waterrmark

“halooooooooooooo.” rain menyapa panjang, suaranya ceria sekali akibat sudah lama tidak bertegur sapa meski hanya melalui ponsel. jave di seberang sana otomatis tersenyum, kakinya keluar kembali ke balkon depan akibat tidak ingin diganggu berisik oleh teman-temannya di dalam sana. entahlah, satu dua tertidur, sisanya masih bermain ponsel.

“KAKAK KOK ENGGA DIJAWAB HALO NYA?!”

“halo sayang.”

“ih jangan gitu, sok ganteng banget nadanya kayak abang-abang lagi menjamet.”

jave tertawa, tawanya merdu sekali tumben-tumben. “aku kangen.” ia berujar kemudian, memberi info yang sebenarnya sudah disampaikan berulang kali dengan tanpa bosan. menurutnya satu hari tidak ada rain saja sudah hambar, apa lagi ini ditambah berminggu-minggu?

“lebay. kamu dulu aku tinggal ngampus di luar kota aja gak papa.”

“eh beda. itu dipisah keadaan kamu ngejar ilmu, ini kan..”

“apaaaa hahahaha sama aja.”

jave mendengus. ia lalu duduk di kursi kayu sembari menyelonjorkan kakinya di kursi lain, mencari posisi enak agar bisa mengobrol lama meski tengah malam. gemerlap lampu kota yang masih menyala di kejauhan tampak indah dan menenangkan. sungguh nyaman.

hening. entah rain ataupun jave masih belum sama-sama mengobrol. menurut mereka, mendengar napas satu sama lain saja sudah terasa cukup. hingga akhirnya suara serak rain yang mulai cerewet itu kembali terdengar.

“kak kamu tau enggak akhir-akhir ini pikiranku banyaaaaaak banget. maksudku aku emang suka overthink gitu tapi ini kayak yang bikin perut juga mules sama pengen muntah gitu. seperti stress ringan? hahahahaha enggak sih belum separah itu tapi memang pikiranku berisik gak mau diem. paling parah kalo pas aku merem mau tidur, tiba-tiba aja semuanya lewat tanpa aku bisa stop. padahal kamu tau aku kalo mau tidur selalu bikin skenario pacaran sama jersen limantara dulu kan... eh kali ini aku tidak bisa. selalu kedistract..”

jave yang sudah serius mendengarkan mendadak saja frustasi. “jersen terus kamu mau nikahin dia aja gitu besok?”

“kalo bisa sih aku gas.” rain balas terkekeh, bercanda.

“memang kamu lagi kepikiran apa aja? kenapa gak share ke aku?”

“kepikiran kamu.”

“oh ya iya. harus itu.” jave sombong.

“IH ENGGAK DENGER DULU INI AKU SERIUS. aku mikir kita, maksudnya nanti ke depan bakal gimana aku juga kan bingung.”

jave seketika diam karena berpikir. “bahas kita nikah kan ini isi pikiranmu?” tebaknya tepat sasaran.

rain mengangguk, meski jave tidak bisa melihatnya detik ini. “aku bingung kayak linglung gitu tapi gak ngerti juga sih bingungnya kenapa. tapi ya emang seperti takut. maksudku, ini kan bahas menikah ya.. orang kalo pacaran bosen atau ada apa gitu sih tinggal bilang putus sudah selesai. nah kalo menikah, aku takut, maksudnya kan kita gak ngerti apa yang kejadian di waktu mendatang gitu. aku takut aja, gak ngerti deh..”

ucapan rain yang selalu belibet ketika menyampaikan sesuatu tidak pernah berubah dari dulu. dan bagusnya, jave selalu paham. lelaki itu kini bangkit berdiri dari duduknya, berjalan menuju dekat batas pagar untuk menumpu disana. “rain.” ia memanggil, suaranya terdengar halus dan lembut sekali seakan tak ingin menyakiti hati perempuannya.

“yaaaaa..”

“punya pikiran banyak itu bukan salahmu, gak papa malah. makasih banget juga karna kamu udah share ke aku malem ini, tapi satu yang pasti, i'll never leave you. gombal? enggak. aku gak pernah gombalin perempuan manapun dari dulu, kamu tau aku. aku bahkan juga gak suka tebar janji, tapi ibarat ini bisa bikin kamu tenang. i love you. sayangku ke kamu gak berkurang kemakan waktu. pegang aja janjiku. omongan javerio bisa dipegang lahhh. suer.” ia terkekeh di akhir pembicaraan dan sengaja melebih-lebihkan agar tidak terlalu kaku.

rain diam di ujung sana, tak sadar air matanya menetes. entah, seperti bebannya terangkat percuma. javerio dan rasa sayangnya memang tidak perlu diragukan lagi. lelaki itu benar berpendirian lurus dan tidak aneh-aneh. namun, kebaikan apa yang rain perbuat di kehidupan sebelumnya hingga javerio mau memilihnya di antara puluhan wanita cantik dan sukses yang mengincarnya? kecantikan? tidak. paras rain memang cantik, tapi masih kalah jauh jika dibanding oleh gadis lain. kaya? tidak juga. clara ketua dance jaman sma yang mengejar jave selama 3 tahun itu jauh lebih kaya, seakan jika diibaratkan kekayaannya tak akan habis hingga puluhan tahun ke depan. namun, kenapa jave tetap memilihnya? jika berdasar lucu atau apapun, rasa-rasanya gadis lain juga pasti punya sifat tersebut.

“kenapa aku, kak?” akhirnya keributan pikirannya keluar kembali tanpa bisa ia cegah. “jangan bilang alesan aneh karena ini aku atau gimananya kayak jaman sma. aku tetep gak bisa paham dan rasanya akan terus aneh kalo denger itu.”

jave menghela napas. ia selalu kebingungan jika pertanyaan rain jatuh seperti ini. masalahnya, ia memang tidak punya alasan pasti untuk mencinta. selama itu rain, ia tau, jika ia memang jatuh cinta. rasa nyaman yang datang tak bisa membohongi apapun. lelaki itu akhirnya berdeham karena serak, melepas pandang jauh ke langit gelap dengan bulan bungkuk yang menggelayut manja di celah-celah ribuan bintang.

sorry karena jawabanku masih sama rain. kenapa kamu? ya karena itu kamu. orang jatuh cinta gak bisa dijelasin kenapa-kenapanya, kamu tau itu. aku suka cewek karena cantik? cantik itu relatif, dan yang jelas, kecantikan itu gak abadi. kalaupun aku suka cewek cantik, itu berarti aku cuma keobsesi sama penampilan aja. aku suka orang kaya? itu namanya materialistic, kenapa aku harus suka orang kaya kalo aku bisa kerja? aku bisa ciptain kekayaanku sendiri dengan orang pilihanku nantinya. aku suka cewek seksi? kurus? bentuk kayak gitar spanyol? itu namanya nafsu aja. bentuk tubuh mau gimanapun dirawat nanti pasti akan berubah rain. pas hamil terus lahiran semuanya juga berubah, kulit yang awalnya mulus juga bisa muncul stretch di bagian-bagian tertentu. alias, semuanya itu gak abadi. tapi, kenapa kamu? aku gak ngerti. karena definisi mencintai itu gak pernah bisa dinalar akal sehat. aku cinta kamu, jadi di mataku ya kamu cantik, kamu sempurna 100 persen di bidang apapun mau lecet sebadan-badan juga. sampe sini kamu masih bingung kenapa aku pilih kamu?”

rain kembali diam. kini ia benar membersit hidungnya kencang karena menangis betulan. dadanya terasa kosong, dan satu-satunya hal yang ingin ia lakukan hanya memeluk jave detik ini. “kakkkk..”

“hm?”

“makasih banyak. dari dulu, kamu bagian paling baik yang pernah kejadian di hidupku. aku gak pernah nyesel ketemu kamu, bahkan selalu bersyukur udah dikasih kamu. makasih udah pilih aku naik ke altar bareng nantinya..”

“kalo disana, udah aku cium kamu.”

you and your hobby.......

“HAHAHAHAHAHAHA. sekarang udah enak gak kepalanya? masih berisik?”

“iya. sekarang pikiranku cuma pengen nali kamu pake tali rafia biar gak bisa kemana-mana. liat aja aku mode posesif pas nikah nanti. gak bisa itu ada cewek yang mendadak tarik-tarik kamu ngira kamu jomblo.”

“asik.. ditunggu posesif baliknya ya kak HAHAHAHAHAHA. gak sabar.”

“yeeee.”

“omong-omong kamu kemaren drakornya udah sampe mana?”

rain menegakkan pundak, “waaaaahhhhhhh.... KACAU KAK SERIUS KACAU.”

jave terkekeh, mengibas rambut pelan dan siap mendengarkan ocehan rain yang akan panjang dan lebar membicarakan serial drama yang baru ditontonnya. tak sadar, dari dalam kamar, kalandra dan yang lain sudah menahan tawa melihat kebucinan jave malam ini. menguping, tentu saja. sebab mereka tau, hati javerio memang tak pernah bergulir kemanapun. seperti perahu tertambat kaku dan kuat di pelabuhan, hatinya pun sama demikian.

boys time.

pukul 7 lebih 45. javerio segera memarkir mobilnya di halaman parkir tempat yang sudah dipesan oleh benzerino, kembaran chandra. lelaki itu mengenakan setelan serba putih dari atas hingga bawah, tampak tampan, tampak memukau.

seorang gadis berpenampilan seksi segera menyambut kehadirannya di depan pintu. tak banyak basa-basi karena javerio juga kebal godaan, ia segera melangkah masuk dan naik ke lantai 2 dengan cepat tanpa toleh-toleh lagi.

ruangan besar tempat billiard ini terlihat temaram, padahal banyak lampu kecil berwarna warm white yang menggantung di setiap beberapa jengkalnya. dari tengah hingga sudut ruang juga tampak sepi, sepertinya sudah ada yang memesan tempat ini untuk seluruh lantainya. entahlah, jave juga tidak peduli.

kaki laki-laki itu terus melangkah di atas lantai marmer tanpa henti, melewati beberapa meja hijau dan kemudian sampai hingga di meja paling pojok, tempat yang tadi sudah diberi tahu oleh benzerino.

“keren. gak on time atau telat, bro.” chandra, mengepulkan asap vapornya pelan sambil bangkit berdiri setelah sebelumnya sudah saling sikut dengan ben. kedua pria tersebut menyambut kehadiran jave seramah mungkin sambil mulai menawarkan jabat tangan.

“gue chandra.”

jave menerima uluran tangan tegas tersebut dan ikut memperkenalkan diri, begitu pula dengan ben. terhitung ini memang baru kali pertama mereka bertatap muka karena chandra dan ben tinggal di australia.

tidak ada kecanggungan berarti di antara mereka setelah berbasa-basi cukup lama karena chandra memang begitu pintar mencairkan suasana.

