Completely Us.
Jave menolehkan wajah, menatap Rain yang masih diam sejak tadi berangkat hingga sekarang telah sampai di tujuan itu dengan berpikir matang-matang tentang akan berbuat apa nantinya. Gadis itu memilih untuk melihat jendela gelap di luar sana ketimbang menatapnya.
“Rain.”
Hening.
“Rain udah dong dieminnya. Jangan marah terus, kan itu tadi, niatnya cuma surprise kecil aja..” Jave tidak tahan. Mulai merengek, menggoyang tangan Rain yang menyatu di atas paha itu berulang kali.
Gadis itu tidak menggubris, masih diam.
“Nanti kamu aku turutin deh mau kemana aja. Kamu mau minta aku dikuncir tengah sambil ngemall juga oke banget. Atau kamu nyuruh aku jalan-jalan pake baju tidur juga gak masalah.”
Rain berdecak, menepis tangan Jave menghindar. “Berisik.” Ujarnya singkat.
“Uih galaknya. Galaknya cewek siapa ini sih?”
“Males. Males banget.”
“Ceweknya Jave kok ya. Iya kan? Rain Chandra ceweknya siapa coba dijawab gih?”
“Ceweknya Jersen Limantara.”
Jave mengerut alis, “kamu selamanya cewekku Rain.”
“Gak, kan cewekmu yang di pinterest itu. Aku bukan dong berarti.”
“Duh duh, ngomel..” Jave menggoyang kembali tangan Rain agar gadis itu mau menoleh ke arahnya. Namun nihil, Rain masih membuang muka.
“Liat sini dong Rain bentar aja ini aku kasih sesuatu.”
“Gak.”
“Ini kesukaanmu loh. Liat deh.” Jave tidak menyerah, mulai menarik pundak kiri Rain pelan agar setidaknya mendekat ke arahnya.
“Aku masih jengkel jadi kamu mending diem aja. Kamu gak tau aku seminggu kayak orang gak bener makan tidur keganggu terus belum lagi ketambahan aku nangis-nangis juga. Sebel banget serius kayak, aku salah apa? Aku gak ngapa-ngapain terus tiba-tiba kamu cuekin aku. Kamu kayak gak peduli lagi sama aku, ya udah, males, dikira kemarin aku gak galau hah? Terus lagi pake acara sok-sok gak ngangkat telponku. Males banget. Kamu bahkan biarin aku jalan sendirian di kafe tau gak!!!!!!!!”
“Aku ikut ke kafe sayang. Aku ada disitu, serius.” Jave memelas.
“Malessssssssssss.”
“Kamu pake all black, ya kan?”
“Males. Aku taunya aku sendirian.”
Jave memanyunkan bibir, ia tau tindakannya menyebalkan memang. Tapi tak apa. Lagi pula, sudah terjadi.
Jave lantas diam, memperhatikan Rain yang rambut panjangnya dibiarkan terurai asal-asalan itu karena habis keramas. Wanginya menguar memenuhi seluruh sudut mobil Jave yang kini tengah berhenti di area dataran tinggi. Begitu memabukkan pikiran.
Hamparan rumput hijau yang menggelap dan hanya disinari beberapa lampu jalan itu terlihat indah sekaligus menakjubkan di depan sana. Beberapa orang turun dari mobil, menyambut angin demi melihat sendiri konstelasi bintang yang tampak jelas di langit atas karena tak ada pepohonan dan kabel melintang yang mengganggu pandangan.
Jave kemudian menghela napas, memberanikan diri menarik dagu Rain perlahan agar mau menghadap ke arahnya.
“Mau apa?!” Gadis itu protes, masih tak ingin diganggu.
“I love you.”
Huh?
“Gak usah love lovean, aku sedang gak mood.”
“Aku mau kembaliin barangmu. Ayo lah Rain jangan ngambek ke aku lagi. Liat deh, bulan disana aja senyum. Ngeledekin kamu soalnya merengut terus gak mau senyum ke aku.”
Rain akhirnya berdecak kencang, menoleh seutuhnya. “Barang apa?” Tanyanya, menatap mata Jave.
