waterrmark

part of throwback. (highschool.)

lowercase.

happy reading!


siang ini panas sekali. matahari bersinar kelewat semangat membuat keringat menetes dari dahi butir demi butir.

jave mengelap keringatnya, mengusir seluruh anak basket agar menepi atau setidaknya menjauh dari posisinya berdiri. sensi. biasa. jave jika sudah kepanasan sisi setannya benar keluar. marah-marah terus, tidak peduli siapa subjeknya. kecuali..

“heiiii!”

ya benar. kecuali dengan rain.

lelaki itu langsung menyungging senyum, menoleh cepat. menyambut kehadiran gadisnya yang hari ini ada ekskul bahasa inggris di lab atas namun sudah selesai sebab terlihat dari tas bawaannya yang lengkap tanda bersiap akan pulang.

“aku masih 10 menit lagi rain. kamu keburu gak?” jave berjalan mendekat, menghampiri rain yang duduk di tribun itu sambil menyodor tangan. ingin minta minum, maksudnya.

“gak papa sih. santai aja. agak berdosa tapi nanti aku bisa bilang mama ekskulnya pulang agak molor hahahaha.” rain menyerahkan botol minumnya. kali ini sudah tidak ada satupun anak sekelas yang meminta di galon 2 liter tersebut seperti yang sudah-sudah, alias, eksklusif.

jave menepuk kening mendengar ucapan rain barusan, lalu duduk di sebelah gadisnya seraya menegak minum perlahan.

“kak jave, mana kak kalandra?”

“ada disana. mau apa?”

“ya gak sih, penasaran aja soalnya gak terlihat.” rain menjawab, melepas cangklongan tasnya.

“yang bener?” jave reflek memicing alis.

“iya beneeerrr hahah apa sih orang ini kan cuma bertanya.” rain menjawab, lalu mulai bangkit berdiri untuk meraih bola basket yang menggelinding asal di lapangan tersebut. ditinggalkan tergeletak sebab pemainnya sudah kelelahan semua. masih belum berniat meringkas peralatan dan memilih untuk ngadem di tempat lain.

“kak kak kak.. kamu tau gak kemaren ulangan olahragaku dapet nilai 70 soalnya pas lempar bola gaya lay up tuh aku gak bisa. tapi temen sekelas yang cewek juga dapet nilai segitu sih. kata pak angga, kita jalannya kayak kodok.” rain sambat, mulai mendribel bola asal seraya mendekati ring dan melempar sesuai apa yang diajarkan oleh pak angga minggu lalu.

jave masih diam di tempatnya duduk, tertawa saja mendengarkan rain mengomel sambil melempar ngawur bolanya tanpa kejelasan arahan.

“terus ya aku tuh agak sebel, maksudku kalo gak bisa ya udah gitu gak usah dimarah-marah. masa katanya kita gak dengerin dia pas belajar, padahal ya siapa juga yang mau remidi? ngeselin. dah gitu pake di sorak segala katanya olahraga aja gak bisa.. aduhhhhh. EMANG SEMUA HARUS JAGO KAH?”

“HAHAHAHAHAHA. emang ngeselin, marahin coba rain. itu orangnya masih di ruang guru hahahahahahaha.”

“gak berani lah nanti aku terkena tendangan maut.”

“siapa berani tendang cewekku?”

“gak tau tapi sepertinya dia berani.”

jave terpingkal, lalu memutuskan untuk berjalan mendekat. ia akan memberikan sesi belajar singkat pada rain setidaknya agar tidak salah langkah seperti yang sudah-sudah.

“gini loh yang bener, sayang.” jave menarik bola lain yang tergeletak di lapangan, lalu mulai memperagakan lay up dengan benar. langkahnya ringan, kelewat enteng sebab sudah terlalu biasa. lelaki itu lantas kembali lagi mendekati rain ketika bolanya sudah masuk ring dengan mudah dan mulus. “bisa, kan?”

“gak, lah?” rain tidak habis pikir. “maksudku, otak dan gerakanku gak sinkron. kalo liat kayak gampang, tapi pas pegang bola endingnya gak bisa.”

“bisaa. sini deh aku ajarin. yang penting berdiri startnya jangan kejauhan rain. kalo bisa di deket ring aja. gini..” jave menarik pelan lengan pacarnya agar berdiri di posisi yang benar. dan rambut yang seharusnya siang ini sudah bau matahari itu malah tercium harum ketika bergerak terkena angin. sepertinya rain punya taktik khusus agar rambutnya selalu enak dicium.

“terus?” rain bertanya.

“ehm.. terus, terus kalo udah berdiri disini dribel aja bolanya pelan-pelan sambil ngelangkah ke depan..” lelaki itu lanjut berbicara setelah terpergok melongo beberapa detik. ia memperagakan dengan sabar sebab tau rain memang tidak bisa dikasari. pun, memang siapa pula yang mau berkasar-kasar dengan gadis selembut itu? jave sih tidak akan pernah mau.

“hrrr... terus..?”

“terus kalo udah dribel maju kanan, kiri, lompat aja, shoot nih bola ke ring. lompatnya ke atas tapi jangan ke depan nanti kamu nyungsep hahahaha.”

rain mendengus, masih mendengarkan. matanya memandang fokus, namun sepersekian detik ia tersadar jika pikirannya tidak bisa konsentrasi. baper dan salting setengah mati. belum lagi ia baru melihat di taman atas ada beberapa anak lain yang pulang ekskul dan duduk makan cilok di pinggirannya. melihat terang-terangan ke arah lapangan bawah tempatnya berdiri saat ini.

“hei hei. liat apa aku disini.” jave menjentik jemarinya pelan, membuat rain menoleh kembali.

“ini pentingnya shootmu biar lemes, ngelepas bolanya pake jari-jari tangan. jadi pas kamu lompat, bolanya kamu lempar gini... nah, itu pergelangan tangannya kayak yang ngelambai ke bawah tuh lho, ngerti gak?” jave masih berbicara sambil terus memperagakan. padahal sendirinya sudah lelah sejak tadi dipapar di bawah matahari oleh pelatih.

“err.. yaa, ya aku ngerti.”

“coba aku liat.”

rain menggaruk kening, grogi. “tapi nanti kalo tetep gak bisa aku jangan dimarahi.”

“lah apa sih dikira aku chef juna mau marah-marah?”

rain tuli seketika. dengan perlahan ia mencoba menuruti ajaran jave dan.. mau berharap apa? tentu saja, gagal.

“susaaaaaaah hei apa sih lagian kenapa orang-orang berebut bola ini ngeselin banget gak jelas.”

“aku gak jelas dong?”

“iya. kamu gak jelas.”

jave terpingkal lagi. menarik tangan rain mendekat untuk memposisikan dengan benar. bersiap untuk mengajar lagi.

“ini loh rain. kamu berdiri di area ini kan.. HEH JANGAN GESER-GESER.”

rain malah tertawa. usil saja.

“terus kalo udah gini mulai maju, 2 langkah depan terus lompat.”

“kanan.. kaki kanan dulu. soalnya kamu dari kanan. RAINNNNN.”

“HAHAHAHAHA.”

“kanannnnn.”

“ini kan sudah kanannnnnnnnnnn.”

“iya juga.”

rain mencibir. mulai melangkah pelan menuruti ajaran jave tadi dan melempar bolanya dalam ring. meski tidak masuk, jave tetap bersorak memberi pujian.

“ya gituuuu, tinggal pas-pasin bola aja. pokoknya entengin pikiran aja jangan dibawa beban. nanti makin dipikir makin bingung kamu.”

“tapi emang aku tiap olahraga kayak pengen muntah duluan.”

“awas aja aku liat tali sepatumu lepas pas lari.” jave mencibir, mulai mengomel.

“biar bisa berentiiiiiiiii.”

“tapi nanti kamu jatuh.”

rain mengangguk-angguk saja. “iya, oke.. oke.”

“sini main lagi.”

“sama kamu tapi.” rain melempar bolanya ke jave pelan dan langsung ditangkap dengan sigap.

“ayo deh, masuk-masukin ke ring asal aja. gimana?” jave meladeni. lagi pula anak lain juga masih belum kembali, siapa yang mau meringkas segala bola ini seorang diri?

“hahahaha oke. nanti nilainya yang banyak boleh minta request menu makan malem besok sabtu.”

jave tertawa, melangkah mendekat ke rain lagi. menganggukkan kepala. “ayo kamu dulu.”

gadis itu segera melemparkan bola ke ring dan tidak masuk, kurang kencang. “ANGIN NIH ANGINNNN.”

“lah iya kurang ajar anginnya. nah kan, punyaku juga gak masuk. emang kurang ajar.” jave bercanda, lemparan bolanya juga ia gagalkan dengan sengaja.

“hahaha aku ya sekarangg.”

“manaaa gak masuk-masuk?”

“ini tuh kayak susah. apa aku tidak berotot ataukah kurang tinggi?”

jave tertawa, “tangannya kalo megang yang bener makanyaa. sini, kayak gini.” lelaki itu memberi tau, membenarkan posisi jemari rain agar mencengkram bola dengan benar. “dah sekarang kakinya ditekuk dikit, nanti pas shoot baru dilurusin lagi.”

rain mencoba, dan entah kenapa bolanya kali ini menyentuh bibir ring. membuat jave gemas setengah mati, namun bukan gemas karena bola gagal masuk, tapi gemas karena....

“aaaaaaaaaaaaaaaa ini pertama kali aku lempar bola nyampe ke bunderan kak!!! kamu mau aku beliin mobil-mobilan kah? hahahahahahaha.”

iya. gemas karena randomnya isi pikiran rain.

memang sudah cinta ending-endingnya pasti bucin.

kalandra, gibran, lukas, rendy dan juna yang baru kembali dari kejauhan reflek mericuh. mulutnya berteriak kanan kiri membuat ramai lapangan. rain sampai langsung bergerak ke pinggiran dan memilih untuk mencangklong tasnya lagi.

“diem lo semua, bacot.” telinga jave memerah tanpa diminta. malu juga karena kepergok ketika bucin-bucinnya.

“cielaaaaaaahhhhhh coach javerio hahahahahaha.”

jave diam saja, tidak mau menggubris. lelaki itu lantas memunguti bola dari lapangan dan bergerak cepat menuju gudang belakang setelah sebelumnya sudah berbicara pada rain untuk menunggu sebentar.

rain mengangguk. memutuskan tuk berjalan ke parkiran saja untuk menunggu jave disana. ia tidak ingin kena ganggu bibir kalandra.

dah lama ga update maap ya.. btw ini font w.as emg gede begini? kebanyakan liat word mini2 kaget gue hahahaha anw dah happy reading!


jave dan rain benar pergi ke club malam ini. pukul 10 waktu setempat, sudah sangat larut untuk ukuran perempuan macam rain yang tidak pernah keluar rumah aneh-aneh.

jave yang sadar jika rain merasa canggung itu reflek menarik pinggang gadisnya mendekat. melindungi dengan protektif seraya memberikan kenyamanan sebisanya.

“mau balik aja?” jave bertanya.

“gak lah, apa-apaan. sudah sampe sini. temuin aja temenmu dulu.”

narasi rada sinting.. 21+

btw, lu jangan pelit2 ya anjir ini gue ngetik sepanjang afrika pandaan di rt lah minimal biar yang ga kenal javerain bisa kenal dan ikutan baca 😡 nextnya gamau tau nih pvt kudu 100+ likes dulu byeeeeeeee *ngeselin.

lowercase.


jave masih memandangi gadisnya yang terkejut, tangannya reflek mencekali erat punggung agar rain tidak benar kabur setelah berani memancing dirinya.

“tenang kak, tenang.. nafas dulu... yuk tarik nafas 1.. 2... hembus. yaaa gitu pinter.” rain malah mengajari cara bernapas agar jave bisa sedikit relax. jantungnya berdetak liar kala tatapan jave yang teduh tadi sudah perlahan sirna sebab kesadarannya sudah terkikis.

“wah.. sudah tidak tertolong rupanya.” rain menghela napas, mendadak pasrah akan diapakan nantinya. toh, ia memang sudah menyerahkan diri dalam artian yang sebenarnya. pun sudah sejak kemarin pula jave menginginkan ini tapi batal terlaksana.

lelaki itu tampak membasahi bibir bawahnya sebentar. mengecup bibir rain sekali, lalu dilepas. dua kali, tiga kali.. pindah ke pipi. kembali lagi ke bibir. geser ke dagu cukup lama, lalu lanjut berputar sebentar di area wajah lain untuk menyapa hingga menimbulkan suara kecupan yang cukup keras meski sekarang posisinya masih di dekat balkon samping.

“kak udah..”

jave menjawab dengan juluran lidahnya yang kini mulai bergerak ke dekat telinga, melumat rahang bawahnya lalu turun ke leher. pergerakannya cepat, kadang turun ke bawah, kadang kembali ke atas. rain sampai menggigit bibirnya sendiri karena suara berat jave kadang menguar tanpa sadar. seksi sekali.

“enak rain? kok sampe neleng gitu?” jave bercanda sebentar. dan belum sempat rain menjawab, lelaki itu sudah menjatuhkan ciuman ke bibirnya. menyeringai sebentar disela kegiatan sambil menahan geli karena rain mencubit pinggangnya di bawah sana.

“hmmmh.. lepas sebentar kak, time time..”

jave protes, tak terima ciumannya ditarik begitu saja. “kenapaaa?”

“itu bajunya nyangkut di celanamu.” rain menunjukkan tangannya yang.. yah, benangnya memang terbebat di bagian sabuk jave.

“lagian cubit-cubit.. kan jadi gitu.” jave mengomel gemas sambil membenarkan benang tersebut pelan-pelan agar tidak makin parah lepasnya.

“ya kan suruh siapa sih kalo ngomong ceplas-ceplos? terus juga ini di rumah ngapain kamu pake celana jeans? kan keluarnya masih malem..”

“pengen ajaa, kok jadi ngomel sih? apa perlu kalo di rumah gak pake celana aja?” jave lanjut terkekeh, melirik wajah rain sebentar yang kini sudah melotot gregetan. “dah gak usah ngomel, tuh udah lepas.” ia melanjutkan, lalu menyuruh rain bangkit berdiri perlahan.

“kita udah selesai?” gadisnya bingung.

“siapa bilang?”

“terus mau apa?”

“ganti posisi biar tanganmu gak usilin aku.” jave menjawab, kali ini benar tertawa puas ketika menarik pinggang rain agar jatuh di atas pangkuannya kembali. bedanya, kali ini mereka tidak berhadapan.

“masih bisa usil sih sebenernya, tapi emang susah.. kakimu soalnya keras, malesin.” rain berucap pelan. dan sebagai balasan atas ucapannya barusan, jave reflek menarik kedua tangan rain ke belakang dan menguncinya lembut di punggung.

“hahaha gak bisa kan kalo gini?”

“curang bangetttttttttttt.”

jave tertawa puas, wajahnya sumringah sekali ketika kemudian ia menarik dagu rain agar menoleh dengan tangan kanannya. tak banyak pertanyaan dan tak banyak sesi bercakap-cakap lagi jave langsung menjatuhkan ciumannya pada rain. aroma tubuh dan rambut gadisnya yang memang selalu sedap dihirup itu segera menerobos lubang hidung lagi karena jaraknya sudah terkikis habis.

posisi ini menyenangkan sekali menurutnya sebab rain tampak 100 kali lipat lebih seksi. bibirnya yang terbuka ketika lidah jave menyusup masuk itu bahkan sudah sangat cukup meruntuhkan batas iman yang tersisa.

jave tersenyum puas, mulai melilitkan lidahnya pelan kala tangannya bergerak menyusup masuk ke baju dan mengusap perut rain pelan. meremasnya kecil kala dirasa cukup gemas.

“mmh..” satu suara rengekan protes lolos begitu saja disela ciuman ketika jave memberanikan diri untuk menelusupkan telapak tangannya masuk ke celah bra dan meremas isinya perlahan.

sinting. seksi sekali, sudah dua kali ia menyentuh dan perasaannya masih saja sama seperti kemarin. benda itu lucu, pas sekali berada di tangan dan mulutnya seakan memang sudah tercipta untuknya seorang.

rain mendadak gelisah sekali, tangannya tidak dilepaskan sedangkan tubuhnya sudah sempurna ada dalam cekalan jave. bahkan lihatlah lelaki itu sudah mengangkat naik bra tanpa benar-benar melepasnya, sepertinya masih trauma jika kegiatannya terganggu hanya karena tidak bisa melepas kaitannya.

“ahh kak, pelan ajaa..” rain berujar kala remasan jave mulai mengencang di payudaranya. sudah tampak terbakar sekali nafsu lelaki itu sekarang ini.

tangan rain perlahan di lepaskan. dan tangan jave yang tadi digunakan untuk mencekali itu mulai bergerak ke arah lain. ke arah bawah tempat main coursenya tersedia.

“bilangh dulu kenapa sih..” rain menyibak anak rambutnya yang menutupi wajah sambil terus menekan desahan agar tidak keluar ketika tubuh bagian atas dan bawahnya diserang semua.

pergerakan rain yang gelisah di atas pangkuannya itu membuat pusakanya tergesek dan bangun tegak. bahkan punggung rain kini sudah meluruh lemas, menyender di atas tubuhnya secara sempurna.

“jani-mu kak astagaa.. ah ya ampun, tapi itu jarimu memang boleh kah begitu.. pelan bangeth..” rain akhirnya berucap dengan nada tersengal karena putaran jari jave di bawah sana terasa sangat menyiksa, lambat sekali, seakan menggoda agar rain mau meminta lebih kepadanya.

“kakk... boleh yang betulan dikit enggakh.. ahhh..” makin tersengal saja rain ketika klitnya ditekan-tekan kuat.

“kayak gimana rain?”

“jangan beraninya, godain aku lah.. nanti, kalo aku dendam.. ahh JANGAN CUBIT-CUBIT..”

jave tertawa, kedua tangannya masih bekerja semua. napasnya makin memburu ketika rain menghadapkan wajah ke arahnya. “kak jave sayangh.. boleh enggakh, itu, apa tuh....”

“hm?” jave menyeringai, rain memanggilnya sayang dengan desahan sudah tentu terdengar sangat menggairahkan. belum lagi ketika tangan rain yang kecil itu menarik dagunya cepat. memutuskan untuk menjatuhkan ciuman saja siapa tau jave mau menuruti keinginannya ketika berhasil terbuai.

namun bukannya terbuai, jave malah semakin semangat menggoda. jemarinya bergerak sangat lambat di bawah sana sementara jemari satunya sudah mencubiti puting dengan cukup kuat.

rain lagi-lagi bergerak, kini gerakannya sudah cukup ekstrim karena frustasi tidak bisa melepaskan ledakan pertamanya dengan segera. tangan gadis itu bahkan sudah ikut mencekali pergelangan tangan jave yang bekerja di bawah sana, ingin menyetop pergerakan lelaki itu sebab sudah kepalang kesal tak dituruti.

“look at me sweety.” jave berucap serak kala melepaskan ciumannya.

“kenapa, harus liat-liath.... “

“aku mau liat kamu pas keluar..”

“gak berperi kemanusiaanh banget orang ini..” rain protes, namun tetap menurut. gadis itu menatap mata jave yang kali ini tengah memandangnya penuh puja. tatapannya menyorot penuh damba, membuat rain merinding seketika. pikirannya spontan melayang lepas ketika jemari jave benar bergerak cepat di bawah sana. mengubek kanan kiri seraya menjapit klitnya berulang kali. begitu liar, dan, bagaimana menjelaskannya? jari lelaki itu kuat dan besar sekali, tentu saja sensasinya juga begitu luar biasa.

“ahh kak javee ya ampunh...” gadis itu kelabakan sekali setelah dituruti, membuat jave makin ingin melahapnya tanpa ampun saking seksinya. bahkan jave baru sadar jika baju rain sama sekali belum ia buka sejak tadi. dan entah kenapa begini saja rasanya sudah cukup, rain sudah sangat seksi tanpa perlu diunboxing.*

dengan mata memejam dan bibir yang terbuka mengelukan nama jave beberapa kali akhirnya gadis itu berhasil melepaskan cairannya.

“good girl...” jave tertawa sebentar, mengecupi pipi rain berulang kali hingga akhirnya menarik jari dan menjilatnya habis di depan mata rain.