“lo bisa main billiard, javario?”

jave mendengus. javario lagi, pikirnya.

ia kemudian hanya diam sebentar, hampir menggeleng karena memang tidak pernah mampir ke tempat billiard. namun demi gengsi antar lelaki, terlebih ia juga tidak ingin terlihat memalukan di hadapan kakak rain ini, jave akhirnya mengangguk.

“bagus. langsung aja, bola 15 ben. lo atur.”

ben mengangguk, pria satu ini wajahnya memang ramah, tapi sangat irit kata dan sedikit susah diajak berbicara. yang memulai percakapan selalu saja chandra, ben hanya menyimak dan sekali dua kali melempar tatap tajam.

“giliran lo.” ben menunjuk jave setelah ia selesai urusan dengan bolanya sendiri.

jave menegak ludah sempurna, sok meregangkan badan sekali sebelum ia menunduk dan menyundul bola dengan gerak pelan, dan langsung meleset.

chandra tertawa sebentar, menatap sangsi bahwa jave bisa bermain billiard sesuai tanggapan. ia kemudian menyodok bola incarannya, dan bola tersebut langsung masuk dalam sekali pantul.

permainan berlangsung cukup lama dengan jave yang belum juga memasukkan satu pun bola. perlu diakui, chandra dan ben memang sempurna lahir batin. mereka handal sekali, meleset sekalipun tidak.

ben berdeham, memfokuskan pandang ke bola sebentar sambil bibirnya mulai terbuka. mencomot bahan pembicaraan utama karena sudah terlalu lama basa-basi. ia bukan chandra yang suka mengulur waktu, ia adalah ben, baginya, waktu adalah uang. terbukti juga sejak tadi ponselnya selalu berbunyi akibat keperluan perusahaan, namun tidak ada yang ia buka satupun demi wawancara dengan javerio.

“bukannya gue mau ikut campur atau gimana ya jave, tapi karna lo mau nikahin adik perempuan gue, lo mau kan gue tanya-tanyain sedikit?”

“ya.” jave mengangguk, mempersilakan. memang toh tujuannya bertemu tadi untuk ditanya-tanya, bukan untuk bermain billiard.

“lo pasti mikir pertanyaan pertama gue bakal kenapa lo mau nikah sama rain, kan? tapi gak, gue gak penasaran sama itu karna gue tau adik gue luar biasa dan berhak dinikahi sama cowok kayak lo ini. pertanyaan gue simple sebenernya, cuma sebatas dunia orang dewasa. gue tau lo juga udah dewasa dan pasti udah mikirin mateng-mateng...”

“lama bener chan, langsung aja, lo bisa nafkahin rain sampe tua?” ben memotong, berdiri tegak setelah berhasil menyodok bola masuk ke dalam lubang.

oh. jave mengangguk, mengerti arah pembicaraan.

“gue gak suka ngasih kalimat bualan atau gimana sih aslinya ko, tapi kalo gue ngajak rain nikah, pastinya gue udah siap mateng dengan segala aspeknya. tabungan dan lainnya, gue siap buat itu semua. gue tau gue bukan cowok yang lahir perfect kayak cowok di kebanyakan dunia fiksi. gue bukan anak ceo kaya raya yang duitnya gak abis 7 turunan. gue cuma cowok biasa.. tapi apa keistimewaan gue sebagai cowok biasa? ya, gue pinter. dan gue tau gue bisa kerja. usaha. kalo gagal dan jatuh? ya gak papa, namanya aja kerja. yang harus gue lakuin ya berusaha lagi. dengan adanya rain di sebelah gue, gue tau gue bakal selalu punya semangat buat ngasih lebih buat kehidupan mendatang.. percuma juga gue jadi anak founder perusahaan kalo gue gak bisa kerja, kan?” mata jave membara seketika, sodokan bolanya memantul sempurna dan masuk ke salah satu lubang. nilai pertamanya sejak dari tadi gagal terus menerus.

ben dan chandra diam sebentar, saling lirik. mereka berdua tau javerio memang seambisius itu. tidak ada hal melenceng yang aneh dari hidupnya. dengan kata lain, javerio adalah lelaki dengan tujuan lurus. mereka tau karena beberapa bulan lalu sudah sempat memeriksa kehidupannya secara diam-diam. tentu saja itu adalah hal mudah, ben dan chandra punya koneksi luas dan kuat.

keduanya lantas mengangguk, menjentik jarinya pelan hingga beberapa gadis berbaju seksi berjalan mendekat. memberi isyarat singkat bahwa mereka sudah selesai bermain dan akan segera meninggalkan lokasi ini.

chandra dan ben mengeluarkan kartu nama masing-masing.

“gue gak berhak menilai orang, tapi disini kita berdua bisa selalu kasih bantuan apapun ibarat lo mau bangun lapangan kerja di bidang makanan kedepannya. anggep aja kita investor pertama di bisnis lo nanti.” chandra tersenyum, mengulur kartu namanya.

jave tertegun. ingin menolak, namun sungkan. ingin menerima, jauh lebih sungkan dan tidak enak hati lagi. sebagai gantinya ia hanya garuk-garuk kepala saja.

“santai aja sama kita javario, gue tau lo memang punya ability buat kembangin apapun yang lo mau. rain cerita, apapun yang lo pengen, lo pasti dapet. karna lo memang berambisi. gue tau lo bakal sukses kedepannya. terima aja dulu siapa tau kita bisa kerja sama ngehasilin banyak duit nanti.”

jave akhirnya mengangguk, menerima uluran.

“dan kalo lo suka main billiard, itung-itung buat lo belajar. lo kasih aja kartu pass ini ke penjaganya, lo bisa main gratis dan dapetin pelayanan apapun disini unlimited.” chandra melanjutkan, menyerahkan kartu berwarna hitam.

ben menyeringai, meraih ponsel dari kursi. “santai aja, ini tempat punya chandra. sekarang gue ijin balik dulu, gue ada perlu di tempat lain.” ujarnya, menepuk bahu jave dan chandra bergantian lalu berlari keluar.

“gue juga ada perlu di lain tempat, udah telat sebenernya, tapi demi kepastian adek gue sama lo gue rela hahahaha.”

“thanks, ko.” jave mengucap terima kasih.

“gak perlu, we actually doing nothing to you. rain suka lo, itu keputusannya buat nikah sama lo, sebagai sesama cowok gue cuma mau pastiin aja seserius apa lo sama rain. jaman sekarang banyak cowok bajingan soalnya.”

jave tersenyum. “rain aman sama gue. selalu aman.”

“i really wish for it. karena sekali rain sambat ke gue atau ben lo gangguin, hidup lo kelar beneran sama kita javario.” chandra seketika serius, ia lalu menepuk bahu jave sekali untuk berpamitan pergi.

“capek?” jave duduk di sebelah kursi rain untuk memberikan sekotak susu yang tadi memang betul ia beli di toko sebelum datang ke rumah rain. sesi foto hari ini telah selesai, sudah 10 menit lalu sebenarnya, namun rain masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin segera pulang.

gadis itu menarik beberapa aksesoris rambut yang menempel di rambutnya, meletakkannya ke dalam kantong kecil agar tak hilang ketika nanti harus dikembalikan ke pihak salon. ia kemudian menggeleng, menggaruk keningnya sebentar akibat bingung ingin berbuat apa lagi kali ini.

pikirannya melantur kanan kiri. entahlah, mungkin benar ia sedang kelelahan. kalandra dan teman-teman jave yang lain tampak sibuk membantu membenahi peralatan foto dan tengah berjalan mondar-mandir untuk membawa properti kembali ke tempatnya masing-masing.

tidak ribet sebenarnya. mengingat jave dan rain yang tidak suka aneh-aneh, konsep prewed mereka hari ini pun juga sederhana seperti kemarin. berlatar taman kecil dengan dedaunan hijau lengkap dengan bunga yang tersebar beraneka warna. tampak cantik, tampak berkesan. ditambah gaun dengan tema serupa, terlihat berkelas.

“kapan gue bisa melepas first kiss gue ya cim?” sebuah suara melontar dari jarak dekat, membuat jave dan rain kaget hingga reflek mendongak cepat.

“bikin kaget aja kak rendy.” rain mengerut alis, rautnya tampak sedikit protes. rambut gadis itu yang kini tengah terurai dengan keadaan separuh berantakan akibat bekas kelabang itu perlahan tertiup angin. sangat cantik. jave reflek menangkap tiap helai rambut dan menyisirnya dengan jemari.

rendy hanya balas mengedik pundak, lalu duduk di kursi kayu panjang tepat di depan milik rain. memperhatikan jave yang tak mau melihat ke sembarang arah dan hanya mau fokus ke gadisnya itu sembari geleng-geleng kepala.

javerio alkanira, semua tau jika lelaki ini tidak mudah mencinta. namun sekalinya jatuh, lihat, bahkan tidak ada satu gadispun yang berhasil mencuri perhatiannya meski cuma sejengkal mata sejak pacaran dengan rain beberapa tahun lalu.

“omong-omong emang cim siapa?” jave memutuskan bertanya ketika rambut rain sudah ia ikat menggunakan karet hitam yang ia bawa, wajahnya tampak bingung.

“orang nyebut cim udah berapa menit lalu bos???? respon lo telat.” rendy melotot.

“hahahahahaha ya ayo buru lo jawab. gue tau lo pengen ditanyain aslinya. kan?”

rendy mendengus. “cimi, nama bibir gue.”

“hah?” rain langsung mangap, hampir tergelak dan tersedak ludah sendiri jika tak diganggu oleh kalandra dan gibran yang datang sambil mengomel.

“besok bran ya ampun lo kenapa sensi dah?”

“gak gak, lo janji nemenin sekarang kok.”

“nemenin kemana?” rain menimbrung basa-basi.

“si gibran noh mau ngajak jadian cewek malah nyusahin gue. masa iya gue disuruh ngambilin kembang di perempatan?”

“yaelaaaaah tolonggggggg kalandra kan deket rumah lo, lagian sama gue ngambilnya.”

kalandra mendengus, ikut duduk di sebelah rendy. “iye iye, gue temenin.”

rain menggeleng kepala, lanjut mengamati sekitar dalam hening. kepalanya beberapa hari ini penuh sekali. bagaimana tidak? sesaat lagi ia akan melepas beberapa aspek dalam hidup karena harus melangkah maju. ia akan menikah. mempunyai hidup baru lainnya karena akan keluar dari rumah dan tinggal bersama orang lain sehidup semati.

“sayang..” jave menyenggol, menggoyang susu kotak stroberi kesukaan rain yang belum terminum itu pelan. “dihabisin dulu terus kita cari makan ya?”

“aku males makan kak jave..”

