lelaki itu dengan sabar.
Suara Jave yang menggumam berat itu membuat perut Rain melilit lagi. Gadis itu semakin semangat membalas hingga sesekali menjambak rambut Jave demi menyalurkan nikmat.
Merasa Rain sudah aktif membalas, tangan Jave itu perlahan bergerak mengangkat tubuh Rain dan memindahkannya di atas kasur.
“Liat aku Rain.” ujarnya, memegangi dagu Rain.
Gadis itu menurut, mengatur napasnya yang terengah itu sembari menatap mata Jave yang sudah dibakar nafsu.
“Kamu mau pake bantal apa langsung di kasur aja?”
“Hm?”
Jave menggeleng, menyadari pertanyaannya terlalu aneh dan membingungkan untuk dijawab. Lelaki itu lantas memegangi kepala Rain ketika bantal putih villa itu ia pindah ke tempat lain.
“Wajahmu merah kak..”
“Mabuk kamu.”
“Hrrrrr..”
“Mau coba kamu di atas?”
Rain melotot lebar. “Enggaaaak!”
“Ya udah.” Jave melemparkan senyum miringnya sebelum kembali mencumbu Rain dari atas. Kali ini lelaki itu benar-benar meraup apapun yang ia temui. Kepala Rain yang menempel langsung di kasur itu benar-benar sampai tertekan karena gerakan liar Jave di atasnya.
Lelaki itu membawa dua tangan Rain naik ke atas kepala dengan satu tangan. Mulai menciuminya dari ujung jari hingga terus turun ke lengan atas, lalu kembali lagi ke bibir Rain yang kali ini sudah bisa dipastikan membengkak.
Rain benar-benar kewalahan, jemarinya diremat dan dielus bergantian di atas sana. Tidak bisa berbuat apapun lagi selain menyerah dan menurut karena kakinya juga sudah ditindih oleh berat tubuh Jave yang mengungkung sempurna.
Sinting, gadis itu menahan suaranya yang hampir saja lolos keras ketika Ciuman Jave mendarat di tempat baru lagi. Jika hari ini lelaki itu baru bisa mencium leher dan pundaknya, maka kali ini sasaran berikutnya adalah telinga.
“Kak.. Kamu ngapainhhh..”
“Cium.”
“Nghh..”
“Jangan desah.”
“Enggak, aku.. Kak!!! Demi.. hhh..” Rengekan Rain yang sejak tadi terdengar begitu seksi itu membuatnya semakin bersemangat. Dengan tanpa basa-basi lagi lelaki itu mulai menjulurkan lidahnya, menjilat memutar area telinga Rain itu dan sesekali meneroboskan lidah masuk ke lubangnya.
Ia bisa merasakan Rain menggelinjang geli di bawahnya. Bunyi-bunyi basah yang tercipta cukup lama itu membuat keduanya merinding.
“Rain..” Jave memanggil, berbisik.
“Hmh.”
“I love you.” ujarnya semakin serak, melepas pelan tangan Rain dan kembali menjatuhkan ciuman pada bibirnya.
Lagi, keduanya saling memagut. Tangan Rain yang sudah bebas itu tanpa sadar bergerak mengelus dada Jave. Merasakan petak-petak yang ada di perutnya itu dengan gerakan pelan.
Jave yang mengerti segera menarik sedikit badannya menjauh tanpa melepas ciumannya. Membuka kancing kemejanya satu persatu hingga terlepas cepat, lalu melemparnya ke samping.
Ini terhitung pertama kalinya ia membuka baju di depan Rain. Biasanya jika sedang berenang lelaki itu selalu mengenakan kaos karena ia tau jika Rain memang pemalu. Ia berusaha semaksimal mungkin membiarkan Rain merasa nyaman dan aman ketika sedang berenang berdua.
Berbeda dengan kali ini, tangan Rain yang tadi sempat mengelus dadanya itu kini mulai meraba halus di area punggung. Napas dalam ciumannya bahkan juga terasa memburu.
Jave melepas mundur bibirnya, memperhatikan Rain dengan alis berkerut. “Tumben?” tanyanya.
“Ini aneh ya, tapi serius aku baru tau.”
“Apa?”
“Punggungmu empuk. Padahal ini otot.”
“Mana ada sih?! Keras hei.”
“Enggak, serius empuk. Kayak, liat.. Tuh kan.. Eh, ITU KAMU KERASIN!!”
Jave mendengus pelan. Membiarkan tangan Rain mengelus punggung atasnya meski masih canggung.
Gadis itu lantas bergerak pelan, menggulingkan tubuh Jave sedikit dengan tenaga ke arah samping.
“Kak Jave.” panggilnya.
“Apa?”
Rain menggelengkan kepala, rambutnya bahkan sudah berantakan sekali saat ini akibat diusel terus menerus oleh Jave sejak tadi. Gadis itu lantas menempelkan bibirnya di kening Jave.
Jave tertawa pelan,“soft banget yang habis gulingin badanku pake tenaga ekstra? Kirain mau bales dendam.”