“kakakk.. di, lap dong????” rain melotot dengan napas tersengal, tak percaya akan apa yang dilihatnya barusan. kemarin ketika hari pertama melakukan ia tidak menyaksikan sendiri betapa gilanya lelaki itu ketika menelan cairannya, namun kali ini.. wah lihatlah jave, lelaki itu hanya mengedik pundak sambil mulai melucuti atasannya sendiri.

“memang apa rasanya sih.. maksudku.. bisa-bisanya.. wah..”

“enak. apa lagi, itu kan punyamu.”

rain merinding, tatapan jave menggelap lagi. bahkan rain baru ingat jika jani sudah terbangun sejak tadi.

“sini-sini, gantian kamu kak...”

“aku belum makan punyamu?” jave meneleng wajah.

“selametin dulu punyamu kek, lihatlah... dia mau keluar.” rain bangkit berdiri, menunjuk adik jave dengan jari, sementara matanya melihat ke arah lain karena entah kenapa masih saja canggung.

“kamu gak sabar mau megang kah?”

“kak jave bukan gituuuu..”

“ya udah, lepas sini.” jave menyender, mempersilakan rain untuk membuka ritsleting celana secara mandiri. menggoda saja sih sebenarnya.

“ya ampun.... oke.. oke aku buka, tapi awas kalo kamu ngeledekin aku nanti..”

“enggak hahahahaha.” jave tertawa, setengah merinding juga ketika melihat rain mulai berlutut di hadapan kakinya. “kamu gak duduk di atas aja?” jave melanjutkan, bertanya.

“katanya tadi, diajarin..”

“eh gak gitu juga.. jangan, gak mau aku. gak perlu begitu gak papa rain.”

“tapi kamu kemaren gak geli kok ke aku.. gak papaa..”

“jangan.. nanti kamu kerasa aneh, gak perlu sampe begitu.”

“gak papa. ajarin aja.”

jave menggigit bibir bawahnya, “yakin?”

“yaaaa.. coba aja?” rain jadi ikut grogi.

“oke. nanti kalo kamu gak suka langsung lepas ya?”

rain mengangguk, melihat jave yang akhirnya melepas sendiri celananya akibat linglung rain ingin memakan miliknya.

“AAAAAAAA...” rain mendelik seketika benda tersebut keluar dari tempat persembunyiannya, speechless mendadak dan reflek memalingkan wajah setelah histeris beberapa detik.

“lah apa sihhh??”

“SEREM KAK.. SEBENTAR-SEBENTAR...”

“lah itu kamu kemaren pegang kan segitu....”

“wahhhhh......”

“emang gituuuu astagaaa. kemaren kan udah liat..”

“enggak aku kemarin belum melihat dengan jelas!!!! wah kak, teganya kamu..”

“aku?? kok aku?” jave bingung.

“benda inikah yang memaksa masuk kemarin? pantes sakitnya tahan lamaa...”

“hahahaha benda ini yang bikin kamu berisik semaleman.”

“KAMU JUGA BERISIK.”

“EH GAK SEPARAH KAMU??”

“WAH... NGAJAK BERANTEM.”

jave terpingkal, mengelus rambut rain pelan sambil mengusapi bibir gadis itu berulang kali. pikirannya sudah kalang kabut membayangkan jani masuk ke dalam sana.

satu hal yang pasti, tak akan muat.

“ini kalo mau megang harus bilang hi cutie dulu?”

“panggil, hi lovely juga gak papa sih.”

“hhhhhhhhhhh..”

“hahahaha ayo rain. keburu marah dia.”

“oke.... oke, hi jani.. how are you today?” rain bertanya, mengelus kepalanya perlahan. bersamaan dengan jemarinya yang mendarat barusan, lenguh berat jave mulai terdengar. rain sampai mendongak dan makin merinding saja ketika mendapati jave memejamkan mata sambil menyender. kedua tangannya sudah mengepal di sebelah paha, tampak menahan gairahnya kuat-kuat.

“oke.... pemilikmu sudah tidak tahan sepertinya.. aku pegang ya jani, kamu jangan marah-marah kalo dipegang.” gadis itu bermonolog. mengajak bicara jani sambil perlahan mulai melebarkan telapak tangan untuk mulai mencengkram.

gadis itu melongo sesaat, ternyata jarinya tidak bisa menutup sempurna. kemarin ia memang tidak jelas melihat dan merasa karena dihajar terus-terusan. namun sekarang lihatlah, jani bahkan sudah makin tegak menyambut sentuhannya. tampak senang sudah diajak bermain dua kali.

“arhh rain.. ya ampun...” jave mulai melenguh, suaranya berat sekali.

“betul begini kah?”

“hmh.” hanya itu yang bisa ia jawab ketika kenikmatan mulai menjalar ke seluruh sarafnya.

jave perlahan menundukkan kepala, melihat rain yang canggung sekali dengan mainan barunya. beberapa kali ia mendengar gadis itu berbicara sendiri sambil tetap memberikan pijatan lembut.

seperti, “jani, ukuranmu bisa begini kamu dikasih makan apa sama kak jave?”

“jani kenapa kamu suka berdiri mendadak?”

“kamu sebenernya lucu memang, seperti apa ya.. ada kok aku pernah melihat boneka mirip kamu di jalanann..”

atau, “wah janiiiiiii, kamu muntah..”

jave sebenarnya ingin tertawa, namun yang terjadi hanyalah ia yang mengeluarkan lenguh berat dari detik ke detik. cekalan rain enak sekali.

“kamu sering pegangh ya rain?”

“hm?”

“baru belajar sekali kemarin kok udah jago.. ahh, pinter banget.”

“jani, kata majikan kamu aku pinter hihi..” rain malah mengajak bicara adiknya.

jave menyingkirkan anak rambut rain, menyuruhnya diam saja dan tak bersuara karena dirasa ia hendak keluar. yang tentu karena jave tidak ingin tertawa di detik-detik muntahnya jani sebentar lagi.

“kamu kenapa kok selalu lama sih kak? ini pegang jani-nya nggak pas kah?”

“mmh, bentar lagi.. sabarh.. agak cepetin dikit rainh.”

gadis itu menggaruk keningnya sebentar, tak menurut untuk mempercepat tempo dan memberanikan diri untuk memajukan kepala. persis ketika ia mengikis jarak, cekalan jave pada tangan rain yang bertumpu di paha itu mengencang. urat tangan lelaki itu keluar makin jelas.

“arhhhh rain kamu ngapainh....?” jave spontan berjengit kala lidah hangat itu tiba-tiba menyentuh ujung kepala miliknya.

“heh.. agak apa ya ini rasanya, asin.. apa, apa sih..” rain bermonolog seraya menyecap sedikit cairan yang keluar. tentu saja rasanya aneh dan asing karena ia belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya.

“udah.. udah jangan lagi. udah rainh.. ya ampun, goshhh..” jave reflek kelimpungan ketika hangatnya mulut rain menyelimuti seperempat miliknya.

satu hal yang jelas..

penuh,

dan mentok.

desahan berat jave terus menguar ketika pusakanya mulai dihisap perlahan. rain tentu tidak tau cara bermain yang benar, tapi begini saja sudah nikmat.

tangan kiri jave reflek menyingkirkan rambut rain yang berantakan, sedang tangan satunya mencekali kepala gadisnya. seakan memohon agar mau sedikit menggerakkan bibirnya maju atau mundur karena rasanya sebentar lagi ia akan benar-benar meledak.

“seksi banget rainh.. shith..” jave menggigit bibir bawahnya kuat saat lidah rain perlahan mengulum ujung miliknya dengan benar. lenguhannya makin berat dibarengi oleh rematan-rematan kecil pada rambut rain yang diyakini sudah sangat berantakan detik ini.

“ahh, kok kamu pinter sayangh..”

“keluarin rainh.. jangan dihisap udah jani-nya keluarin dulu..” jave menyuruh seraya membantu menarik pusakanya mundur, ia merasa tidak tega jika harus mengeluarkan cairannya dalam mulut rain.

“kak jave gak papa, kasih aku kamu jangan sungkan.” rain berusaha menahannya agar tetap mendekat.

“janganh.. kamu bantu kocok aja udah biar dia muntah di depan.”

rain menurut, kembali mencekali jani yang perlahan berkedut.

“ayo jani, semangat jani..” rain berujar kala tangannya yang kini digenggam oleh jave itu dibantu bergerak sesuai ritme.

“mau cium rainhh.” jave menyerah, ia benar-benar ingin meledak secara sempurna kali ini.

“yeah, oke.. oke cium.. kenapa tidak..” rain sedikit bangkit dari posisi berlututnya, kembali mendekatkan bibir ke arah jave. dan tepat ketika ia baru bangkit, jave langsung menyambar bibirnya rakus. tangan lelaki itu mencekali tengkuk rain sambil bibirnya terus menghisap, menyapu seluruh isinya dengan selingan geram berat karena jani yang masih dikocok di bawah sana.

“mmh,”

sinting. pikiran rain ikut kalang kabut saat ini, tentu ia sudah pernah mendengar jave melenguh berat. namun semakin lama ia semakin sadar bahwa suara jave benar-benar se-seksi itu, membuat rain makin gencar melancarkan aksi karena sudah tentu satu lenguhan berarti tanda ia sudah melakukan hal yang benar.

“ayo dong, semangat jani...”

“bentarh lagi keluarh, ahh rainh.. goshhhh.” jave mendongak ketika lidah rain mendarat di area jakunnya, mulai membantu dengan menghisap kuat-kuat agar jave bisa segera terpancing untuk mencapai ujungnya.

desahan jave yang sungguh berat itu makin mendominasi ketika akhirnya jani berhasil muntah.

sebentar..

“kakak sorry interupsi tapi itu jani bukan muntah.. itu, seperti apa ya.. kawah? eh.. apa tuh, ujungnya gunung yang nyembur.. wahh..” rain yang barusan menerima ambruknya kepala jave di atas pundak itu mencerocos panjang dengan tangan yang kini sudah mengelus rambut jave lembut. memujinya berulang kali dengan diselingi kecupan yang mendarat di pucuk kepala.

“thank you rain..”

“no need lah kak jave. i love to pleased you too.”

“really?”

rain menjauhkan kepala jave, mengangguk. “iya dong!!”

lelaki itu tersenyum, menyibak rambutnya sendiri ke belakang sebentar. tangan lelaki itu perlahan memegangi ujung celana rain, “should we, now?”

“eh..”

“kamu capek?”

“enggak, bukan itu, tapi, harus di tempat terbuka ini kah?”

“kamu malu?”

“aku takut tiba-tiba ada orang masuk..”

“gak bakal ada kok. atau mau pindah?”

rain menggigit bibir, “ya udah disini aja gak papa, agak liar ya, tapi ya udah gak papa.”

jave terkekeh, tatapannya mengilat beberapa saat ketika rain meloloskan celananya ke bawah secara mandiri.

“dalemannya?” jave malah ceplas-ceplos.

“kamu gak mau ngelepasin?” rain menantang pula.

laki-laki itu menarik napas agar sedikit netral. ia digoda oleh perempuannya sendiri, maka jenis pria mana yang tidak segera siap armada tempur 100 pasukan?

“okay let's have bunch of baby rain. aku mau selusin juga siap.”

“wah wah.. wah....” rain melotot, “itu serem.” ujarnya kemudian sebelum jave mulai menyeringai dan mode menggempurnya aktif sempurna.

“main hari ini aku agak kasar dikit ya sayang..” jave berujar, menurunkan dalaman rain lepas ke bawah. perlahan ia menarik pinggang perempuannya agar duduk di atas pangkuannya berhadapan.

“ahhh..” rain spontan berjengit geli ketika bawahan mereka yang tak terlapisi apapun menempel rapat satu sama lain.

“i'll make you scream out like crazy baby.” jave berbisik, suaranya hilang serak termakan nafsu. “no more soft moans i guess?”

“mmh, okayh.. tapi jangan gerak-gerakinh pinggulku dulu, ahhh ah kak..”

“say hi to jani again, eh wait, kenapa punyamu gak dikasih nama jugaaa?”

“ahh ya ampun teganya ngajakinh ngomong terus ahh kak jave pelan aja geli bangeth hmmh..” rain makin kelabakan karena dua tangan jave mulai bekerja menggerakkan pelan pinggulnya agar kedua alat sensitif itu bergesekan makin kuat di bawah sana. iya, masih bergesekan, belum masuk.

“dia lucu sih, chubby gitu gemes.. kalo aku kasih nama rainbee gimana?”

“kakak ahhh itu, itu namanya kue!!!!”

“hahahaha enak rain?”

“heemh..”

“jani pinter mainnya?”

“yeah.. dia keren, cumlaude kayaknya? hnggh kak jave itu kalo begitu aja aku udah mau keluarh namanya lemah kah?” rain bercekalan kuat pada pundak jave, sesekali menenggelamkan kepalanya di dada karena merasa nikmat setengah mati.

“indeed, you're cute yet so hot rainh.” jave seketika ikut melenguh ketika gadis itu mendadak menekan kuat miliknya di bawah sana. tampak mengencangkan otot dan membantu aktif bermain.

“kakak maaf aku berisikh tapi itu kenapa kepalanya jani ahhhhh sabarrrrrr jangan gitu..” rain menggelinjang ketika tangan jave masuk ke dalam baju dan meremas payudaranya lagi. kali ini benar-benar meraupnya penuh nafsu sambil perlahan menarik lepas kaos yang menghalangi.

perlahan pemandangan favoritnya terpampang lagi. seperti de javu, malam pertama kemarin posisi mereka juga seperti ini. bedanya sekarang jave sudah upgrade skill dan bisa melepas kaitan bra rain dalam 5 detik.

angin berhembus, membuat merinding kulit. namun apa kekuatan angin ketika dua manusia ini kini mungkin sudah berhasil kepanasan oleh tingkahnya sendiri?

jave menggigit bawah bibirnya kuat, perlahan membalik posisi agar rain menungging bercekalan pada kursi.

“mmh sabar kak jave sabarhh.. ahh..” tangan rain reflek mencekali kuat bantalan kursi ketika merasa lidah jave mendarat di bagian sensitif bawahnya tanpa ijin lagi.

bunyi kecupan dan hisapan terus bersahut-sahutan tiada henti, jave tampak menikmati daging basah tersebut karena sekarang tangannya bahkan sudah mencekali erat pinggul rain yang benar-benar menunjukkan tanda ingin kabur.

tentu saja mangsanya tidak boleh lari sekarang, ia sudah sangat lapar.

“ahhhh kak jave hmmhh udah, udah udah, jangan disedot mulu ahhhhhh..

sinting sekali, jave benar mengubek tanpa ampun. menyedot semua cairan yang keluar di ledakan rain yang kedua tanpa pikir panjang. lelaki itu benar menepati omongannya untuk bermain cukup kasar kali ini.

“kamu seksi banget.” jave berbisik ketika posisinya sudah ikut menempel di punggung rain yang masih menungging. menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan, lantas menjatuhkan banyak kecupan di pipi dan telinga rain.

“capek.. lemes banget..”

“hm? udah capek?”

rain hampir mengangguk jujur, namun ketika merasa jave menggesekkan jani pada bagian bawahnya yang masih berkedut itu rain hanya mampu memejam mata dan melenguh.

“geli kakkkk..”

“jani kangen kamu..”

“jangan sok imut. ahhh ahh jangan dite.. uhh ampun kak jave iya aku salahhhhh aku minta maaafffff..” rain tak dapat melanjutkan omongannya dan bablas melantur. gadis itu meremat punggung tangan jave yang mengungkung di sisi kanan kirinya ketika perlahan kepala pusaka jave itu mendorong masuk tanpa banyak basa-basi.

“ahh sayangh..”

“diem kak jave jangan desah di deket telinga..”

jave kalang kabut, spontan melumat telinga rain rakus diselingi desahan berat yang tertahan.

“kak javee..” rain berjengit protes, tindakan jave barusan berefek besar sekali pada kesehatan mentalnya yang sudah setipis tisu.

“hmmh..” lelaki itu masih melumat telinga seraya terus mendesah dalam gumam serak. jani yang besarnya diluar akal itu terus mendorong hingga akhirnya berhasil masuk semua.

“arhh..” jave benar mendesah berat di samping telinga rain. kali ini lelaki itu bahkan sudah menarik dagu rain agar bisa menjatuhkan ciuman di bibir perempuannya yang terbuka akibat merintih menahan nikmat.

“mmh..”

“feel great?” jave bertanya ketika kecupannya sudah mendarat berulang kali.

“yeah.. ahh, kak..” rain terus mendesah kala jave mulai menggerakkan jani secara teratur di bawah sana.

lelaki itu menciumi pundak, leher, dan apa saja yang terlihat bisa digapai depan mata. tusukannya yang pelan tadi mendadak mulai menghentak, menyodok titik terdalam milik rain hingga perempuan itu reflek berteriak. satu kali, dua kali, jave terus menusuknya tanpa ampun.

“ahh ahh, kak jave sabarhh kak aku engga kabur jangan kenceng-kencengggg, hnghhh..”

“sorry sayang, nanti kamu boleh marah ke aku.” jave tak menurut dan tetap menghunjam titik-titik terenak dengan hentakan kuat.

desahan keduanya mendominasi bangunan, kencang dan seksi sekali. tak ada yang menahan suara karena hari ini adalah harinya mereka.

“mau pipis kak..”

“okay..” jave mengangguk, menciumi telinga rain sambil tangan kanannya bergerak meremas payudara yang menggantung di bawah tersebut. menghentak kuat dengan ritme cepat agar rain bisa meledak lagi.

“enak?”

“aku lemes banget kamu kenapa masih kuat..”

jave tertawa sebentar, reflek mencabut miliknya dan menggeret rain agar tidur telentang di atas kursi normal supaya bisa bermain maksimal.

“ahh kak jave geli banget jangan dimain-main gitu.” gadis itu spontan menutup jalan masuk agar jave tak iseng menggesek kepala jani pada klitnya yang sudah merah membengkak.

“hahaha, minggir tangannya..” jave menarik pelan jemari rain dan lekas menciuminya, perlahan kembali memasukkan jani hingga lolos masuk dengan mudah karena lubangnya sudah licin maksimal.

“mmmmh..”

“seksi banget.”

“diammm kak, ahhh..”

jave mengungkung sempurna tubuh rain dari atas, memeluknya rapat selagi mulai menggenjot kuat jani di bawah sana.

rain gelisah sekali, jave benar-benar tampak bernafsu dan ingin bermain lama. tidak tampak tanda-tanda ingin mengendorkan permainan seperti hari pertama kemarin.

“arhh rainy..”

“hmh?”

“anak kita kalo cowok nanti namanya siapaaa?”

*“arabella cantik. biar bisa, ahhh kak ahh iya salahhhhhh, iya itu kamu nanya cowok jangan marah..”

jave tertawa tanpa suara, fokus menusuk kencang sambil sesekali melumat bibir dan payudara rain. terus memberikan kenikmatan karena rain adalah prioritasnya.

“jevano gantengh gakh...”

“of course!!!!”

“iya, okayh.. memang ganteng..” rain masih memejam dengan tangan mengalung di leher, sedang jave sibuk mempercepat gerakan dengan posisi memeluk yang sama.

“so jevano and arabella right???”

“mhhhhh berisikh ahhh kak mau keluarhh..”

“bareng babe, tunggu aku.”

“kamu lamaaaaaaaaa..”

“no, sebentar lagi..”

rain menekan cairannya kuat-kuat sambil menciumi bibir jave yang terbuka di atasnya. wajah lelaki itu merah dan makin memerah kala hendak mencapai puncaknya.

desahan keduanya membaur dalam lumatan bibir hingga akhirnya jave menghentak pinggulnya keras untuk meledakkan cairan di dalam rahim dibarengi oleh rain yang menyusul beberapa detik kemudian.

“i love you, thanky..”

rain tak membiarkan jave meneruskan ucapannya dan kembali melumat bibir lelaki itu halus, tak tergesah.

“kan, udah dibilang.. gak usah makasih...” ujarnya tersengal.

“still..”

“love you too.”

jave tersenyum, mencium pelipis rain dan keningnya lama sekali. “grateful that i have you as my wife rain.”

“hm..”

“omong-omong udah pipis berapa kali tadi?”

“kak javeeeeee jangan gituu..”

“HAHAHAHA” jave tertawa, menenggelamkan kepala di ceruk leher rain sambil memejamkan kedua matanya mencari kenyamanan.

main course, he said.


pukul 5 sore waktu setempat, rain sudah selesai mandi, pun sama halnya dengan jave. gadis itu kini tengah duduk di lantai kamar, menyender di pinggiran kasur sambil menenteng kain yang diberi oleh lea dan shea waktu itu sebagai hadiah.