“kenapa males? kamu dari siang tadi berangkat ngecek baju belum makan apa-apa lagi sampe sore begini loh. diisi, dikit aja.”

rain menggeleng, sedikit merajuk akibat ia tau jave pasti akan terus memaksa. “please nanti aja, aku masih gak mau makan.”

“kamu ada pikiran atau yang lain beneran ya rain? kalo ada bagi ke aku. aku disini.”

gadis itu menggeleng lagi. “gak ada yang begituan ini cuma betulan lagi males.”

“YANG BENTAR LAGI SERUMAH UDAHAN DONG YA KITA MAH NYAMUK DOANG KALO BEGINI.” kalandra melotot sangsi.

jave mengedik pundak, tidak peduli.

“ati-ati aja lo ntar rain.” kalandra mengajak bicara. nadanya julid sekali.

“ati-ati apa kak?”

“jave kalo tidur kadang gak sadar kentutnya keras banget.”

“HAHAHAHAHAHA IYA GUE PERNAH DENGER SUMPAH.”

jave spontan berdiri, melotot kaget. “GUE TUNTUT LO SEMUA ATAS TUDUHAN PALSU DAN PENCEMARAN NAMA BAIK.”

“nah kan rain, dia ngamuk. berarti itu fakta.”

rain akhirnya ikut tertawa, tawa lepas pertamanya untuk hari ini.

“abis ini makan rain, cowok lo bingung terus tiap jam dikirain lo gak mau nikah loh ntar.”

“eh mauuuuu.” rain langsung menyanggah, membuat yang lain spontan ganti tertawa kencang.

BUBUR PANGKALAN, 11.01

lowercase.


“kamu gak jadi makan nasi? itu di sebelah ada abang jual nasi soto kamu mau aku pesenin ke dia aja kah?”

jave menoleh, mengelus pucuk kepala rain sebentar. “aku makan apa yang kamu makan. kenyang kok, santai aja. nanti kalo kurang aku beli deh sotonya.”

“padahal kamu bilang kalo makannya jangan setengah-setengah loh. makan aja, nanti mangkuknya dibawa kesini. orang abang2nya yang jual berteman juga kayak gak masalah sih?”

jave menggeleng, tersenyum, mulai menyendok bubur ayamnya. “ini aja, sama juga kuahnya model soto. seriusan gak masalah.”

hening.

“kenyang rain ya Tuhan seriusan kamu gak pikir perutku model gentong kan?” jave membela diri melihat rain yang menatapnya sangsi.

gadis itu spontan tertawa, mulai ikut menyendok sendiri isi mangkuknya.

jalanan hari ini ramai. angin bergerak sepoi-sepoi dan panasnya matahari tidak begitu menyiksa. biasa saja. ini cuaca pukul 11 seperti kebanyakan hari sebelumnya. tidak terik, tidak mendung, cukup normal.

orang-orang yang berlalu-lalang masuk ke toko ataupun menyabrang kesana kemari tampak jelas. kesibukan siang hari yang sudah biasa dilihat mata telanjang.

“omong-omong kak jave kamu mau ayamnya enggak?”

“hm? kenapa rain? ayamnya alot? gak bisa ditelen?”

“bukan. aku lagi gak kepengen makan ayam.”

“terus kamu mau makan apanya kalo ayam kamu kasih ke aku sayang?”

“buburnya. itu kalo kamu mau ambil kedelai sama cakuenya juga aku oke banget.”

jave sempurna menolehkan wajah. “kamu lagi sakit?”

“hah enggak amit-amit aku sehat segar bugar ini aku gendong kamu pake kekuatan superman juga kuat.”

jave menggeleng, lalu meneleng wajah. “ya udah kamu makan. habisin. udah deket-deket hari H jangan sampe jatuh sakit. stamina sama kesehatan harus dijaga baik-baik. kita makin sibuk urus ini itu nanti kamu gak kuat sayang.”

gadis itu menghel napas, diam saja akibat ucapan jave memang benar adanya. sebagai gantinya, ia hanya diam-diam menyingkirkan separuh ayamnya ke pinggir. tidak ingin makan. entahlah, sebagian dirinya sedang tidak mood, sebagian lainnya, ia memang merasa tidak lapar. keinginan makannya akhir-akhir ini seperti meluap sempurna entah kemana. mungkin ke jave, karena sebaliknya, selera makan laki-laki itu membaik 100%.

“loh loh, kok dipinggirin?” jave langsung berkomentar, matanya melirik cepat melihat isian mangkuk yang hanya terambil setengah padahal tadi ia sudah memesankan makanan rain dengan porsi yang sudah setengah juga. dengan kata lain, rain hanya makan bubur ini seperempat, yang entah hanya setara dengan berapa sendok suapan kecil saja.

“kenyang kak jave. aku kayak gak enak makannya betulan.”

jave menilik lagi mata rain, dan sialnya, gadis itu memang benar tampak tidak berselera makan. pandangannya jujur. bahkan kini rain sudah hampir menutup alat makannya, ingin berhenti.

“sini-sini aku abisin itu ayam sama kedelai cakuenya.” laki-laki itu menengahi, mengambil isian bubur rain dan ia pindahkan ke miliknya dengan sigap. “sekarang isinya udah gak ada, buburnya harus habis. gak boleh nyisa. deal?”

rain mengangguk lamat-lamat, menggaruk keningnya sebentar karena merasa bersalah, tapi tetap menurut.

“kamu lagi banyak pikiran kah rain?”

“enggak kok kak aku aman.”

“gak biasanya selera makanmu jelek kayak gini loh. udah dari kapan kamu begini terus? aku bener gak mau kamu sakit rain. inget jadwal kita kedepan padet banget, jangan sampe limbung. oke? makan usahain tepat waktu. jangan diulur-ulur karna meski gak selera perut itu tetep harus diisi.”

rain menyeringai singkat, geleng-geleng kepala. jave dan omelannya sudah sangat khas di telinga sekarang.

“kan, kamu kalo dibilangin cuma diem senyum doang. aku ini khawatir seriusan.”

“iya sayang nanti makannya aku banyaaaaaaaaaaaaaaak. janji.”

“lagi-lagi.”

“apa?”

“ulangi lagi coba sayangnya, itu barusan kayak merdu banget aku mau denger lagi.”

“gak.”

“SAYANGMU TUH EKSKLUSIF TAU GAK? AYO LAH RAIN.”

“gak.”

“pelit.” jave berakhir mendengus, lanjut makan dengan sesekali mencibir. tindakannya membuat rain spontan gemas dan tertawa senang.

“apa ketawa?”

“kamu lucu loh, sayang.”

“DIEM RAIN.”

“hahahaha apa sih tadi katanya disuruh ulang?”

“tadi ya tadi kan yang ini aku gak ada persiapan lagi buat dengerinnya?”

“hahahahahahaha kak javeee.”

“udah sana abisin itu buburnya, habis ini langsung persiapan.”

“nanti sore aku temani makan makanan apapun yang kamu mau janji.”

“gak mau aku ditemenin.”

rain bingung.

“maunya makan bareng. aku gak mau diliatin doang.”

oh. rain mengangguk. paham. jave hanya khawatir ia tidak mau makan lagi seperti hari-hari terakhir ini.

Completely Us.


Jave menolehkan wajah, menatap Rain yang masih diam sejak tadi berangkat hingga sekarang telah sampai di tujuan itu dengan berpikir matang-matang tentang akan berbuat apa nantinya. Gadis itu memilih untuk melihat jendela gelap di luar sana ketimbang menatapnya.

“Rain.”

Hening.

“Rain udah dong dieminnya. Jangan marah terus, kan itu tadi, niatnya cuma surprise kecil aja..” Jave tidak tahan. Mulai merengek, menggoyang tangan Rain yang menyatu di atas paha itu berulang kali.

Gadis itu tidak menggubris, masih diam.

“Nanti kamu aku turutin deh mau kemana aja. Kamu mau minta aku dikuncir tengah sambil ngemall juga oke banget. Atau kamu nyuruh aku jalan-jalan pake baju tidur juga gak masalah.”

Rain berdecak, menepis tangan Jave menghindar. “Berisik.” Ujarnya singkat.

“Uih galaknya. Galaknya cewek siapa ini sih?”

“Males. Males banget.”

“Ceweknya Jave kok ya. Iya kan? Rain Chandra ceweknya siapa coba dijawab gih?”

“Ceweknya Jersen Limantara.”

Jave mengerut alis, “kamu selamanya cewekku Rain.”

“Gak, kan cewekmu yang di pinterest itu. Aku bukan dong berarti.”

“Duh duh, ngomel..” Jave menggoyang kembali tangan Rain agar gadis itu mau menoleh ke arahnya. Namun nihil, Rain masih membuang muka.

“Liat sini dong Rain bentar aja ini aku kasih sesuatu.”

“Gak.”

“Ini kesukaanmu loh. Liat deh.” Jave tidak menyerah, mulai menarik pundak kiri Rain pelan agar setidaknya mendekat ke arahnya.

“Aku masih jengkel jadi kamu mending diem aja. Kamu gak tau aku seminggu kayak orang gak bener makan tidur keganggu terus belum lagi ketambahan aku nangis-nangis juga. Sebel banget serius kayak, aku salah apa? Aku gak ngapa-ngapain terus tiba-tiba kamu cuekin aku. Kamu kayak gak peduli lagi sama aku, ya udah, males, dikira kemarin aku gak galau hah? Terus lagi pake acara sok-sok gak ngangkat telponku. Males banget. Kamu bahkan biarin aku jalan sendirian di kafe tau gak!!!!!!!!”

“Aku ikut ke kafe sayang. Aku ada disitu, serius.” Jave memelas.

“Malessssssssssss.”

“Kamu pake all black, ya kan?”

“Males. Aku taunya aku sendirian.”

Jave memanyunkan bibir, ia tau tindakannya menyebalkan memang. Tapi tak apa. Lagi pula, sudah terjadi.

Jave lantas diam, memperhatikan Rain yang rambut panjangnya dibiarkan terurai asal-asalan itu karena habis keramas. Wanginya menguar memenuhi seluruh sudut mobil Jave yang kini tengah berhenti di area dataran tinggi. Begitu memabukkan pikiran.

Hamparan rumput hijau yang menggelap dan hanya disinari beberapa lampu jalan itu terlihat indah sekaligus menakjubkan di depan sana. Beberapa orang turun dari mobil, menyambut angin demi melihat sendiri konstelasi bintang yang tampak jelas di langit atas karena tak ada pepohonan dan kabel melintang yang mengganggu pandangan.

Jave kemudian menghela napas, memberanikan diri menarik dagu Rain perlahan agar mau menghadap ke arahnya.

“Mau apa?!” Gadis itu protes, masih tak ingin diganggu.

“I love you.”

Huh?

“Gak usah love lovean, aku sedang gak mood.”

