waterrmark

bali, honeymoon day 1.


“tempatnya masih sama persis kayak 3 taun lalu kita dateng, cuma bedanya, sekarang sepi aja soalnya cuma berdua.” rain berucap dengan nada mengawang akibat memorinya yang terputar ke liburan beberapa tahun lalu bersama dengan yang lain.

jave dan rain memang menyewa villa sama milik sepupu kalandra waktu itu. tak ada alasan pasti, hanya ingin saja. apa lagi mengingat bahwa memori-memori di tempat ini begitu menyenangkan, bahkan terlalu indah untuk dibuang secara cuma-cuma.

dengan lea dan jinan yang dulu masih berpacaran hingga sekarang sudah menemukan jalan hidupnya masing-masing, jeva dan lukas yang waktu itu baru pertama berpacaran hingga hubungannya langgeng sampai detik ini. tak lupa pula kedua manusia itu melongok secara diam-diam ke balkon area belakang tempat jave menyematkan cincin kepada rain untuk melamar saat itu.

dengan kata lain, tempat ini menyimpan banyak kenangan meski singkat-singkat saja kunjungannya.

jave tersenyum, melempar tubuhnya asal ke atas sofa sambil menyelonjorkan kaki disana. ingin menyuruh rain untuk duduk disampingnya namun batal, sebab, gadisnya kini sudah berjalan memutari tempat lain guna mengumpulkan memori yang terpencar.

“dulu kita main truth or dare disini loh rain.” jave berujar kala kaki rain sudah menapak kembali di sekitarnya. gadis itu membawa dua gelas air putih dan meletakkannya di atas meja kaca.

“hahahaha iya inget, kamu dulu milih kak jasmine ketimbang kak clara.”

“itu doang yang kamu inget????”

“ya, yang lain enggak penting.”

“kalo pas itu dikasih pilihan kamu, aku pilih kamu.”

“ah sudahlah oldman, kamu diam saja.” rain terkekeh, ikut duduk di sebelah jave sambil menyenderkan kepala di punggung kursi.

jave tertawa sebentar, lalu keduanya lanjut diam. perjalanan di pesawat dan mobil yang cukup lama itu membuat tubuh bagian bawah mereka sedikit lelah.

“kita disini satu minggu, kamu mau ngapain aja kak?” rain menoleh, merentang jemarinya dengan maksud agar jave menautkannya disana.

“hm, kalo kamu memang mau apa?” lelaki itu balik bertanya, tangannya sudah cepat mengunci jemari rain karena siapa pula yang akan menolak jika ditawari tangan mulus itu terlebih dulu?

“aku apa ya.. aku pengen motoran aja sih boncengan gitu kan kita lama gak naik motor. tapi sayang disini kita gak ada motor hahahahaha.”

“ada, kenalanku banyak, tinggal telpon pasti dikasih.”

“emang bisa begitu?”

“bisa lah, kan udah dibilang, kalo buat kamu semua bisa.” jave berucap, tatapan matanya kembali jail ketika melihat rain yang hampir mengomel akibat mengaku geli jika digombali terlalu serius.

“gantian kamu. kamu mau apa kak?”

jave berpikir, hingga akhirnya meraih hp dan membuka notesnya. “gini aja, kita tulis yang kita mau jadi nanti bisa di centang kalo udah selesai. oke gak?”

“woooooow. boleh aneh-aneh?”

“kayak?”

“main skateboard di pinggir jalan terus main banana boat terus main diving2an terus..”

“emang udah jago nyelem kamu?”

“uihhhh orang ini meledek sekali..” rain menoleh dengan tatap nyolot, walau sedetik kemudian ia kembali normal dan berkata.. “ya gak bisa lah!!!!!”

jave tertawa kencang dengan tangan kanannya yang menganggur mulai menuliskan apa saja yang diinginkan gadisnya.

“mau itu juga, makan seafood, nanti kamu yang kupas kepitingnya aku yang kupas lobster. gimana gimana?”

“curaaaaaang.”

“hahahahaha enggaaaaak itu sama gampangnya tau.”

jave menyerah, mengangguk, kembali menulis.

“terus aku mau muterin discovery terus minum starbucks duduknya deket kaca kan disitu ada deket.....”

“oke, terus?”

“mau renang didepan itu tuh juga boleh engga nanti kamu temenin?”

“hahahahaha astaga bocah, bolehhh. terus apa?”

“terus apa ya, aku mau jalan yang banyak ijo2nya gitu loh kak disini apa namanya ya? yang kayak padang ijooooo luas gitu.. eh, apa sawah? bukan kok itu ijo-ijo seperti rumput..”

“aku tau tapi lupa namanya, but noted nanti dicari.” jave tergelak sambil menulis.

“terus sekarang aku udah minta banyak, gantian kamu yuk. kamu mau apaaaaa?” rain tersenyum lebar.

jave langsung menoleh, menatap mata rain dengan sesekali menaikkan sebelah alis. “aku mau, sleeping?”

“yeeeeee itu mah apa sih maksudnya kan sleep sleep itu su...”

”'sleeping', sambil 'exercise', maksudku.” jave mengutip kata sleeping dan exercise agar rain mengerti maksudnya.

gadis itu langsung melotot, ingin melepas cekalannya dalam genggaman jave namun langsung gagal, tentu saja, tenaganya tidak sebanding. gantinya rain hanya memejam dengan pipi memerah menahan malu. beberapa kepak sayap kupu-kupu mulai menari di perutnya tanpa terkendali. suasana sinting yang baru kali pertama ini terjadi sebab keduanya telah resmi menikah.

“kak, aku kira pikiranmu harus direfresh sesekali.” rain beranjak berlutut di kursi sambil tangannya meraup gemas kepala jave, dengan harap, ia bisa 'mencuci' sedikit isi pikiran lelaki itu agar tak lari kemana-mana.

“laptop kalo direfresh tuh makin bening loh mikirnya rain.”

“errrrrr, ya udah, di downgrade aja. gimana? ARHHHHHHH CAPEK AKU TUH BINGUNG NANGGEPIN KAMUNYA GIMANA NGERTI ENGGAAAAAA.”

“enggak?”

“dihhhhhh.” rain melebur ke bawah. memeluk tubuh jave dari samping dan perlahan kembali mendudukkan diri di kursi secara normal. kepalanya hilang beberapa saat di belakang leher jave akibat tak ingin digoda lagi.

“oh oh nempel-nempel.. udah kepengen nih? sekarang aja nih? pintu udah aku lock sih aman.”

“KAK JAVEEEEEEEE..” hilang sudah kewarasan rain. jave semakin semangat tertawa saja meski ia tak bergerak usil. karena, meski sudah menikah, menurutnya hubungan intim harus dengan kesepakatan berdua. jika rain masih tidak mau, ya tidak apa, ia akan menunggu. menikah tidak melulu soal hubungan sex dan sebangsanya. ia menikah karena cinta, bukan nafsu sesaat. bagi jave, selama rain sudah mau ada disisinya, itu sudah cukup.

“anu, maksudku itu apa ya.. kalo misal kamu mau sih aku enggak melarang, tapi, tapi itu, hrrrr, ajarin? maksudku, aku enggak ngerti begituan kan. kayak, apa sih... ARGHHHH SUDAH LAH KAK JAVE AKU MAU KELUAR AJA AKU MAU JALAN KE BEACHWALK AKU MAU MANDI TERUS MAKAN BURGER KING BYE KAMU MAU IKUT AKU ATAU DIAM DISINI AJA?” rain nyolot karena jantungnya terpental kesana kemari, ia melepas pelukannya.

jave spontan terpingkal lama sekali sebelum akhirnya mengangguk.

“mau ikut aku kan itu maksudnya?” rain bertanya lagi dengan mata tak melihat ke arah jave. sudah tentu karena malu.

“kalo itu jelas aku ikut lah? tapi maksudku ngangguk tadi itu aku mau ngajarin kamu. HAHAHAHAHAHA.”

sial. rain langsung berlari meninggalkan jave di ruang tengah dan masuk ke kamar dengan gesit. setidaknya, ia ingin kabur karena wajahnya sudah berubah menjadi pelangi sekarang.

jave tertawa kencang, sedetik kemudian ia ikut berlari dan masuk ke kamar karena merasa gemas dengan tingkah rain setengah mati.

day one, at home.


“kak javeee..” rain memanggil jave yang kini tengah berdiri di ruang tengah, membenahi barang yang belum sempat ditata dari tadi karena sibuk mondar-mandir ke hotel dan tempat lain.

“hei, sini.” jave menoleh, memanggil rain agar mendekat. gadis itu tadinya sibuk menata lemari mereka dalam kamar dan mendadak saja merasa bosan. meski sudah selesai juga, sih.

“kamu sedang apa?”

“natain miniatur nih, lucu gak?”

“hahahah iya lucu, kamu koleksi mobil-mobilan gini dari kapan memang?”

“smp?” jave berpikir, “apa sd ya? lupa aku. tapi sma udah stop gak beli lagi karena sempet mikir, apaan gak penting hahahaha.”

“padahal lucu, nanti bisa dikasih itu loh, lemari kaca yang kecil itu terus ntar disusun miring-miring terus warna-warnanya diurutin.”

jave menoleh ke kanan, tertawa sebentar akibat melihat gadisnya cerewet sekali. sepertinya mood rain sudah membaik sempurna setelah adaptasi paksa secara kilat.

“ke dapur mau gak rain?”

“natain bumbu atau manasin makanan?”

“natain bumbu dong.”

“haha oke siap.” rain hormat sebentar, lalu berjalan mendahului menuju ujung ruangan tempat dapur berada.

ukurannya cukup luas, dengan pencuci piring yang menghadap taman belakang rumah. perabotnya full berwarna putih, tampak bersih dan cantik, pun, senada dengan warna ruang sebelumnya.

“pinter deh orangnya, ngasih pinggiran bukan tembok tapi keramik.”

“oh iya dong.” jave membusung dada, sombong, pasalnya waktu rumah ini dibangun kala itu, jave memang yang sering mondar-mandir untuk ditanya-tanya serta memberi satu dua saran.