“ini hadiah lazim lah kalo temen married. HAHAHAHA, JANGAN LUPA DIPAKE LOH..” itu kata lea waktu itu, sedangkan shea hanya mampu mewek dan sempat menahan hadiah tersebut di tangannya. mengaku masih galau saja padahal aslinya juga tidak kenapa-kenapa.

“rain?” suara jave yang tadi tidak ada di sekitarnya itu tau-tau saja memanggil.

“hah..” rain spontan menoleh dan ikut melotot ketika melihat jave masuk ke dalam kamar dengan sebungkus kue coklat di tangan kanan. lelaki itu hanya diam, melongo di tempatnya.

“itu, apa?” jave sampai bertanya, membuka ruang diskusi karena rain yang tadi masih ikut ngehang itu tiba-tiba memasukkan kembali kainnya ke dalam tas secara cepat.

“gak tau, itu kayak.. apa ya, apa tuh... ya itu lah. gak ngerti.”

“itu baju kan? yang jaring-jaring tuh.. yang biasanya dipake cewek.”

“cewek mana yang pake itu??? kamu pernah melihat kah?”

“eh gak gitu, tapi itu emang bajunya cewek kan.. coba liat.”

“EH JANGAN.”

“nggak aku cuma liat doang.”

“ih jangaaaaan itu tuh kayak apa sih...”

“apaaaaa..” jave tertawa, duduk mendekat. “liat bentar.”

“nanti pikiranmu melayang-layang aku gak mau ya!!!”

“ya pegangin biar gak melayang..” malah dibalas ngawur.

“hazzzzzzzz.”

“bentar doang. penasaran aku, gak pernah liat secara langsung.”

rain mengalah, menyodor tasnya. “ambil sendiri aku mau keluar aja biar kamu tetap berpegang teguh pada kebersihan pikiran dan rohani, dan jasmani, dan apalah yang lain..”

“apa-apaan.. disini diem.” jave reflek melingkarkan kakinya di kaki rain, mengunci, agar rain tak bisa kemana-mana.

“lah kannnnnnnnn..”

“apaaaaa belum juga diambil rain.”

“ya udah buru diambil terus diliat terus dibalikin.”

jave tertawa lagi, pipi rain merah sekali. “belum juga disuruh make udah malu aja..”

“EH AKU GAK MAU YAAAA!!”

“emang udah nyuruh?”

“hrrrrrr.” rain makin hilang kewarasan akibat debat dengan jave, lelaki itu pintar sekali mengendalikan permainan.

“oalah begini..” jave berujar ketika sudah melebarkan baju yang membuat rain salah tingkah beberapa menit terakhir tersebut. “tapi ini lubang buat apa?”

“jangan nanya aku!!!!”

“dan kenapa lubangnya disitu?”

“kakakkkkkk..” rain menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan, tak ingin melirik, apa lagi menjawab pertanyaan jave.

“apa sihhhhh ini nanya beneran kamu malah ngegemesin disebelahku..” jave mengacak rambut rain, menarik telapak tangannya agar lepas dari wajah.

“itu tuh kayaknya salah cetak deh.. apa itu konsepnya model superman ya? ditaruh diluar baju gitu..” rain akhirnya menjawab, mengeluarkan isi pikirannya.

“hahahahaha mana adaaa..”

“ya adain.” rain tau-tau jadi judes saja, wajahnya merah semua menahan malu.

“apa tujuan dibikin baju begini rain?”

“memperkeruh pikiran cowok biar makin-makin kali.. LIHATLAH KAK ITU APA SIH FUNGSINYA SUMPAH LUBANG SEMUA TERUS ATASNYA BERJARING-JARING.. YA SEKALIAN AJA GAK USAH PAKE APA-APA SIH KALO BEGITU?”

jave terpingkal, “duh duh ngomel.. mau kirim email ke pabriknya kah?”

“gakkkkkkk.”

“itu yang beli 10 ribu lebih omong-omong.”

“TAU DARI APA KAMU?”

“gibran.”

“PARAH PARAH. PARAH BANGET.”

“HAHAHAHAHA. nih masukin kalo gak mau make.” jave melipatnya kembali dan menyerahkannya pada rain.

gadis itu menarik cepat dan memasukkannya kembali dalam tas.

“dikasih sama siapa itu emang?”

“leaaa sama shea. gak ngerti dapet hidayah apa. katanya, apa tuh.. katanya emang biasa kalo orang mau married biar makin lancar pas apa tuh, proses membuat, itu.. ya terus katanya juga cocok. kan maksudnya aku kecil gitu kan, TERUS, HHHHH GAK TAU GAK TAU.”

jave tertawa lagi, rain selalu saja menggemaskan. padahal dalam hati ia juga setuju dengan lea, rain sepertinya memang cocok masuk dalam kain tadi. badannya tampak pas.

perlahan lelaki itu melepaskan kaki rain agar bebas. “nih coklat. kamu mau gak?”

“mau. sini bagi ke aku.”

“ambil sendiri.” jave menggigit bola coklat itu dan maju mendekat, sengaja saja.

rain melotot, namun tetap ia ikut maju dan menggigit balik coklatnya dari bibir jave.

“HAHAHAHA KIRAIN KAMU GAK BERANI RAIN.” jave reflek terpingkal meski jantungnya makin kesana kemari.

rain tidak peduli, sibuk mengunyah.

“nih lagi.”

“ih..” rain mendengus, mendorong bola coklat itu dengan telunjuk agar masuk ke mulut jave sendiri.

“hahahaha gemes.” lelaki itu membalas, lalu menidurkan kepalanya di kaki rain. mode manjanya kumat mendadak.

“suapin rain.”

“mana sini kasih aku.”

jave menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan rain dan reflek melebarkan bibir ketika jari rain mendekat.

“hahaha kasiannya gak bisa gigit..” rain terpingkal ketika jave gagal menggigit jarinya.

“pinter ya sekarang bisa ngehindar segala.”

“iya dong!!!” rain menjawab, mencubiti bibir jave dengan jarinya. “lucu lucu lucuuuuu. jangan ngunyah kak diem dulu.”

“kalo lucu dicium dong.”

“sini mau.”

“mau????”

“cium.”

“hahhhhhhhh?”

“ya udah gak jadi.” rain memundurkan badan dan lanjut kunyah-kunyah sendiri. tangannya sudah hendak meraih ponsel ketika jave bangkit duduk.

“mau ciumm..”

“tadi banyak nanya.”

“mau mau, mau.”

rain terkekeh, bangkit berdiri.

“rainnnnnnnn. php mulu loh kamu.”

“apa sih gak php, bentar aku mau minum. seret.”

“ikutttt.”

“ya ayo sini ikut.” rain menyodor telapak tangan yang selanjutnya langsung disambar cepat oleh jave.


“aku minum sprite boleh ya??”

“kan tadi udah. air putih aja jangan soda sering-sering rain.”

rain mendengus, tapi mengingat penyakit diabetes papanya ia mengangguk saja. “okee bapak dokter.”

“ba apa? bapak???”

“bapak kan.. bapak dari anak kita nantiiiiiiiiii.” rain berucap lalu langsung pura-pura mual.

“hahahahaha amin.”

“amin amin.”

“omong-omong aku mau itu dong, sprite.”

“no no no no. kamu juga tidak boleh ya, air putih aja.”

“satu teguk doangggg.”

“yeee.” rain mendengus, menarik botol sprite dari kulkas dan menyerahkannya ke jave. “nih.”

“hahahaha thank you.” lelaki itu menanggapi, meneguk spritenya sekali, dua kali, dan yang ketiga ia langsung meletakkan botol di meja seraya menarik tengkuk rain maju mendekat.

gadis itu melotot, terkejut sekali akibat jave menciumnya dadakan. mendorong rasa sprite lewat jalur antar bibir.

“dah.” jave tersenyum tanpa dosa. matanya menyipit hilang.

“cara mainmu variatif ya sekarang ya.. wahh..” rain speechless, menelan cairannya yang masuk dan lanjut menatap jave dengan kerutan di dahi. matanya bahkan sudah memicing sebelah.

“apa anak kecil liat-liat?”

“diem. ngeselin.”

“loh hahahaha tadi yang pengen sprite siapa?”

“akuuuu.”

“ya udah itu yang kamu telen apa?”

“sprite.. tapi kan.. HHHHH.”

“hahahaha sini ciummm.”

“kan udah itu barusan.”

“jangan main-main.” jave memprotes.

“aku pengen liat itu deh tuh, matahari.”

“gak usah ngalih topik.”

“hahahaha betulan.”

“serius?”

“gak sih.”

“jadi maumu apa rain, hm???”

“sini sini.” rain menarik tangan jave untuk berjalan ke ruang depan yang terdapat kursi ayun berukuran besar.

“nah.. persis bocah beneran.” jave terkekeh juga pada akhirnya.

“disini aja, enak, sambil ayun-ayun ngeliatin tuh air-air.”

“okee. oke disini aja.” jave merentangkan tangan kirinya ke atas dua pundak rain, merangkul.

“hadep sini kak.”

lelaki itu menoleh, namun tidak ada yang terjadi. rain pintar sekali tarik ulur.

“mau apaaa udah noleh nih..”

“tadinya mau nyium, tapi kalo nyium kan merem ya.. gak bisa liat mukamu.”

“emang ada apa di mukaku?”

“ada serbuk-serbuk sari.”

“hehhhhh.”

“hahahahaha gak bercandaaaaa. tapi serius kamu ganteng. maaf ya, bukannya ngegombal basi gitu sih tapi serius ganteng. kamu tidur juga ganteng. capek gak, ganteng terus?”

jave menegakkan pundak, sok siap diwawancara. “sebenarnya saya lelah sih, bu. apa lagi kalau istri saya yang biasanya diem langsung muji-muji.. aduh, pusing.”

“hahahahaahahahaha kakak randommmm banget jawabnya.” rain jadi gemas, tangannya reflek mengacak rambut jave.

“kapan ciumnyaaaa..”

“nanti aja. sini tidur sini.” rain mundur sedikit dengan maksud agar jave bisa tidur balik di kakinya seperti tadi.

“dasar php.”

“gak php.. nanti aja tapi.” rain membalas, tertawa cukup kencang ketika melihat jave mengomel tapi tetap menurut tidur di kakinya.

suasana villa yang tadinya memang sepi kini makin sepi. jave hanya diam sambil memainkan ujung rambut rain yang menjuntai, sedangkan rain hanya sibuk mengusuk-usuk kening jave sambil matanya terarah lurus ke halaman depan sana.

hamparan rumput dengan kolam renang, sapuan cahaya lembut dari matahari yang berwarna jingga juga sangat menenangkan.

“rain..”

“hm?”

“mikirin apaa?”

rain menunduk, jave pasti mengira dirinya sedang overthinking atau sebangsanya. “ngelamun aja sih hahahaha. gak lagi mikir.” ia akhirnya menjawab, menyisiri rambut jave dengan jari.

“bener?”

“beneran lah.”

“ya udah.”

“kak omong-omong kemarin kan ada yang nanya apa tuh, tentang nama panggilan gitu loh.. maksudku emang kamu mau dipanggil apa? aku geli sih kalo mau manggil kayak baby, hun, by, atau apa lah..”

“hahahahah lucu sih, tapi gak ah.. nama aja udah, bayangin.. baby, kamu mau makan apa?

“mau makan ayam nih, by.” rain menjawab pula sebagai simulasi.

“HAHAHAHAHAHAHA GAK COCOK BANGET. udah, apa adanya kita aja.”

“tapi kalo kamu sendiri pengen dipanggil apa? dipanggil kakak gak bosen kannnn..”

“sayang, sih.”

“ya, sayang.”

“hahahahaha. apa ya? gak mikir sih, karna menurutku ya panggilan cuma sekedar panggilan aja.. gak ada yang berubah? gak ngerti. coba panggil aku pake jave aja.”

“pas itu aku diomelinnnn.”

“yeee. kan nyoba lagi, ayoo.”

“javee..”

“gak gak, dah cocok kamu bocah aja.”

rain tertawa, mengusel-usel wajah jave dengan jemarinya. “besok skincare mau gak?? aku yang benerin.”

“boleh. kenapa gak sekarang?”

rain tidak menjawab, sebagai gantinya ia menyuruh jave untuk duduk dulu.

“mau kemana?” jave bertanya bingung ketika rain bangkit berdiri dadakan.

“pindah tempat?”

“kemana lagi?”

“kesini.” ia menjawab sebentar, lalu bergerak mendekat untuk duduk di atas pangkuan jave dengan posisi berhadapan.

“wahhhhhh.. rain? jangan main-main kalo kamu cuma godain aku doang nantinya.”

“ayo sekarang. boleh.” rain berujar patah-patah, wajahnya mulai merah menahan malu.

“beneran boleh? sekarang?”

“ya boleh. udah sejak semalem kan kamu maunya..”

“wahh..” jave langsung stress dadakan. “disini?” tanyanya linglung.

“katamu, bisa dimana aja..”

“wahhhhhhh....”

rain menutup mata jave dengan telapak tangan. “jangan liat-liat terus!! langsung sat set gitu aja please malu banget.”

jave masih ngehang beberapa saat kemudian hingga perlahan kesadarannya jatuh dengan level berbeda dari sebelumnya.

“yuk, aku enakin rain.”

“en.. enakin??”

“i wanna eat my main course..”

“hahhhh..”

“sekalian aku ajarin?”

“ajarin?”

“to eat your own main course.”

rain tersentak dan reflek saja ingin lari kabur dari pangkuan secepat kilat.

main course, he said.


pukul 5 sore waktu setempat, rain sudah selesai mandi, pun sama halnya dengan jave. gadis itu kini tengah duduk di lantai kamar, menyender di pinggiran kasur sambil menenteng kain yang diberi oleh lea dan shea waktu itu sebagai hadiah.

“ini hadiah lazim lah kalo temen married. HAHAHAHA, JANGAN LUPA DIPAKE LOH..” itu kata lea waktu itu, sedangkan shea hanya mampu mewek dan sempat menahan hadiah tersebut di tangannya. mengaku masih galau saja padahal aslinya juga tidak kenapa-kenapa.

“rain?” suara jave yang tadi tidak ada di sekitarnya itu tau-tau saja memanggil.

“hah..” rain spontan menoleh dan ikut melotot ketika melihat jave masuk ke dalam kamar dengan sebungkus kue coklat di tangan kanan. lelaki itu hanya diam, melongo di tempatnya.

“itu, apa?” jave sampai bertanya, membuka ruang diskusi karena rain yang tadi masih ikut ngehang itu tiba-tiba memasukkan kembali kainnya ke dalam tas secara cepat.

“gak tau, itu kayak.. apa ya, apa tuh... ya itu lah. gak ngerti.”

“itu baju kan? yang jaring-jaring tuh.. yang biasanya dipake cewek.”

“cewek mana yang pake itu??? kamu pernah melihat kah?”

“eh gak gitu, tapi itu emang bajunya cewek kan.. coba liat.”

“EH JANGAN.”

“nggak aku cuma liat doang.”

“ih jangaaaaan itu tuh kayak apa sih...”

“apaaaaa..” jave tertawa, duduk mendekat. “liat bentar.”

“nanti pikiranmu melayang-layang aku gak mau ya!!!”

“ya pegangin biar gak melayang..” malah dibalas ngawur.

“hazzzzzzzz.”

“bentar doang. penasaran aku, gak pernah liat secara langsung.”

rain mengalah, menyodor tasnya. “ambil sendiri aku mau keluar aja biar kamu tetap berpegang teguh pada kebersihan pikiran dan rohani, dan jasmani, dan apalah yang lain..”

“apa-apaan.. disini diem.” jave reflek melingkarkan kakinya di kaki rain, mengunci, agar rain tak bisa kemana-mana.

“lah kannnnnnnnn..”

“apaaaaa belum juga diambil rain.”

“ya udah buru diambil terus diliat terus dibalikin.”

jave tertawa lagi, pipi rain merah sekali. “belum juga disuruh make udah malu aja..”

“EH AKU GAK MAU YAAAA!!”

“emang udah nyuruh?”

“hrrrrrr.” rain makin hilang kewarasan akibat debat dengan jave, lelaki itu pintar sekali mengendalikan permainan.

“oalah begini..” jave berujar ketika sudah melebarkan baju yang membuat rain salah tingkah beberapa menit terakhir tersebut. “tapi ini lubang buat apa?”

“jangan nanya aku!!!!”

“dan kenapa lubangnya disitu?”

“kakakkkkkk..” rain menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan, tak ingin melirik, apa lagi menjawab pertanyaan jave.

“apa sihhhhh ini nanya beneran kamu malah ngegemesin disebelahku..” jave mengacak rambut rain, menarik telapak tangannya agar lepas dari wajah.

“itu tuh kayaknya salah cetak deh.. apa itu konsepnya model superman ya? ditaruh diluar baju gitu..” rain akhirnya menjawab, mengeluarkan isi pikirannya.

“hahahahaha mana adaaa..”

“ya adain.” rain tau-tau jadi judes saja, wajahnya merah semua menahan malu.

“apa tujuan dibikin baju begini rain?”

“memperkeruh pikiran cowok biar makin-makin kali.. LIHATLAH KAK ITU APA SIH FUNGSINYA SUMPAH LUBANG SEMUA TERUS ATASNYA BERJARING-JARING.. YA SEKALIAN AJA GAK USAH PAKE APA-APA SIH KALO BEGITU?”

jave terpingkal, “duh duh ngomel.. mau kirim email ke pabriknya kah?”

“gakkkkkkk.”

“itu yang beli 10 ribu lebih omong-omong.”

“TAU DARI APA KAMU?”

“gibran.”

“PARAH PARAH. PARAH BANGET.”

“HAHAHAHAHA. nih masukin kalo gak mau make.” jave melipatnya kembali dan menyerahkannya pada rain.

gadis itu menarik cepat dan memasukkannya kembali dalam tas.

“dikasih sama siapa itu emang?”

“leaaa sama shea. gak ngerti dapet hidayah apa. katanya, apa tuh.. katanya emang biasa kalo orang mau married biar makin lancar pas apa tuh, proses membuat, itu.. ya terus katanya juga cocok. kan maksudnya aku kecil gitu kan, TERUS, HHHHH GAK TAU GAK TAU.”

jave tertawa lagi, rain selalu saja menggemaskan. padahal dalam hati ia juga setuju dengan lea, rain sepertinya memang cocok masuk dalam kain tadi. badannya tampak pas.

perlahan lelaki itu melepaskan kaki rain agar bebas. “nih coklat. kamu mau gak?”

“mau. sini bagi ke aku.”

“ambil sendiri.” jave menggigit bola coklat itu dan maju mendekat, sengaja saja.

rain melotot, namun tetap ia ikut maju dan menggigit balik coklatnya dari bibir jave.

“HAHAHAHA KIRAIN KAMU GAK BERANI RAIN.” jave reflek terpingkal meski jantungnya makin kesana kemari.

rain tidak peduli, sibuk mengunyah.

“nih lagi.”

“ih..” rain mendengus, mendorong bola coklat itu dengan telunjuk agar masuk ke mulut jave sendiri.

“hahahaha gemes.” lelaki itu membalas, lalu menidurkan kepalanya di kaki rain. mode manjanya kumat mendadak.

“suapin rain.”

“mana sini kasih aku.”

jave menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan rain dan reflek melebarkan bibir ketika jari rain mendekat.

“hahaha kasiannya gak bisa gigit..” rain terpingkal ketika jave gagal menggigit jarinya.

“pinter ya sekarang bisa ngehindar segala.”

“iya dong!!!” rain menjawab, mencubiti bibir jave dengan jarinya. “lucu lucu lucuuuuu. jangan ngunyah kak diem dulu.”

“kalo lucu dicium dong.”

“sini mau.”

“mau????”

“cium.”

“hahhhhhhhh?”

“ya udah gak jadi.” rain memundurkan badan dan lanjut kunyah-kunyah sendiri. tangannya sudah hendak meraih ponsel ketika jave bangkit duduk.

“mau ciumm..”

“tadi banyak nanya.”

“mau mau, mau.”

rain terkekeh, bangkit berdiri.

“rainnnnnnnn. php mulu loh kamu.”

“apa sih gak php, bentar aku mau minum. seret.”

“ikutttt.”