Rain hanya diam, menurunkan ciumannya ke hidung, bibir, lalu berhenti di area leher. Gadis itu bahkan kini sudah mengecup jakun Jave yang menyembul itu berulang kali hingga pemiliknya menelan ludah secara kasar.
Tangan Jave otomatis mengelus rambut belakang Rain ketika gadisnya itu sudah memberanikan diri melahap jakunnya, berusaha memberi ketenangan agar Rain tidak tiba-tiba melepas ciumannya hanya karena terbakar malu.
Jave merasakan tangan Rain bertumpu di atas perutnya. Mengelus halus kotak demi kotak, membuatnya semakin hilang akal.
Jilatan hangat Rain bahkan kini sudah terasa di jakun lalu turun menuju tulang selangkanya.
“Gosh.. Rain.” Jave melenguh berat juga pada akhirnya. Tangannya menarik jemari Rain yang sudah kembali diam itu agar masuk ke genggamannya.
Rain seketika tersadar, menarik kepalanya mundur. Ekspresinya bahkan sudah kaget sekali.
Jave seketika hampir muring-muring, dengan sigap ia menjatuhkan tubuhnya lagi di atas tubuh Rain dan menyekap tangannya erat kembali di atas kepala. Lelaki itu mencium ganas bibir Rain sampai lawannya tersengal lelah.
Lenguhan pelan mulai terdengar bersautan kala lidahnya yang beradu itu saling membalas di dalam mulut. Sentakan terakhir Jave berikan dengan menyedot kuat isi bibir Rain tanpa ampun.
“Gak mau lagi. Udah. Udah please. Itu brutal banget serius. Aku gak mampu.” Rain berucap, napasnya terengah-engah. Ia membiarkan Jave mengelap bibirnya yang basah karena sudah tidak mampu berbuat apapun lagi.
“Capek Rain?”
“Kamu udah kayak mesin penyedot yang ada di film Baymax!!!!!!!”
Jave mendengus, “nggak ada yang lebih keren dari itu?”
“Nggak. Hhhh UDAAAAH.” Rain menutup bibirnya yang hampir diserang kembali itu dengan telapak tangan. “Minggir sana lepasin tanganku, kamu kayak ngeborgol anak anjing tau nggak?”
“Tapi enak kan ketahan?”
Rain melotot jengkel. “Diem diem!! Gak mau denger.”
“Hahaha sayangku ini..... Sini deh keningnya aja yang aku cium.”
“Gak usah sok manis kamu kak Jave. Andai ada cctv dunia akan tau kamu brutal banget sejak tadi.”
“No i'm nooot.”
“Bibirku udah kayak habis di filler!!!!!!!! Leherku merah semua.”
“Masa sih? Mana? Enggak ah perasaanmu aja.”
“Maleeeeees banget.”
Jave tertawa, menggulingkan tubuhnya ke samping. Ia lantas menarik Rain mendekat. Memeluknya rapat. “Untung gak perlu sampe bikin bayi udah sadar duluan..”
“KAK JAVE!!!”
“Ssst sayang jangan teriak-teriak.”
“Gak tau lah aku malu.”
“Udah tau kebiasaanmu, sini sembunyiin mukanya buruan.”
Rain menurut, menghilangkan wajahnya di pelukan Jave. Bau wangi segar lelaki itu reflek menguar menusuk-nusuk hidungnya. Enak sekali.
“Gimana caranya keluar kamar kak?”
“Gak ada. Leher sama pundakmu merah banget. Nanti bikin huru-hara.”
“Katamu tadi nggak merah?!”
“Bohong sih. AH RAIN ASTAGA.” Jave menjengit ketika perutnya dicubit keras. Membiarkan Rain bangkit demi berkaca pada cermin besar dekat sofa.
“Apa yang kamu lakukan pada leher dan pundakku kakakkkkkkkk.”
“Cium.”
“Ini sudah seperti bentuk penyiksaan. I MEAN LOOK AT YOU, kamu bersih banget tiada noda!!!!”
“Ya kamu kurang lahap tadi.”
Rain melotot, tatapannya menghunjam lurus ke manik Jave dengan jengkel. “Awas.. Awas aja kamu. Betulan tunggu sampe aku tarik rambutmu.”
“Hahahaha sini Rain. Jangan ngomel.”
Rain berdecak, membiarkan tangannya ditarik oleh Jave hingga dengan cepat kembali ke pelukan.
“Besok hilang.” ujarnya, menenangkan.
“Betulan?”
“Ya, betulan.”
Hening.
“Di depan masih ada suara kak Kalandra teriak-teriak.”
“Biarin aja, kamu disini.”
“Aku mau mandi.”
“Mandi disini aja pake bajuku banyak.”
Rain mengomel lagi dengan nada yang susah dipahami.
“Apa sih Rain hahaha ngedumelmu itu lucu seriusan.”
“Malessssssss.”
Jave terkekeh lagi, lanjut mengelus pucuk kepala Rain sayang. “Kalo ngantuk tidur dulu aja, nanti pas di depan sepi aku bangunin buat mandi. Oke?”
“Hmmmmm.”
“Sini cium sekali.”
“Gakkkkkkk.”
“Pelit banget.” Dengusnya, menyerah.