“Aku mau kembaliin barangmu. Ayo lah Rain jangan ngambek ke aku lagi. Liat deh, bulan disana aja senyum. Ngeledekin kamu soalnya merengut terus gak mau senyum ke aku.”

Rain akhirnya berdecak kencang, menoleh seutuhnya. “Barang apa?” Tanyanya, menatap mata Jave.

Senyum lelaki itu mengembang sempurna ketika Rain akhirnya mau melihatnya secara sukarela tanpa perlu dipaksa lagi. Ia kemudian mengeluarkan cincin milik Rain itu dari dalam saku jaketnya, menarik jemari Rain agar mendekat.

“Aku gak pernah minta kamu lepas ini kecuali nanti digantiin cincin nikah pas hari H. Aku minta maaf bikin kamu lepas dia dari sini tadi.” Ia berujar, menyematkan kembali cincin itu ke tangan pemilik sahnya.

Rain mematung, ia sudah kehabisan kata. Cukup sudah hatinya terombang-ambing seminggu karena tingkah laki-laki ini saja. Gadis itu lantas terdiam cukup lama akibat jantungnya yang kembali menggedor kuat. Membuat lidah kelu, bahkan kakipun ikut kebas.

Jave menaikkan sebelah alis, menggenggam kedua tangan Rain erat seraya mengelusnya sesekali dengan ibu jari. “Aku gak bakalan gituin kamu di dunia nyata Rain. Gak akan aku ulangi juga meski cuma ngeprank.”

“Apa iya..”

“Lah kamu gak percaya????” Jave memicingkan mata sensi, bergurau.

Rain hanya menyeringai kecil sebagai tanggapan. Gadis itu lantas mendongak, maju sedikit, mencium pipi Jave singkat. “Makasih banyak udah perhatiin aku meski emang nyebelin banget, tapi ya udah, gak papa. Tetep makasih.”

“Kamu cuma mau cium pipiku?”

Rain mengangguk, melepas tangan Jave dari tangannya, lalu menyenderkan punggung di kursi mobil kembali.

Jave berpura kecewa, “sayang sekali saudara saudari... saya kira bakal ada cium-cium yang lain.”

Rain terkekeh tanpa suara. Memutuskan untuk melihat beberapa orang yang melintas di sekitar mobil Jave ini untuk kemudian masuk menapakkan kaki ke rerumputan. Entah, apakah mereka tak kedinginan?

“Kamu mau turun?” Jave bertanya.

“Nggak sih. Dingin, aku juga males.”

“Yahhhh, sekali lagi sayang sekali saudara saudari.. Padahal menyerahkan bunga besar ini harus sambil berlutut supaya lebih romantis.”

Mata Rain seketika membulat sempurna. Bunga bouquet biru yang besarnya hampir separuh badan itu berhasil membuat bulu tubuhnya meremang cukup lama.

Jave tersenyum, menyerahkan bunganya ke tangan Rain perlahan agar gadis itu bisa memeluknya. Rain tidak tau sepanjang perjalanan bunga itu ada di kursi belakangnya persis karena sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Happy birthday ya Rain. Aku gak tau harus nyebut wish yang mana dulu soalnya kalo menyangkut kamu itu semuanya pasti penting. Yang jelas, kamu harus tetep sehat. Tetep kuat. Tetep bertahan. Dunia ini memang keras, tapi aku tau kamu bisa lewatin semuanya. Makasih banyak udah ada sampai hari ini, nemenin aku dengan sabar. Pokoknya, ya gitulah banyak banget gak bisa direntet pake kalimat normal. HEI UDAH GAK USAH BERKACA-KACA AKU CUMA NGUCAPIN KAMU ULANG TA..” Ucapan Jave menggantung di udara akibat bibir Rain yang menempel kuat pada miliknya secara tiba-tiba.

Terhitung sejak dari lama pacaran, baru kali ini Rain berani menciumnya terang-terangan terlebih dulu. Bahkan lihatlah, gadis itu mengunci kepala Jave dengan memegangi kedua pipi dengan erat.

Ciuman itu terus bergerak, lumatan-lumatan yang dulu jarang Jave rasakan karena Rain suka malu-malu itu hari ini akhirnya dapat ia peroleh secara cuma-cuma tanpa berjuang terlebih dulu.

Jave masih diam, membiarkan gadis itu puas meniti miliknya hingga beberapa saat ke depan. Mengelus punggung tangan Rain halus agar gadis itu merasa nyaman ketika melakukannya.

Ciuman yang dijatuhkan Rain masih belum berhenti. Ini sungguh momen langka. Jave bahkan tidak menyangka bahwa Rain masih mau menyatukan bibirnya disana. Lumatannya sesekali turun ke dagu, cukup liar. Cukup menantang. Jave masih ingin membiarkan Rain menguasai permainan ketika akhirnya gadis itu memundurkan wajah sedikit. Menyeka ujung bibirnya dengan ibu jari.

“Kenapa kok gak kamu bales?” Rain bertanya cukup polos, kontras sekali dengan tindakannya barusan. Sepertinya gadis itu hanya reflek menyalurkan rasa rindu, sebal, marah, cinta, terima kasih, atau apalah yang lain akibat ucapan Jave yang sungguh-sungguh itu tadi.

Satu titik hatinya tersentuh.

Jave meneleng wajah, merapikan rambut Rain yang berantakan itu sebelum membiarkan keadaan agar hening sebentar. Ia mempersilakan Rain mengatur napasnya terlebih dulu sebelum nanti ia turut andil bekerja. Laki-laki itu menatap manik Rain dalam, menjilat bagian bawah bibirnya sendiri yang sempat mengering itu cepat akibat deru napas yang mulai ikut memburu. Yang ia tau, ia memang sangat menyayangi gadis ini. Dari dulu, sampai nanti-nanti sekalipun.

“Kak..” Rain memanggil, suaranya serak bergetar.

Jave menaikkan sebelah alis. “Aku belum bales soalnya mau liat seberapa besar keinginanmu sama aku malem ini.”

Gadisnya masih menatap tanpa kedip, cukup berani mengingat selama ini ia selalu pasif akibat rasa malunya yang terus datang. Rain lantas menyingkirkan bunga yang tadi sempat menjadi penghalang itu kembali ke kursi belakang. Tanpa sepatah kata lagi ia segera mengalungkan tangannya ke leher Jave.

“Kalo dibilang aku lagi kepengen kamu banget. Kamu geli gak?”

Jave tertawa, laki-laki itu lantas menggeleng dan mengecup kening Rain lama sekali. “Aku punyamu. Kamu bebas mau apain aku sesuka hati, serius.”

Oh? Seperti tersihir oleh tatapan Jave yang memayungi, Rain segera menepis jarak. Secara perlahan, seakan mengetes apakah lelaki itu juga menginginkan dirinya juga ataukah tidak.

Napas keduanya beradu, cukup berat. Bertabrakan pelan dengan ritme tak beraturan. Rain masih memandang mata Jave cukup lama ketika bibir lelaki itu hendak maju mengunci miliknya terlebih dulu. Sudah tampak tidak tahan.

Rain meringsut mundur sedikit, menahan gerakan Jave. Gadis itu lantas tersenyum, menarik napas sebentar sebelum akhirnya mencium kembali bibir merah Jave itu dengan gerak pelan.

Ia mencoba menyesap ringan atas dan bawah sembari sesekali menjilat permukaannya.

Jave kini sepenuhnya tersenyum, memajukan badan mendekat dan mengelus punggung Rain agar tidak lelah karena harus maju menurut pada ketinggian kepalanya. Laki-laki itu masih membiarkan ritme ciuman berjalan santai tanpa terburu sampai akhirnya ia sudah tidak tahan lagi. Entah, bibir Rain sejak dulu selalu berhasil meruntuhkan batas sadarnya.

Jave lantas mendorong ciumannya hingga kepala Rain ikut mundur, tangan kanan lelaki itu sigap mencekali tengkuk hingga ia bebas menyedot dan mengeksplor isi bibir Rain dengan puas. Menyalurkan segala rasa permintaan maafnya, dan rasa rindu akibat satu minggu persis tak berkomunikasi dengan baik.

Satu rintihan terdengar dibarengi suara decakan-decakan basah yang terus menguar seirama. Sial. Jave benar membabat habis milik Rain malam ini seakan tak ada hari esok lagi. Fakta bahwa gadis itu menciumnya terlebih dulu membuat isi kepalanya meledak, seakan ingin berbuat lebih dan lebih.

“Ah..” Jave mengerang berat, spontan menarik pergerakannya.

“Eh sakit kah?” Rain mendadak panik.

Jave menggeleng, “kaget aja. Tumben. Tumben banget kamu nerkam aku buas begini sampe berani gigit. Kamu dendam aku gangguin seminggu ya?”

Ganti Rain menggeleng, menggaruk tengkuknya. “Itu cuma reflek aja. Biasanya kamu gituin aku.”

“Aku kalo kalah brutal dari kamu bisa insecure loh Rain..”

Rain melotot. Mendengus cukup kencang, hilang sudah moodnya untuk melanjutkan ciuman yang terpotong. Gantinya gadis itu menyeka kembali bibirnya dengan ujung jari.

“Enak aja main di lap-lap. Aku belum selesai. Aku masih kangen.” Jave seketika protes, menarik kepala Rain mendekat lagi hingga bisa ia cium kembali dengan puas. Entah bagaimana definisi puas menurut Jave karena memang jika sekali menempel, maka susah sekali untuk menghentikannya.

Suara decakan kembali terdengar, cukup kencang akibat Jave menyedot tiap inci bibir Rain dengan kuat. Seakan memberi tau alam sekitar bahwa gadis ini miliknya. Selamanya miliknya.

“Udah.. Udah kak.. please.

“Belumm.”

“Udah!”

“Sekali lagi aja please.”

“Gak. GAK YA AMPUN GAK MAU HHHH.”

Jave menyeringai, ciumannya jatuh lagi tanpa sempat Rain tolak. Meski gadis itu sekarang menutup bibir rapat-rapat agar tidak diserang, sih.

“Dasar nyebelin banget tukang paksa betulan kayak preman!!!”

“Kan aku nurutin kamu yang kepingin aku tadi Rain.”

“MANA ADA AKU UDAH BERHENTI DULUAN DI AWAL TADI.”

“HAHAHAHAHAHA. Lucunyaaaaaa, liat deh, ngaca sini bentar pipimu merah kayak abis dicelupin ke tinta.”

“Aku malu banget.”

“Hahahaha gak papa sayang. Lagian, aku juga kangen banget.” Jave lanjut terkekeh, menciumi pipi Rain yang merah panas itu berulang kali hingga pemiliknya protes keras.

Pukul 11.59 malam.

Satu menit sebelum pergantian hari. Satu menit sebelum hari spesial Rain berakhir.

“Aku datengin mama bulan lalu Rain, ngajuin rencana buat nikah sama kamu tahun ini.”