“iya iya, duhhhh, pinternya cowokku.”

“cowokmu?”

“iya lah.”

“suamiku dong harusnya.”

“hihhhhhh.” rain melengos, menghindari tatapan usil jave yang terus dihunjamkan ke arahnya.

“liat nih kak, botol saus kemarin aku kan sempet beli online. harusnya dateng 12 gitu, tapi pas dikirim pecah 1 jadi tinggal ini aja, tapi bagus kan? tebel gitu.”

“lah eh? terus tokonya tanggung jawab nggak?”

rain menggeleng, “nyalahin pengirimannya, lah? padahal aku kan request box, nah kalo pecah di dalam box berarti harusnya nyalahin dia.”

jave mengangguk, meski wajahnya tidak woles karena seller tak mau bertanggung jawab. “omong-omong saus 11 macem itu apa aja emang?” ia memutuskan bertanya yang lain sebelum rain ikut bad mood. wajahnya siap menyimak.

“ih banyak ada saus tomat, saus sambal, terus mayo, terus kecap manis, saus tiram, saus teriyaki, saus barbeque, saus asam manis, saus inggris, saus ayam lada hitam, saus kuning yang manis apa tuh ya namanya itu enak beneran aku kok lupa? intinya banyaaaaaaaak lah terus kan dia gak cuma dimasukin saus doang bisa buat yang lain tuhhh..”

jave tertawa, mengapit dua pipi rain dengan satu tangan. “cereweeeet.”

“huh, tapi suka.”

“suka kamu?”

“iya dong!!! masa suka kak jasmine?”

“loh loh... aku gak ikut ngomong ya?”

“yeeee.” rain kembali fokus menata botol-botol ke atas meja. membuat jave gemas sendiri.

“kamu tuh, apa ya orang ngomongnya?” jave tiba-tiba alih topik.

“apa?” rain menoleh.

“lucu? gemes.. modelmu kayak travel size banget yang.. pengen aja gitu orang ngusel.. kayak, kamu tuh....” jave tak menyelesaikan ucapannya karena sekarang ia mengangkat tubuh rain naik ke atas meja tinggi.

“kamu tuh apa?”

“lucu. udah, gak ngerti, gak bisa deskripsiin lagi yang lain intinya kamu lucu banget.”

“yeeee. turunin aku buru..”

“gak.”

“loh apa sih kok nyebelin banget. turunin kak..”

“sendiri aja, lompat.”

“jangan bergurau please aku malas merosot-merosotin kaki.”

“kan.. lucuuuuu kamu tuh kecil.”

rain berdecak, “ayolah ganteng. turunin aku.”

“aku ganteng?”

“enggak, kak kalandra.”

“DIH? CAKEP AKU RAIN?”

“YA IYA MAKANYA AYO TURUNIN AKU DULU..” rain merentangkan tangan, minta ditolong.

“bilang dulu bener-bener cakep aku apa kalandra.”

“cakep tuh relatif.”

“aku mutlak ya.”

rain terkekeh, tak menjawab. gadis itu masih setia merentang tangan hingga akhirnya jave menyerah dan menggendongnya.

“terus abis ditolongin ya diturunin lah ya ampun kak kamu abis nikah usil banget betulannnn.” rain mengomel akibat jave yang sekarang malah menggendongnya di depan sambil berjalan keluar dapur.

“udah dibilang kamu kayak anakku, ini ntar kalo ada orang liat langsung mikir, oalah, udah punya anak. besar juga, cepet ya?” pikiran yang random mampus.

“ih ini istrinyaaaaaaa.”

“hahahaha istrinya siapa?”

“jave dong masa iya jersen..”

“bagus. akhirnya diakui juga kalo jersenmu itu masih kalah jauh sama aku.”

“heuuh.” rain menanggapi singkat sembari melingkarkan tangan di leher jave dan merebahkan kepalanya di dekat sana. “kalo aku ketiduran sambil digendong gini gimana kak?”

“gak papa, kamu kan emang model balita.”

“ih enggak.” gadis itu tertawa, reflek memundurkan kepala demi melihat ekspresi jave yang sekarang sudah sok berubah mode menjadi bapak-bapak pengasuh bayi.

matanya bertatapan, saling meneliti dalam diam sambil sesekali melempar senyum tanda puji dalam hati.

tangan rain reflek bergerak, mengelus setiap inci wajah jave perlahan-lahan. yang dipegang hanya diam, selain karena tak bisa berbuat apapun lagi, ia memang menyukai setiap sentuh yang berasal dari tangan kecil rain.

sentuhan gadis itu terus bergerak, dari alis, turun menuju kedua mata jave yang kini terpejam akibat rain mengelus mengikuti garis pejaman matanya.

tampan. jave tidak pernah sehari lewat dari kata itu. sehingga secara tak sadar bibir rain terangkat, tersenyum senang akibat sepenuhnya ingat bahwa mereka sudah menikah, jave, lelaki itu, sepenuhnya miliknya.

“dah, buka mata buruan aku udah selesai mijetin area mata yang kayak bendol habis ditinju gara-gara kurang tidur itu.” rain berucap, tangannya pindah bertumpu pada pundak jave.

“aku kirain mau dicium.” jave jujur, sedikit kecewa karena perhitungannya meleset.

“haha, memangnya mau?”

“siapa yang gak mau?”

rain menimbang. “ya udah, boleh.”

“eh, tumben?” jave terkejut sedikit, netranya mengerjap karena banyaknya rasa yang timbul hanya karena kata-kata boleh yang keluar dari bibir rain barusan.

gadisnya hanya mengedik pundak sebagai balasan.

“beneran cium ya?”

“tanya lagi orang ini..” rain mendumel, memutuskan untuk mencekali kepala jave dan menciumnya saja terlebih dulu dari pada terlalu lama membuang waktu.

jave menegang. rain tidak menciumnya secara singkat. lihatlah, bahkan bibirnya mulai bergerak. pagutannya lembut sekali sambil sesekali diselingi oleh senyum kecil tak terlihat.

jave ikut tersenyum ditengah gempuran halus rain tersebut, membuat rain spontan mundur dan tertawa. “udahhhh, kamu gak bales aku. kenapa jadi aku yang nyosor begitu?”

mau tak mau jave tertawa juga dibuatnya. “bentar dong aku masih kaget.” jawabnya, lalu dengan tanpa kata lagi yang lebih panjang, ia segera menekan punggung rain maju dengan tangan kirinya yang baru saja ia angkat. jadi posisinya, tangan kanannya saja yang berfungsi menahan tubuh rain dalam gendongan.

lelaki itu tersenyum lama, menggesekkan hidungnya perlahan pada milik rain untuk menyapa sebelum akhirnya bibirnya mengikis jarak yang tersisa. keduanya reflek sama-sama memapar senyum, ciuman lembut itu terasa menyenangkan sekali karena benar-benar penuh dengan ungkapan sayang.

tangan rain bergerak, menangkup kedua pipi jave yang mulai panas itu agar kepala jave tak bergerak kemana-mana. heran, padahal, biasanya yang suka gerak aktif adalah jave. mungkin kali ini rain paham bahwa kedua tangan jave sudah berfungsi dan tinggal tangannya saja yang belum bergerak.

jave mendadak puas setengah mati akibat ciumannya ditanggapi secara positif. lelaki itu perlahan menyapukan lidahnya lembut, berpagutan cukup lama dengan ritme pelan seakan sama-sama tak ingin mengagetkan satu dengan yang lain.

jave sudah ingin membawa tubuh rain turun ke sofa dan menindihnya ketika..

PAKETTTTTTT.

“hmmh..” jave mencabut kegiatannya akibat terkejut setengah mati. ia tau jarak pagar dan ruang tengahnya ini lumayan jauh, namun, teriakan itu cukup membuat jantungnya degdegan parah. antara kesal, dan.. kesal. iya, ia kesal bukan main.

“kamu ada paket rain?”

rain menggeleng. “aku kirain punyamu?”

jave menurunkan gadis itu dengan terpaksa, melangkah keluar menuju seorang pria muda yang membawa box cukup besar di depan pagar sana.

“dari mas kalandra bimantara, mas javerio ya?”

“eh iya mas.”

“gak perlu bayar, tinggal tanda tangan aja disini mas.”

jave melirik sebentar ke arah kertas dan membubuhkan tanda tangan asal-asalan. sebab, apa pula yang dikirimkan kalandra sore-sore begini hingga bisa mengganggu aktivitasnya yang tumben-tumbenan berjalan lancar tanpa penolakan?

jave menerima paket, mengucap terima kasih, lantas melangkah masuk dengan alis tertekuk kesal. makin lucu pula wajahnya ketika melihat rain sudah tak ada di kursi, gadisnya telah pergi.

ke toilet. untuk mandi.

malam pertama, berdua.


sesuai ucapan rain, rumah satu lantai yang terbilang sangat luas ini menjadi sepi secara mendadak akibat mama dan papa sudah pulang ke rumah masing-masing. terletak di dalam sebuah perumahan besar yang tetangganya sudah pasti jarang suka membaur, makin tambah sepi saja lah keadaannya.

rain terdiam, ia sudah berganti baju menjadi pakaian normal dan duduk di depan cermin rias dalam kamar. ingin menghapus make up sebelum mandi, namun pikirannya jadi kacau balau. entah, rasanya campur aduk antara senang dan sedih sekarang ini.

jave keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya yang dilap kasar, berjalan ke pinggiran kasur untuk duduk disana sebentar agar bisa mengeringkan rambut dengan santai.

keduanya diam, tak bersuara, yang satu sibuk melihat dan mengobservasi keadaan, yang satu sibuk menetralkan pikiran.

“rain.” jave memanggil, lembut sekali. bangkit berdiri dari duduknya sambil menarik sofa kecil dari kejauhan agar bisa pindah duduk di samping perempuannya.

“yaaaa...”

“mau aku bantuin hapus make up?” alih-alih mengajak bicara yang aneh-aneh dan dirasa bisa menjatuhkan mood, ia malah menawarkan jasa secara mendadak.

“memang bisa?”

jave mengangguk, “buat kamu gak ada yang gak bisa.”