Senyum lelaki itu mengembang sempurna ketika Rain akhirnya mau melihatnya secara sukarela tanpa perlu dipaksa lagi. Ia kemudian mengeluarkan cincin milik Rain itu dari dalam saku jaketnya, menarik jemari Rain agar mendekat.
“Aku gak pernah minta kamu lepas ini kecuali nanti digantiin cincin nikah pas hari H. Aku minta maaf bikin kamu lepas dia dari sini tadi.” Ia berujar, menyematkan kembali cincin itu ke tangan pemilik sahnya.
Rain mematung, ia sudah kehabisan kata. Cukup sudah hatinya terombang-ambing seminggu karena tingkah laki-laki ini saja. Gadis itu lantas terdiam cukup lama akibat jantungnya yang kembali menggedor kuat. Membuat lidah kelu, bahkan kakipun ikut kebas.
Jave menaikkan sebelah alis, menggenggam kedua tangan Rain erat seraya mengelusnya sesekali dengan ibu jari. “Aku gak bakalan gituin kamu di dunia nyata Rain. Gak akan aku ulangi juga meski cuma ngeprank.”
“Apa iya..”
“Lah kamu gak percaya????” Jave memicingkan mata sensi, bergurau.
Rain hanya menyeringai kecil sebagai tanggapan. Gadis itu lantas mendongak, maju sedikit, mencium pipi Jave singkat. “Makasih banyak udah perhatiin aku meski emang nyebelin banget, tapi ya udah, gak papa. Tetep makasih.”
“Kamu cuma mau cium pipiku?”
Rain mengangguk, melepas tangan Jave dari tangannya, lalu menyenderkan punggung di kursi mobil kembali.
Jave berpura kecewa, “sayang sekali saudara saudari... saya kira bakal ada cium-cium yang lain.”
Rain terkekeh tanpa suara. Memutuskan untuk melihat beberapa orang yang melintas di sekitar mobil Jave ini untuk kemudian masuk menapakkan kaki ke rerumputan. Entah, apakah mereka tak kedinginan?
“Kamu mau turun?” Jave bertanya.
“Nggak sih. Dingin, aku juga males.”
“Yahhhh, sekali lagi sayang sekali saudara saudari.. Padahal menyerahkan bunga besar ini harus sambil berlutut supaya lebih romantis.”
Mata Rain seketika membulat sempurna. Bunga bouquet biru yang besarnya hampir separuh badan itu berhasil membuat bulu tubuhnya meremang cukup lama.
Jave tersenyum, menyerahkan bunganya ke tangan Rain perlahan agar gadis itu bisa memeluknya. Rain tidak tau sepanjang perjalanan bunga itu ada di kursi belakangnya persis karena sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Happy birthday ya Rain. Aku gak tau harus nyebut wish yang mana dulu soalnya kalo menyangkut kamu itu semuanya pasti penting. Yang jelas, kamu harus tetep sehat. Tetep kuat. Tetep bertahan. Dunia ini memang keras, tapi aku tau kamu bisa lewatin semuanya. Makasih banyak udah ada sampai hari ini, nemenin aku dengan sabar. Pokoknya, ya gitulah banyak banget gak bisa direntet pake kalimat normal. HEI UDAH GAK USAH BERKACA-KACA AKU CUMA NGUCAPIN KAMU ULANG TA..” Ucapan Jave menggantung di udara akibat bibir Rain yang menempel kuat pada miliknya secara tiba-tiba.
Terhitung sejak dari lama pacaran, baru kali ini Rain berani menciumnya terang-terangan terlebih dulu. Bahkan lihatlah, gadis itu mengunci kepala Jave dengan memegangi kedua pipi dengan erat.
Ciuman itu terus bergerak, lumatan-lumatan yang dulu jarang Jave rasakan karena Rain suka malu-malu itu hari ini akhirnya dapat ia peroleh secara cuma-cuma tanpa berjuang terlebih dulu.
Jave masih diam, membiarkan gadis itu puas meniti miliknya hingga beberapa saat ke depan. Mengelus punggung tangan Rain halus agar gadis itu merasa nyaman ketika melakukannya.