“ya ayo sini ikut.” rain menyodor telapak tangan yang selanjutnya langsung disambar cepat oleh jave.


“aku minum sprite boleh ya??”

“kan tadi udah. air putih aja jangan soda sering-sering rain.”

rain mendengus, tapi mengingat penyakit diabetes papanya ia mengangguk saja. “okee bapak dokter.”

“ba apa? bapak???”

“bapak kan.. bapak dari anak kita nantiiiiiiiiii.” rain berucap lalu langsung pura-pura mual.

“hahahahaha amin.”

“amin amin.”

“omong-omong aku mau itu dong, sprite.”

“no no no no. kamu juga tidak boleh ya, air putih aja.”

“satu teguk doangggg.”

“yeee.” rain mendengus, menarik botol sprite dari kulkas dan menyerahkannya ke jave. “nih.”

“hahahaha thank you.” lelaki itu menanggapi, meneguk spritenya sekali, dua kali, dan yang ketiga ia langsung meletakkan botol di meja seraya menarik tengkuk rain maju mendekat.

gadis itu melotot, terkejut sekali akibat jave menciumnya dadakan. mendorong rasa sprite lewat jalur antar bibir.

“dah.” jave tersenyum tanpa dosa. matanya menyipit hilang.

“cara mainmu variatif ya sekarang ya.. wahh..” rain speechless, menelan cairannya yang masuk dan lanjut menatap jave dengan kerutan di dahi. matanya bahkan sudah memicing sebelah.

“apa anak kecil liat-liat?”

“diem. ngeselin.”

“loh hahahaha tadi yang pengen sprite siapa?”

“akuuuu.”

“ya udah itu yang kamu telen apa?”

“sprite.. tapi kan.. HHHHH.”

“hahahaha sini ciummm.”

“kan udah itu barusan.”

“jangan main-main.” jave memprotes.

“aku pengen liat itu deh tuh, matahari.”

“gak usah ngalih topik.”

“hahahaha betulan.”

“serius?”

“gak sih.”

“jadi maumu apa rain, hm???”

“sini sini.” rain menarik tangan jave untuk berjalan ke ruang depan yang terdapat kursi ayun berukuran besar.

“nah.. persis bocah beneran.” jave terkekeh juga pada akhirnya.

“disini aja, enak, sambil ayun-ayun ngeliatin tuh air-air.”

“okee. oke disini aja.” jave merentangkan tangan kirinya ke atas dua pundak rain, merangkul.

“hadep sini kak.”

lelaki itu menoleh, namun tidak ada yang terjadi. rain pintar sekali tarik ulur.

“mau apaaa udah noleh nih..”

“tadinya mau nyium, tapi kalo nyium kan merem ya.. gak bisa liat mukamu.”

“emang ada apa di mukaku?”

“ada serbuk-serbuk sari.”

“hehhhhh.”

“hahahahaha gak bercandaaaaa. tapi serius kamu ganteng. maaf ya, bukannya ngegombal basi gitu sih tapi serius ganteng. kamu tidur juga ganteng. capek gak, ganteng terus?”

jave menegakkan pundak, sok siap diwawancara. “sebenarnya saya lelah sih, bu. apa lagi kalau istri saya yang biasanya diem langsung muji-muji.. aduh, pusing.”

“hahahahaahahahaha kakak randommmm banget jawabnya.” rain jadi gemas, tangannya reflek mengacak rambut jave.

“kapan ciumnyaaaa..”

“nanti aja. sini tidur sini.” rain mundur sedikit dengan maksud agar jave bisa tidur balik di kakinya seperti tadi.

“dasar php.”

“gak php.. nanti aja tapi.” rain membalas, tertawa cukup kencang ketika melihat jave mengomel tapi tetap menurut tidur di kakinya.

suasana villa yang tadinya memang sepi kini makin sepi. jave hanya diam sambil memainkan ujung rambut rain yang menjuntai, sedangkan rain hanya sibuk mengusuk-usuk kening jave sambil matanya terarah lurus ke halaman depan sana.

hamparan rumput dengan kolam renang, sapuan cahaya lembut dari matahari yang berwarna jingga juga sangat menenangkan.

“rain..”

“hm?”

“mikirin apaa?”

rain menunduk, jave pasti mengira dirinya sedang overthinking atau sebangsanya. “ngelamun aja sih hahahaha. gak lagi mikir.” ia akhirnya menjawab, menyisiri rambut jave dengan jari.

“bener?”

“beneran lah.”

“ya udah.”

“kak omong-omong kemarin kan ada yang nanya apa tuh, tentang nama panggilan gitu loh.. maksudku emang kamu mau dipanggil apa? aku geli sih kalo mau manggil kayak baby, hun, by, atau apa lah..”

“hahahahah lucu sih, tapi gak ah.. nama aja udah, bayangin.. baby, kamu mau makan apa?

“mau makan ayam nih, by.” rain menjawab pula sebagai simulasi.

“HAHAHAHAHAHAHA GAK COCOK BANGET. udah, apa adanya kita aja.”

“tapi kalo kamu sendiri pengen dipanggil apa? dipanggil kakak gak bosen kannnn..”

“sayang, sih.”

“ya, sayang.”

“hahahahaha. apa ya? gak mikir sih, karna menurutku ya panggilan cuma sekedar panggilan aja.. gak ada yang berubah? gak ngerti. coba panggil aku pake jave aja.”

“pas itu aku diomelinnnn.”

“yeee. kan nyoba lagi, ayoo.”

“javee..”

“gak gak, dah cocok kamu bocah aja.”

rain tertawa, mengusel-usel wajah jave dengan jemarinya. “besok skincare mau gak?? aku yang benerin.”

“boleh. kenapa gak sekarang?”

rain tidak menjawab, sebagai gantinya ia menyuruh jave untuk duduk dulu.

“mau kemana?” jave bertanya bingung ketika rain bangkit berdiri dadakan.

“pindah tempat?”

“kemana lagi?”

“kesini.” ia menjawab sebentar, lalu bergerak mendekat untuk duduk di atas pangkuan jave dengan posisi berhadapan.

“wahhhhhh.. rain? jangan main-main kalo kamu cuma godain aku doang nantinya.”

“ayo sekarang. boleh.” rain berujar patah-patah, wajahnya mulai merah menahan malu.

“beneran boleh? sekarang?”

“ya boleh. udah sejak semalem kan kamu maunya..”

“wahh..” jave langsung stress dadakan. “disini?” tanyanya linglung.

“katamu, bisa dimana aja..”

“wahhhhhhh....”

rain menutup mata jave dengan telapak tangan. “jangan liat-liat terus!! langsung sat set gitu aja please malu banget.”

jave masih ngehang beberapa saat kemudian hingga perlahan kesadarannya jatuh dengan level berbeda dari sebelumnya.

“yuk, aku enakin rain.”

“en.. enakin??”

“i wanna eat my main course..”

“hahhhh..”

“sekalian aku ajarin?”

“ajarin?”

“to eat your own main course?”

rain tersentak dan reflek saja ingin lari kabur dari pangkuan secepat kilat.

main course, he said.


pukul 5 sore waktu setempat, rain sudah selesai mandi, pun sama halnya dengan jave. gadis itu kini tengah duduk di lantai kamar, menyender di pinggiran kasur sambil menenteng kain yang diberi oleh lea dan shea waktu itu sebagai hadiah.

“ini hadiah lazim lah kalo temen married. HAHAHAHA, JANGAN LUPA DIPAKE LOH..” itu kata lea waktu itu, sedangkan shea hanya mampu mewek dan sempat menahan hadiah tersebut di tangannya. mengaku masih galau saja padahal aslinya juga tidak kenapa-kenapa.

“rain?” suara jave yang tadi tidak ada di sekitarnya itu tau-tau saja memanggil.

“hah..” rain spontan menoleh dan ikut melotot ketika melihat jave masuk ke dalam kamar dengan sebungkus kue coklat di tangan kanan. lelaki itu hanya diam, melongo di tempatnya.

“itu, apa?” jave sampai bertanya, membuka ruang diskusi karena rain yang tadi masih ikut ngehang itu tiba-tiba memasukkan kembali kainnya ke dalam tas secara cepat.

“gak tau, itu kayak.. apa ya, apa tuh... ya itu lah. gak ngerti.”

“itu baju kan? yang jaring-jaring tuh.. yang biasanya dipake cewek.”

“cewek mana yang pake itu??? kamu pernah melihat kah?”

“eh gak gitu, tapi itu emang bajunya cewek kan.. coba liat.”

“EH JANGAN.”

“nggak aku cuma liat doang.”

“ih jangaaaaan itu tuh kayak apa sih...”

“apaaaaa..” jave tertawa, duduk mendekat. “liat bentar.”

“nanti pikiranmu melayang-layang aku gak mau ya!!!”

“ya pegangin biar gak melayang..” malah dibalas ngawur.

“hazzzzzzzz.”

“bentar doang. penasaran aku, gak pernah liat secara langsung.”

rain mengalah, menyodor tasnya. “ambil sendiri aku mau keluar aja biar kamu tetap berpegang teguh pada kebersihan pikiran dan rohani, dan jasmani, dan apalah yang lain..”

“apa-apaan.. disini diem.” jave reflek melingkarkan kakinya di kaki rain, mengunci, agar rain tak bisa kemana-mana.

“lah kannnnnnnnn..”

“apaaaaa belum juga diambil rain.”

“ya udah buru diambil terus diliat terus dibalikin.”

jave tertawa lagi, pipi rain merah sekali. “belum juga disuruh make udah malu aja..”

“EH AKU GAK MAU YAAAA!!”

“emang udah nyuruh?”

“hrrrrrr.” rain makin hilang kewarasan akibat debat dengan jave, lelaki itu pintar sekali mengendalikan permainan.

“oalah begini..” jave berujar ketika sudah melebarkan baju yang membuat rain salah tingkah beberapa menit terakhir tersebut. “tapi ini lubang buat apa?”

“jangan nanya aku!!!!”

“dan kenapa lubangnya disitu?”

“kakakkkkkk..” rain menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangan, tak ingin melirik, apa lagi menjawab pertanyaan jave.

“apa sihhhhh ini nanya beneran kamu malah ngegemesin disebelahku..” jave mengacak rambut rain, menarik telapak tangannya agar lepas dari wajah.

“itu tuh kayaknya salah cetak deh.. apa itu konsepnya model superman ya? ditaruh diluar baju gitu..” rain akhirnya menjawab, mengeluarkan isi pikirannya.

“hahahahaha mana adaaa..”

“ya adain.” rain tau-tau jadi judes saja, wajahnya merah semua menahan malu.

“apa tujuan dibikin baju begini rain?”

“memperkeruh pikiran cowok biar makin-makin kali.. LIHATLAH KAK ITU APA SIH FUNGSINYA SUMPAH LUBANG SEMUA TERUS ATASNYA BERJARING-JARING.. YA SEKALIAN AJA GAK USAH PAKE APA-APA SIH KALO BEGITU?”

jave terpingkal, “duh duh ngomel.. mau kirim email ke pabriknya kah?”

“gakkkkkkk.”

“itu yang beli 10 ribu lebih omong-omong.”

“TAU DARI APA KAMU?”

“gibran.”

“PARAH PARAH. PARAH BANGET.”

“HAHAHAHAHA. nih masukin kalo gak mau make.” jave melipatnya kembali dan menyerahkannya pada rain.

gadis itu menarik cepat dan memasukkannya kembali dalam tas.

“dikasih sama siapa itu emang?”

“leaaa sama shea. gak ngerti dapet hidayah apa. katanya, apa tuh.. katanya emang biasa kalo orang mau married biar makin lancar pas apa tuh, proses membuat, itu.. ya terus katanya juga cocok. kan maksudnya aku kecil gitu kan, TERUS, HHHHH GAK TAU GAK TAU.”

jave tertawa lagi, rain selalu saja menggemaskan. padahal dalam hati ia juga setuju dengan lea, rain sepertinya memang cocok masuk dalam kain tadi. badannya tampak pas.

perlahan lelaki itu melepaskan kaki rain agar bebas. “nih coklat. kamu mau gak?”

“mau. sini bagi ke aku.”

“ambil sendiri.” jave menggigit bola coklat itu dan maju mendekat, sengaja saja.

rain melotot, namun tetap ia ikut maju dan menggigit balik coklatnya dari bibir jave.

“HAHAHAHA KIRAIN KAMU GAK BERANI RAIN.” jave reflek terpingkal meski jantungnya makin kesana kemari.

rain tidak peduli, sibuk mengunyah.

“nih lagi.”

“ih..” rain mendengus, mendorong bola coklat itu dengan telunjuk agar masuk ke mulut jave sendiri.

“hahahaha gemes.” lelaki itu membalas, lalu menidurkan kepalanya di kaki rain. mode manjanya kumat mendadak.

“suapin rain.”

“mana sini kasih aku.”

jave menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan rain dan reflek melebarkan bibir ketika jari rain mendekat.

“hahaha kasiannya gak bisa gigit..” rain terpingkal ketika jave gagal menggigit jarinya.

“pinter ya sekarang bisa ngehindar segala.”

“iya dong!!!” rain menjawab, mencubiti bibir jave dengan jarinya. “lucu lucu lucuuuuu. jangan ngunyah kak diem dulu.”

“kalo lucu dicium dong.”

“sini mau.”

“mau????”

“cium.”

“hahhhhhhhh?”

“ya udah gak jadi.” rain memundurkan badan dan lanjut kunyah-kunyah sendiri. tangannya sudah hendak meraih ponsel ketika jave bangkit duduk.

“mau ciumm..”

“tadi banyak nanya.”

“mau mau, mau.”

rain terkekeh, bangkit berdiri.

“rainnnnnnnn. php mulu loh kamu.”

“apa sih gak php, bentar aku mau minum. seret.”

“ikutttt.”

“ya ayo sini ikut.” rain menyodor telapak tangan yang selanjutnya langsung disambar cepat oleh jave.


“aku minum sprite boleh ya??”

“kan tadi udah. air putih aja jangan soda sering-sering rain.”

rain mendengus, tapi mengingat penyakit diabetes papanya ia mengangguk saja. “okee bapak dokter.”

“ba apa? bapak???”

“bapak kan.. bapak dari anak kita nantiiiiiiiiii.” rain berucap lalu langsung pura-pura mual.

“hahahahaha amin.”

“amin amin.”

“omong-omong aku mau itu dong, sprite.”

“no no no no. kamu juga tidak boleh ya, air putih aja.”

“satu teguk doangggg.”

“yeee.” rain mendengus, menarik botol sprite dari kulkas dan menyerahkannya ke jave. “nih.”

“hahahaha thank you.” lelaki itu menanggapi, meneguk spritenya sekali, dua kali, dan yang ketiga ia langsung meletakkan botol di meja seraya menarik tengkuk rain maju mendekat.

gadis itu melotot, terkejut sekali akibat jave menciumnya dadakan. mendorong rasa sprite lewat jalur antar bibir.

“dah.” jave tersenyum tanpa dosa. matanya menyipit hilang.

“cara mainmu variatif ya sekarang ya.. wahh..” rain speechless, menelan cairannya yang masuk dan lanjut menatap jave dengan kerutan di dahi. matanya bahkan sudah memicing sebelah.

“apa anak kecil liat-liat?”

“diem. ngeselin.”

“loh hahahaha tadi yang pengen sprite siapa?”

“akuuuu.”

“ya udah itu yang kamu telen apa?”

“sprite.. tapi kan.. HHHHH.”

“hahahaha sini ciummm.”

“kan udah itu barusan.”

“jangan main-main.” jave memprotes.

“aku pengen liat itu deh tuh, matahari.”

“gak usah ngalih topik.”

“hahahaha betulan.”

“serius?”

“gak sih.”

“jadi maumu apa rain, hm???”

“sini sini.” rain menarik tangan jave untuk berjalan ke ruang depan yang terdapat kursi ayun berukuran besar.

“nah.. persis bocah beneran.” jave terkekeh juga pada akhirnya.

“disini aja, enak, sambil ayun-ayun ngeliatin tuh air-air.”

“okee. oke disini aja.” jave merentangkan tangan kirinya ke atas dua pundak rain, merangkul.

“hadep sini kak.”

lelaki itu menoleh, namun tidak ada yang terjadi. rain pintar sekali tarik ulur.

“mau apaaa udah noleh nih..”

“tadinya mau nyium, tapi kalo nyium kan merem ya.. gak bisa liat mukamu.”

“emang ada apa di mukaku?”

“ada serbuk-serbuk sari.”

“hehhhhh.”

“hahahahaha gak bercandaaaaa. tapi serius kamu ganteng. maaf ya, bukannya ngegombal basi gitu sih tapi serius ganteng. kamu tidur juga ganteng. capek gak, ganteng terus?”

jave menegakkan pundak, sok siap diwawancara. “sebenarnya saya lelah sih, bu. apa lagi kalau istri saya yang biasanya diem langsung muji-muji.. aduh, pusing.”

“hahahahaahahahaha kakak randommmm banget jawabnya.” rain jadi gemas, tangannya reflek mengacak rambut jave.

“kapan ciumnyaaaa..”

“nanti aja. sini tidur sini.” rain mundur sedikit dengan maksud agar jave bisa tidur balik di kakinya seperti tadi.

“dasar php.”

“gak php.. nanti aja tapi.” rain membalas, tertawa cukup kencang ketika melihat jave mengomel tapi tetap menurut tidur di kakinya.

suasana villa yang tadinya memang sepi kini makin sepi. jave hanya diam sambil memainkan ujung rambut rain yang menjuntai, sedangkan rain hanya sibuk mengusuk-usuk kening jave sambil matanya terarah lurus ke halaman depan sana.

hamparan rumput dengan kolam renang, sapuan cahaya lembut dari matahari yang berwarna jingga juga sangat menenangkan.

“rain..”

“hm?”

“mikirin apaa?”

rain menunduk, jave pasti mengira dirinya sedang overthinking atau sebangsanya. “ngelamun aja sih hahahaha. gak lagi mikir.” ia akhirnya menjawab, menyisiri rambut jave dengan jari.

“bener?”

“beneran lah.”

“ya udah.”

“kak omong-omong kemarin kan ada yang nanya apa tuh, tentang nama panggilan gitu loh.. maksudku emang kamu mau dipanggil apa? aku geli sih kalo mau manggil kayak baby, hun, by, atau apa lah..”

“hahahahah lucu sih, tapi gak ah.. nama aja udah, bayangin.. baby, kamu mau makan apa?

“mau makan ayam nih, by.” rain menjawab pula sebagai simulasi.

“HAHAHAHAHAHAHA GAK COCOK BANGET. udah, apa adanya kita aja.”

“tapi kalo kamu sendiri pengen dipanggil apa? dipanggil kakak gak bosen kannnn..”

“sayang, sih.”

“ya, sayang.”

“hahahahaha. apa ya? gak mikir sih, karna menurutku ya panggilan cuma sekedar panggilan aja.. gak ada yang berubah? gak ngerti. coba panggil aku pake jave aja.”

“pas itu aku diomelinnnn.”

“yeee. kan nyoba lagi, ayoo.”

“javee..”

“gak gak, dah cocok kamu bocah aja.”

rain tertawa, mengusel-usel wajah jave dengan jemarinya. “besok skincare mau gak?? aku yang benerin.”

“boleh. kenapa gak sekarang?”

rain tidak menjawab, sebagai gantinya ia menyuruh jave untuk duduk dulu.

“mau kemana?” jave bertanya bingung ketika rain bangkit berdiri dadakan.

“pindah tempat?”

“kemana lagi?”

“kesini.” ia menjawab sebentar, lalu bergerak mendekat untuk duduk di atas pangkuan jave dengan posisi berhadapan.

“wahhhhhh.. rain? jangan main-main kalo kamu cuma godain aku doang nantinya.”

“ayo sekarang. boleh.” rain berujar patah-patah, wajahnya mulai merah menahan malu.

“beneran boleh? sekarang?”

“ya boleh. udah sejak semalem kan kamu maunya..”

“wahh..” jave langsung stress dadakan. “disini?” tanyanya linglung.

“katamu, bisa dimana aja..”

“wahhhhhhh....”

rain menutup mata jave dengan telapak tangan. “jangan liat-liat terus!! langsung sat set gitu aja please malu banget.”

jave masih ngehang beberapa saat kemudian hingga perlahan kesadarannya jatuh dengan level berbeda dari sebelumnya.

“yuk, aku ajarin.”

“ajarin?”