“hahaha oke siap, ini kapas, ini cairan pembersihnya. ini mukaku. dah, sekarang bersihin.” rain menghadap ke kiri dan memajukan kursi mendekat.

jave terkekeh sebentar, menuang pembersih itu ke kapas kemudian menyapukannya perlahan ke kulit wajah rain. “ini bulu mata nyabutnya gimana?”

“gak tau, katanya kamu bisa.”

“eh..”

“hahahahahaha tarik aja kak tarik.”

“nanti bulu mata aslimu ikut kecabut gak?”

“ENGGAK LAH.” rain seketika nyolot, pikiran kacaunya bahkan sudah meluap 50 persen secara mendadak.

laki-laki itu menggaruk kening sebentar, tampak ragu. “beneran langsung cabut?”

“iya tarik aja dari pinggir ke ping.. HEI YA AMPUN KAK JAVE DARI PINGGIR!!!!!”

jave terkejut sampai badannya mundur beberapa puluh senti ke belakang, “astaga maaf maaf. kecabut betulan itu?”

rain menggeleng, “enggak, belum, tapi kalo kamu terusin kayaknya bisa bikin botak bulu mataku.”

jave tampak menarik napas, kembali fokus. “nih nih serius, dari pinggir ke pinggir bentar. DIEM DULU JANGAN GERAK-GERAK SAYANG.” jave mencekali kepala rain dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya lanjut melepas bulu mata palsu tersebut. modelnya sudah seperti dokter bedah hendak melakukan operasi penting.

sepi. jave masih berusaha mencabut hingga akhirnya..

“NAHHHHH LEPAS.” lelaki itu bersorak kegirangan sebab telah berhasil, membuat rain ikut tertawa dan kembali menghadap cermin untuk melepas yang satunya secara mandiri.

“loh kok dicabut sendiri sih aku mau lagi aku udah jago.”

“hahaha kamu lama, aku udah mau mandi cepet-cepet ini risih sekali.”

jave mendengus, menyerahkan cairan pembersih wajah itu ke tangan rain kembali dan mempersilakan gadis itu lanjut sendirian.

kini jave hanya bisa memperhatikan rain lebih lekat dan lebih intens dalam diam. karena.. siapa pula yang tidak akan menatap istri sahnya di hari pertama masuk kamar secara legal berduaan? pikirannya bahkan mulai berjalan ke utara dan ke selatan, mulai dari yang benar, hingga ke yang paling tidak benar. seperti.. tidur, mungkin?

“kamu kalo melototin aku sambil diem gitu aku curiga nanti kamu lupa cara berkedip.”

jave langsung mengerjap, terkejut sempurna. “ah males ah rain jelek.” ia lanjut mengomel, pipinya panas secara dadakan.

“aku? aku jelek?”

“AKU AKU, AKU JELEK.”

“ye apa sih orang nanya juga..”

“diem sana fokus katanya mau mandi.”

rain langsung mendengus, menurut, lanjut membersihkan wajah kembali dengan hening.

“omong-omong rain, kamu tadi, mau nangis, ya?” jave menembak tepat sasaran, namun nada suaranya ragu karena ia takut gadisnya betul menangis malam ini.

“hm?” beruntungnya rain tak fokus mendengar akibat tangannya sibuk menggosok wajah. “betulan tebel banget ini 5 kapas masih gak mau-mau ajaa...” ia malah lanjut mengomel, membuat jave menghembus napas lega dan batal bertanya ulang. membiarkan rain menyibukkan diri saja.

“kamu tadi bilang apa?”

“gak ada. fokus bersihin sana terus makan.”

“ck. sama aja makan makan terus, tau banget emang laper sih..”

“makan dulu terus mandi kalo gitu.”

“gakkkkkkk. lengket banget ini keinginanku sejak siang tau gak!!!”

“tidur?”

“MANDI KAKAKKKKKK.”

jave terkekeh, kini ia menarik salah satu botol kaca dari atas meja dan menyodorkannya ke kapas terdekat.

“yak, dengan kapas satu, gimana hari pertama kerja membersihkan wajah rain chandra?” jave sok mengintrogasi.

hening.

“lumayan menyenangkan. wajah rain mulus soalnya.” itu suara rain sendiri yang menjawab dan memuji.

“bagus. gaji besok kamu aku tambahin karna sudah jujur. oke?”

rain spontan tertawa melihat tingkah jave yang mendadak abnormal tersebut. geleng-geleng kepala sebentar sebelum akhirnya bangkit berdiri dan masuk ke toilet. ia akan mandi. meninggalkan jave yang masih fokus menatap hingga sosoknya hilang di balik pintu


genap 45 menit sibuk sendiri di toilet, rain akhirnya keluar juga. dengan rambut terbebat handuk putih besar dan baju tidur lengan pendek. ia kepanasan. padahal, ac sudah menyala sejak tadi.

jave tak nampak di dalam kamar, sepertinya menunggu di luar karena membiarkan rain menjaga privasi terlebih dulu.

hari pertama, tak perlu tergesah-gesah.

rain melepas handuk dan melebarkannya di jemuran kecil balkon kamar setelah merasa rambutnya tak akan meneteskan air kembali.

ia lantas melangkah masuk kamar dan meraih hair dryer dari dalam koper yang masih belum tertata. siap mengeringkan rambut.

demi mendengar mesin hair dryer yang lumayan ribut di tengah sepinya rumah, jave langsung masuk kembali ke dalam kamar setelah sebelumnya sudah mengetok terlebih dulu.

“mau masuk langsung masuk aja kenapa ketok-ketok seperti orang mau bertamu?”

“gak enak, nanti kamu pas gak siap malah aku yang dijambak.”

rain tertawa, lanjut mengeringkan rambut.

“di depan banyak makanan...” jave memberi informasi karena sudah mengecek secara detail selama rain membersihkan diri.

“hm.....”

“mau apa?”

“temenin aku boleh engga........”

“makan?”

“iya, makan, makan besar kalo bisa ini kerucukan banget kamu gak tau aku menderita sebulan lebih...”

“hahahahahahahaa salah sendiri? padahal aku udah bilang boleh pesen dress berapa nomer di atasnya kan?”

“ya nanti di foto jelek lah kakak!!!! orang nikah cuma sekali masa iya aku tidak berjuang..”

jave menyeringai, menarik vitamin-vitamin rambut rain dari atas meja dan mulai membantunya mengoles dan menyemprot satu persatu. sudah ahli, jadi aman. “sini aku bantu, biar cepet makan.”


jave dan rain yang akhir-akhir ini makan hanya sedikit-sedikit karena terpotong sibuk itu akhirnya makan juga, mereka makan tak banyak omong dan lanjut sikat gigi, berdua. memang pasangan suami istri model lem alteco, lepasnya susah.

“sekarang apa?” rain mendongak melihat jave yang tak kunjung keluar toilet padahal sudah selesai membersihkan diri.

“nungguin kamu?”

“lah aku selesai sebelum kamu kok?”

“iya juga.. ngapain aku gak keluar?”

“kamu sepertinya sudah lelah kak jave.” rain mendorong dada jave agar mundur menjauhi pintu. “minggir cepat aku mau skincare bentar.”

“perlu bantuan?”

“gak. kamu gak ahli.”

“ih ngeledek?”

“diem ah minggir sana tidur aja lihat deh matanya merahhh tau gak.. HEI YA AMPUN BENTAR AKU MAU SKINCAREEEEEEEE.” rain seketika kalap ketika jave menguyel-uyel wajahnya gemas. selalu saja jave membuat ulah akibat gemas-gemas sesuka hati.

“mau sambil dengerin lagu?”

“boleh???”

“boleh.”

“gak deh, udah malem.”

“lah apa sih gak papa setel aja kalo mau kali kamu bosen.”

rain menggeleng, duduk kembali di depan cermin, mulai melakukan rutinitas. “males. udah kamu sana tidur aja, kalo sakit capek loh.”

“KEBALIKKKKK.”

“HAHAHAHAHA DIEM KAK JAVE.”

jave ikut tertawa sebagai tanggapan, namun kini ia memilih untuk menurut dan merebahkan diri di kasur. dengan posisi tengkurap menghadap kaca demi melihat wajah rain yang sudah sering dilihatnya itu dalam tenang.

suara mesin ac menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan malam karena sekarang keduanya diam saja tanpa obrolan. rain yang sudah selesai melakukan perawatan wajah itu berjalan mendekat ke kasur dan tertawa sebentar tanpa suara.

lihatlah, laki-laki itu ketiduran dengan posisi yang sama sekali tidak enak. kepalanya bahkan jika sekali gerak bisa merosot ke bawah. tampak kelelahan memang.

“kak jave..” rain duduk di sebelah tubuh tengkurap jave sambil mengelus pucuk rambut laki-laki itu pelan. tak ingin mengagetkan.

“bangun bentar pindah tempat yuk? pake bantal dulu itu nanti lehernya sakit.” rain melanjutkan, suaranya yang kecil itu semakin kecil saja akibat tak ingin terlalu mengganggu.

jave masih memejamkan mata, membuat rain tersenyum tanpa alasan berarti. gadis itu lantas diam saja sambil tangannya terus mengelus rambut-rambut jave yang lembut tersebut dengan gerak halus.

pandangan matanya berputar, mengawasi kamar utama berukuran besar yang didominasi warna beige kalem itu sebentar, lalu mulai bergerak kembali ke arah barang-barang yang memang masih belum semuanya tertata. beberapa masih ada di koper, beberapa masih ada di box-box besar.

tak apa, besok-besok mereka akan menatanya.

rain menjatuhkan pandang lagi ke arah lelakinya yang masih memejam, tidak ngiler seperti yang pernah dibongkar papa jave beberapa tahun silam, malah sebaliknya, lelaki itu tampak damai saja. tenang, dan sangat tampan. tangan rain masih aktif membelai hingga ia mendadak berhenti, ingin bangkit berdiri untuk melihat-lihat barang di depan kamarnya karena ia yakin tak akan bisa tidur meski sudah lelah sekalipun.

baru saja ia bangkit, tangan jave sudah terangkat dan mencekali pergelangan tangannya. tidak erat, biasa saja. sepertinya lelaki itu terusik karena pergerakannya barusan.