Ciuman yang dijatuhkan Rain masih belum berhenti. Ini sungguh momen langka. Jave bahkan tidak menyangka bahwa Rain masih mau menyatukan bibirnya disana. Lumatannya sesekali turun ke dagu, cukup liar. Cukup menantang. Jave masih ingin membiarkan Rain menguasai permainan ketika akhirnya gadis itu memundurkan wajah sedikit. Menyeka ujung bibirnya dengan ibu jari.
“Kenapa kok gak kamu bales?” Rain bertanya cukup polos, kontras sekali dengan tindakannya barusan. Sepertinya gadis itu hanya reflek menyalurkan rasa rindu, sebal, marah, cinta, terima kasih, atau apalah yang lain akibat ucapan Jave yang sungguh-sungguh itu tadi.
Satu titik hatinya tersentuh.
Jave meneleng wajah, merapikan rambut Rain yang berantakan itu sebelum membiarkan keadaan agar hening sebentar. Ia mempersilakan Rain mengatur napasnya terlebih dulu sebelum nanti ia turut andil bekerja. Laki-laki itu menatap manik Rain dalam, menjilat bagian bawah bibirnya sendiri yang sempat mengering itu cepat akibat deru napas yang mulai ikut memburu. Yang ia tau, ia memang sangat menyayangi gadis ini. Dari dulu, sampai nanti-nanti sekalipun.
“Kak..” Rain memanggil, suaranya serak bergetar.
Jave menaikkan sebelah alis. “Aku belum bales soalnya mau liat seberapa besar keinginanmu sama aku malem ini.”
Gadisnya masih menatap tanpa kedip, cukup berani mengingat selama ini ia selalu pasif akibat rasa malunya yang terus datang. Rain lantas menyingkirkan bunga yang tadi sempat menjadi penghalang itu kembali ke kursi belakang. Tanpa sepatah kata lagi ia segera mengalungkan tangannya ke leher Jave.
“Kalo dibilang aku lagi kepengen kamu banget. Kamu geli gak?”
Jave tertawa, laki-laki itu lantas menggeleng dan mengecup kening Rain lama sekali. “Aku punyamu. Kamu bebas mau apain aku sesuka hati, serius.”
Oh? Seperti tersihir oleh tatapan Jave yang memayungi, Rain segera menepis jarak. Secara perlahan, seakan mengetes apakah lelaki itu juga menginginkan dirinya juga ataukah tidak.
Napas keduanya beradu, cukup berat. Bertabrakan pelan dengan ritme tak beraturan. Rain masih memandang mata Jave cukup lama ketika bibir lelaki itu hendak maju mengunci miliknya terlebih dulu. Sudah tampak tidak tahan.
Rain meringsut mundur sedikit, menahan gerakan Jave. Gadis itu lantas tersenyum, menarik napas sebentar sebelum akhirnya mencium kembali bibir merah Jave itu dengan gerak pelan.
Ia mencoba menyesap ringan atas dan bawah sembari sesekali menjilat permukaannya.
Jave kini sepenuhnya tersenyum, memajukan badan mendekat dan mengelus punggung Rain agar tidak lelah karena harus maju menurut pada ketinggian kepalanya. Laki-laki itu masih membiarkan ritme ciuman berjalan santai tanpa terburu sampai akhirnya ia sudah tidak tahan lagi. Entah, bibir Rain sejak dulu selalu berhasil meruntuhkan batas sadarnya.
Jave lantas mendorong ciumannya hingga kepala Rain ikut mundur, tangan kanan lelaki itu sigap mencekali tengkuk hingga ia bebas menyedot dan mengeksplor isi bibir Rain dengan puas. Menyalurkan segala rasa permintaan maafnya, dan rasa rindu akibat satu minggu persis tak berkomunikasi dengan baik.
Satu rintihan terdengar dibarengi suara decakan-decakan basah yang terus menguar seirama. Sial. Jave benar membabat habis milik Rain malam ini seakan tak ada hari esok lagi. Fakta bahwa gadis itu menciumnya terlebih dulu membuat isi kepalanya meledak, seakan ingin berbuat lebih dan lebih.