“posisi baru.”

rain tersentak dan reflek saja ingin lari kabur dari pangkuan secepat kilat.

jave bangkit sedikit, tangannya menyusup ke belakang leher rain. “kiss me.”

rain terkekeh

day 3.


to do list :

tidur (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡ ✔️ motoran ✔️ makan sea food ✔️

rain melotot sambil menarik kertas yang ada di tangan jave. “kenapa tidurnya atas sendiri sih mana ada gambarnya ituuu betulan bikin otakku pergi kiri kanan atas bawah tau enggakkkkkk?”

jave mencibir, menarik kembali kertas yang tadi di tarik rain. “yang selesai kan itu duluan, lagian juga itu yang paling memorable.”

“ihhhhhhh..”

“gak gak diem gak usah ngelucu, aku ngamuk beneran ya ini ke kamu.”

“oh ngamuk? oke.” rain berusaha menyingkirkan kepala jave yang tiduran di atas pahanya. “minggir sana, ngamuk kok tempel-tempel.”

“eh gak mauuuuu.” jave langsung mengembalikan kepala ke tempat asal dan hadap ke kiri, memeluk perut rain erat. “gak jadi gak jadi, aku gak jadi ngamuk.”

“yeeeeeeeu. lagian semalem kan kamu dulu yang ketiduran.”

“ya kamu nginjeknya keenakan.”

“ya udah salah siapa yang tidur sih kok ngamuk ke aku?” rain menutup wajah jave dengan telapak tangan, entah, kepingin saja.

“ayo deh sekarang.”

“hehhhhhh kakakkkkk.”

“renang maksudku, dengerin dulu dong.” jave mendengus pelan, bangkit duduk.

“gak ya aku tau maksud awalmu apaan!!!”

“hahahahaha ayo rain.”

rain berdecak, “gak ganti-ganti apa gitu kah?”

“lepas aja. toh, kemarin udah liat.”

“IH ENGGAAAAAAAKKKKKKK.”

jave terpingkal, mempersilakan rain ganti saja dari pada ia yang berakhir kena jambakan maut.

“sana ganti, aku tunggu kolam depan ya?”

rain mendengus, lalu mengangguk. “oke. oke kamu tunggu disana.”


genap 15 menit jave berendam di kolam depan yang terbuka, rain akhirnya datang juga. pakai handuk mandi kimono, sambil menanting 2 botol minuman dingin.

“yuk sini. taruh meja aja rain.”

“kamu gak pake sunblock?”

“gak ah, males. kamu?”

“aku males renang...” rain berujar, bercanda.

“ENAK AJA, SINI BURUAN. ORANG KAMU YANG MINTA KOK MALAH AKU YANG BASAH DULUAN.” jave reflek bergerak keluar kolam dan mengunci pergelangan tangan rain.

“hahahahahah iya iya, oke renang, lepas dulu.”

“lepas baju?”

“LEPAS TANGANMU KAKAAKKKKKK YA AMPUN.”

“oh.” jave ber-oh, lalu melepaskan cekalannya. hal berikutnya yang terjadi adalah ia diam saja, menunggu rain menarik tali handuknya dan..

“apa sih? mau liat apa???!!!!”

“kamu.”

“IHHHHHHH.” rain gregetan, berjalan menjauh.

“ayooooooooooo kenapa ngajak lari-lari terus coba.”

“kamu serem. kamu kayak predator!!!”

“mangsanya kan, cuma kamu.”

“kak kamu abis kejadian hari pertama kemarin isi otaknya betulan seperti sudah penuh adegan ranjang ya..”

“HEH.”

“EH FAKTA KENAPA KAMU NYOLOT.” rain menghadang tubuh jave yang sudah ada di depan tubuhnya. lelaki itu sudah siap menerkam (menggelitik leher rain.) supaya gadisnya meminta ampun.

“liat liat.. ada pesawat kak.. KAK HAHAHA YA AMPUN OKE. OKE JANGAN DENDAMMMMMM..” rain spontan berteriak karena jave benar melancarkan aksinya, kali ini sambil mengangkat tubuh rain kembali mendekati kolam.

“ayo renangggggg.”

“turunin duluuuuuuu.”

“nanti kamu kabur.”

“enggakkk.”

jave mengangguk, “oke.” ujarnya, menurunkan rain ke daratan kembali.

gadis itu menggampar lengan jave sebentar akibat emosi sudah diangkat seenak jidat, lantas mulai melucuti handuknya sendiri.

malu? tentu saja. namun jika diingat-ingat, malam pertama kemarin ia sudah tentu lebih terbuka dari ini.

“shit.” jave spontan melotot.

“please gak usah mesum, ini cuma baju renang.”

“wah...”

“SADAR KAK JAVE SADARRRR..”

“wahhh...” jave geleng-geleng kepala, reflek menceburkan diri ke kolam sebelum makin amburadul isi otaknya.

ia mengakui, sejak berhubungan badan kemarin, otaknya memang makin tidak waras. melihat rain merengek saja pikirannya langsung kesana kemari. gadis itu memang benar-benar tak ada tandingannya lagi di mata jave. ibaratnya, rain benar-benar menduduki posisi teratas dan tak bisa digulirkan meski pakai alat pendorong sekalipun.

rain mendengus, ikut masuk ke kolam perlahan. meski sudah bisa renang, ia masih suka trauma karena dulu sering tenggelam dalam air.

“sana jauhan gak usah deket-deket.” jave mengusir, berenang menjauh.

“loh???”

“gak mauuuu. jangan deket-deket aku rain.”

rain mengernyit, “dasar lelaki gak jelas.”

hening. rain berenang sendiri sedikit melipir ke pinggir dan jave sibuk mengurut kening.

rain. gadisnya itu seksi sekali. mengingat mereka disini untuk bulan madu membuat pikiran jave makin berkedut kesana kemari. belum lagi ditambah keinginannya sejak semalam yang belum terlaksana, malah makin-makin saja isi otaknya.

“bersihkan pikiranmu kak jave!!!!! jangan kumat.” rain mencegah jave yang sejak tadi melamun itu sambil menyilangkan tangan depan dada. posisinya rain sudah kembali mendekat karena sudah berputar 2 kali.

“udah kelanjur jorok gimana refreshnya?” jave malah jujur.

“wah aku gak ngerti dulu sebelum nikah kamu nahan diri kayak gimana kok sekarang begini aja udah gak mampu..”

“eh beda ya!!”

“iya sih.”

“minimal apa kek cium dikit dikasih..”

“heleh.. gak!!”

“gini deh gini..” jave menengahi sendiri. “main game mau gak?”

“apa?”

“tahan nafas dalem air.”

“terus? apa keuntungan gamenya?”

“kalo kamu kalah, kita main disini aja sat set. kalo aku kalah, kita main di dalem.”

“HAH!!!!” rain berjengit, “pikirannya udah gak tertolong lagi manusia ini rupanya..”

“aaaaaaaaaaaaa ayolah rain. kamu loh sejak semalem giniin aku!”

“dih liat siapa yang manja ngerengek minta-minta..”

“pleaseeeee.”

rain memejam mata. lelaki ini betul-betul menginginkannya. “ya udah, nanti.” finalnya kemudian.

“nanti????”

“renang dulu. temani aku muter 10x baru nanti.. intinya nanti aja, di dalem. abis mandi.”

“abis mandi?????????”

“iya lah jorok aku gak mau kasurnya basah kena air kolam.”

“kan bisa main di karpet, di atas meja, di sofa, atau dimana aja lah intinya gak di kasur doang rain.”

“YA AMPUN KAK JAVE KAMU KENAPA JADI BEGINI KAMU KERASUKAN JIWA MESUMNYA KAK KALANDRA KAH??” rain frustasi, mencekali kepala jave seperti sedang berusaha mengeluarkan segala setan di kepala lelaki itu.

“aku mau kamuuuuuu..” jave merengek lagi, tidak mau menunda terlalu lama.

“nanti kakakkkk. liat deh.. astaga kamu gantian kayak bocah minta dijajanin tau gak..” rain hampir mendengus karena biasanya lelaki yang selalu punya karisma itu mendadak tampak lucu dan ciut hanya karena meminta jatah kedua.

benar-benar kelakuan.

“oke. oke nanti. janji dulu?”

rain menaikkan sebelah alis. “dasar oldman model sugar daddy!”

“ENAK AJA?”

“HAHAHAHAHAHAHA.”

“BALIK GAK? SEKALI KETANGKEP ILANG KAMU BETULAN.”

“YEEEE..”

jave mengangguk, “oke.. main-main betulan sama aku nyesel kamu liat aja.”

“hahahahaha oke oke ampun!!! ampun beneran ayo yang tenang, jauhkan segala hal yang merasuki otakmu, kita renang duluuuu..”

sial. rain benar sangat lucu.

“sini pegangan.”

“ngapain orang mau renang kok pegang-pegang..”

“nurut dulu kek.”

rain mendengus, lalu mendekat. “mau apa?”

“gak ngapa-ngapain pengen pegangan aja.”

“yeuuuuuu.”

jave menunduk, menunjuk keningnya. “gak mau?”

“kenapa kamu manja banget hari ini hah?”

“pengen sekali-sekali aku jadi anaknya, kamu jadi mamanya.”

“oh mau gantian.. soalnya biasanya kamu jadi orang tuaku begitu... oke. oke sini.”

jave tertawa, asik sekali bisa dimanja seharian nantinya.

“tapi orang tua dan anak pikirannya tidak akan jorok ya kak jave ya..”

“eh beda kan ini akting.” jave spontan protes.

“gakkkkk.” rain langsung membekap mulut jave dengan telapak tangan ketika hampir maju menyosor seenaknya sendiri.

“pelitttttttttttttttt.”

rain tertawa, memperhatikan raut jave yang sejak pagi sudah amburadul karena pikirannya tidak konsentrasi. lucu sebenarnya, dan ya, melakukannya pun tidak seburuk itu. namun...

“sini sini kak.” rain akhirnya memutuskan untuk menarik kepala jave mendekat, mencium keningnya lama. “dah... sekarang tenang dulu okeee. anggep aja salam pembuka, lanjutnya, nanti aja hahahaha.”

“deal ya tapi?”

“yaaaaaaaaa..”

jave reflek meletakkan tinju ke dalam mulut agar tak berteriak kegirangan lagi. selanjutnya ia benar kembali ke mode normal, usil sewajarnya dan manja sebisanya.

“nanti malem aku mau clubbing. boleh tidaaakk?” rain mengerling, bercanda tentu saja.

“boleh.”

“hah? betulan?”

“ya boleh aja kalo sama aku. bener mau?”

“enggak aku bercandaaaa. tapi kadang penasaran sih, di dalem situ ngapain aja terus berbuat apa.. terus seasik apa.”

“intinya gak bisa sih kamu masuk situ, gak cocok. nanti baru masuk udah diusir satpam, terus aku yang dihajar.”

“loh kenapa?”

“soalnya dikira aku nyulik anak dibawah umur mau diajak main gak bener dalem club?”

“YEUUUUUUUU. KTP DONG!!!!”

“HAHAHAHAHA. tapi serius mau?”

“enggak.”

“itu gimana ya, dalemnya tuh... lil bit, liar? kamu gak bakal suka sih, asli.”

rain mengangguk, “kamu pernah masuk kan dulu?”

“ya lumayan sering. bareng anak-anak pas ngampus itu.”

“ooooooh gituuu?”

“gak mabuk-mabuk aku nemenin kalandra gibran hunting cewek doang.”

“oohhh gitu...”

“eh beneran!!!!! aku kalo keluar selalu ijin kamu, ayo cek scroll chat kalo gak percaya.”

“emang aku bilang apa?” rain mengejek, berenang menjauh.

“raaaaaaainnnnnnn.”

“apaaaaaaaa..”

“cewekku cuma kamu selamanya kamu.”

“hoekkkkk.”

“dih dasar bocah!!!” jave reflek berenang cepat mengejar gadisnya yang masih belum jauh.

“hahahaha apa sih aku gak ngajak kamu balapan!”

“aku apa tama???”

“kak tam.. HAHAHA BERCANDAAAAAAA PILIH KAK JAVE BENERAN SERIUS.” rain terkekeh setengah seram ketika jave mendapatkan tubuhnya. ia takut digelitik lagi karena sudah jelas tak bisa kabur. di darat saja ia kesusahan, nah apa kabar jika di air?

“tama tamaaaaaaaaa aja.” jave mengomel, meski cekalannya pada tubuh rain masih erat karena gadis itu kadang suka tiba-tiba limbung jika tak berpegangan.

“ih kamu duluan yang bahas kok.”

“iya sih. TAPI SEBEEEEEEL.”

rain tertawa, menangkup dua pipi jave. “pacaran sama kak tama cuma bentar aja kamu masalahin terus dari duluuu huuuu lucu banget liat hahahahaha mukamu gemes banget.”

jave pasrah diusel-usel. namun setelah bebas ia segera menyambung omongan. “abisnya dia berhasil narik cewek se-cute kamu pas jaman smp tuh gimana caranya kan aku mikir.”

“ya apa sih biasa aja, kamu tau dia dulu cuma sering ajak aku ke perpus baca buku. udah. dia sering nemenin gitu intinya kayak aku diambilin novel pas gak nyampe, atau duduk-duduk aja pas istirahat. dia orangnya diaaam, penuh ambisi, sedikit banyak ngintimidasi gitu lah..”

“wah.. berbunga gak tuh?”

“ya pas itu berbunga..”

“heuuu.”

“kalo kamu?”

“apa aku?” jave menaikkan sebelah alis. tangannya masih melingkari pinggang rain di bawah sana.

“cewekmu. maksudku ya kali kamu gak ada cewek selain aku kan, itu loh, mantan..”

“ada dong.. jaman smp juga hahaha.”

“wah wah.. siapakah namanya?” rain penasaran, sebab jave tak pernah membahas mantan dan lain sebagainya di depan rain.

“lesha.”

“kenapa putus?”

“karna dia pindah ke singapura pas sma, ikut papanya.”

“kamu gak kuat ldr?” rain mengernyit, bingung.

“aku kuat aja sebenernya, tapi dianya enggak.”

“nah kan.. aku sampe bertanya-tanya orang kamu ditinggalin 4 tahun aja mampu..”

jave mencibir sebentar, wajahnya lucu sekali entah karena apa padahal rambut sudah basah total dan seharusnya terlihat lebih seksi dari pada imut.

“berarti pas itu kamu putus kepaksa kak?” rain berucap lagi, menyambung.

“yah... gitu lah.”

“terus dia dimana sekarang?”

“hahahaha gak tau dong aku rain. masa iya aku ubek-ubek info cewek yang udah gak ada hubungan sama aku? lagian udah lama juga sih, cinta-cintaan jaman smp buatku kayak ngambang, maksudku, banyak hal yang perlu diexplore. dan masa-masa itu masih terlalu muda, pun, ya jauh aja dari kata serius. puber aja masih belum kali? masih ingusan lulus sd.”

“iya sih..” rain mengangguk, “eh tapi-tapi, kalo misal dia gak pindah negara dulu kalian maunya gimana? maksudnya pernah ngobrol serius gitu gak, kayak mau satu sma bareng.. terus apa lah gitu?”

“pernah. maunya satu sma emang hahahahahaha, dia anak pinter. dia ranking 1 paralel 3 tahun di smp.”

“woehhhhhh.... kalo kamu ranking berapa?”

“aku 2 rain.”

“oh pantesssss..”

“pantes apa?”

“pantes kalian putus, soalnya, Tuhan kasih keadilan buat dunia lain biar yang pinter gak sama yang pinter. soalnya mau jadi apa dunia ini jika yang pintar bersatu dan yang kurang pintar gak mendapat fasilitas seperti pacar atau koneksi gi.. hhhh apa sih ini berbicara jangan nyosor-nyosor!!!!!!” rain menutup kembali bibirnya yang hampir dicium oleh jave.

“lagian berisik. lucu tau gak?”

“gakkkkkk.”

jave mendengus, meski sebenarnya ia bisa saja memaksa sedikit demi mendapatkan bibir rain detik ini juga.

“eh terus kak, pas sma gimana? maksudnya kelas 10 pasti kamu kesiksa kan abis ditinggalin cewekmu pergi jauh.”

“biasa aja. aku gak gitu mikirin sih.”

“tapi kata temen-temenmu, kamu gak mau pacaran pas sma. kenapa? trauma?”

“hahahahahaha sialan, tapi iya, lumayan. soalnya kan kalo sma masih ada kuliah, dari pengamatan biasanya anak-anak tuh lebih sering ambil ke luar kota atau luar negeri. jadi ketimbang harus ngulang siklus-siklus sama ya aku fokus belajar aja.”

“tapi endingnya kita berpisah 4 tahun lamanyaaa hahahahaha.”

“gak masalah, kamu kuat ldr kan buktinya? aku juga kuat-kuat aja meski nguat-nguatin banget sih aslinya. hampir sinting beneran. isinya kangen mulu.”

“gak papa dah lewat.” rain mengingatkan sebentar. meski benar, ldr kemarin tidaklah mudah. susah sekali malah, banyak kesalahpahaman yang tercipta, diperburuk oleh jarak dan kurangnya komunikasi. namun jave dan rain tetap berpegang pada satu kata, percaya. karena pondasi hubungan paling kuat menurut mereka adalah saling percaya. pun memang pada dasarnya sudah sama-sama bucin saja, sih.

“omong-omong kak pernah gak sih kayak kamu tiba-tiba ngeliat cewek A terus naksir gitu.. ini bahas kelas 10 ya, soalnya kan pas itu cewek sedang menarik-menariknya, masih fresh hahahaha.” rain menyambung kalimat berikutnya yang masih satu frekuensi.

“pernah lahhhhh..”

“kak clara bukan??”

“bukan.”

“kamu betulan gak pernah ngelirik kak clara meski sekali kah?”

jave mengangguk. “hatiku gak ketarik sama sekali, dia gagal, kayaknya pas narik aku dulu dia kurang kuat hahahaha.”

“wah parah.. tapi kalo misal bukan kak clara kamu suka sama yang mana?”

“hm.. ada sih, tapi kamu gak bakal kenal. dia anaknya biasa aja.”

“siapaaaaaa?”

“namanya raya. raya cleana? lupa. dia anak ips.”

“oh iya bener gak pernah denger. dia ada di sma sampe lulus?”

“iya dong ada. sampe wisuda adaa tapi aku gak ngeliat sih, soalnya aku fokus kamu terus. apa lagi pas kamu ngobrol sama kalandra, beuh, gak kelar-kelar serius banget.”

oh.

rain mengangguk, ia ingat momen ketika galau-galaunya dia menyampaikan perihal kuliah dan lainnya pada jave kala itu.

“kenapa kamu gak jadian sama kakak tadi?”

“hm?” jave meneleng wajah.

“ya penasarannnn. anggap aja sharing, nanti gantian aku dehhh.”

“haha oke deal gantian..” jave tertawa, lalu mulai bercerita. “ya gimana ya, namanya hubungan itu timbal balik rain. A ngasih sesuatu, B juga harus ngasih sesuatu juga. gak bisa kalo A ngasih banyak hal tapi B pasif. itu bukan hubungan dua arah namanya, tapi cuma satu arah. disini aku gak ngomongin barang atau material apapun ya, aku ngomongin perasaan.”

“dia cuekin kamu? KAMU DITOLAK?”

“DIH ENGGAK.” jave berhasil mencium bibir rain yang kaget kali ini, tapi rain tidak peduli.

“terus kenapa?”

“dia terlalu baper dan, over insecure? maksudku anaknya pemalu banget, terlalu gak bisa menerima diri. ini bukannya aku ngejelekin sifat orang ya.. tapi kalo orang pdkt harus bener lancar 2 arah rain. nah kalo terus-terusan aku ngobrol dianya lari terus sensitif sendiri, aku capek dong? dan gak cuma sekali dua kali, hampir tiap hari aku usaha dan dia kabur terus. aku sampe bingung. tampangku sebangsat itu kah sampe dia gak percaya kalo aku beneran naruh hati ke dia?”

“oooooh.” rain mendadak hening, “tapi aku juga gitu gak sih? aku juga suka insecure. maksudnya ya cewek mana yang gak insecure kalo dideketin spek modelmu begini? pikirannya pasti antara, aku dimainin, dia mainin aku, apa bagusku sampe dia mau? atau nanti aku bakal ditinggal gak kalo udah jadian? gitu.. lebih ke trust issue gak sih? kayak ketakutan memulai hubungan dan terlalu mikir aneh ke depannya saking insecurenya dia. eh ngerti kan aku ngomong apa? ya intinya gitu, normal gak sih kak?”