“udah-udah, tidur lagi aja kak. pindah dulu gih ke bantalnya nanti aku nyusul.”

jave menggeleng, kini cekalannya berubah menjadi sedikit erat dari sebelumnya yang lemas. “mau kemana?” tanyanya serak.

“gak kemana-mana cuma ke depan kamar itu sebentar.” rain menjawab, duduk kembali. jave reflek bergeser mendekat dan memeluk perut rain, manja sekali, heran.

“haha astaga bukan bantal aku hei.”

“enakan deket disini dari pada bantal. berapa taun aku tidur bareng bantal kalo sama kamu kan belum pernah.”

“hih.” rain bergidik, membuat jave langsung terkekeh meski suaranya tetap serak dan berat.

“kamu gak ngantuk?”

“ngantuk, tapi bentar lagi aja gak papa.”

“sini tidur di bantalnya aja sini.” jave bangkit duduk, menata tumpukan bantal agar bisa beranjak tidur karena jam terus bergerak mendekati tengah malam.

“kamu mau tidurin aku?”

“emang kamu siap?” jave bertanya setengah sadar karena matanya masih sayup-sayup ngantuk.

“hah?”

“siap aku tidurin?”

“hah?” rain langsung melotot, memukul tangan jave kencang. yang dipukul sampai limbung ke kasur sambil tertawa.

“orang ditanya kok malah dipukul?”

“abis omongannya???”

“lah aku tanya siap aku tidurin engga? di pukpuk kan maksudku?”

“ih enggak aku tau maksudmu bukan itu ya!! jangan bikin yang lain mikir kalo aku yang jorok deh kak jave!”

jave mengedik pundak, menarik tangan rain agar jatuh tidur disampingnya. “udah, jangan ngomel. tadi seharian dari subuh kamu bangun belum istirahat. sekarang tidur, oke?”

“kamu gak pake guling?” rain keheranan ketika jave menendang gulingnya ke pojokan.

“ngapain? ada kamu.” balasnya usil, memeluk rain erat hingga yang dipeluk tak bisa bergerak kemanapun lagi akibat terlalu rapat.

“wangi. kamu selalu wangi.” laki-laki itu memuji ketika hidungnya mengendus rambut rain yang kini ada di bawah dekapannya.

“makasih. besok-besok kasih surat pujian buat produknya aja kamu.”

“gak lah, pujinya ya, puji kamu aja..”

rain tertawa. kini aroma tubuh jave yang segar itu menguar karena ia berada dalam pelukan. kaki lelaki itu yang sesekali mengungkungnya juga terasa hangat. padahal, masih juga belum selimutan.

“enak?” rain mendongak, berusaha menemukan celah agar kepalanya bisa keluar.

“apanya?”

“guling barumu ini? kok kayaknya betah..”

“oh hahahahahahaha enak lah, bisa ngomong, bisa ngomel-ngomel juga, bisa gerak, wangi lagi.” jave menjawab dengan mata terpejam, sudah ngantuk lagi.

“kamu katanya mau tidurin aku malah tidur duluan?”

jave menunduk, meniup poni rain yang berantakan itu sebentar sebelum akhirnya mendekatkan bibir kesana. mencium keningnya, lama sekali.

“dah, sekarang, istrinya jave tidur dulu. mainnya, besok-besok aja, maybe? atau mau sekarang?”

rain langsung pura-pura tuli, bulu tubuhnya meremang karena jave menggodanya. sudah tentu tidak akan terjadi karena keduanya lelah dan sama-sama menghormati keputusan untuk istirahat terlebih dulu di hari pertama.

jave tertawa cukup lama melihat rain yang kecil dalam pelukannya itu. ia lantas mengelus-elus punggung rain sebentar sebelum mulai berkata-kata, dengan setengah ngantuk, tentu saja. “rain.” panggilnya pelan.

rain mendongak sedikit, “hm?”

“hari pertama emang akan selalu aneh dan keliatan berat. apapun itu, entah hari pertama sekolah, hari pertama masuk kampus, hari pertama masuk kerja, atau hari pertama buat apapun yang lain. semua pasti akan selalu gitu rain, rasa takut, seneng, cemas, nyampur-nyampur, ya kan? tapi gak papa, semuanya bakal lewat. kamu tinggal coretin semua tanggal di kalender nanti sampe gak sadar kalo kamu udah lewatin semuanya dengan baik. jangan mikir gak enak lagi, oke? aku disini.”

rain terpatung. “kamu bisa baca pikiran kah?”

“hahahaha ya gak lah astaga, tapi seenggaknya, aku tau kamu.”

“heuuuuu.” rain jadi ingin menangis bawang, gadis itu lantas mengangguk, mengucap terima kasih dan sebangsanya untuk menanggapi.

“nah gitu pinter, sekarang bayarannya aku udah nyerocos kasihin bibirnya bentar gih.” jave menggoda.

rain menggeleng.

“ih pelit. bentar aja.”

“nanti mode penyedot debunya on mendadak.”

“janji enggak cuma cup bentar gitu terus selesai. JANJI BENERAN ASTAGA.” jave tertawa karena rain makin dalam mengusel di dadanya tanda tak ingin disentuh.

“betul?”

“iya bener. kamu yang cium deh, nih tanganku diem meluk kamu gak gerak.”

rain mendongak, menatap mata jave sebentar, lalu bergerak mencium bibirnya sekilas. “dah.”

“pelit banget gak ada sedetik.”

“nah kannnn.. KAK, YA TUHAN KAK JAVE ENGGAK MAU.” rain mengomel setengah tertawa karena jave menghujani bibirnya dengan banyak ciuman.

“nah, kalo udah gini kan aku bisa tidur.”

“aku yang pusing.”

“pusing apa? kurang seru ya dari tadi pagi pemberkatan cuma sekilas-sekilas aja?”

“ah sudahlah.” rain memeluk perut jave dan hilang di balik dadanya yang terbalut kaos hitam. “aku mau tidur aja.”

jave tertawa, mengelus-elus pucuk kepala rain dan punggungnya dengan sayang. “pake selimut gak?”

“kamu pengen gak?” rain balik tertawa.

“gak sih. ada kamu, anget.”

“hihhhhhhhh.”

“hahahahahahahahahaha.”


this day is totally our day!


total 10 mobil dengan berbagai ukuran yang semuanya modis itu sampai bersamaan di depan gedung restoran besar yang telah disewa untuk perayaan pesta pernikahan jave dan rain sore ini. dengan 5 tingkat, jave menyewa 1 tingkat di tempat teratas. 4 tingkat bawahnya tampak sudah terisi oleh yang lain, beruntung waktu itu ia cepat memesan tempat terbaik milik restoran.

jave membukakan pintu mobil agar rain bisa turun, membantunya sebentar akibat mengira dress rain sore ini akan seribet saat pemberkatan, namun..

“gak papa, yang ini lipetannya gak banyak kayak tadi pagi, aku bisa kok, serius.”

“hah?” karel yang menyetir sampai menoleh. “ini aja mekar, gak ngerti gue apa bedanya sama yang pagi tadi..”

jave mengangguk, sependapat, tetap berteguh membantu rain hingga akhirnya gadis itu menurut dan menerima uluran tangannya, keluar mobil.

“biar diparkir petugas aja rel, lo turun.”

“yang lain?”

“sama lah.” kalandra tiba-tiba sudah berada di sekitar mereka, menaikkan sebelah alis tanda mobilnya memang sudah aman diparkirkan oleh petugas.

“oke dah.” karel menurut, memanggil petugas parkir dan menyerahkan kuncinya.

kini, rain menoleh kanan kiri demi menghitung kelengkapan pengiring mereka.

lengkap. keluarga utama juga sudah melangkah keluar mobil, melakukan hal serupa untuk kendaraan mereka, lantas berjalan mendahului untuk naik lift.

“gile gue merinding.” tasya bergidik.

“napa?”

“modelan kita udah kek ngawal anak presiden nikahan betulan.”

“HAHAHAHA LAH IYA.”


detik berganti menit, menit berganti jam. terhitung acara ini sudah berjalan sampai di tengah-tengah. hidangan yang keluar masuk dari dapur terus berjalan tak henti-henti.

lancar, acaranya berjalan mulus tanpa kendala berarti. tentunya minus kekacauan di dapur karena mereka sempat hampir kewalahan.

tamu pesta yang duduk melingkar di meja-meja besar memenuhi segala tempat. dengan wajah bahagia karena memang ini adalah hari yang sangat bahagia.

“ayo jalan nyapa temen-temen yang dateng kak?” rain mengajak, menawar tangan agar jave bangkit berdiri.

“gak capek? bentar lagi kita disuruh dansa.”

“aduh.” rain menepuk kening karena baru ingat tentang acara tambahan tersebut. ia merasa malu sekali membayangkan dirinya disorot berdansa dengan jave.

“hahahahaha nanti kamu sembunyi aja disini.” jave menuding dadanya.

“enak aja! entar aku dikatain nggleyer ke kamu terus yeeeee.”

“emang nggak?”

“nggak dong. kan aslinya kamu yang lebih rewel ketimbang aku.”

“dih.” jave berdecih pelan, bercanda.

“kedua mempelai kita lagi asik berantem nih temen-temen.” arya, yang hari ini menjadi mc, berucap nyaring hingga kamera reflek menyorot jave dan rain kembali.

sialan. jave menyempatkan diri tersenyum paksa ke hadapan arya.

“jadi gimana nih? udah pasti tenaga masih ekstra dong buat lanjut ke acara selanjutnya.” ucapan arya memang ambigu, dan jave kembali tersenyum paksa sebagai tanggapan.

nanti gue hajar” begitu kira-kira maksudnya.

arya menyerah, lelah menggoda. petugas bagian makanan yang ada di ujung ruangan reflek mengangkat tangan ketika arya menghadap ke arahnya. siap. agar arya bisa melanjutkan acara kembali karena makanan berhenti di edarkan untuk sementara.