“Eh?”

“Kenapa? Kamu gak mau buru-buru?”

“Eh gak gitu. Maksudku, aku kaget.”

Jave mengangguk, ekspresinya seketika serius. “Finansialku udah stabil sekarang, tabunganku juga oke. Jadi, buat apa nunggu lebih lama lagi? Toh, umur juga udah pas.”

Wah.. Rain speechless sekali lagi. Matanya menatap Jave tanpa berkedip.

“Aku tau kamu juga ada kerja.. Nantinya terserah kamu mau berhenti atau lanjut, aku gak ada ngasih kamu batesan buat selalu eksplor diri sendiri di dunia luar. Kamu mau berhenti silakan, mau lanjut juga silakan.” Lelaki itu meneruskan sebentar.

“Mama gimana emangnya kak?”

Jave mengedik pundak, “mamaku setuju banget, sedangkan mamamu juga percaya aku seratus persen. Jadi, sisanya tinggal tunggu kamu setujuin aja.”

Rain menelan ludah, ia tau bahwa umurnya sudah pas untuk memasuki dunia pernikahan, tapi..

“Aku Javerio Alkanira, Rain. Aku mau jadi satu-satunya cowok di bumi yang bakalan selalu ada nemenin disebelahmu sampe tua nanti. Ayo buka lembaran baru lagi sama aku tahun ini.”

Mata Rain berkaca-kaca lagi, begitu pula Jave yang sekarang melihat Rain mengangguk kecil menyetujui rencananya.

Komplit.

Dunianya terasa sempurna. Jave bahkan sudah hampir menangis saking senangnya.

Alarm pergantian hari yang disetel Jave sebagai pengingat agar lekas pulang itu bergetar pelan di saku celana.

“Jadi, kamu mau atur liat-liat gedung berdua sama aku buat siapin pernikahan nanti betulan?” Jave bertanya sekali lagi, memastikan.

Rain reflek melempar pandang ke luar jendela lagi, mengangguk. “Iya mau jadi stop jangan bertanya-tanya lagi.”

“Hahahahahahahaha sayang..”

“Diem kak Jave. Kamu berisik.”

Jave terkekeh, memeluk Rain dari samping untuk melepaskan rasa cintanya yang terus bertambah dari detik ke detik. “Kamu, makin tambah umur bukannya galak malah makin lucu.”

Rain hanya balas berdecak dengan jantung berdebum kencang, tak kunjung damai.

“Tentang seminggu terakhir, sekali lagi aku minta maaf. Besok-besok kalo kamu dendam bakal aku terima deh, janji. Asal kamu tau liat kamu nangis di kafe kemaren aku juga ikutan nangis di deket pintu sampe ditendang Rendy. Maaf, sekali lagi maaf. Makasih juga karena kamu disitu nangisin aku. Meski nangisin aku ngupload foto pinterest cewek luar negeri aku tau kalo itu emang bikin sedih kamu banget. Tapi cewekku cuma kamu kok, serius. Suer. Seratus rius. Kamu tau aku.”

Rain mengangguk, sepanjang perjalanan kisahnya dengan Jave memang baru kali ini lelaki itu menyebalkan. Mungkin terpengaruh hasut dari yang lain juga karena aslinya Jave adalah sosok yang dewasa. Tak apa, Rain sekarang tau bahwa Jave tidak berniat aneh-aneh, alias, ia bukan pencetus ide. Meski perlu di garis bawahi bahwa ia memang jengkel dan kesal sekali kemarin karena semua orang ternyata satu kepala. Termasuk mama dan Gio, adiknya.

Jave masih memeluknya dari samping, kian erat dari waktu ke waktu. “Tadi maunya aku ngajak kamu nikah di depan mama papa sama Gio dan yang lain. Tapi mereka keburu neletin krim-krim ke kamu, jadi batal, aku ajak kamu keluar aja bilang sendirian.”

Rain menoleh, mengangguk. “Awas kamu berani gak angkat telponku lagi besok-besok!!” Ia mengancam.

Jave langsung duduk tegak, melepas pelukan, hormat siaga. “Siap komandan!!!!”

Rain langsung berhasil terpingkal untuk pertama kali sejak moodnya tidak teratur dari tadi. Gadis itu lantas mengangguk, Jave memang tidak berubah. Tidak akan pernah berubah. Akting kemarin ia tau bahwa Jave memang berusaha mati-matian untuk cuek dan berbuat layaknya lelaki tidak benar.

Pun, harusnya Rain peka, ini mendekati hari ulang tahunnya. Jave juga selama ini tidak pernah berbuat aneh-aneh.. Baru seminggu terakhir tiba-tiba berubah 180°. Ckckck, gadis itu akhirnya geleng-geleng kepala sendiri. Membiarkan Jave kembali memeluknya dari samping. Pelukan hangat tanda permintaan maaf, sekaligus cinta yang Jave sendiri yakin tak akan pernah ada akhirnya.

“Jadi calon istriku, kamu mau bulan madu di negara ini atau ke luar aja? Soal anak sih terserah kamu mau ada berapa aku gak ada permintaan berlebih soalnya yang ngandung kan kamu. Itu beneran terserah kamu. Tapi kalo kamu atau mama papa minta banyak juga aku sanggup banget nafkahinnya. Santai.”

Rain langsung melotot. “MASIH BELUM KAK JAVE! DEMI APA KAMU BISA MESUM BANGET TERNYATA!!!!!!!” teriaknya, membuat Jave terpingkal hingga matanya menyipit hilang.

Kind of Complete Night.


“TIUP DULU LILINNYA RAIN.” Lea, yang suaranya sejak dulu tidak pernah mengecil itu berteriak, membawa kue tart besar yang dipesan Jave jauh-jauh hari itu mendekat.

Tidak. Rain masih bingung. Ia ingin mengeluarkan beberapa kata untuk membalas ataupun bertanya, namun bibirnya terkunci. Terkatup mulus.

Gadis itu menoleh kanan kiri. Mendapati mama, om Janu, Gio, teman-teman basket Jave masa SMA, Lea, Jinan dan Karel berdiri dengan wajah sumringah di sekelilingnya. Mengucapinya selamat ulang tahun.

Benarkah ia memang berulang tahun hari ini? Rain mengerjap, berusaha mengingat tanggal. Dan ya, hari ini memang betul tanggal kelahirannya. Mungkin ia tak sengaja melupakan hari penting ini karena pikirannya kelewat kalang kabut. Kacau sekali.

Jave masih memeluknya, mengelus rambut panjangnya berulang kali untuk menyadarkan Rain dari lamunan.

Satu menit, dua menit.. Rain masih speechless. Gantinya ia mendongak, mengerut alisnya jengkel tanda permusuhan. Gadis itu lantas mendorong bahu Jave menjauh, melotot kesal dengan mata yang masih menyisakan merah.

Jave mengedik pundak, merasa bersalah. Namun seperti tak ingin berdebat di hadapan orang lain, Rain segera berbalik badan menghadap teman-temannya dan menerima kue tersebut dengan air mata yang ia tahan. Dalam hati, ia sungguh terharu. Meski kesal setengah mati, ia tetap merasa dicintai oleh teman-teman dan keluarganya. Pun oleh Jave sendiri.

Gadis itu menutup mata, menyebut beberapa permintaan. Lantas ketika selesai segera meniup kue bernuansa biru cerah itu, warna kesukaannya.

“Mama tau Rain mau diginiin?”

Mama Rain mengangguk, mengerling pada Gibran. Teman Jave satu itu dari dulu memang pandai sekali memikat hati semua orang. Bahkan mamanya yang keras dan galak itu bisa kalah dalam sekali bertemu.

“Jangan ngambek ke Jave loh Rain, ide Kalandra tuh kemaren.” Juna memberi tau, terkekeh singkat.

“Iya.”

“Iya iya doang, diliat tuh cowok lo Rain, melas.” Rendy menimpali. Menunjuk Jave yang masih terdiam di dekat mobil sambil menyender. Benar kata Rendy, wajah kekasihnya itu melas sekali.

Rain akhirnya membalik badan, menatap Jave. Pandangannya masih jengkel karena mengingat ia diperlakukan sedemikian rupa sejak seminggu terakhir. Belum lagi fakta ia sudah menangis akibat foto gadis yang ternyata hanya dicomot cuma-cuma dari aplikasi pinterest. Mengesalkan.

“Hehe.” Jave tertawa canggung ketika Rain tak kunjung mengajaknya berbicara. Jika posisinya sedang berdua, mungkin Jave sudah merajuk agar Rain tak menatapnya galak seperti ini.

“Kan tadi udah minta maaf Rain.” Lelaki itu memberanikan diri maju selangkah, menggaruk tengkuk.

“Iya.”

“Jangan didiemin terus akunya.” Jave berujar lagi, membiarkan yang lain terkekeh akibat Jave yang tidak berani maju lagi menghampiri Rain saat ini. Tatapan gadis itu masih benar memusuhinya.

“Akur Rain, please banget. Nyawa motor gue beneran ada di keputusan lo.” Kalandra berujar dengan nada memelas. Membuat Rain menoleh dan berdecak kencang. Sekarang ia tau kenapa Kalandra ada di kafe menghampirinya ketika menangis kemarin. Ia pasti diikuti sejak dari rumah.

“Ayolah Rain...”

Baiklah. Gadis itu hening sebentar, lalu mengangguk.

Lagi pula ia memang tidak marah. Ia hanya jengkel. Seminggu terakhir makan dan tidurnya jadi tidak teratur akibat banyak pikiran.

“NAH AKURRRRRRRR.. JAVENYA DIPELUK BOLEH GAK TANTE?”

“Lah anaknya tante Kiara si Rain kenapa lo malah minta ijin atas nama Jave?”

“YA INTINYA JAVE SAMA RAIN PELUKAN LO KENAPA BEGO DAH?”

Sial. Kiara hanya geleng-geleng kepala memperhatikan keributan ini, ia lantas mengangguk saja. Tak keberatan.

“Enak aja peluk-peluk. Yang begituan ntar aja pas lo berdua sendirian. Mentang-mentang gue jomblo dipanas-panasin mulu modal makanan berkuah aja.” Jinan yang sedari tadi lebih banyak diam itu berujar nyolot, menolak. Bercanda.

Sebagai gantinya lelaki itu maju mendekat, menyerahkan bingkisan kado. “Selamat nambah umur Rain, partner petinggi kelas gue jaman kelas sebelas.” Ia berujar, mengucap dengan sungguh-sungguh. Jinan, laki-laki yang dulunya suka sekali bergurau itu kini bisa serius akibat bertambah dewasa.

Rain mengangguk, berterima kasih. Ia menoleh sebentar ke arah Lea yang posisinya sedikit jauh dari ia berdiri itu dengan hening. Wajah temannya tampak senang, namun juga murung di saat bersamaan. Mungkin yang dijadikan lelucon kemarin hanya hubungannya dan Jave. Hubungan Jinan dan Lea benar sudah selesai.