“tapi kamu gak begitu.”

“gak gitu gimana? aku sering kok tiba-tiba lari.”

“kamu tau gak dia kalo lari tuh gimana?”

“gimana?”

“nangis. galau. or what you named it lah.. dan kalo dichat selalu bales singkat kayak iya, enggak, padahal aku gak ngerasa buat apapun yang salah. dan, yah.. her igs just so galauuuuu. gak ngerti rain, aku juga bingung. intinya pas itu aku capek, jadi aku berhenti. gak nemu titik terang.”

“oh..” rain jadi ikut bingung juga.

“tau gak apa yang bikin kamu beda sama raya meski keliatannya ketutup sama satu kata insecure yang sama?”

“apa?”

“sekalipun kamu keliatan lari, kamu tetep berisik ke aku. kamu gak bener-bener lari, kamu gak bikin aku capek berjuang satu arah. kamu tanpa sadar selalu nunjukin setiap perasaanmu dari cara ngobrol dan gerak-gerik tiap kita ketemu. modelmu colorful banget, iridescent..”

“dih?”

“thats all. i love you.”

rain berusaha menyumpal kupingnya rapat-rapat, tak ingin baper-baperan di siang bolong. “terus sama kakak tadi gimana? maksudnya berakhir gimana? caranya kayak apa..” ia memutuskan mengobrol lagi.

“ya udah gak gimana-gimana, aku mundur aja intinya pelan-pelan. gak ada yang tau juga kalo aku sempet deketin raya, soalnya ya tau sendiri lah kamu clara orangnya gimana pas itu. aku gak pengen nyebar omongan aneh-aneh yang bisa bikin raya kena imbas. lagian juga pada dasarnya aku gak gitu seneng sih curhat masalah hati ke A B C, jadi ya gak ada yang tau.”

“kalo aku kalo aku? kamu curhat gak?”

jave tertawa, mengangguk. “tipis-tipis aja sih, buat peringatan gitu biar yang lain gak ngadalin kamu juga. soalnya aku yakin kalo kedepannya hubungan kita bakal jalan. sesuai yang aku bilang di awal tadi, kamu tuh nanggepin aku banget pas pdkt. kamu aktif lah intinya, kayak mau cari topik, terus kalo aku balesnya singkat bukannya kabur tapi malah protes. seneng aja, pdkt kita dulu interaksinya lucu, kerasa idup.”

rain mengangguk, sekali lagi ia tidak ingin berbaper-baper ria. “jadi kalo misal pas itu kak raya terbuka dikit, maksudnya yang kayak nanggepin kamu juga gitu, kamu bakal hajar terus sampe dapet kan?”

“yah.. dia menarik. diluar kepribadian dia yang tadi, dia lucu, baik, anaknya pelihara kucing di rumah banyak banget hahaha ada 10 kali?”

“rambutnya panjang apa pendek?”

“pendek? lupa, sekitar sebahu mungkin agak panjang dikit.”

“kalo badannya tinggi apa pendek?”

“lumayan tinggi? gak gitu inget aku rain.”

“terus terus dia bendahara gak?”

“hahahaha enggak, dia idupnya ngikut alur aja sih yang gak gitu partisipasi sama lingkungan.”

“ehmmm, terus terus dia pinter kimia gak?”

“dia ips sayang.. mana ada kimia?”

“oh iya. itu deh, dia alisnya tipis apa tebel?”

jave langsung terbahak, sedikit mengerti obrolan yang rain bahas saat ini. “gak ngerti, tebel kayaknya.”

“okeeeee. oke bagus.”

“hahahahaha kenapa emang?” jave sok memancing.

“takut aja kalo kamu gak dapet dia terus pas itu deketin aku karna ada miripnya doang.” rain terkekeh.

“gak lah.” jave menggeleng dengan raut serius.

“tapi akhirnya aku tau loh tipe cewekmu yang kayaknya kamu gak sadar kak..”

“apa apa? apa tipeku?”

“kayak aku.” rain eksis seperempat detik. lalu ketika mendapati jave tertawa dan menepuk-nepuk keningnya pelan, gadis itu diam dan kembali ke topik lagi. “tipemu cewek amuba.”

“hah? hahahahaha. maksudnya?”

“cewek yang gak terlihat. ini konteksnya kak raya sih, aku tau kalo kakak sebelumnya, siapa tadi? yang ranking 1 paralel tuh.. kalo dia emang pasti selalu terlihat dan tersorot, tapi.. gak tau sih, kayak sepertinya kamu suka cewek yang anteng.. yang gak neko-neko gitu? yang gak menonjol berlebihannn kayak ya udah dia berkehidupan lurus dan.. EH.. IYA GAK HAHAHA.”

jave merenung, lalu mengedik pundak. “gak ngerti sih, tapi kayaknya bener. aku gak gitu suka liat cewek yang terlalu eksis. bukannya takut kesaing ya. tapi kayak emang aneh aja, gak ngerti lah, gak pernah mikir kesitu juga hahahahaha.”

rain mengangguk. “kalo aku??”

“apa kamu?”

“dulu awalnya kenapa kamu lirik aku? diluar aku gak eksissssss di sekolah ya, yang lain!!!” rain menekan kata eksis akibat tadinya sudah diungkit.

jave terkekeh. “apa ya.. apa bagusnya kamu?”

“oooooohhhhh.. gitu?????”

“hahahahaha enggak aku bercanda.” lelaki itu berujar, menggesekkan hidungnya sebentar pada milik rain yang masih memasang raut dendam.

“jadiiiii?”

“jadi ya, karna kamu menarik aja sih.”

“heh yang lainnnnn please aku mau mendengarkan!!”

jave memutar otak, bagaimana awalnya kejadian dulu hingga ia bisa menaruh hati?

“kayaknya gara-gara kamu ngotot manggilin aku jave jave gak pake kakak deh..”

“hahh hahahaha emang kenapa.. gak ada kah sebelum itu yang begitu?”

“gak.. adik kelas kalo ke aku sopan banget siap pdkt. nah kamu dikit-dikit java jave sampe sering kukira kamu tuh adikku tau gak, dia kalo ke aku suka langsung panggil nama soalnya.”

“tapi kamu tuh galak loh.”

“masa??”

“kamu awal aku chat kalo aku gak bilang aku bendahara gak mungkin kamu bales kan?”

“oalah hahahaha iya.. aku gak gitu suka chatting tanpa konteks soalnya.”

“berarti kamu suka aku gara-gara aku jadi bendahara?”

“gak sih, beda. itu cuma jadi salah satu jalan aja kita bisa ketemu sekarang. kalo alesan aku suka kamu ya jelas bukan karna kamu jadi bendahara dong rain. banyak alesan buat jatuh hati ke kamu. gak sadar kah tiap jalan banyak cowok liatin?”

“sadar sih, tapi seringnya denger mereka ngomong pendek ya, kecil. gitu.”

jave langsung ngakak lagi. “gak lahhhh, ngeliat kamu tuh harus teliti. cantikmu tuh gak yang sekali liat langsung wahhh gitu tuh gak, cantikmu tuh ada bedanya, kayak diliat dari rambut dulu, terus diliat dari mata dulu, atau apa lah. intinya cantikmu gak ada yang punya. beda. gak mencolok, kayak semacem hidden gem? hahahaha.”

“diem diem.” rain langsung menggerutu. “tapi kalo pas itu aku gak jadi bendahara kamu nemuin aku gimana caranya?”

“banyak jalan kalo emang Tuhan udah kasih liat.”

“contoh?”

“kalandra. kamu dulu ketiban bolanya kalandra kan pas awal pindah? itu aku sama anak tim udah sering bahas kamu.”

“wahhhh..”

jave menaik-turunkan alis sebentar. “kalo kamu gimana?”

“apanya aku?”

“kalandra. pernah suka kan?”

“oh hahahahahaha iya, pernah lah!!! siapa yang gak pernah kecentok tampangnya kak kalandra? cewek merem aja bisa tau dia ganteng.”

“wah parahhhhhhh..”

“serius kak.. cakepnya kak kalandra tuh beda, kayak, lucu aja? tapi aku tuh gak terlalu suka cowok kebanyakan baterai hahahaha kayak capek aja liatnya. nah kalo kak kalandra tuh kan hiperaktif banget kayak gak bisa diem.. jadi ya udah sebatasnya aja, lagian juga sadar diri sih, pas itu temen-temen lain juga banyak yang naksir.”

“wah....” jave makin speechless.

“oh terus juga dia kan sering dikabarin ganti cewek seminggu sekali...”

“kalandra gak pernah pacaran hahahaha siapa kasih gosip begitu?”

“entahlaaaah.. tapi emang gitu sih bunyinya.”

“kalo kalandra anteng kamu mau?”

“mauuuuu.”

“wahhhhhhh... parah parah.. asli parah banget.”

“hahahahahaha bercandaa..”

“tapi serius, kalo misal kamu gak jadi bendahara terus kamu kan pasti bakal kontakan sama kalandra ya bukan ke aku..... wah anjir.. gak gak, gak mau bayangin..”

rain tertawa, mengelus rambut jave perlahan sebagai selingan. “oh oh, terus aku mau cerita ini..”

“apa?”

“karel.”

“ohh.. kenapa karel?”

“ini casenya kalo aku gak sama kamu ya.. mungkin aku bakal jalan sama dia? maksudnya kan udah dibilang kalo posisimu di sma tuh kejauhan, dan yang sering deket dan bantu aku di kelas cuma karel aja sih. terus, ini aku sebenernya gak pengen cerita sih, soalnya kan kalian sepupu..”

“hahahaha, dia suka kamu kan?”

“eh..”

“santai. dia pernah cerita ke aku sendiri pas itu.”

“betulan?”

“iya dong. aku sama karel tuh gak sejauh itu rain, jadi hal-hal begini ya biasa aja disharing.”

“ya udah, begitu..”

“terus rain kalo aku gimanaa?” jave balik bertanya.

“kenapa kamu?”

“iya, kenapa aku?”

“hahahaha apa sih maksudnya? konteks dulu.”

“kenapa bisa naksir aku?”

rain menyatukan alis. “kamu ini bertanya kah?”

“iya?”

“kenapa suka kamu???? kenapa suka kamu??????? perlu dijelasin kah?”

“aku mau denger dari bibirmu sendiri sih, lebih tepatnya.”

“wuih.. bilang aja kamu mau aku puji-puji.”

“iya lah. jarang kan?” jave mengerling. “ayo dong ayo dong, sebut.”

“kamu baik.”

“HEH.. YANG BETUL.”

“hahahaha oke oke. yang jelas bukan karna kamu kapten basket sih, karna sekalipun kamu bukan kapten basket juga pasti tetep aja keliatan. mungkin lebih ke.. perhatiannya? maksudnya orang ganteng di muka bumi ini bejibun. di sekolah juga bejibun. ada kak arya, kak gibran, kak juna.. banyak. tapi kebanyakan dari cowok ganteng cuma manfaatin kegantengannya tadi buat jadi tameng biar bisa dapetin cewek-cewek incerannya yang setara. eh, ngerti gak? kalo kamu tuh aku nangkepnya beda, kamu baiknya tuh rata gitu loh. kayak gak manfaatin kegantengan biar jadi cowok brengsek dan mainin cewek sana sini. idupmu lurus. kamu baik udah sih. humble.”

“oke trims, intinya aku tetep dapet title ganteng kan di matamu?”

“cewek mana yang gak bilang kamu ganteng????”

wajah jave langsung pongah, bercanda. “gak mau cium cowok ganteng?”

“diamlah kak javeeeeeeeee..”

“hahahahaha.”

“oh terus kamu inget gak yang kamu benerin motorku keluar parkiran. itu sih, apa tuh maksudnya ototmu kan kayak wow gitu..”

“kamu suka ototku?”

“gak heh denger dulu.”

“apa apa?”

“ya kayak feelingnya, wah ini cowok bisa dibuat body guard.. kayak baper aja bayangin bisa dilindungin gitu kan hahahahaha.”

“alesanmu receh betul yang terakhir rain.”

“tapi serius, makasih, kamu emang ngelindungin aku di berbagai situasi meski bukan cuma pake otot aja.”

“iya dong.”

“oh terus itu jugaaaaa..”

“banyak juga alesanmu suka aku.. apa apa?” jave makin semangat.

“kamu manja hahahahaha.”

“kayak apa?”

“minta minum, terus minta diolesin obat.. apa lah, jadi bikin aku ngerasa bisa diandelin gitu loh.. maksudnya aku seneng kamu manja ke aku. kayak merawat anak hahahahahaha.”

jave mengangguk, “and after that all yang kecetak di atas undangan emang namaku sama namamu. kerennnn.”

rain tertawa, mengangguk. tanpa sadar gadis itu sudah mengalungkan tangan di leher jave dan tiba-tiba sudah bergerak maju demi mencium bibir lelakinya.

singkat saja, kecupan normal.

“yaelah nyium apaan sih kamu?”

“bibir kan.”

“nyium yang bener dong, kayak gini...” jave bergerak mendekatkan wajah, mendorong pergerakan agar punggung rain menempel di dekat dinding kolam saja sambil mulai meraup bibirnya.

tidak liar, pun tidak dibumbui nafsu duniawi. terasa penuh cinta sekali.

“yeeeee itu mah maumu aja.” rain mendengus setelah bibirnya dilepas. ia lantas berusaha keluar dari pelukan jave karena ingin mentas.

“bentar, gini dulu bentar.”

“aku gak mau gosong belang ya kak jave ya.. udah kelamaan. minggir sana.”

“gaaaaaaak, bentar aja.” jave mengeratkan pelukannya. “pengen ngobrol lainnya disini.”

“aku capek ngambang-ngambang di air. tadi katanya kamu mau itu, apa tuh, main..” rain terpaksa mengucap kata keramat karena benar ingin keluar dari air.

ekspresi jave langsung berubah, “oke, ayo keluar air. mau main dimanaaaa rain?”

“HHHHHHHHH.”

“HAHAHAHAHAHA.”

about sharing life together.


“sini rambutnya aku benerin.” rain yang baru saja menata rambutnya sendiri setelah melepas helm itu terkekeh pelan ketika melihat jave. tangannya reflek terjulur maju untuk menata kembali anak-anak rambut lelakinya yang berantakan, padahal, helm yang dipakai sudah full face.

jave tersenyum, menurut saja. lagian dia memang suka diperhatikan begitu oleh rain.

“dah sekarang kita jadi suit gak?” rain mengingatkan.

“oooooh jelas!!!!”

“payah.”

“batu gunting kertas!” jave melempar kertas dan langsung meninju udara dengan raut bahagia akibat rain melempar batu secara cuma-cuma.

“gak gak gak, kamu telat itu jangan curanggg.”

“mana ada aku curang? itu tadi kita barengan kok.” jave tidak terima, enggan mengulang permainan.

“oooh.. oke. oke kalo gitu.” rain langsung melengos masuk ke dalam tenda pinggir jalan dan memesan seafood yang mereka inginkan. meninggalkan jave yang masih saja bersorak akibat tidak perlu ribut mengupas cangkang dan lain sebagainya sesuai kesepakatan dengan helaan napas permusuhan.

liat aja. begitu, batinnya.


“LAH AKUUUUUU RAIN?” jave protes seketika saat melihat rain yang baru berhasil mengupas kepiting itu langsung memakannya dengan raut meledek.

“sabar dong, sayang.”

“kan kan.. kamu usil loh sekarang.”

“HAHAHAHAHAHA.”

“aku aku, aku mau satu itu please celupin ke saus yang ini.” jave malah request minta disuap.

“ih, manja banget celup sendiri!!!!”

“ayo lah sayang, tanganku beku nyetir jam segini kamu masa gak kasian sama aku.”

“lebih gak kasian mana gara-gara kamu aku gak bisa jalan dari pagi!!!!!” rain berucap berbisik dengan nada nyolot.

gantian jave tertawa, bahagia sekali nadanya sampai rain mendengus mundur.

“nihhhhh buka mulutnya tuh bukaaa.” ujarnya kemudian, menyodor banyak daging ke dekat bibir jave. “EH EH LAH KAKAKKKKK.. KEPITINGNYA AJA NGAPAIN GIGIT TANGANKU SIH?” rain mendelik protes dan membuat jave hanya makin kencang tertawa.

“nih nih aku bantuin deh..” lelaki itu akhirnya memasang sarung tangan plastik dan menjapit lobster ke piringnya sendiri.

“nah kalo gitu kan cakep.” rain langsung memajukan kursi mendekat. sudah jelas ingin menanti hasil kerja jave.

“heh ya itu dipegangin dulu lah kak javeeee.”

“apanya?”

“gak jago ih gak proooooooo.”

“yeeeee. nih aa bentar udah kecongkel dikit.” jave mendekatkan potongan kecil ke bibir rain, membuat rain spontan menurut saja dan membuka bibir.

“EH RAINY DEMI APAPUN DENDAM BANGET KAMU.” jave berjengit ketika jarinya ikut digigit.

“eh maaf kirain itu daging lobster. mirip sih.” jawaban yang kembali pun sangatlah template khas ala javerio.

“awas ajaaaaa kamu ntar.”

rain tertawa, mengalah, kembali fokus mengupas dan kali ini langsung memberikannya ke piring jave dengan benar. “tuh udah, celupin ke saus deh sana makan yang banyaaaaak.”

jave tersenyum karena kali ini rain sudah kembali normal.

“makasih, istri.”

gadis itu reflek mendelik pada jave demi menyuruhnya diam. sebab kini beberapa orang dalam tenda yang juga makan itu kedapatan tertawa sambil menonton terang-terangan. padahal, sudah sejak tadi pula mereka mendapat tontonan gratis tom and jerry versi lebih gemas dengan taburan bubuk-bubuk cinta di setiap gerakan.

jave dan rain. pasangan ini memang mau dalam keadaan apapun dan dimanapun tetap gemas setengah mati.

“omong-omong aku jadi inget deh, pas sma duluuuuuu tuh.” rain tiba-tiba membanting topik.

“inget apa?”

“makan kayak gini, pas kamu ajak aku sama gio keluar makan jam 9 malem gak takut diamukin mama hahahahahahahaha ngaco banget diinget-inget.”

“ooooooh.” jave ber-oh panjang karena memorinya terpanggil.

“makasih banyak sih kak, aku sebenernya pas itu nggak begitu pengen makan. maksudnya rebutan makanan juga ngapain? makan yang lain juga bisa. tapi pas itu aku nangis jengkelnya gara-gara mama lebih perhatiin clau, ri sama om janu gitu. aku kasian liat gio dilarang ambil ini itu tapi mama ambilin yang enak-enak buat mereka. kasian. gio pas itu ulang tahun.”

jave mengangguk, ia mendengarkan lagi kisah lama yang dulu memang sudah dibagi kepadanya. kali ini rain memang bercerita dengan tenang, namun dulu gadis itu sampai menangis saking kesalnya sambil srot kanan kiri.

“kalo gak ada kamu, aku pas itu paling cuma bisa gojek ulang, gak seru. seruan sama kamu.” ia melanjutkan.

“so, i got ur back?” jave mengerling, meletakkan daging lobster yang kali ini berhasil ia potong sempurna ke piring rain.

“you always got my back.” rain tersenyum penuh penghargaan, menatap mata jave dalam hening dengan ucapan terima kasih yang terus berpendar disana.

“hahahaha rain rain.. dah tuh, bersih, makan dulu.” ujarnya menyuruh akibat mengaku tidak kuat terlalu lama diperhatikan.

“okeeeeei.”

“nanti abis makan pergi kemanakah kitaaaa?”

“muter aja, aku pengen motoran sama kamu doang gak berhenti.”

jave terkekeh. “siapppp melaksanakan perintah istri!!!!”

“HEH DIAMMMMMMMMM.” rain mencubit tangan jave yang juga masih ada dalam sarung tangan itu sambil melempar tatap mengancam. membuat (lagi-lagi), orang di sekitar mereka tertawa sambil menyimpulkan, ohhh lagi bulan maduuuuu dalam benak mereka secara keras.


“eh copottttt rain hahahahaha.” jave menarik airbuds yang hampir saja terjatuh ke aspal sambil tertawa kencang. tidak ada pentingnya, receh saja.

rain yang sudah duduk dalam boncengan ikut tertawa, “makanya rapetin dulu sebelum pake helmmmmmmm.”