“hahahaha ladies and gentleman, i invite you to stand up and raise your glass. say cheers to javerio and rain marriage. kita doakan mereka selalu bersama dalam keadaan apapun di atas pernikahan, sekarang, besok, selamanya.” arya mengangkat gelas tinggi-tinggi, memandu mengatakan cheers sebelum menegak isinya dalam sekali jalan.

suara menggema sesaat membuat tubuh merinding, jave dan rain yang kini berdiri itu memandang tiap-tiap wajah dengan penuh rasa terima kasih. terlebih pada orang-orang terdekat yang mau mendukung hingga detik ini terjadi.

lampu pesta dipadamkan beberapa, membuat suasana yang tadinya masih terang menjadi sedikit redup. musik lembut kembali mengalun bersamaan dengan hidangan ringan yang kembali mengedar.

“dansa bego.” arya nyolot, melotot pada jave yang masih melongo berhadapan dengan rain dan membuang waktu. arya dan kejudesannya hingga detik ini tak luntur meski sepersen.

“sabar, ini gue mikir.”

“ye.”

“lagian perasan lo dulu gak bisa ngomong? kenapa mendadak jadi mc dah?”

“HEH. ini namanya people changed bre!!”

halah. jave mendengus, memilih tak peduli pada arya dan kini menghadap ke rain kembali. “yuk rain.” ajaknya tersenyum, mengulurkan tangan.


“ini mah namanya dansa free style ya kak ya?” rain bingung sendiri meski tetap enjoy mengikuti arah kaki jave yang bergerak sesuai irama.

“lumayan lah. gini-gini tadi pas dikasih tau dadakan aku langsung liat youtube.”

pfft. rain hampir tertawa, namun batal, karena ingat ada ratusan pasang mata yang melihat.

jika dilihat dari jauh keduanya memang romantis sekali, namun ketika didengar dari dekat yang ada hanya keributan semata.

seperti..

“itu kaki kananmu nginjek aku, omong-omong.”

“lah masa?????”

“iya beneran, untung gak kena ujung heels. bisa bolong kakiku entar.”

“heh omongannya!!!”

atau..

“kamu tau tadi aku liat ada udang terbang.”

“hah? dimana?”

“mejanya juna, si lukas gak bisa pake sumpit.”

“hah? hahahahahaha astaga.”

atau lagi..

“please jangan megangin perut, turun dikit ke pinggul aja please please.”

“lah kenapa sih?” meski bertanya, jave tetap menurut.

“aku tadi habis nyomot makan pasti ada bagian yang bentuk belut.”

“ya Tuhannnnnn, rain astaga..”

“yeeeee, serius.”

dan, ucapan random gak jelas yang lain.

sesaat mereka kembali tenang, kembali menatap mata satu sama lain tanpa diminta sambil bermain lewat tatapan mata saja. ya, tak pelak, jave dan rain memang sama-sama pintar membangkitkan kupu-kupu. dengan jave yang sudah pro, dan rain yang baru join member pro.

bersamaan dengan tiap obrolan yang menguar lewat tatap mata karena keduanya telah sepenuhnya hanyut, separuh lampu dalam ruangan berubah mode menjadi remang-remang. membuat suasana menjadi semakin romantis tanpa ada yang meminta. mungkin EO mereka tau waktu yang tepat untuk mengganti suasana.

jave menunduk, menatap dress rain yang gemerlapnya tampak terang dalam remangnya ruangan.

“have i thank you for this, kak?” rain berucap, menatap mata jave yang masih sibuk meniti dress cantiknya.

laki-laki itu spontan mengalihkan tatap menuju mata rain kembali. “for what?”

“everything.”

“gombaaaaal.”

“hahahah serius.”

jave menggeleng. “dalam hubungan itu yang terjadi adalah timbal balik rain. jadi, gak perlu ucap terima kasih ke aku karena aku pasti juga bakal selalu mau ngucap kata yang sama ke kamu.”

rain tersenyum, matanya berkaca-kaca sempurna. kali ini ia benar-benar abai oleh segala mata yang memandang akibat sudah jatuh terlalu dalam pada tatap mata jave yang teduh di hadapannya.

“shall we kiss again tonight?”

jave menyeringai, “shall we?”

“ih?? balik nanya???”

“hahahahahaha of course. cause, why not?” jave menaikkan sebelah alis, mengikis jarak secara cepat agar bisa mencium gadisnya yang tumben-tumben meminta duluan.

di bawah puluhan lampu ruang yang mendukung suasana dan gemerlap dress rain yang memantulkan cahaya cantik ketika dalam gelap, jave tersenyum. ia masih mengecup bibir rain lama tanpa ada gerakan berarti selain elusan tangan yang menjalar hangat di bawah sana.

suara riuh rendah terdengar keras, namun, mereka berdua tak peduli. dan sebelum rain menjauhkan wajah mundur akibat gerah, tangan jave sudah terlebih dulu terangkat, menutup jarak pandang seluruh undangan dan kamera karena jelas ia akan melakukan hal gila lainnya.

tubuh rain tersentak kaget, jave melumat bibirnya pelan di hadapan ratusan undangan. meski hanya sebentar dan bibirnya sudah ditutupi tangan, tak pelak tindakannya ini menuai teriakan ricuh para undangan yang bisa menebak. termasuk kalandra yang kini heboh meninju kursinya sendiri.

“kak!”

“apa?”

“hsssssss.”

“loh apa kok malah simulasi jadi siluman ular?”

sial.

rain yang mau mengomel jadi batal seketika akibat tertawa receh.

still so cute together.


nyatanya, rain dan jave tak diperbolehkan mondar-mandir oleh para orang tua. rain sendiri tadi datang dari gereja langsung ikut mamanya ke room 303 agar bisa diawasi istirahatnya.

untuk makan, makanan mereka dibawakan naik oleh petugas hotel dengan menu lengkap tanpa kurang sedikitpun. jave mengerang, ia bosan melihat suasana kamar, ingin berjalan-jalan. sedangkan rain yang sudah setengah jompo itu senang-senang saja, duduk di atas kasur sembari mendengarkan kegaduhan foto para orang tua yang kini eksis mampus.

“nih buka mulut cepat katanya tadi kepingin udang.” rain menyendok udang besar dan mendekatkannya ke mulut jave ketika akhirnya memutuskan untuk makan lebih dahulu. lelaki itu membuka bibirnya, menurut, lucu sekali.

“dulu pas muda kita kurang sweet kayaknya ya ma?” papa jave, yang hobi sekali berisik bertolak belakang dengan jave itu mulai berbicara usil. mamanya geleng-geleng kepala sembari memarahi suaminya agar tak mengganggu.

rain tertawa sebentar, menyendok brokoli masuk ke bibirnya sendiri karena ia juga lumayan lapar. sejak pagi sibuk tadi ia belum makan apa-apa dan hanya diberi minuman buah saja.

“kamu selalu cantik.” jave berucap tak sadar, menatap rain lekat.

UHUK.

bukan, itu bukan rain yang tersedak. melainkan kiara, mama rain sendiri yang kebetulan baru saja berjalan mendekat ingin mengambil ponsel dari atas nakas.

“eh ma, maaf-maaf.” jave bangkit berdiri, meraih gelas berisi air putih dan menyerahkannya ke tangan kiara.

“kamu nih ra, orang jave gombalin rain kok kamu yang keselek..” om janu tertawa, melipir ke tempat lain untuk duduk-duduk. kini semua beristirahat sejenak karena menunggu dua bintang utama yang sibuk menyantap brunch.

“permisi om, tante.. pekerjanya tante nara udah pada dateng. ini gimana?” wajah lea menyembul di balik pintu, memberi kabar. membuat rain langsung meletakkan piringnya dan bangkit berdiri.

“gak keburu rain, pelan-pelan aja dihabisin sayang. ini fotografer juga terus ngefoto kok, nanti habis makan langsung foto inti sesuai arahan.” mama jave menenangkan, menepuk pucuk kepalanya.

gadis itu seketika duduk kembali, mengangguk pelan. lanjut makan cepat-cepat karena terpepet waktu.

“kamu masih diet?” jave mengernyit ketika melihat rain hanya menyendok sayur-sayur kecil saja.

“enggak sih.”

“terus?”

rain menutup alat makannya, sudah selesai. ia lantas mendekatkan bibir ke telinga jave. “aku takut nanti kebelet pup.”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA RAIN????”

semuanya menoleh, membuat jave reflek meminta maaf lagi karena membuat kaget.

cowok satu ini jika sudah ada rain di dekatnya suka lupa keadaan memang.

“serius kak. terus itu nanti bakal susah kalo kejadian betulan. orang pipis aja untung-untungan.”

“tapi nanti kan kita ganti baju.”

“iya sih, tapi gak ah.. secukupnya aja, kalo mau makan banyak nanti malem pas copot dress boleh..”

jave mengangguk, menggenggam tangan rain pelan untuk mengajaknya berdiri. siap melakukan sesi foto yang akan berjalan panjang kali ini karena harus melewati 3 sesi utama.


foto berdua sudah. foto bersama orang tua serta keluarga juga sudah.

sekarang giliran foto dengan...

“YA LO JONGKOK LAH ANJER.” kalandra tiba-tiba nyolot kepada lukas yang ngotot minta berdiri di depan. sudah tau tinggi besar, gak tau diri.

“IYE IYE ELAH JONGKOK NIH GUE.” lukas membalas, menurut.

rain tertawa ditengah-tengah kegilaan sesi foto terakhir ini sambil mengawasi seluruh temannya yang tengah bahagia. ya, sesi ketiga adalah sesi foto dengan teman terdekat yang sudah terpilih menjadi pengiring pernikahan.

andai saja momen ini bisa berhenti.. karena menurut rain, ini benar-benar menyenangkan.

“ganti gaya, mbak, mas.. formal-formal tadi sudah.. boleh bebas sekarang.”

bridesmaid yang semuanya berdiri anggun tadi reflek saja pindah gaya, banyak tingkah. memang pada dasarnya receh dan tidak bisa serius, jika disuruh bebas langsung melenceng kanan kiri.