“TELETIN KRIMNYA KE MUKA RAIN WOY.” Satu suara berteriak mengacau suasana. Membuat yang lain reflek menyerbu dan mengotori wajah Rain dengan krim kocok yang sebelumnya sudah disemprotkan ke tangan Kalandra terlebih dulu.

Kacau sudah. Mama dan om Janu memutuskan masuk rumah, sedangkan Gio.. Lihatlah, adik laki-lakinya itu malah paling semangat mencemongi pipi Rain. Membiarkan gadis itu pasrah diserang dari banyak sudut.

Jave menghela napas, niatnya untuk melamar Rain 2x gagal sudah. Gantinya ia melotot pada teman-temannya yang sudah asik sendiri itu. Lupa, mungkin. Padahal tadi di ruang obrolan sudah dibahas. Ya sudahlah, tak apa. Jave bisa melakukannya nanti, jika berdua dengan Rain.

Kind Complete Night.


“TIUP DULU LILINNYA RAIN.” Lea, yang suaranya sejak dulu tidak pernah mengecil itu berteriak, membawa kue tart besar yang dipesan Jave jauh-jauh hari itu mendekat.

Tidak. Rain masih bingung. Ia ingin mengeluarkan beberapa kata untuk membalas ataupun bertanya, namun bibirnya terkunci. Terkatup mulus.

Gadis itu menoleh kanan kiri. Mendapati mama, om Janu, Gio, teman-teman basket Jave masa SMA, Lea, Jinan dan Karel berdiri dengan wajah sumringah di sekelilingnya. Mengucapinya selamat ulang tahun.

Benarkah ia memang berulang tahun hari ini? Rain mengerjap, berusaha mengingat tanggal. Dan ya, hari ini memang betul tanggal kelahirannya. Mungkin ia tak sengaja melupakan hari penting ini karena pikirannya kelewat kalang kabut. Kacau sekali.

Jave masih memeluknya, mengelus rambut panjangnya berulang kali untuk menyadarkan Rain dari lamunan.

Satu menit, dua menit.. Rain masih speechless. Gantinya ia mendongak, mengerut alisnya jengkel tanda permusuhan. Gadis itu lantas mendorong bahu Jave menjauh, melotot kesal dengan mata yang masih menyisakan merah.

Jave mengedik pundak, merasa bersalah. Namun seperti tak ingin berdebat di hadapan orang lain, Rain segera berbalik badan menghadap teman-temannya dan menerima kue tersebut dengan air mata yang ia tahan. Dalam hati, ia sungguh terharu. Meski kesal setengah mati, ia tetap merasa dicintai oleh teman-teman dan keluarganya. Pun oleh Jave sendiri.

Gadis itu menutup mata, menyebut beberapa permintaan. Lantas ketika selesai segera meniup kue bernuansa biru cerah itu, warna kesukaannya.

“Mama tau Rain mau diginiin?”

Mama Rain mengangguk, mengerling pada Gibran. Teman Jave satu itu dari dulu memang pandai sekali memikat hati semua orang. Bahkan mamanya yang keras dan galak itu bisa kalah dalam sekali bertemu.

“Jangan ngambek ke Jave loh Rain, ide Kalandra tuh kemaren.” Juna memberi tau, terkekeh singkat.

“Iya.”

“Iya iya doang, diliat tuh cowok lo Rain, melas.” Rendy menimpali. Menunjuk Jave yang masih terdiam di dekat mobil sambil menyender. Benar kata Rendy, wajah kekasihnya itu melas sekali.

Rain akhirnya membalik badan, menatap Jave. Pandangannya masih jengkel karena mengingat ia diperlakukan sedemikian rupa sejak seminggu terakhir. Belum lagi fakta ia sudah menangis akibat foto gadis yang ternyata hanya dicomot cuma-cuma dari aplikasi pinterest. Mengesalkan.

“Hehe.” Jave tertawa canggung ketika Rain tak kunjung mengajaknya berbicara. Jika posisinya sedang berdua, mungkin Jave sudah merajuk agar Rain tak menatapnya galak seperti ini.

“Kan tadi udah minta maaf Rain.” Lelaki itu memberanikan diri maju selangkah, menggaruk tengkuk.

“Iya.”

“Jangan didiemin terus akunya.” Jave berujar lagi, membiarkan yang lain terkekeh akibat Jave yang tidak berani maju lagi menghampiri Rain saat ini. Tatapan gadis itu masih benar memusuhinya.

“Akur Rain, please banget. Nyawa motor gue beneran ada di keputusan lo.” Kalandra berujar dengan nada memelas. Membuat Rain menoleh dan berdecak kencang. Sekarang ia tau kenapa Kalandra ada di kafe menghampirinya ketika menangis kemarin. Ia pasti diikuti sejak dari rumah.

“Ayolah Rain...”

Baiklah. Gadis itu hening sebentar, lalu mengangguk.

Lagi pula ia memang tidak marah. Ia hanya jengkel. Seminggu terakhir makan dan tidurnya jadi tidak teratur akibat banyak pikiran.

“NAH AKURRRRRRRR.. JAVENYA DIPELUK BOLEH GAK TANTE?”

“Lah anaknya tante Kiara si Rain kenapa lo malah minta ijin atas nama Jave?”

“YA INTINYA JAVE SAMA RAIN PELUKAN LO KENAPA BEGO DAH?”

Sial. Kiara hanya geleng-geleng kepala memperhatikan keributan ini, ia lantas mengangguk saja. Tak keberatan.

“Enak aja peluk-peluk. Yang begituan ntar aja pas lo berdua sendirian. Mentang-mentang gue jomblo dipanas-panasin mulu modal makanan berkuah aja.” Jinan yang sedari tadi lebih banyak diam itu berujar nyolot, menolak. Bercanda.

Sebagai gantinya lelaki itu maju mendekat, menyerahkan bingkisan kado. “Selamat nambah umur Rain, partner petinggi kelas gue jaman kelas sebelas.” Ia berujar, mengucap dengan sungguh-sungguh. Jinan, laki-laki yang dulunya suka sekali bergurau itu kini bisa serius akibat bertambah dewasa.

Rain mengangguk, berterima kasih. Ia menoleh sebentar ke arah Lea yang posisinya sedikit jauh dari ia berdiri itu dengan hening. Wajah temannya tampak senang, namun juga murung di saat bersamaan. Mungkin yang dijadikan lelucon kemarin hanya hubungannya dan Jave. Hubungan Jinan dan Lea benar sudah selesai.

“TELETIN KRIMNYA KE MUKA RAIN WOY.” Satu suara berteriak mengacau suasana. Membuat yang lain reflek menyerbu dan mengotori wajah Rain dengan krim kocok yang sebelumnya sudah disemprotkan ke tangan Kalandra terlebih dulu.

Kacau sudah. Mama dan om Janu memutuskan masuk rumah, sedangkan Gio.. Lihatlah, adik laki-lakinya itu malah paling semangat mencemongi pipi Rain. Membiarkan gadis itu pasrah diserang dari banyak sudut.

Rude yet Special Day.

Rain melangkahkan kakinya keluar rumah ketika panggilan telpon Jave sudah masuk ke notifikasi. Lelaki itu tampak menunggunya dibalik balutan hitam-hitam dari atas hingga bawah. Tepat di samping mobil, berdiri tegak.

Rain mendesah, langkahnya terasa berat. Sejak kemarin lelaki itu memposting foto gadis di sosial medianya, Rain sudah merasa tidak punya harapan berlebih lagi tentang hubungannya dan Javerio.

Padahal, beberapa minggu lalu keduanya masih lengket. Lengket sekali bahkan. Seperti lem alteco yang susah ditarik jika sudah terlanjur menempel. Entah apa masalahnya.. atau mungkin benar, Jave memang telah bosan dan menemukan gadis lain yang lebih menarik baginya.

Perasaan manusia, secara tiba-tiba ataukah tidak, tetap bisa berubah.

Langit hitam tanpa awan membentang sejauh mata memandang. Menampakkan konstelasi bintang gemintang yang cantik dan indah di atas sana. Bulan sabit menggantung sempurna dilengkapi oleh deru angin yang tak begitu menyiksa kulit. Cuaca yang sempurna, kontras dengan perasaan Rain yang justru kacau sekali detik ini.

Jave menunduk, menatap sepatunya sendiri ketika Rain sudah menapak di depan kakinya. Tidak mengeluarkan sepatah kata apapun bahkan untuk sekedar menyapa. Rain pun sama, hanya diam, tak melihat.

Keduanya masih diam ketika suara mereka yang serak saling memanggil satu sama lain secara bersamaan.

“Kamu dulu.” Jave berucap, mempersilakan.

Rain mengangguk, tidak banyak kata lagi gadis itu segera melepas cincin yang melingkar di tangan kirinya secara perlahan. Cincin itu diberikan Jave ketika ada di Bali saat itu, sebagai tanda bahwa laki-laki itu ingin membawa Rain ke hubungan yang jauh lebih serius dari pada sekedar berpacaran.

Ia menatap cincin itu sebentar, tersenyum miris, lalu dengan segera menjulurkannya ke arah Jave. “Makasih banyak, kak.” Rain berujar dengan setengah tersendat-sendat, matanya menahan seluruh gejolak sedih dalam hati ketika melihat tangan Jave terangkat, menerima kembali cincin tersebut.

Lelaki itu mengangguk, membuang pandangan ke arah lain tanpa sepatah kata apapun lagi.

Hening. Keduanya sudah tidak ingin berkata-kata sampai Jave akhirnya menghela napas pelan.

“Boleh peluk, Rain?”

Gadis yang dari tadi sibuk menahan air mata dengan memainkan ujung jari itu mendongak, bertanya-tanya. Dan belum sempat ia melontar jawaban, pelukan Jave yang terlampau erat itu hadir mendekap. Bau khas Jave yang segar itu menguar lepas di rongga hidung, membuat Rain semakin ingin menangis saja.

Tak ada percakapan, hanya hembusan napas Jave yang semakin menderu. Detak jantung lelaki itu terasa kencang sekali di dadanya.

“Maaf ya Rain.”

Rain tidak menjawab, sibuk menetralkan perasaan yang kian memburuk detik demi detik.

“Maaf buat seminggu terakhir aku jahatin kamu.”

Rain masih tidak menjawab, bukan karena tidak ingin, namun tidak bisa. Jika bibirnya terbuka, pertahanan air matanya akan tumpah sia-sia. Sebagai gantinya ia hanya mengangguk saja. Menunggu Jave menyelesaikan ucapannya sendiri.

“Tentang cewek kemarin aku juga minta maaf.”

“Hm.”