“punyamu mana?”

“udah kepasang lah aku proooo.”

“gayaaaaaaaaamuuuuuuu.”

“jadi udah bener belum tuh? aku puter lagunya kalo udah.”

“udaaah nih nancep kuat.”

“haha okay jadi dealnya kita mainin playlist apaaa?”

jave menimbang, lelaki itu suka semua jenis lagu tentunya. “terserah kamu deh.”

“lany mau enggaaaa?”

“album apa?”

“ggbbxx.”

“HAHAHAHA KAMU MAU BALIK JAMAN APA SIH ASTAGA.”

“YEUUU. dah ya aku puter ya?”

jave mengangguk, “oke. tapi sini dulu tangannya.”

“malu lah jalan dulu baru peluk.”

“beneran ya? awas boongan.”

rain mengangguk patuh. intro lagu lany mulai terdengar dan motor jave sudah kembali melaju meninggalkan tenda seafood pinggir jalan.

jalanan yang mereka pilih tak begitu ramai, pun, cuaca sebenarnya tak begitu dingin. bali. apa yang mau diharapkan?

“nyanyiiiii kakkkkk!!!” rain spontan berucap kala lagu favoritnya sudah memasuki bagian reff.

“That people make rockets, they go to the moon.” jave benar menyanyi, lalu..

“yooow, apa lanjutannya rain??” teriaknya, seperti mengoper mic agar rain ikut bernyanyi.

“People make mistakes too So whatever you do Know that I will still be here.”

“If the whole world shuts you out I'm not gonna run If you mess it up, I'll be the one Be the first to let you live it down.”

rain terkekeh, hatinya senang sekali. tangannya kini menyusup ke perut jave kian erat.

“You can cry a million tears But I can't pass out on my couch It's the kind of love If you mess it up, I'll be the one Be the first to let you live it down.

“ASIKKK KEREN KAMU DAH HAFAL.” rain memuji.

“iya dong, lagu lany hafal semua gara-gara kamu puterin mulu waktu spotsess pas itu hahahaha.”

keduanya kini lanjut bernyanyi lagu-lagu yang terputar sambil terus menerobos jalan besar. angin sepoi-sepoi menerpa kulit yang tak tertutup kain dan membuat mereka kian bersemangat menjelajah malam.

“kak javeeeeeeeee...” rain berucap di samping kepala setelah memajukan badan.

“yaaa sayang.”

“i love youuu.” ujarnya, memeluk kian erat sembari kepalanya mundur lagi ke belakang.

“hahahahahahahahaha kesabet apaan rainnnnnnnnnn.”

“diammmm.”

“aku juga.”

“kamu old man kebanyakan menggombal.”

“dih.” jave mendengus, bercanda. tangan kirinya mencekali jemari rain dan mengelusnya disana.

“nanti pas pulang aku pijetin.” rain berujar.

“gak usah, kamu juga capek.”

“kan tapi kamu menyetir lama.”

“injek aja gimana?”

“gakkkkkkk.”

“kamu kalo mijet gak kerasa enakan langsung diinjek.”

“nanti kamu pingsaaaaaaaannn.”

“enggakkkkkk.”

“HHHHHHHHHH.”

“lah apa sih?” jave tertawa dan kini menepikan motornya agar bisa berjalan dengan kecepatan pelan di dekat trotoar yang menghadap langsung ke air pantai.

“omong-omong rain.”

“apaa?”

“masih sakit gak?”

“apanya?”

“kamu..”

“oh.” rain paham, pipinya menghangat seketika. “lumayan, maksudnya gak separah tadi pagi tapi yah.. all good.” ia menjawab terbata meskipun jawaban yang dilontar tetap jujur.

“berarti, kita bisa, main lagi?”

“kak stopppppppp!!!!!!!” rain langsung memukul punggung jave setelah tangannya dibebaskan.

“lah aku nanyaaaaaaa.”

“jorok jorok, males pikiranmu jorok banget.”

“dih enggak aku cuma mastiin doang.” jave membela diri sambil menarik kembali tangan rain agar bergerak memeluknya lagi.

“heuuuuu.”

“lucu kamu tuh.”

“yaaaaa.”

jave geleng-geleng saja sambil fokus melajukan motor dengan kecepatan stabil.

“kak..”

“hm?”

“ya mungkin, bisa.”

hampir lekaki itu mengerem dadakan. “bisa????”

“ya, bisa.”

hening, lama sekali. sampai akhirnya..

“YOW, HELLO MISTER!” jave berteriak menyapa bule yang sedang duduk berhadapan dengan rekannya, mereka berdua melambai balik. ramah betul. meski pikiran mereka jelas tanda tanya karena disapa secara dadakan.

“HAHAHAHAHA KAK JAVE RANDOM BANGET.”

“THIS IS MY WIFE, LOOK LOOK.” lelaki itu berteriak lagi pada bule lainnya, padahal tidak ada yang bertanya dan juga peduli. memang jave moodnya sedang kelewat baik, jatuhnya ya tidak jelas.

“KAK JAVE ASTAGA KAK..”

“HAHAHAHAHAHA BIARIN AKU LAGI SENENGGGGGGGGGG DAPET IJIN FREEEEEEEEE.”

rain tertawa, “segitunya?”

“yaaaaaa. mau berapa lama rain?”

“ah sudahlah dasar pikiran mesum!!!”

“mau sekarang aja apa besok pagi?”

“kak!!!!!!”

“kalo sekarang kemaleman, tapi aku gak gitu capek sih. liat-liat.” lelaki itu malah sok peregangan dengan tangan kirinya yang bebas.

“HHHHHHHHHHHHH STOPPPPPPP FOKUS JALAN AJA JANGAN KEBANYAKAN TINGKAAAAAAAH.”

jave gemas hingga hampir mencak-mencak, dan entah kenapa ia langsung ingin menarik full gas motornya agar bisa pulang secepat kilat.

“nanti aja deh ya rain, lanjutnya kalo kurang ya besok pagi lagi.”

rain menghilang di balik punggung, tak menjawab.

“RAINNNNN.”

“DIAM.”

“JAWAB DULU BARU AKU DIEM.”

hening.

“RAINYYYYYYYY..”

“IYA IYA KAKAK NANTI IYA BOLEH.”

“YEEEEEEEEEEEAYYYYYYYYY.” jave bersorak seperti orang ketiban uang 1 triliun.

“DIEM KAK DIEM PLEASE JANGAN BERTINGKAH.”

“OKE. SEKARANG AKU DIEM, BERISIKNYA NANTI!!!!”

oh sial. wajah rain langsung merah padam. melirik sekilas wajah jave dari spion yang seperti orang kasmaran sekali. sumringah betul. padahal, cuma masalah tidur.

“aku mau es krim.” rain memancing mood jave, karna biasanya jika malam lelaki itu selalu mengomel melarang makan dingin-dingin dan sebangsanya. namun...

“BOLEH. APA AJA BOLEH. MAU ES APA? AKU CARIINNNNNNN HAHAHAHA.”

“OH GOSH LEBIH BAIK KAMU DIAM AJA.” rain berteriak frustasi dan hilang di balik punggung. malu.

day 1 honeymoon at night chapter 2.


“let's have a sex, today.”

hening. jave sendiri terkejut akibat kelepasan berbicara bebas pada rain yang menurutnya selalu masih bayi, sedangkan rain kini sudah ikut melongo. kalimat itu memang dewasa sekali di telinganya.

“ehm, o.. okay. tapi bagaimana memulainya? maksudku, itu sudah kepotong jeda berbicara, terus ini juga berbicara, jadi kayak canggung.......”

jave tersenyum lalu mendekat perlahan dan mencium bibir rain dengan pagutan ringan. menurutnya tidak perlu kata-kata panjang lagi untuk menjawab, ia bisa langsung bertindak.

ciumannya tidak tergesah, pelan, berusaha menyalurkan tenang agar rain tidak mendadak batal keinginan. tangannya yang memegangi punggung itu sesekali mengelus lembut, terasa menyenangkan sekali.

rain perlahan hanyut, kedua tangannya reflek mengalung rapat seakan tak ingin menciptakan banyak ruang agar ciuman jave tak lepas begitu saja.

lelaki itu tersenyum puas dalam hati, menang sekali rasanya bisa membuat rain begini. karena jave berani bersumpah ini baru pertama kalinya rain mau menempel rapat bahkan tak berusaha kabur malu meski posisinya masih ada di atas pangkuan.

jave menuruti keinginannya, mencium dengan ritme sedikit kasar. meraup bibir merah itu tanpa ampun seperti sebelumnya, menciptakan bunyi-bunyi yang tadi terjeda kembali menguar keras.

ciumannya perlahan lepas, berpindah ke dagu, lalu leher dan terus turun ke tulang selangka rain yang menurut jave bentuknya selalu saja menggoda, cantik sekali. lelaki itu menjulur lidahnya pelan, menyicip area itu meski ia sudah tentu mulai hafal rasanya karena sudah lumayan sering melakukannya.

rain spontan menggigit bibirnya, lidah jave terasa panas sekali. bahkan lihatlah tangan lelaki itu perlahan sudah masuk mengusuk punggung dari balik kaos oversized yang rain pakai. tangannya terasa hangat, kontras sekali dengan dinginnya ac yang berhembus dalam ruangan.

remasan pelan jave lepas ke kulit halus rain yang baru kali ini bisa ia rasakan secara bebas, perlahan lelaki itu bahkan memberanikan diri untuk menyusupkan jemari di celah-celah pengait bra untuk sekedar menggoda.

“kak jave kamu kenapa suka main disitu..” rain merengek gelisah kala ciuman jave itu naik ke telinganya kembali. lelaki itu menghajarnya dengan banyak jilatan dengan tangan yang juga terus aktif bergerak di area punggung. semangat sekali.

jave tentu tidak mendengar larangan rain yang lain karena kini lidahnya sudah mulai menjajah masuk, sekali lagi menciptakan bunyi-bunyian basah yang dapat meruntuhkan dinding batas kesadaran.

hingga perlahan suara rengekan kecil yang jave suka itu berubah menjadi suara lain yang sangat berhasil membuat bulu tubuhnya merinding sempurna. desahan pelan. pelan sekali bahkan, namun cukup untuk membuat nafsunya meningkat 10 kali lipat.

tangan jave bergerak keluar, ingin menarik kaos rain perlahan agar lepas saja sebab ia sudah sepenuhnya ingin, kesadarannya sudah terlampau dikikis.

“eh, itu memangnya harus dibuka kah kak?” rain mendadak kelabakan, rasa malunya kembali menyergap.

“ya kalo kamu gak mau ya gak usah gak papa rain, take your time.” jave berucap serak, meski terpaksa sekali akibat ia sudah sangat ingin berbuat lebih jauh malam ini. toh, tadi rain memang sudah memberikan ijin secara terbuka. iya, kan?

“err, tapi kamu kepingin.”

“it's okay, we can still play even kamu gak buka baju.”

rain memejamkan mata, di satu sisi ia memang malu sekali, namun di sisi lain ia juga ingin memberikan sesuatu untuk jave. menurutnya apa yang diberikan lelaki itu selama ini pantas dibayar lebih, pun, mereka memang sudah menikah. jadi, apa salahnya?

“kamu kalo mau melepas sambil merem dulu boleh enggak..”

jave meneleng wajah, berusaha tetap 'oke' walau separuh lebih bagian tubuhnya kaku menegang. “jangan kepaksa sayang, aku gak....” ucapannya seketika terhenti akibat..

“atau aku buka sendiri aja?” tangan rain lepas perlahan dari kalungannya di leher jave, lantas menarik halus bajunya sendiri ke atas. gerakannya sangat menggoda di mata jave meski gadis itu tidak berniat demikian. “aku gak papa ini dibuka, maksudnya, memang malu sih, tapi, ya udah.. kamu gak boleh ketawa aja intinya!!!!”

pertanyaannya adalah, siapa pula yang akan tertawa jika disuguhi tubuh indah dengan jiwa polos yang bibirnya sekali terucap tidak bisa berhenti seperti ini? belum lagi posisinya yang masih ada di atas pangkuan, jangankan tertawa, bisa menarik napas saja sudah untung-untungan.

“stop melotot kak jave aku kan tadi suruh kamu memejam!” wajah rain semakin merah padam, ia belum pernah bertindak sejauh ini sebelumnya. dan bukannya menurut, jave makin melongo di posisinya, belum bisa berbuat apapun selain merasa bagian tubuh bawahnya yang semakin menegang sempurna.

jave menggigit atas bibirnya kencang, memejamkan mata meski terlambat dengan pikiran amburadul tidak keruan. jika dulu rain berenang menggunakan baju terbuka ia lebih sering membuang pandangan untuk menghargai privasi, sekarang rain bahkan hanya menyisakan bra hitam saja di depannya. garis bawahi, di depannya, persis.

pemandangan luar biasa yang sangat-sangat sinting akibat begitu menggiurkan.

“dingin ini, apa tujuanmu ingin membuka baju kalo endingnya diam begitu?”

“ssst rain, sebentar.” jave berucap serak sekali, nafsunya kepalang di ubun-ubun.

“apaaaaaa kamu berpikir apa ini gak sesuai harapan kah bentuknya aneh apa gimana kamu ngomong dulu sebentar jangan gigit-gigit bibir itu nanti berdarah.”

jave perlahan membuka mata dan menatap fokus manik rain sambil sesekali menetralkan pikiran.

“aku gak ada punya pikiran bentuk aneh atau gimana. kamu cantik, semuanya yang nempel di kamu itu perfect. jadi udah ya, jangan ngalor ngidul itu nebak pikirannya kejauhan.”

rain menjatuhkan wajah merahnya hilang di pundak jave. sedangkan lelaki itu makin sinting saja akibat rain benar-benar kombinasi 2in1 yang sangat memuaskan. lucu, namun seksi. bagaimana caranya ia mendeskripsikan gadisnya ini lagi?

“aku boleh pegang kamu, gak, rain?”

“KENAPA KAMU IJIN IJIN ITU MEMANG KAN DIBUKA UNTUK KAMU..” suara rain makin nyolot saja meski teredam sebagian di atas kulit jave.

lelaki itu semakin terpaku, tidak sempat berkomentar banyak dan hanya bisa menegak ludah secara kasar. ia menyingkirkan rambut panjang rain yang menutupi punggung itu ke samping sebentar demi melihat secara langsung kulit rain malam ini.

bersih dan putih, tampak terawat sekali. bahkan lelaki itu masih ingat betapa kenyalnya kulit rain yang ia elus tadi hingga dengan kesadaran minim tangannya kembali bergerak meraba lembut. meremasnya gemas di beberapa sudut hingga kulit rain mengecap merah.

jave memundurkan tubuh rain agar lepas dari tempatnya bersembunyi. menyibak rambut gadis itu perlahan sambil menjatuhkan ciuman di bibir. “biar gak malu sendirian kamu mau lepas punyaku?”

“kakak yang itu malah makin bikin maluuuuuuuuu.”

“atau aku lepas sendiri aja?” jave menaikkan sebelah alisnya ketika mengulang kalimat yang sama, lalu melepas cepat kaos putihnya hingga menampakkan tubuh yang... entahlah, susah dijabarkan dengan kalimat karena rain mengaku nyaris pingsan detik ini juga.

“kotakmu bertambah kah itu?”

“aman, masih 6, jantungmu gak akan kenapa-kenapa selama belum berubah jadi 8.”

“bisa jadi 8 betulan kah memang?”

“bisa dong. kamu mau?”

rain menggeleng, pikirannya ikut sinting disuguhi tubuh jave yang menggiurkan tersebut. gadis-gadis di luar sana menyukai jave dengan alasan bagus rupanya. karena selain wajah tampan dengan kepribadian ramah, tubuhnya juga tidak ikut ketinggalan pamor. rain reflek menelan ludah dan membuang pandangan ke televisi. pikirannya melayang dadakan. pipinya semakin panas, bahkan telinganya sudah ikut memerah.

jave menangkap tangan rain pelan, mengarahkannya ke perutnya sendiri. “belum pernah megang secara bener kan?”

“hazzzzzzzzz.” rain makin semangat menoleh hilang tak melihat kala tangannya mendarat di permukaan kulit jave. dulu ia pernah memegang meski hanya sebentar, namun sudah pasti lupa rasanya karena ia memang bukan tergolong gadis yang suka kepo dan menyentuh-nyentuh tubuh lawan jenis sesuka hati. ia adalah rain yang tenang, rain yang tidak hobi berpikiran jorok, dan rain yang..

“KAK JAVEEEEEEEE.” ia spontan berjengit kala jave kembali menjatuhkan cium di pundak putihnya, tangan rain masih tertahan di atas permukaan perut dan sesekali diremat pelan jika jave mendadak gemas bukan main.

nafsu lelaki itu kembali membuncah kala matanya menangkap celah gelap garis dada rain. sinting. sinting sekali. satu sisi ia memang sudah kepalang tanggung, satu sisi ia masih ingin gadisnya tetap menjadi anak kecil yang tak tersentuh. alhasil jave hanya berhenti di pundak dan mengitar area itu lama karena bimbang setengah mati.

tangan rain yang tadi masih dalam cekalan itu perlahan keluar, memberanikan diri untuk meraba sebentar kotak demi kotak milik jave itu demi merasakannya secara detail. bagaimanapun, jave sudah rela berolahraga yang kemungkinan besar dilakukan untuk membuat rain terkesan, jadi mana tega ia mengecewakan niat lelaki itu?

namun, “kak sebentar interupsi satu menit, itu memang keras kah? anu.. err, apa itu namanya..”

“perut?”

“bukan.” rain berjengit, matanya melihat arah lain sedang gerakan tubuhnya menunjuk arah bawah. “itu, maksudku, apa ya.. gimana ngomongnya?”

“oh..” jave mengangguk, makin sinting saja otaknya melihat kepolosan rain saat ini. “itu dia lagi bangun rain. gak usah bingung gak papa memang gitu.”

“iya tapi itu kayak nusuk, maksudku, anu, ya gimana..”

jave terkekeh sebentar sebelum akhirnya ia mulai membalik pelan tubuh rain agar membelakanginya, menciumi punggung gadis itu dengan gerakan pelan dari atas ke bawah. sesekali menggigit kecil, pun menjilatnya memutar di banyak area.

rain semakin kelabakan, tangannya meremat tangan jave yang melingkar di perutnya. napasnya mendadak memburu kala suara lumatan merdu itu terus sahut menyahut di telinganya.

jave memang benar tau cara bermain dengan halus, setidaknya, ia tau cara untuk menahan hasratnya sendiri agar tak begitu mengagetkan rain. bagaimana pun juga, ini masih pertama kalinya. tak perlu terburu-buru, yang penting perasaan mereka sama-sama nyaman ketika melakukan.

tangan jave meraba perut rain pelan, mengusuk di beberapa tempat menimbulkan sensasi hangat akibat kepak sayap kupu-kupu mulai berterbangan liar di dalam sana.

“pake sabun apa sih kamu?” jave bertanya, menelengkan leher rain ke samping karena ia ingin menjamah area itu sekali lagi.

rain sibuk menggigit bibir, toh jave memang tak perlu jawaban, lelaki itu hanya memuji aroma tubuhnya saja dan tidak benar-benar ingin tau produk yang rain kenakan.

gadis itu kian berjengit kala merasa tangan jave naik perlahan dan mendarat di atas gundukan miliknya.

sial. jave menyalurkan gemasnya dengan gigitan kecil di beberapa titik pundak rain. pasalnya benda yang ia pegang itu pas sekali ukurannya. tidak besar, tidak kecil. malah sangat cukup jika nantinya masuk ke mulut...

“ahh sebentar itu tahan dulu, kak.. memang rasanya begitu kah..” rain bergerak gelisah kala remasan kecil jave berikan pada payudara yang masih tertutup bra tersebut. makin sinting lagi gerakan jave ketika ia melirik ekspresi rain di kungkungannya, rautnya seksi sekali.

“emang rasanya kayak apa rain?”

“hmh? ya itu, apa, kayak.. kayak geli, tapi, ahh ya ampunh kak jangan mendadak dikencenginh..”

“enak?”

“aku kaget.”

napas jave semakin berat, isi kepalanya bahkan sudah memerintah untuk menggempur kencang saja detik ini, untung jave masih punya titik waras beberapa persen hingga ia tetap melakukannya secara stabil sambil sesekali berdeham serak.

jave berani bersumpah, rain seksi sekali. ia bahkan tidak pernah tau jika ia akhirnya bisa melihat sisi rain yang seperti sekarang ini.