“tunjuk yang nikah coyyyyy!!!!” shea memberi arahan, menunjuk jave dan rain yang sudah duduk di atas kasur kembali akibat kelelahan. sesi foto mereka jelas lebih banyak sebelum ini, berjalan kira-kira 30 menit per sesi sebelum disambung dengan sesi terakhir yang sekarang tengah terjadi.

“YANG SIRIK GAK BISA NIKAHIN JAVE FOTO GAYA NANGIS BOLEH.” gibran usil, melirik lea dan shea, tak lupa naya tasya dan angel yang dulunya juga penggemar jave garis keras.

lea nyolot, menggampar gibran. “DIEM DIEM AJE LO KAK..” tapi, “AYO FOTO NANGIS GUYS. MEWEK AJA MEWEK.”

sialnya, lea memang yang paling tak beres di antara lainnya. dan anehnya lagi, yang lain menurut saja. membuat jave menepuk jidat karena tak habis pikir dan rain tertawa kencang.

foto dijepret, candid, yang bagi semuanya adalah momen tak terlupakan.

keributan itu masih berlanjut hingga 5 menit kemudian sampai karel menghentikan semuanya. “WAKTUNYA GANTI BAJU SAMA MAKE UP TAMBAHAN BUAT CEWEK GUYS.” ucapnya, karena di antara semuanya memang hanya karel yang selalu tau waktu.

“hahahaha oke oke.”

“pegawainya tante nara udah ready di room masing-masing. punya jave sama rain ada di kamar rain. lo berdua bareng aja ke atas?”

jave mengangguk, mengajak rain bangkit berdiri tuk berpindah kembali menuju kamar rain sendiri di lantai 7.

“roknya bisa?”

“TENANG SAUDARA JAVERIO, GUE, LEA, SIAP MEMBANTU SAUDARI RAIN.”

“GUE, GIO, JUGA SIAP MEMBANTU.” suara gio yang baru datang setelah tadi menghilang cukup lama kembali terdengar, membuat rain menoleh cepat.

“GIOOOOOOOOOOO.”

“HAHAHAHA APA RAIN?”

“gak papa sih aku cuma seneng aja kalo liat kamu.” rain membalas, “yuk, angkat rok belakangku gi.”

gio terkekeh, menurut.

melihat kakaknya bahagia bersama orang lain baginya adalah moment yang tak pernah ia duga. selama ini, ia selalu mengira bahwa kakaknya akan selalu berada disisinya, namun jahatnya waktu terus bergulir dan memaksa semuanya untuk terus ikut bergerak. dan sekarang, ia akan melepas kakaknya untuk bahagia total dengan javerio disampingnya.

“kalian berdua lucu, omong-omong.”

“apanya gi?”

“ya gak, lucu aja, dari dulu, kalian selalu lucu kalo lagi barengan.”

jave spontan pongah, merangkul pundak rain mepet kedekatnya dengan tatap sombong yang dibuat-buat.

lea langsung pura-pura muntah.

happiness start with us.


“kak, stoppppp ah udah gak usah muter-muter terus aku puyeng liatnya.” rain menyodor tangan, menyuruh jave agar duduk saja karena dari tadi memang lelaki itu tak mau berdekatan dengan dirinya.

rain duduk di kursi tinggi, mengaku susah jika duduk di kursi normal karena tebalnya dress bagian bawah yang berlipat-lipat banyak. rain tampak luar biasa cantik, luar biasa memukau, luar biasa bisa meruntuhkan batas kesadaran. bau gadis itu yang selalu wangi bahkan sudah tercium lembut di satu ruangan ini, membuat beberapa kali para pekerja memuji dan mengatakan bahwa rain memang secantik itu.

tentu saja, rain memang cantik. cantiknya tak bisa dimiliki siapapun lagi karena memang hanya gadis itu yang memiliki.

“KAK JAVE!!!!” rain berteriak sudah akibat jave yang baru saja hadir di sampingnya itu malah sibuk memotret, mengabadikan momen, katanya.

“taruh gak? kak.. KAK!! ASTAGA TUHAN KAMU HIPERAKTIF BANGET KENAPA...”

jave terkekeh, menaikkan sebelah alis dan berjalan kembali sedikit menjauh untuk melihat hasil jepretannya. aib, tentu saja.

jika tidak ingat dirinya sudah dibebat dress, ia yakin ia sudah menjambak jave saat ini.

“groomsmen sama bridesmaidnya udah siap semua, kakak aku pasang veil sekarang ya?” salah seorang pekerja berjalan mendekat, mulai melakukan tugasnya ketika rain mengangguk sebagai tanggapan.

tak tau jika beberapa meter disebelahnya, entah teman-teman jave ataupun temannya sendiri yang baru keluar dari ruang lain dan masuk ke ruangannya itu mulai mangap mantap akibat penampilan jave dan rain yang mengharukan. bagaimanapun, melepas teman yang menikah memang benar-benar momen mendebarkan. antara senang, sedih, haru, campur menjadi satu.

jave di tempatnya sudah hening, ponselnya hampir jatuh ketika rain perlahan menghadapnya dengan penutup wajah yang sudah sempurna terpakai. sekali lagi, rain sangat cantik. ia berani bersumpah bahwa tak ada gadis lain yang mengganggu eksistensi kecantikan rain dalam hati jave. sebagai tanggapan, lelaki itu tersenyum, lalu menghadap arah lain sambil mengepal tinju dalam bibir agar tak berteriak. baper.

sebab rasanya, setiap momen apapun bersama rain selalu seperti hari pertama pacaran. dan jave merasa beruntung karena seperti itu.

pemberkatan nikah. gereja, 9 a.m


rain sibuk mengusap peluh di dahi meski dari tadi lea dan jeva bergantian menyodor kipas angin portable ke depan wajah. gugupnya terasa hidup. dan sialnya, tak mau berhenti mati meski sedetik. ratusan umat gereja menunggu di dalam demi menjadi saksi pemberkatan mereka hari ini.

jave di ruang lain juga sama saja gugupnya, belum mampu bertemu dengan rain lagi akibat ia mengaku bahwa jantungnya bekerja tidak normal melihat bayangan wajah rain yang tertutup veil. tampak sempurna sekali seakan tak nyata kebahagiaannya, begitu, ucapnya pada karel beberapa saat lalu.

“mama papa sudah masuk, kak. nanti bridesmaidnya megangin rok aja 2 orang kanan kiri. terus pas udah, kakaknya gandeng sama mempelai pria, di lengan. jangan gugup cuma pemberkatan aja kak hahahaha.” beberapa gadis anggota pemuda remaja memberikan beberapa patah kata untuk menenangkan, sementara bayang tubuh jave mulai terlihat keluar dari ruang samping. diikuti oleh kalandra dan karel yang selalu setia membayangi di belakangnya. gagah, tampan, entahlah, segala pujian sudah menguar dari dalam hati sejak tadi meski termakan grogi yang jauh lebih besar dari apapun.

keningnya terpampang bersih dengan rambut tertata rapi, jas putihnya yang licin hingga sepatu putihnya yang begitu mengkilap menambah kesan mempesona. membuat orang yang melihat tidak bisa mengabaikan dan membuang pandangan sebab javerio terlalu sempurna.

“pas 1 menit lagi masuk ke dalem ya kak.” salah satunya mengecek ke dalam ruangan untuk mengontrol bersama rekan lain, siap memberi arahan.

rain makin lemas, ia tidak suka diperhatikan. dan rasanya, sangat mustahil jika tidak diperhatikan karena ia adalah bintang utama. ia adalah mempelai wanita.

“hei.” jave berucap, menyapa. menaikkan sebelah alis pelan sembari menggelengkan wajah. seakan berucap gak apa-apa, ada aku. yang begitu kentara. tangannya mengelus siku rain pelan, menyalurkan hangat yang langsung merembet cepat membuat pipi rain bersemu merah.

jeva reflek meledek melihat kakaknya yang mendadak romantis tersebut. entah, ia tau kakaknya memang lembut. tapi tiap melihat kebucinannya dengan rain, jeva tak tahan untuk tak menggoda.

“yuk, masuk. gandengan. ceria. jangan gugup, ikutin aja kayak kemarin yang udah dikasih tau. oke kak?” anggota pemuda remaja itu mengepalkan tinju di udara, memberi semangat. sesekali tertawa melihat ekspresi rain yang hampir menangis seakan disuruh presentasi depan puluhan pemegang saham.

jave mengangguk berterima kasih, lalu menawarkan sikunya mendekat ke perempuannya. “yuk.” ajaknya kemudian.


mama papa jave, serta mama papa rain (read : om janu.) sudah duduk di masing-masing sisi kanan kiri tempat terdepan gereja. musik dimainkan dengan bunyi-bunyi khas suasana pernikahan yang kalem dan merdu, membuat perut rain semakin melilit mulas dan berakhir mencengkram erat lengan jave untuk menyalurkan rasa tidak enaknya.

jave menoleh sembari kakinya terus menyusuri deret tengah gereja supaya lekas sampai di altar, mengangkat tangan menganggurnya yang tadi terayun gagah demi mengelus jemari rain yang ada di lengannya itu supaya sedikit relax.

berhasil, meski sedikit. gadis itu mengendorkan cengkramannya dan berjalan menuju altar bersama dengan jave yang menuntun di sebelahnya.

keduanya berdiri tegap, setidaknya, rain berusaha untuk tetap tegap karena sekarang semua mata benar memandang ke depan untuk melihat wajahnya dengan jelas. meski tertutup oleh veil, semua mata itu jelas terlihat sangat mengintimidasi bagi rain.

suara-suara yang memuji jave kala berjalan tadi bahkan kembali menghunjam telinga. mereka penasaran gadis mana yang berhasil menikahi lelaki sekelas javerio. tentu saja. mungkin selama ibadah kemarin mereka mengira dirinya adalah adik jave, sudah biasa.

pendeta tersenyum menenangkan, berdiri di atas mimbar sementara tangannya terangkat. bersiap melanjutkan acara pemberkatan yang sah karena pengantin sudah berada di hadapan jemaat.