Hening. Rain merasa pelukan Jave di badannya menguat mendadak. Seakan tak ingin lepas.

“Itu foto aku ambil di pinterest. Disuruh sama Rendy.”

Tubuh Rain membeku sekejap, mata cantiknya mengerjap pelan hingga satu butir air mata yang ia tahan tadi bergulir jatuh dan meresap ke baju hitam Jave.

Ia ingin menarik mundur badannya untuk bertanya ketika seruan kencang dari arah lain tiba-tiba berbunyi nyaring.

“HAPPY BIRTHDAY BAYINYA JAVERIO!!!!”

“Bayi Kiara, saya mamanya, kenapa jadi bayi Javerio?”

“HAHAHAHA iya iya tante, ini anaknya tante Kiara HAPPY BIRTHDAY!!!”

Rain mengerjap berulang kali, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Serasa ingin pingsan.

Jave menunduk, masih memeluk Rain. Wajahnya yang tadi tertekuk lesu itu perlahan berubah cerah, matanya bahkan sudah ikut berkaca-kaca akibat melihat Rain yang tadi hampir menangis akibat ulahnya.

“Tuh diucapin selamat ulang tahun, senyum ayo, masa kamu kalah sama bulan sabit?” Ia berucap, mencontohkan sebuah senyum hingga matanya menyipit hilang, persis seperti bulan sabit yang melengkung indah ke bawah.

Kafe N 8 Malam.

Rain benar tidak sanggup menahan air matanya sendiri, ia menunduk dalam-dalam di atas meja. Bahunya terguncang. Tadi ketika berangkat ia memang betul ingin menyendiri, tapi sekarang ia menyesal. Ia ingin ditemani, atau minimal, ingin pulang dan menangis di dalam kamar saja.

Beberapa pengunjung ingin mendekat, namun karena tidak saling mengenal, lantas batal dan berjalan menjauh. Tidak ingin mengganggu.

Beberapa menit menangis hingga hidungnya tersumpal, ia akhirnya mengangkat pandang. Ingin membayar roti dan susunya agar bisa segera pulang ke rumah sampai ia melihat sosok tak asing berada di depannya.

“Udah kalo nangis?”

Rain mengerjap, itu suara Kalandra. Cowok itu duduk di kursi kosong hadapannya seraya menyodorkan tisu mendekat. Entah sudah sejak kapan ia duduk disitu karena Rain hanya fokus menunduk sejak tadi.

Gadis itu menggeleng, ingin menangis lagi namun batal. Gantinya ia menyeka hidungnya yang tersumpat itu dan menetralkan napasnya sebentar.

“Kok tau gue disini kak?”

“Lewat aja, kebetulan.”

“Oh.”

“Kesini naik apa?”

“Motor.”

“Sendiri?”

“Ya sama siapa lagi?”

Kalandra mengangguk, ia lantas bangkit berdiri. “Ayo balik, gue anterin.”

“Maksudnya?”

“Ya gue anter, gue setirin.”

“Lo kesini bawa kendaraan apa?”

“Gampang lah ntar bisa diurus.” Kalandra menjawab, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket denim yang ia kenakan. “Ayo buruan. Gak enak ini vibesnya kayak gue abis nyiksa lo.”

Rain menoleh ke kanan kiri, beberapa pengunjung memang menatapnya. Baiklah, ia akan menurut dan pulang dengan Kalandra.

“Mata sama idung lo merah banget, nanti mama kalo nanya bilang aja lagi kelilipan aspal terus bablas kena bulu ayam pinggir jalan.”

Tak disangka, Rain menyunggingkan senyumnya pelan.

their little messy night.


Rain masih diam, membiarkan Jave mencumbunya terlebih dahulu. Tidak seperti sebelumnya yang cenderung terburu-buru, ciuman Jave kini sudah kembali seperti biasanya. Halus, detail. Terasa begitu manis.

Rain perlahan tergoda. Faktanya gadis itu memang suka sekali dicium dengan gerakan pelan seperti ini. Rasanya seperti begitu dicintai dan begitu disayang. Tangan Jave yang tadinya masih mengunci jemari Rain di bawah sana perlahan bergerak, ganti bertumpu pada pinggul yang terbalut dress satin lembut berwarna putih tersebut.

Mengelusnya di beberapa waktu, lalu meremasnya pelan. Tangan Rain yang menggelantung bebas itu juga perlahan bergerak, menyusur dada Jave naik hingga akhirnya berkalung nyaman pada leher lelaki itu.

Bibirnya terbuka sedikit demi menyesap bibir Jave kembali atas dan bawah. Menarik pelan bibir merah lelaki itu gemas, lalu menggigitnya.

Jave tampak terkejut, tubuhnya menegang seperempat detik ketika mendapati Rain berani menggigit bibirnya. Sebelum ini gadisnya itu cenderung normal-normal saja, hanya membiarkan dirinya melakukan apapun dan jarang membalas pagutannya dengan agresif.

Rain menarik pelan bibirnya sendiri menjauh, menatap mata Jave yang sudah seperti pemburu siap memangsa lawannya itu dengan napas tidak beraturan.

“Why did you stop?” Jave bertanya halus.

“Bentar. Agak malu.”

Lelaki itu tertawa, “karena barusan kamu tarik bibirku sambil ngegigit?”

“Errrr... Iya. Maaf, itu aku kerasukan.”

“Kamu boleh brutal balik ke aku Rain astaga.”

“Ya sungkan, maksudku..”

Jave geleng-geleng kepala seraya mulai memeluk Rain mendekat. “Nih, cium.” ujarnya memerintah, menundukkan kepala.

Wajah Rain makin merah saja sepertinya, gerah sekali.

“Ini punyamu Rain. Ambil aja, tarik sesukamu.”

Gadis itu menelan ludahnya takut-takut. Tangannya yang tadi berada di leher itu perlahan mulai berpindah tempat demi mencekali kedua pipi Jave, lantas menariknya mendekat.

Rain menghentikan tarikannya tepat ketika jarak mereka tinggal beberapa senti lagi. Gadis itu menatap mata Jave lama sekali seraya mengusap pipi lelaki itu dengan ibu jarinya. Melihat bibir Jave sekali lagi sebelum akhirnya ia memiringkan wajah dan menempelkan miliknya dengan pelan.

Keduanya langsung memejamkan mata. Rain bahkan bisa merasakan Jave tersenyum ketika bibirnya mulai bergerak ringan. Mengecup pelan seraya melumat bibir bawah lelaki itu secara halus.

Tangannya yang masih berada di pipi itu bahkan kini sudah bergerak turun, kembali mengalung pada leher Jave karena pelukan di pinggangnya terasa semakin erat.

Tangan kanan Jave bergerak naik, berpindah pada tengkuk Rain agar gadis itu terpancing untuk memperdalam ciumannya kembali. Tangan kirinya tetap menahan pinggul agar gadisnya tidak terdorong kemanapun ketika nanti ia mulai membalas.

Sapuan ringan Rain berikan pada bibir Jave ketika ia merasa tengkuknya diremas halus. Gadis itu bahkan sudah berhasil meneroboskan lidahnya masuk karena Jave yang memang selalu mempersilakannya mengeksplor lebih jauh. Memainkannya pelan di dalam sana seraya terus menikmati debaran jantungnya yang tidak terkendali. Campuran wine yang tadi Jave minum itu menguar manis, Rain semakin mabuk saja dibuatnya.

“Jago banget sekarang.” Jave memuji, mencium kening Rain lama ketika ciuman bibirnya terlepas.

“Enak kak.”

“Emang.”

“Enggak maksudku rasanya minumanmu tadi itu enak.”

Jave mencibir, “jadi bibirku nggak enak?”

“Enggak gitu maksudku.. Heii astaga mau apa lagi????” Rain seketika protes ketika tubuhnya dijunjung masuk ke dalam kamar.

“Jeva sama Lukas udah dateng soalnya.”

“Ya terus mau diapain? Biarin aja astagaaa kak Jav stooooooppppppphhh JANGAN DI LEHERH..”

Jave tertawa, mencekali dua tangan Rain dengan satu tangan dan menguncinya di belakang punggung. Perlahan lelaki itu membawa langkah mendekati tembok agar Rain bisa menyender disana.

“Kak udah please jangan dimerahin lagi lehernya. Kamu sekali main disitu bisa merah-merahin banyak banget astaga.. ahh, kak!!”

“Liat atas cantik.”

“Nggaaaaaak mauuuuu.”

“Ya udah terserah.” Jave terkekeh sebentar, mencekali leher Rain dengan tangan kanannya yang menganggur. Mulai kembali mengecup bagian yang tadi belum sempat ia jamah.

“Kak.. Nggak kuathhhhh please jangan di leher.”

“Enak Rain.”

“Tapi, geli banget, serius.” Ucapannya tersengal karena tubuhnya menggelinjang sesaat. Lidah Jave sudah terulur kembali, menjilatnya naik turun dengan begitu erotis dan melumatnya di berbagai sisi.

Geli sekali. Rain sampai menjambak rambut Jave ketika lehernya disedot kuat di banyak tempat. Sudah hampir berteriak frustasi ketika ia mendengar derap langkah ramai dari arah luar. Sepertinya memang yang lain sedang bermain di depan kamar Jave, entah berbuat apa.

“Denger kan? Makanya jangan berisik.”

“Nggak berisik kalo kamu nggak gangguin ak.. hmh kak Javeeee!!!!!”

“Sssst Rain. Jangan teriak.”

“Geli kak, serius aku tidak berbohong.”

“Lehermu enak.”

“Bukan makanan!”

“Sini bibirnya..”

“Lagiiii????????”

“Tadi belum selesai.”

“Kapan kamu lowbatt?!”

Jave menggeleng, “udah kelanjur gini, emang ada cowok normal yang bakal mendadak lowbatt?”

Rain menggigit bibir bawahnya karena Jave kembali menghujani area dada depannya dengan kecupan massal. Tangan kiri Jave yang dari tadi mencekali tangan Rain itu bergerak naik melepas talian pita agar rambut panjang gadisnya bisa tergerai lepas.

Ciumannya naik, kembali ke bibir. Lelaki itu tanpa memberi aba-aba langsung menyentak mulut Rain dengan meneroboskan lidahnya. Menyapu seluruh isinya dengan gerakan liar hingga sang pemilik kewalahan.

Decakan basah itu terdengar menggema, terasa aneh karena tangan Jave yang kini kembali mengunci tangan Rain di belakang punggung hingga tidak bisa berbuat apapun. Bibir Jave bahkan kini sudah bergerak ekstrim, menyedot kuat lidah Rain sambil sesekali melumat dagunya.

Rain mendesah pelan, ciuman Jave barusan itu berhasil membuat otaknya pecah seakan ingin meledak. Tangannya yang masih dikunci itu perlahan memberontak, ingin berpindah tempat.