“Ah..” Jave mengerang berat, spontan menarik pergerakannya.
“Eh sakit kah?” Rain mendadak panik.
Jave menggeleng, “kaget aja. Tumben. Tumben banget kamu nerkam aku buas begini sampe berani gigit. Kamu dendam aku gangguin seminggu ya?”
Ganti Rain menggeleng, menggaruk tengkuknya. “Itu cuma reflek aja. Biasanya kamu gituin aku.”
“Aku kalo kalah brutal dari kamu bisa insecure loh Rain..”
Rain melotot. Mendengus cukup kencang, hilang sudah moodnya untuk melanjutkan ciuman yang terpotong. Gantinya gadis itu menyeka kembali bibirnya dengan ujung jari.
“Enak aja main di lap-lap. Aku belum selesai. Aku masih kangen.” Jave seketika protes, menarik kepala Rain mendekat lagi hingga bisa ia cium kembali dengan puas. Entah bagaimana definisi puas menurut Jave karena memang jika sekali menempel, maka susah sekali untuk menghentikannya.
Suara decakan kembali terdengar, cukup kencang akibat Jave menyedot tiap inci bibir Rain dengan kuat. Seakan memberi tau alam sekitar bahwa gadis ini miliknya. Selamanya miliknya.
“Udah.. Udah kak.. please.“
“Belumm.”
“Udah!”
“Sekali lagi aja please.”
“Gak. GAK YA AMPUN GAK MAU HHHH.”
Jave menyeringai, ciumannya jatuh lagi tanpa sempat Rain tolak. Meski gadis itu sekarang menutup bibir rapat-rapat agar tidak diserang, sih.
“Dasar nyebelin banget tukang paksa betulan kayak preman!!!”
“Kan aku nurutin kamu yang kepingin aku tadi Rain.”
“MANA ADA AKU UDAH BERHENTI DULUAN DI AWAL TADI.”
“HAHAHAHAHAHA. Lucunyaaaaaa, liat deh, ngaca sini bentar pipimu merah kayak abis dicelupin ke tinta.”
“Aku malu banget.”
“Hahahaha gak papa sayang. Lagian, aku juga kangen banget.” Jave lanjut terkekeh, menciumi pipi Rain yang merah panas itu berulang kali hingga pemiliknya protes keras.
Pukul 11.59 malam.
Satu menit sebelum pergantian hari. Satu menit sebelum hari spesial Rain berakhir.
“Aku datengin mama bulan lalu Rain, ngajuin rencana buat nikah sama kamu tahun ini.”
“Eh?”
“Kenapa? Kamu gak mau buru-buru?”
“Eh gak gitu. Maksudku, aku kaget.”
Jave mengangguk, ekspresinya seketika serius. “Finansialku udah stabil sekarang, tabunganku juga oke. Jadi, buat apa nunggu lebih lama lagi? Toh, umur juga udah pas.”
Wah.. Rain speechless sekali lagi. Matanya menatap Jave tanpa berkedip.
“Aku tau kamu juga ada kerja.. Nantinya terserah kamu mau berhenti atau lanjut, aku gak ada ngasih kamu batesan buat selalu eksplor diri sendiri di dunia luar. Kamu mau berhenti silakan, mau lanjut juga silakan.” Lelaki itu meneruskan sebentar.
“Mama gimana emangnya kak?”
Jave mengedik pundak, “mamaku setuju banget, sedangkan mamamu juga percaya aku seratus persen. Jadi, sisanya tinggal tunggu kamu setujuin aja.”
Rain menelan ludah, ia tau bahwa umurnya sudah pas untuk memasuki dunia pernikahan, tapi..
“Aku Javerio Alkanira, Rain. Aku mau jadi satu-satunya cowok di bumi yang bakalan selalu ada nemenin disebelahmu sampe tua nanti. Ayo buka lembaran baru lagi sama aku tahun ini.”
Mata Rain berkaca-kaca lagi, begitu pula Jave yang sekarang melihat Rain mengangguk kecil menyetujui rencananya.