“Sebab itu, seorang lelaki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”

beberapa jemaat memejamkan mata fokus, beberapa yang lain sudah tidak sabar dan memandang jave serta rain bergantian dengan tatap tertarik. pendeta masih membawakan doa dan firman Tuhan untuk menjadi berkat bagi keduanya hingga sampai ke bagian ucap janji.

jave meremas tangan rain kuat karena gantian ia yang mendadak grogi. tentu saja ia sudah hafal, selain semalam ia benar begadang grogi, ia juga bolak-balik merapal janji bagai merapal mantra. isinya saja bahkan sudah tertulis di hadapan mata sekarang. sayangnya, pandangan para jemaat mengaburkan pikirannya.

“Javerio Gilverd Alkanira.”

“Will you take Rain Chandra Mahaeswari as your wedded wife?”

Javerio mengangguk, “I will.”

Rain Chandra Mahaeswari.”

“Will you take Javerio Gilverd Alkanira as your wedded husband?”

Rain diam sebentar, ia takut suaranya bergetar karena grogi. Beberapa temannya di depan sudah mengepalkan tangan dan menatapnya yakin. JAWAB AJAAAAAA. begitu kira-kira suaranya.

“Yes. I will.”

pendeta tersenyum, merasakan mempelai wanita yang mungkin sudah berkeringat dingin di atas altar dan hampir kebelet pipis karena tak biasa di depan umum. ia lantas melanjutkan cepat untuk menyuruh dua mempelai berdiri berhadapan dan memegang tangan satu sama lain untuk pengucapan janji.

dengan separuh kesadaran yang tersisa akibat kaki sudah melemas sempurna, hanya ada kalimat jave yang menaungi pikiran rain saat ini.

“Saya, Javerio Gilverd Alkanira, mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

lelaki itu mengucapkan dengan sungguh-sungguh seraya menatap lekat matanya tanpa putus dan tanpa keraguan. sehingga sampai kembali di giliran rain, jave kembali mengangguk untuk meyakinkan. berucap lewat tatap mata agar melihat matanya saja dan tak usah memperdulikan umat lain yang menonton.

rain mengatur napas sebentar, mengangguk. membalik posisi tangannya cepat lalu mengulang janji yang sama. meski, tatapannya sering berpendar akibat tetap saja grogi. mata jave terlalu mengintimidasi, dan beberapa kali ia tangkap tengah memancarkan raut jail. dari pada rain berakhir salah atau apa, ia memilih untuk melirik sedikit ke arah lain.

pendeta kembali mengangguk, kini berjalan turun dari mimbar, berdiri di depan jave dan rain tetap menghadap ke jemaat. ia menerima nampan berisi kotak cincin yang disodor oleh groomsmen dan bridesmaid yang mendekat, lukas dan jeva, lalu meraih kotak cincin. pendeta segera membuka dan mengangkatnya tinggi di atas kepala.

“Cincin ini bulat, tanpa awal dan tanpa akhir, sebagai lambang kasih Kristus, yang tanpa awal dan tanpa akhir. Atas dasar itu, cincin ini menyatakan bagi saudara berdua, untuk meniru kasih Kristus dalam kehidupan rumah tangga; dengan mengasihi pasangan tanpa awal, juga tanpa akhir.“

jave dan rain masih bertatapan, yang satu masih serius, yang satu sudah hampir pingsan. apa lagi, ketika jave mulai memasangkan cincin pernikahan ke jari manisnya, mulus, tanpa hambatan.

“mempelai wanita?” pendeta mempersilakan rain bergantian memasang cincin. ia menatap manik jave yang menyeringai dalam diam itu dengan tatap sedikit nyolot. ia tau dari tadi jave menggodanya diam-diam, dan itu semakin membuat perutnya mulas tak bisa berhenti. rain akhirnya memasangkan kembali cincin milik jave agar masuk ke jari manisnya juga.

sambutan ricuh terdengar semakin tak karuan akibat acara yang terus berjalan hingga pendeta mempersilakan jave untuk mengangkat veil milik rain agar tak menghalangi wajah. dua bridesmaidnya yang setia menemani di atas altar ; lea dan jeva, sudah berdeham-deham karena mengerti apa yang akan terjadi setelah veil dibuka.

jave menaikkan sebelah alisnya, tersenyum, seakan berbicara, siap belummm? namun rain hanya balas menatap dongkol karena benar laki-laki itu tak berhenti sembarangan menggoda, bahkan, akan terus begitu nantinya. untung, acara sudah hampir selesai. rain tau jave begitu agar ia tidak gugup, ya, setidaknya, memang berhasil.

laki-laki itu mengulur kedua tangan maju, menaikkan perlahan kain tipis itu agar tak menghalangi wajah cantik perempuannya yang tak pernah lewat sedetik tanpa pujian menguar dari mulutnya. beberapa desis dan ucapan wow ikut menggema keras dari jemaat yang kini penasaran dan ikut berdiri dari duduknya demi melihat wajah rain dengan jelas.

hening.

bahkan kaki jave sampai melemas akibat sadar bahwa memang hubungannya dengan rain sudah sejauh ini, sekarang, jantungnya sendiri sudah ikut berdegup kencang tak mau diam. rasa sayang dan cintanya makin membludak melihat wajah cantik rain yang ada di hadapannya ini. terlihat polos, lucu, arhhh entahlah, ia hanya ingin berseru gemas saja detik ini.

sesaat kemudian terdengar seruan kompak jemaat muda yang menyuruh,

CIUM! CIUM!!

membuat pikiran jave kalang kabut, ia tau ia akan melakukannya, tapi, di gereja, di hadapan papa dan mamanya, jeva, tak luput ia ikut kaget juga.

“rain.” jave memanggil, seruan disana makin seru saja.

“diam. jangan tanya aku, aku gak tau.”

“tapi memang ada acaranya begitu kemarin.”

“pilihan kali kakakkkkkkk.”

keduanya malah debat tak penting sampai ditatap pendeta yang ikut-ikut tertawa. jave mengusap ujung hidungnya sebentar, menggenggam tangan rain mantap. “shall we?”

rain mengangguk, biar saja, ia tak keberatan. karena selama itu jave, kenapa pula ia susah hati?

dengan sigap kepala jave maju mendekat, menatap sebentar mata rain yang juga kini bergetar malu. ia tersenyum meyakinkan sementara terus mengikis jarak.

“CIEEEEEEEEEEEE.”

“SELAMAT ATAS PERNIKAHANNYA, SEMOGA ACARA RESEPSI DI GEDUNG LANCAR SAMPAI SELESAI.”

begitulah, rentetan pemberkatan hari ini selesai. dengan satu kecupan lama di bibir yang jika tak dicubit tangannya, tak akan mau lepas.

h-1 🌼


“besok berangkat jam 4 subuh buat persiapan make up ya. acara memang sore, tapi pemberkatan di gereja kan pagi. jam berapa kemaren ma?” papa jave menoleh ke istrinya sebentar.

“jam 9 toh papa kok lupa.”

mama rain tertawa, ikut menanggapi. ia berdiri di sekitar tubuh rain dan gio sebentar sementara om janu menjaga kedua anaknya yang sibuk berlarian.

“mana groomsmen sama bridesmaidnya ini ayo kumpul dulu briefing buat besok.” papa jave melawak, menepuk-nepuk tangannya hingga semuanya berkumpul mendekat.

“besok ke salon jam 4..”

“papa udah ngomongin salon 10 kali loh pa.” jave mengernyit alis, protes.

“masa?”

“11 kali kalo mau ditambahin sekali lagi.”

papa jave garuk-garuk tengkuk sebentar. “ya udah gitu pokoknya. ini kita sudah pesan beberapa kamar hotel juga buat bridesmaid biar bisa berangkat bareng. kan kalo groomsmen sudah ada kamar kan? kalian pesen duluan berapa hari udah gak check out-check out?”

kalandra mengangguk. “udah hampir seminggu om.”

“ya udah gampang, kendaraan gimana?”

“aman om.” para lelaki menjawab serempak karena memang punya mobil sendiri-sendiri.

papa jave mengangguk, beranjak duduk. “ya udah segitu aja, jave sama rain langsung balik ke hotel intinya gak boleh muter-muter pergi. langsung ke hotel. denger?”

“denger pa ya ampun itu juga udah papa bahas 5 kali.”

karel terpingkal, rambut mulletnya bergerak-gerak.

“nah karel, awasin berdua ini. jave udah berapa hari ngomel kangen takutnya malah ngajak rain kelayapan.”

“siap om.”

“oke, udah hampir jam 11.. biar gedung ditata lagi sama petugas besok, kita balik ke tempat masing-masing.”

rain menoleh ke mamanya, “rain bawa apa ma?”

“bawa baju ganti biasa aja nanti biar mama kirim ke hotel.”

“oh oke. makasih banyak ma.” rain mengangguk, kini ganti menoleh ke arah jave yang masih saja debat dengan papanya entah membahas apa.

“kak jave.”

jave yang masih sibuk itu seketika menoleh. “ya sayang?”

“MA.. ANAKMU SAYANG-SAYANGAN MA..” papa jave menunjuk jave dengan gerakan ribut.

“ya apa sih pa biarin aja astaga.” gantian jeva yang menyahut akibat malu. teman-teman rain dan jave ikut tertawa sambil perlahan berpamitan pergi. ingin menuju rumah masing-masing menyiapkan peralatan sebelum kembali ke hotel pesanan keluarga.

jave mencekal lengan rain pelan, “rain?”

“eh iya.”

“kenapa?”

“enggak, ayo pulang. disetirin karel kan?”

“udah capek ya?”

rain mengangguk, lalu menggeleng. “gak capek sih, tapi aku lumayan ngantuk.”

jave mengangguk, pamit cepat kepada mama papanya sendiri lalu bergeser pamit pada keluarga rain. lelaki itu lantas menggandeng tangan rain, membawanya keluar dari gedung yang besok akan menjadi saksi bersatunya dua manusia.

“CEPET WOY!” karel berteriak, menyenderkan badan di pintu mobil akibat yang ditunggu berjalannya terlalu lama.

rain terkekeh, mengacung jempol, berlari mendekat setelah melepas pegangan jave.

“LARI-LARI NYUNGSEP BENERAN YA?”