Jave tersenyum lagi di tengah kegiatannya, ia membiarkan tangan Rain lepas dan berpindah pada tengkuknya. Tak disangka gadis itu malah menekan tengkuk Jave mendekat dan membalas ciuman agresif lelaki itu dengan sabar.

Suara Jave yang menggumam berat itu membuat perut Rain melilit lagi. Gadis itu semakin semangat membalas hingga sesekali menjambak rambut Jave demi menyalurkan nikmat.

Merasa Rain sudah aktif membalas, tangan Jave itu perlahan bergerak mengangkat tubuh Rain dan memindahkannya di atas kasur.

“Liat aku Rain.” ujarnya, memegangi dagu Rain.

Gadis itu menurut, mengatur napasnya yang terengah itu sembari menatap mata Jave yang sudah dibakar nafsu.

“Kamu mau pake bantal apa langsung di kasur aja?”

“Hm?”

Jave menggeleng, menyadari pertanyaannya terlalu aneh dan membingungkan untuk dijawab. Lelaki itu lantas memegangi kepala Rain ketika bantal putih milik villa itu ia pindah ke tempat lain.

“Wajahmu merah kak..”

“Mabuk kamu.”

“Hrrrrr..”

“Mau coba kamu di atas?”

Rain melotot lebar. “Enggaaaak!”

“Ya udah.” Jave melemparkan senyum miringnya sebelum kembali mencumbu Rain dari atas. Kali ini lelaki itu benar-benar meraup apapun yang ia temui. Kepala Rain yang menempel langsung di kasur itu benar-benar sampai tertekan karena gerakan liar Jave di atasnya.

Lelaki itu membawa dua tangan Rain naik ke atas kepala dengan satu tangan. Mulai menciuminya dari ujung jari hingga terus turun ke lengan atas, lalu kembali lagi ke bibir Rain yang kali ini sudah bisa dipastikan telah membengkak.

Rain benar-benar kewalahan, jemarinya diremat dan dielus bergantian di atas sana. Tidak bisa berbuat apapun lagi selain menyerah dan menurut karena kakinya juga sudah ditindih oleh berat tubuh Jave yang mengungkung sempurna.

Sinting, gadis itu menahan suaranya yang hampir saja lolos keras ketika Ciuman Jave mendarat di tempat baru lagi. Jika hari ini lelaki itu baru bisa mencium leher dan pundaknya, maka kali ini sasaran berikutnya adalah telinga.

“Kak.. Ya ampun.. Kamu ngapainhhh..”

“Cium.”

“Nghh..”

“Jangan desah.”

“Enggak, aku.. Kak!!! Demi.. hhh..” Rengekan Rain yang sejak tadi terdengar begitu seksi itu membuatnya semakin bersemangat. Dengan tanpa basa-basi lagi lelaki itu mulai menjulurkan lidahnya, menjilat memutar area telinga Rain itu dan sesekali meneroboskan lidah masuk ke lubangnya.

Ia bisa merasakan Rain menggelinjang geli di bawah tubuhnya. Bunyi-bunyi basah yang tercipta cukup lama itu bahkan membuat mereka sama-sama merinding.

“Rain..” Jave memanggil, berbisik.

“Hmh.”

“I love you.” ujarnya semakin serak, melepas pelan tangan Rain dan kembali menjatuhkan ciuman pada bibirnya.

Lagi, keduanya saling memagut. Tangan Rain yang sudah bebas itu tanpa sadar bergerak mengelus dada Jave. Merasakan petak-petak yang ada di perutnya itu dengan gerakan pelan.

Jave yang mengerti segera menarik sedikit badannya menjauh tanpa melepas ciumannya. Membuka kancing kemejanya satu persatu dengan satu tangan hingga terlepas cepat, lalu melemparnya ke samping.

Ini terhitung pertama kalinya ia membuka baju di depan Rain. Biasanya jika sedang berenang lelaki itu selalu mengenakan kaos karena ia tau jika Rain memang pemalu. Ia berusaha semaksimal mungkin membiarkan Rain merasa nyaman dan aman ketika sedang berenang berdua.

Berbeda dengan kali ini, tangan Rain yang tadi sempat mengelus dadanya itu kini mulai meraba halus di area punggung. Napas dalam ciumannya bahkan juga terasa memburu.

Jave melepas mundur bibirnya, memperhatikan Rain dengan alis berkerut. “Tumben?” tanyanya.

Hening cukup lama.

“Ini aneh ya kak, tapi serius aku baru tau.” Rain berujar ketika napasnya berangsur normal.

“Apa?”

“Punggungmu empuk. Padahal ini otot.”

“Mana ada sih?! Keras hei.”

“Enggak, serius empuk. Kayak, liat.. Tuh kan.. Eh, ITU KAMU KERASIN!!”

Jave mendengus pelan. Membiarkan tangan Rain mengelus punggung atasnya meski masih canggung.

Aneh. Hanya karena elusan pelannya itu Rain malah terbakar sendiri.

Gadis itu lantas bergerak pelan, menggulingkan tubuh Jave sedikit dengan tenaga ke arah samping.

“Kak Jave.” panggilnya.

“Apa?”

Rain menggelengkan kepala, rambutnya bahkan sudah berantakan sekali saat ini akibat diusel terus menerus oleh Jave sejak tadi. Gadis itu lantas menempelkan bibirnya di kening Jave.

Jave tertawa pelan,“soft banget yang habis gulingin badanku pake tenaga ekstra? Kirain mau bales dendam.”

Rain hanya diam, menurunkan ciumannya ke hidung, bibir, lalu berhenti di area leher. Gadis itu bahkan kini sudah mengecup jakun Jave yang menyembul itu berulang kali hingga pemiliknya menelan ludah secara kasar.

Tangan Jave otomatis mengelus rambut belakang Rain ketika gadisnya itu sudah memberanikan diri melahap jakunnya, berusaha memberi ketenangan agar Rain tidak tiba-tiba melepas ciumannya hanya karena terbakar malu.

Jave merasakan tangan Rain bertumpu di atas perutnya. Mengelus halus kotak demi kotak, membuatnya semakin hilang akal.

Jilatan hangat Rain itu kini sudah terasa di jakun, lalu turun menuju tulang selangkanya.

“Gosh.. Rain.” Jave melenguh berat juga pada akhirnya. Tangannya menarik jemari Rain yang sudah kembali diam itu agar masuk ke genggamannya.

Rain seketika tersadar, menarik kepalanya mundur. Ekspresinya bahkan sudah kaget sekali, membuat Jave langsung muring-muring. Dengan sigap lelaki itu menjatuhkan tubuhnya lagi di atas tubuh Rain dan menyekap tangannya erat kembali di atas kepala. Lelaki itu mencium ganas bibir Rain sampai lawannya tersengal lelah.

Lenguhan pelan mulai terdengar bersautan dengan nada berat yang cukup seksi kala dua lidah yang beradu itu saling membalas di dalam mulut. Sentakan terakhir Jave berikan dengan menyedot kuat isi bibir Rain tanpa ampun.

“Gak mau lagi. Udah. Udah please. Itu brutal banget serius. Aku gak mampu.” Rain berucap, napasnya terengah-engah. Ia membiarkan Jave mengelap bibir miliknya yang basah karena sudah tidak mampu berbuat apapun lagi.

“Capek Rain?” Tanyanya, mengecup sekali lagi bibir Rain pelan.

“Kamu udah kayak mesin penyedot yang ada di film Baymax!!!!!!!”

Jave mendengus, “nggak ada yang lebih keren dari itu?”

“Nggak. Hhhh UDAAAAH.” Rain menutup bibirnya yang hampir diserang kembali itu dengan telapak tangan kanannya yang barusan ia tarik paksa. “Minggir sana lepasin tangan kiriku, kamu dari tadi kayak ngeborgol anak anjing tau nggak?”

“Tapi enak kan ketahan?”

Rain melotot jengkel. “Diem diem!! Gak mau denger.”

“Hahaha sayangku ini..... Sini deh keningnya aku cium dulu.”

“Gak usah sok manis kamu kak Jave. Andai ada cctv dunia akan tau kamu brutal banget sejak tadi.”

“No i'm nooot.”

“Bibirku udah kayak habis di filler!!!!!!!! Leherku merah semua.”

“Masa sih? Mana? Enggak ah perasaanmu aja.”

“Maleeeeees banget.”

Jave tertawa, menggulingkan tubuhnya ke samping. Ia lantas menarik Rain mendekat. Memeluknya rapat. “Untung gak perlu sampe bikin bayi udah sadar duluan..”

“KAK JAVE!!!”

“Ssst sayang jangan teriak-teriak.”

“Gak tau lah aku malu.”

“Udah tau kebiasaanmu, sini sembunyiin mukanya buruan.”

Rain menurut, menghilangkan wajahnya di pelukan Jave. Bau wangi segar lelaki itu reflek menguar menusuk-nusuk hidungnya. Enak sekali.

“Gimana caranya keluar kamar kak?”

“Gak ada. Leher sama pundakmu merah banget. Nanti bikin huru-hara.”

“Katamu tadi nggak merah?!”

“Bohong sih. AH RAIN ASTAGA.” Jave menjengit ketika perutnya dicubit keras. Membiarkan Rain bangkit demi berkaca pada cermin besar dekat sofa.

“Apa yang kamu lakukan pada leher dan pundakku kakakkkkkkkk.”

“Cium.”

“Ini sudah seperti bentuk penyiksaan. I MEAN LOOK AT YOU, kamu bersih banget tiada noda!!!!”

“Ya kamu kurang lahap tadi.”

Rain melotot, tatapannya menghunjam lurus ke manik Jave dengan jengkel. “Awas.. Awas aja kamu. Betulan tunggu sampe aku tarik rambutmu.”

“Hahahaha sini Rain. Jangan ngomel.”

Rain berdecak, tidak mampu berontak lagi ketika tangannya ditarik oleh Jave hingga dengan cepat kembali ke pelukan.

“Besok hilang.” ujarnya, menenangkan.

“Betulan?”

“Ya, betulan.”

Hening.

“Di depan masih ada suara kak Kalandra teriak-teriak.”

“Biarin aja, kamu disini.”

“Aku mau mandi.”

“Mandi disini aja pake bajuku banyak.”

Rain mengomel lagi dengan nada yang susah dipahami.

“Apa sih anakku ini hahaha ngedumelmu itu lucu seriusan.”

“Malessssssss.”

Jave terkekeh lagi, lanjut mengelus pucuk kepala Rain sayang. “Kalo ngantuk tidur dulu aja, nanti pas di depan sepi aku bangunin buat mandi. Oke?”

“Hmmmmm.”

“Sini cium sekali.”

“Gakkkkkkk.”

“Pelit banget.” Dengusnya, menyerah. Lanjut mengelus-elus pucuk kepala Rain dalam diam.