Komplit.
Dunianya terasa sempurna. Jave bahkan sudah hampir menangis saking senangnya.
Alarm pergantian hari yang disetel Jave sebagai pengingat agar lekas pulang itu bergetar pelan di saku celana.
“Jadi, kamu mau atur liat-liat gedung berdua sama aku buat siapin pernikahan nanti betulan?” Jave bertanya sekali lagi, memastikan.
Rain reflek melempar pandang ke luar jendela lagi, mengangguk. “Iya mau jadi stop jangan bertanya-tanya lagi.”
“Hahahahahahahaha sayang..”
“Diem kak Jave. Kamu berisik.”
Jave terkekeh, memeluk Rain dari samping untuk melepaskan rasa cintanya yang terus bertambah dari detik ke detik. “Kamu, makin tambah umur bukannya galak malah makin lucu.”
Rain hanya balas berdecak dengan jantung berdebum kencang, tak kunjung damai.
“Tentang seminggu terakhir, sekali lagi aku minta maaf. Besok-besok kalo kamu dendam bakal aku terima deh, janji. Asal kamu tau liat kamu nangis di kafe kemaren aku juga ikutan nangis di deket pintu sampe ditendang Rendy. Maaf, sekali lagi maaf. Makasih juga karena kamu disitu nangisin aku. Meski nangisin aku ngupload foto pinterest cewek luar negeri aku tau kalo itu emang bikin sedih kamu banget. Tapi cewekku cuma kamu kok, serius. Suer. Seratus rius. Kamu tau aku.”
Rain mengangguk, sepanjang perjalanan kisahnya dengan Jave memang baru kali ini lelaki itu menyebalkan. Mungkin terpengaruh hasut dari yang lain juga karena aslinya Jave adalah sosok yang dewasa. Tak apa, Rain sekarang tau bahwa Jave tidak berniat aneh-aneh, alias, ia bukan pencetus ide. Meski perlu di garis bawahi bahwa ia memang jengkel dan kesal sekali kemarin karena semua orang ternyata satu kepala. Termasuk mama dan Gio, adiknya.
Jave masih memeluknya dari samping, kian erat dari waktu ke waktu. “Tadi maunya aku ngajak kamu nikah di depan mama papa sama Gio dan yang lain. Tapi mereka keburu neletin krim-krim ke kamu, jadi batal, aku ajak kamu keluar aja bilang sendirian.”
Rain menoleh, mengangguk. “Awas kamu berani gak angkat telponku lagi besok-besok!!” Ia mengancam.
Jave langsung duduk tegak, melepas pelukan, hormat siaga. “Siap komandan!!!!”
Rain langsung berhasil terpingkal untuk pertama kali sejak moodnya tidak teratur dari tadi. Gadis itu lantas mengangguk, Jave memang tidak berubah. Tidak akan pernah berubah. Akting kemarin ia tau bahwa Jave memang berusaha mati-matian untuk cuek dan berbuat layaknya lelaki tidak benar.
Pun, harusnya Rain peka, ini mendekati hari ulang tahunnya. Jave juga selama ini tidak pernah berbuat aneh-aneh.. Baru seminggu terakhir tiba-tiba berubah 180°. Ckckck, gadis itu akhirnya geleng-geleng kepala sendiri. Membiarkan Jave kembali memeluknya dari samping. Pelukan hangat tanda permintaan maaf, sekaligus cinta yang Jave sendiri yakin tak akan pernah ada akhirnya.
“Jadi calon istriku, kamu mau bulan madu di negara ini atau ke luar aja? Soal anak sih terserah kamu mau ada berapa aku gak ada permintaan berlebih soalnya yang ngandung kan kamu. Itu beneran terserah kamu. Tapi kalo kamu atau mama papa minta banyak juga aku sanggup banget nafkahinnya. Santai.”
Rain langsung melotot. “MASIH BELUM KAK JAVE! DEMI APA KAMU BISA MESUM BANGET TERNYATA!!!!!!!” teriaknya, membuat Jave terpingkal hingga matanya menyipit hilang.