“hahahahahaha enggakkkkkk.”

karel menepuk kening, “dosa apa gue harus nyetirin lo berdua balik hotel?”

“hehehehe.”

TIN

mobil kalandra dan gibran yang besar itu mengebel cepat, jendela belakang dan depannya terbuka lebar memapar teman-teman jave dan rain yang sibuk berpamitan.

“LANGSUNG HOTELLLLLL. GAK BOLEH MUTER-MUTER!!”

jave berdecak, “kayak gue amnesia aja diingetin bolak-balik..”

terakhir, mobil sedan lukas mengebel pelan. tanpa berhenti dan hanya menyalakan lampu dim saja. berpamitan.

“nah ini lagi si setan kaga ada sopan-sopannya ngadepin calon ipar.” karel tertawa, melambai tangan bersamaan dengan jave yang ikut memaki.

rain? gadis itu sudah duluan membuka pintu belakang mobil karel dan menyelonjorkan kakinya disana. ngantuk, ia ingin tidur sebentar sebelum nanti malam ia direcok teman-temannya lagi dalam kamar hotel.

h-1 🌼


“besok berangkat jam 4 subuh buat persiapan make up ya. acara memang sore, tapi pemberkatan di gereja kan pagi. jam berapa kemaren ma?” papa jave menoleh ke istrinya sebentar.

“jam 9 toh papa kok lupa.”

mama rain tertawa, ikut menanggapi. ia berdiri di sekitar tubuh rain dan gio sebentar sementara om janu menjaga kedua anaknya yang sibuk berlarian.

“mana groomsmen sama bridesmaidnya ini ayo kumpul dulu briefing buat besok.” papa jave melawak, menepuk-nepuk tangannya hingga semuanya berkumpul mendekat.

“besok ke salon jam 4..”

“papa udah ngomongin salon 10 kali loh pa.” jave mengernyit alis, protes.

“masa?”

“11 kali kalo mau ditambahin sekali lagi.”

papa jave garuk-garuk tengkuk sebentar. “ya udah gitu pokoknya. ini kita sudah pesan beberapa kamar hotel juga buat bridesmaid biar bisa berangkat bareng. kan kalo groomsmen sudah ada kamar kan? kalian pesen duluan berapa hari udah gak check out-check out?”

kalandra mengangguk. “udah hampir seminggu om.”

“ya udah gampang, kendaraan gimana?”

“aman om.” para lelaki menjawab serempak karena memang punya mobil sendiri-sendiri.

papa jave mengangguk, beranjak duduk. “ya udah segitu aja, jave sama rain langsung balik ke hotel intinya gak boleh muter-muter pergi. langsung ke hotel. denger?”

“denger pa ya ampun itu juga udah papa bahas 5 kali.”

karel terpingkal, rambut mulletnya bergerak-gerak.

“nah karel, awasin berdua ini. jave udah berapa hari ngomel kangen takutnya malah ngajak rain kelayapan.”

“siap om.”

“oke, udah hampir jam 11.. biar gedung ditata lagi sama petugas besok, kita balik ke tempat masing-masing.”

rain menoleh ke mamanya, “rain bawa apa ma?”

“bawa baju ganti biasa aja nanti biar mama kirim ke hotel.”

“oh oke. makasih banyak ma.” rain mengangguk, kini ganti menoleh ke arah jave yang masih saja debat dengan papanya entah membahas apa.

“kak jave.”

jave yang masih sibuk itu seketika menoleh. “ya sayang?”

“MA.. ANAKMU SAYANG-SAYANGAN MA..” papa jave menunjuk jave dengan gerakan ribut.

“ya apa sih pa biarin aja astaga.” gantian jeva yang menyahut akibat malu. teman-teman rain dan jave ikut tertawa sambil perlahan berpamitan pergi. ingin menuju rumah masing-masing menyiapkan peralatan sebelum kembali ke hotel pesanan keluarga.

jave mencekal lengan rain pelan, “rain?”

“eh iya.”

“kenapa?”

“enggak, ayo pulang. disetirin karel kan?”

“udah capek ya?”

rain mengangguk, lalu menggeleng. “gak capek sih, tapi aku lumayan ngantuk.”

jave mengangguk, pamit cepat kepada mama papanya sendiri lalu bergeser pamit pada keluarga rain. lelaki itu lantas menggandeng tangan rain, membawanya keluar dari gedung yang besok akan menjadi saksi bersatunya dua manusia.

“CEPET WOY!” karel berteriak, menyenderkan badan di pintu mobil akibat yang ditunggu berjalannya terlalu lama.

rain terkekeh, mengacung jempol, berlari mendekat setelah melepas pegangan jave.

“LARI-LARI NYUNGSEP BENERAN YA?”

“hahahahahaha enggakkkkkk.”

karel menepuk kening, “dosa apa gue harus nyetirin lo berdua balik hotel?”

“hehehehe.”

TIN

mobil kalandra dan gibran yang besar itu mengebel cepat, jendela belakang dan depannya terbuka lebar memapar teman-teman jave dan rain yang sibuk berpamitan.

“LANGSUNG HOTELLLLLL. GAK BOLEH MUTER-MUTER!!”

jave berdecak, “kayak gue amnesia aja diingetin bolak-balik..”

terakhir, mobil sedan lukas mengebel pelan. tanpa berhenti dan hanya menyalakan lampu dim saja. berpamitan.

“nah ini lagi si setan kaga ada sopan-sopannya ngadepin calon ipar.” karel tertawa, melambai tangan bersamaan dengan jave yang ikut memaki.

rain? gadis itu sudah duluan membuka pintu belakang mobil karel dan menyelonjorkan kakinya disana. ngantuk, ia ingin tidur sebentar.

h-1 🌼


“besok berangkat jam 4 subuh buat persiapan make up ya. acara memang sore, tapi pemberkatan di gereja kan pagi. jam berapa kemaren ma?” papa jave menoleh ke istrinya sebentar.

“jam 9 toh papa kok lupa.”

mama rain tertawa, ikut menanggapi. ia berdiri di sekitar tubuh rain dan gio sebentar sementara om janu menjaga kedua anaknya yang sibuk berlarian.

“mana groomsmen sama bridesmaidnya ini ayo kumpul dulu briefing buat besok.” papa jave melawak, menepuk-nepuk tangannya hingga semuanya berkumpul mendekat.

“besok ke salon jam 4..”

“papa udah ngomongin salon 10 kali loh pa.” jave mengernyit alis, protes.

“masa?”

“11 kali kalo mau ditambahin sekali lagi.”

papa jave garuk-garuk tengkuk sebentar. “ya udah gitu pokoknya. ini kita sudah pesan beberapa kamar hotel juga buat bridesmaid biar bisa berangkat bareng. kan kalo groomsmen sudah ada kamar kan? kalian pesen duluan berapa hari udah gak check out-check out?”

kalandra mengangguk. “udah hampir seminggu om.”

“ya udah gampang, kendaraan gimana?”

“aman om.” para lelaki menjawab serempak karena memang punya mobil sendiri-sendiri.

papa jave mengangguk, beranjak duduk. “ya udah segitu aja, jave sama rain langsung balik ke hotel intinya gak boleh muter-muter pergi. langsung ke hotel. denger?”

“denger pa ya ampun itu juga udah papa bahas 5 kali.”

karel terpingkal, rambut mulletnya bergerak-gerak.

“nah karel, awasin berdua ini. jave udah berapa hari ngomel kangen takutnya malah ngajak rain kelayapan.”

“siap om.”

“oke, udah hampir jam 11.. biar gedung ditata lagi sama petugas besok, kita balik ke tempat masing-masing.”

rain menoleh ke mamanya, “rain bawa apa ma?”

“bawa baju ganti biasa aja nanti biar mama kirim ke hotel.”

“oh oke. makasih banyak ma.” rain mengangguk, kini ganti menoleh ke arah jave yang masih saja debat dengan papanya entah membahas apa.

“kak jave.”

jave yang masih sibuk itu seketika menoleh. “ya sayang?”

“MA.. ANAKMU SAYANG-SAYANGAN MA..” papa jave menunjuk jave dengan gerakan ribut.

“ya apa sih pa biarin aja astaga.” gantian jeva yang menyahut akibat malu. teman-teman rain dan jave ikut tertawa sambil perlahan berpamitan pergi. ingin menuju rumah masing-masing menyiapkan peralatan sebelum kembali ke hotel pesanan keluarga.

jave mencekal lengan rain pelan, “rain?”

“eh iya.”

“kenapa?”

“enggak, ayo pulang. disetirin karel kan?”

“udah capek ya?”

rain mengangguk, lalu menggeleng. “gak capek sih, tapi aku lumayan ngantuk.”

jave mengangguk, pamit cepat kepada mama papanya sendiri lalu bergeser pamit pada keluarga rain. lelaki itu lantas menggandeng tangan rain, membawanya keluar dari gedung yang besok akan menjadi saksi bersatunya dua manusia.

“CEPET WOY!” karel berteriak, menyenderkan badan di pintu mobil akibat yang ditunggu berjalannya terlalu lama.

rain terkekeh, mengacung jempol, berlari mendekat setelah melepas pegangan jave.

“LARI-LARI NYUNGSEP BENERAN YA?”

“hahahahahaha enggakkkkkk.”

karel menepuk kening, “dosa apa gue harus nyetirin lo berdua balik hotel?”

“hehehehe.”

TIN mobil kalandra dan gibran yang besar itu mengebel cepat, jendela belakang dan depannya terbuka lebar memapar teman-teman jave dan rain yang sibuk berpamitan.

“LANGSUNG HOTELLLLLL. GAK BOLEH MUTER-MUTER!!”

jave berdecak, “kayak gue amnesia aja diingetin bolak-balik..”

terakhir, mobil sedan lukas mengebel pelan. tanpa berhenti dan hanya menyalakan lampu dim saja. berpamitan.

“nah ini lagi si setan kaga ada sopan-sopannya ngadepin calon ipar.” karel tertawa, melambai tangan bersamaan dengan jave yang ikut memaki.

rain? gadis itu sudah duluan membuka pintu belakang mobil karel dan menyelonjorkan kakinya disana. ngantuk, ia ingin tidur sebentar.