“rain..”

gadis itu menoleh, apa? begitu maksud tatapannya. namun jave terlena, tatapan rain tak lebih menurutnya hanya tatapan sendu meminta lebih. dengan cepat ia menjatuhkan ciuman di bibir rain yang sudah membengkak bagian bawahnya, meraup dan menghisapnya cepat sampai rain beberapa kali hampir tersedak. tangan jave yang terus meremas di atas miliknya itu makin membuatnya gila.

perlahan rain duduk menyamping, memudahkan ciuman jave agar terus masuk secara leluasa.

desahan kecil yang keluar di tengah ciuman itu membuat tangan jave bergerak tak kenal arah, meremat apapun yang bisa digapai untuk menyalurkan hasrat. terakhir ia memberanikan diri untuk menjentik kaitan bra rain sambil bibirnya terus bekerja.

dan karena belum berpengalaman membuka kaitan bra gadis manapun, jave gagal di detik-detik penentuan hingga ia melepas ciumannya kesal.

“itu gimana cara bukanya sih rain?”

rain mengatur napas, belum menjawab, dan sialnya dada rain yang naik turun dengan rambut berantakan makin membuat jave kalang kabut.

“stop, sebentar, sebentar kak.. tahan. napas dulu, kamu kayaknya udah lost control. napas sebentar.” rain mencegah jave yang ingin menidurkan tubuhnya sebab ingin bermain dari atas.

jave terpaksa mengangguk, menggigit bibir bawahnya tidak sabar hingga ia melihat sendiri rain berbalik membelakanginya, menyingkirkan rambut ke samping. “ini melepasnya itu, cuma ditarik begini loh, kak jave.” gadis itu berucap patah-patah sambil tangannya bergerak melepas kaitan bra dengan gerakan canggung. “nah kan, lepas.”

jave termangu, semakin stress melihat gadisnya berbuat demikian. “kamu jangan godain aku rain, ini udah gak nahan.”

“ya aku enggak menyuruh kamu nahan.. lepas aja, kalo memang mau ya silakan, kan udah dibilang, gak papa..”

jave langsung bergerak mendekat, menaikkan gadis itu ke atas pangkuannya kembali, dan sepersekian detik pantat gadis itu mendarat di atas miliknya yang sudah kaku, geraman berat jave otomatis keluar.

“eh kenapa? aku berbuat apa?” rain menoleh, sedikit banyak terkejut mendengar suara berat jave yang lepas tepat di dekat telinganya.

“gara-gara kamu.” jave membalas, mengerut dahi sebentar karena merasa miliknya yang semakin memaksa keluar di bawah sana.

“aku enggak berbuat apapun.. kamu yang naikin aku.”

jave tak membalas komenan rain lagi dan tangannya langsung bekerja, ia sudah tidak tahan. sudah cukup permulaan mereka sejak tadi, ia akan mengajak rain menuju kenikmatan hari pertama yang tak akan pernah dilupakan.

napas rain mendadak tercekat kala jemari jave menarik lepas bra yang tadi masih menggantung di pundaknya, meraba sebentar beberapa titik kulitnya hingga jave memberanikan diri untuk mendaratkan tangannya ke atas payudara polos rain yang sudah disuguhkan tersebut.

kesan pertama adalah, kenyal. sudah seperti jeli versi seksi menurut jave. kesan kedua adalah ukurannya ternyata benar pas dalam genggaman, lebih sedikit malah. jave sampai menegak ludah berulang kali di detik-detik pertama.

keluh pelan rain terdengar merdu, gadis itu bergerak gelisah kala remasan jave mulai bergerak dengan ritme teratur. beberapa kali jemarinya memainkan puting dan menjapitnya pelan, membuat napas rain makin memburu dihimpit tegang.

“enak rain?”

“bisah, diem, enggak?”

“kalo mau keluarin suara gak papa keluarin aja, jangan ditahan.” jave berbisik, menjatuhkan tubuh rain agar tertidur saja hingga ia bisa puas melihat keajaiban dunia satu-satunya yang bisa ia nikmati keseluruhannya.

“aku malu..” rain menutup wajah merahnya kala melihat jave tak henti-hentinya memandang. lelaki itu bahkan tidak berkomentar dan hanya sibuk menjilat bagian bawah bibirnya sendiri yang seketika kering.

tangan jave bergerak, menarik tangan rain yang menutup wajah dan membawanya ke atas kepala.

“kamu suka sekap-sekap tangan orang kenapa sih?” rain makin tegang saja detik ini, tak bisa menyembunyikan wajah merah tomatnya yang sudah 100% menahan malu.

“wajah cantik gak perlu ditutupin, kalo malu kamu merem aja, oke? meski aku gak ngerti kamu malunya kenapa karena kamu.. wah, gimana aku ngomongnya?”

rain tidak fokus mendengar dan langsung memejamkan mata. tak ingin melihat raut jave yang juga sudah merah padam sambil terus menatap ke arah tubuhnya.

jave menjatuhkan ciumannya kembali di bibir untuk menenangkan sebentar, lalu turun ke dagu, leher, pundak dan akhirnya berhenti tepat di atas payudara rain. lelaki itu mendongak, mengelus tangan rain yang masih ia kunci di atas kepala itu sebentar sebelum akhirnya ia membuka bibir, mulai menyicip area baru yang akhirnya bisa ia coba hari ini.

enak. gila sekali sensasinya, jave sampai menahan kaki rain dengan kakinya sendiri agar tidak menggelinjang kabur.

“mh, kak.. itu kamu, apainh.....” rain frustasi mendadak, wajahnya makin merah dan sialnya tak bisa berbuat apapun lagi karena ia terkunci di segala sisi.

jave sudah tentu tuli detik ini, setiap suara yang keluar dari rain hanya bagai perintah untuk melakukan lebih. lelaki itu meremas sisi satunya dengan tangan yang bebas, sedang sisi satunya lagi sudah basah sekali akibat ia kulum sejak tadi. tak henti-hentinya ia menjulur lidah untuk memutari area dan memberikan banyak gigitan pada ujungnya yang sudah mengeras, sentuhan terakhir ia jatuhkan dengan menyedot kencang hingga rain hampir mengeluarkan teriakan keras saking gelinya.

jave mengusap bibir, melepas tangan rain agar bisa bebas dan langsung menjatuhkan bibirnya ke sisi satunya yang masih belum ia cicip.

sinting, rain otomatis meremat rambut jave. geli sekali rasanya, dan sekarang ia bahkan sudah merasa ada cairan keluar di area bawahnya, entah, ia sendiri tidak sempat berpikir dan hanya fokus untuk tidak menendang jave saja karena, lihatlah.. lelaki itu terus menggigit dan menghisap payudaranya bagai memakan permen lolipop.

desahan demi desahan menguar kecil karena rain sudah lelah mengeluarkan protesan yang sama sekali tidak digubris. namun rasanya semakin dalam hisapan jave juga semakin terasa nikmat, entahlah, rain sendiri juga tak sadar kala tangannya bergerak menekan tangan jave agar mau memainkannya sedikit kuat.

jave mendongak, menciumi bibir rain kembali sambil tangannya perlahan meraba ke bawah. mengusap area sensitif yang ternyata sudah basah itu sambil sesekali menekannya pelan sebagai bentuk sapaan.

“ahh, kak..” rain risau sekali, berbeda dengan jave yang semakin bersemangat di atasnya, semua tangan dan bibirnya bekerja tak kenal wilayah. bahkan lelaki itu kini sudah turun mendekati ujung kaki rain. pergi dari posisinya yang tadi masih menindih.

“kamu nelen magnet rasanya rain.”

“maksudnya?”

“ini aku kayak gak mau lepas semua dari kamu. liat, kakimu aja lucu.” jave menunjuk jemari kaki rain yang kecil itu sambil perlahan mengangkatnya.

“kamu gak papa kah? itu kaki norm.. hhh.. kak javeeeeeee.” rain hampir benar-benar menendang jave ketika ujung jari kakinya dilumat perlahan. rasanya benar-benar basah dan menggelikan. efeknya luar biasa sekali hingga rain kini hanya bisa kembali menutup wajah karena jilatan jave semakin lama semakin naik.

jilatannya memutar lama seakan tidak ingin melewatkan apapun di hari pertamanya, sesekali menghisap, sesekali menggigit. rain seksi sekali. setiap jengkalnya yang lucu itu tampak menggiurkan 100 kali lipat malam ini. mengundang hasrat jave untuk terus berbuat lebih dan lebih.

jilatan lelaki itu berhenti, tangannya mengelus pangkal paha rain dengan gerak halus. meremasnya di beberapa sisi hingga ia memberanikan diri lagi untuk menyentuh bagian sensitif tersebut dari luar celana pendek hitam yang rain kenakan.

“ini basah rain.” jave terkekeh pelan dengan suara serak. “kamu ngompol ya?”

rain menggeleng, tak bisa bersuara karena jemari jave mulai menekan-nekan beberapa titiknya. sesekali tekanan jarinya meruntut garis dari atas ke bawah, menikmati ekspresi rain yang makin kelabakan menahan suara nikmat.

“tambah basah kamu betul kebelet pipis ya?” jave masih menggoda, meski hasratnya untuk menarik lepas celana ini sudah besar sekali.

*“engh, enggakh.. itu, gak tau, dari tadi, kayak ada.. ahhh, kak jave please jangan disitu.. yang itu gak nahan, kayak, aneh.. please banget aku enggak kuat kayak pengen teriak-teriak tolong jangan diteken sumpah geli banget betulan. aku merinding, liathhh, mmh..” gadis itu tak melanjutkan omongan tersengalnya kala bibir jave perlahan kembali naik ke atas dan membungkamnya dengan ciuman kasar. melilit lidahnya beberapa kali sambil terus melancarkan aksi di bawah sana.

desahan rain sedikit keras sekarang, menguar di tengah ciuman dan sangat berhasil membuat nafsu jave terus terkumpul di ubun-ubun.

ia sendiri khawatir nanti akan pecah dan bisa menggempur tanpa ampun jika dibiarkan terus-terusan. sebagai bentuk pelepasan pertama lelaki itu keluarkan dengan menghisap kuat isi mulut rain, meraupnya kasar sampai rain benar kelimpungan sekali bagaimana cara membalasnya. terbatuk sekali dua kali ketika ciuman jave akhirnya lepas.

“boleh aku buka?” jave meminta ijin sebentar, menunjuk celana rain. gadis itu menutup wajahnya dengan bantal, menggumam tak jelas antara iya dan tidak.

“gak denger aku sayang, kamu bolehin gak?” jave menarik bantal dan menyingkirkannya ke samping. “kalo gak boleh lepas yang itu then we should stop here. gak papa, kita gak keburu, kita punya banyak waktu.”

“aku gak papa, but she's not pretty.. aku malu banget.”

“i'm sure she is as pretty as you.”

“how did you know?”

jave menaikkan alis, “wanna bet? aku berani kasih semua ke kamu.”

rain memejamkan mata ketika akhirnya mengangguk memberi ijin. “jangan paksa aku melek, aku malu banget.” ujarnya, menarik bantal kembali ke atas wajah.

“lucu banget.” jave gemas sekali dan hampir lupa untuk melancarkan aksi ketika rain memeluk bantal dan hilang di baliknya.

“makasih, tapi aku enggak lucu.... aku sudah besar.” masih sempat pula gadis itu menanggapi.

jave mengangguk, tak berkomentar lagi ketika tangannya yang mendadak gemetar itu menarik celana rain turun. tak tanggung-tanggung, langsung dengan dalamannya.

sial. benar-benar sial sekali dunia dan isinya karena yang merasa paling beruntung malam ini hanyalah jave seorang. lihatlah, dimana letak jelek yang rain maksud? seluruh sudut dan lekuk tubuhnya terpampang polos di hadapan jave dan tak ada tanda-tanda negatif disana kecuali mungkin bercak merah bekas digigit nyamuk tadi siang. tapi, siapa yang peduli oleh gigitan nyamuk?

“wah..” jave masih menahan diri di menit-menit pertama guna mengawasi tubuh rain dengan seksama. elok sekali. perlahan jave menarik bantal yang menutupi wajah rain dan mengelus pipinya halus. panas sekali pipi rain, sepertinya benar-benar sudah hampir meledak.

“why? she's not pretty? gak sesuai ekspetasi kah?”

“aku gak pernah berekspetasi ya ampun..” jave gemas sekali, “kenapa suka insecure sih?”

“karna kadang ngerasa gak pantes aja, maksudku ya, insecure gimana hilangnya ya udah begini terus muter di... hhhhhh tanganmu kak..” rain menggigit bibirnya kencang ketika jemari jave mengelus bagian bawahnya tanpa permisi lagi.

basah.

super basah.

dan

lengket.

setidaknya rain betul merawat tubuhnya dengan baik, bahkan bagian bawahnya benar polos karena tidak ada jenis rambut menempel disana meski sehelai.

cantik sekali.

jave menciumi leher rain dan menyedotnya berulang kali, sedang jemarinya terus mengusap dan menggesek area sensitif itu perlahan agar tidak mengagetkan.

“ahhh, kak jave jarinya jangan kesitu.” rain menahan tangan jave yang masih bergerak aktif, namun bukannya berhenti jave malah semakin semangat.

rain seksi, sudah dibilang gadis itu seksi sekali. tangannya yang kecil itu masih mencekali tangan jave hingga dadanya ikut bergoyang meski posisinya terlentang.

sinting.

“desah aja kalo mau, gak usah ditahan-tahan, disini gak ada orang.” jave berbisik, menggoda klit rain dengan ibu jari sedangkan jari tengahnya perlahan menyusup masuk ke lubang tanpa permisi lagi.

rain benar mendesah, matanya memejam nikmat sambil sesekali bergerak gelisah, gadis itu hendak kabur saking enaknya.

jari jave bergerak dengan ritme dipercepat ketika rain mencium bibirnya penuh hasrat, urat gadis itu bahkan sudah menyembul sebab ingin melakukan pelepasan pertama. terbukti juga dari ciumannya yang sudah lepas dan wajah yang kian memerah.

jave melepas tangannya cepat, tidak membiarkan rain meledakkan cairannya secara cuma-cuma.

“kenapa?” rain bertanya sayu, wajahnya frustasi sekali akibat ditunda.

“i'll make you out babe, but not with this finger.” jave menjawab, bergerak pindah mendekati tubuh bagian bawah rain.

“kamu mau pake apa maksudnya please jangan gila.”

jave menelan ludah, “with this.” ujarnya singkat, mendekatkan lidah ke arah area sensitif rain dan menjilatnya dari bawah ke atas. lelaki itu menekannya kuat dengan ritme teratur, membuat desahan rain terdengar makin lama makin kencang disertai rematan keras di kepalanya. jave menyecap segala cairan yang mengerumun dan menelannya cuma-cuma, menyedot klitnya tanpa ampun hingga rain menggelinjang. jave reflek mencekali pinggulnya agar rain tidak banyak bergerak.

“ahh, kak..”

“hmh?”

“maaf berisikh, tapi, tapi itu.. ahhhh..” suara rain makin tak keruan saja karena jave kembali menyusupkan jari dengan lidah yang terus bekerja. lelaki itu gila sekali jika sudah bernafsu.

rain melihat ke bawah, pergerakan jave itu seksi sekali di matanya, dengan atasan yang sudah tanggal sejak tadi dan pelipisnya yang berkeringat menahan gejolak.

tangan kekarnya yang masih memegang pinggul rain erat dan suara-suara sedotan basah yang menguar keras makin membuat atmosfer di sekitar mereka hidup, rain bahkan sudah menekan kepala jave ketika pelepasan pertamanya keluar begitu saja, meledak dalam mulut jave dan ditelan hilang bagai menyeruput air putih tanpa ada rasa jijik dan sebangsanya.

jave bangkit duduk, mengusap bibirnya dengan ibu jari sebentar. rain telentang pasrah akibat ledakan pertamanya terasa luar biasa. napasnya tak beraturan dan matanya masih memejam.

“she's peeing, rain.” jave terkekeh.

“kenapa kamu main pake bibir, itu aneh banget mana pake acara kamu telen.....”

“manis, enak.”

rain masih tidak fokus karena bagian bawahnya masih berkedut, rasanya benar aneh sekali.

“enak?”

rain mengangguk jujur. telinganya memerah sepersekian detik.

“jago kan aku?”

“iya, belajar dari apa?” rain membuka mata dan ikut bangkit duduk, kini gadis itu berinisiatif untuk duduk di pangkuan jave tanpa disuruh.

jave reflek melenguh ketika kepala milik pusakanya yang tertutup celana itu menempel dengan bagian bawah rain yang polos tak mengenakan sehelai benangpun.

“otodidak, rain..” jawabnya setelah menetralkan napas.

gadis itu mendengus, menata sebentar rambutnya kala bibirnya jatuh di atas bibir jave. menekan kuat sebagai bentuk balasan sudah memberikan surga untuknya barusan.

jave tersenyum dalam kegiatannya, membalas ciuman rain mengikuti iramanya yang selalu tenang dan kalem seraya mengelus pinggulnya lama, menyalurkan hangat karena ia merasa tubuh rain merinding di beberapa titik terkena sapuan angin ac.

ciuman rain turun, bukan ke dagu, bukan juga ke leher ataupun tulang selangka, namun..

“goshh..” jave menggumam berat ketika bibir rain mengecup dadanya, memutar lidah di area putingnya sebentar sebelum mulai berani untuk memberikan gigitan kecil disana.

gadis itu belajar banyak, penyerapan ilmunya dalam sejam terakhir cepat sekali.

tangan rain bahkan sudah mendorong jave agar menyender saja di kepala dipan, atau tepatnya agar ia bisa menyerang balik dengan leluasa.

“kak maaf kalo terlihat bodoh atau agresif, kalo ada salah nanti tarik aja rambutnya biar ngerti. oke?”

jave mengangguk cepat, tak sabar merasakan hal baru yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan.

gadis itu memejam mata sebentar demi meyakinkan diri, ia lantas bergerak mendekat dan kembali menjatuhkan ciuman di tempat yang sama. mengulum putingnya lama seraya tangannya terus meraba turun. bertumpu pada paha jave yang sama saja kerasnya. rain heran, sejujurnya apa ada lemak di tubuh jave?

“ah rain, pelan-pelan kalo narik itu kamu kayak gigit apaan sih, ahhh.. astaga......” jave sampai mendongak antara nikmat dan perih karena rain menggit cukup keras. sepertinya gemas, atau, entahlah, jave juga tidak mengerti.

rain meminta maaf sebagai balasan, bukan pada jave, tapi pada objek yang tadi berhasil digigitnya kencang. “maaf maaf, kamu lucu sih. anuuu maksudnya aku bukan mau jorok tapi itu memang lucu kayak kecil gitu kan aku gemas, tapi.. AH SUDAHLAH..” wajah rain jadi makin merah saja.

jave hampir meledakkan tawa untuk menanggapi permintaan maaf rain ketika gadis itu mendadak saja menyenggol bagian bawahnya yang keras. iya, tiba-tiba, tanpa ada angin basa-basi terlebih dahulu.

jave reflek melenguh berat, menatap mata rain yang kini ikut melongo dan bergidik ketika berhasil bertatapan.

“itu apa.. enggak maksudnya bukan aku gak pernah belajar biologi atau aku polos yang gak ngerti itu apa, tapi maksudnya kenapa bisa begitu.. dari tadi pas aku duduk itu kayak nyodok aku bingung banget. akhirnya kesenggol gak sengaja aku mau pindah tangan ke sebelah itu pas dia rada dongak.”

gosh.. bisakah gadis itu tidak selucu itu? lihatlah, ini bahkan kondisinya sudah hampir klimaks namun ada saja tingkah rain yang membuat jave semakin sayang dan tak ingin menghilangkan jiwa baby yang rain punya.

“gara-gara kamu intinya.”

“wah... ini boleh disentuh kah?”

“coba.”

rain ragu, namun penasaran juga. dan akhirnya, “wahhhh..”

“wah apa sih dari tadi wah wah terus? gak usah dipegangin doang itu sayang mana kayak megang mouse aja gayamu.”

“eh lah gimana..”

“ya apa kek, disapa dulu kayak hi cutie atau apa gitu..”

“ini memang betul cute kah?”

“liat aja.”

“kak jave jangan gituuuu...” rain malah malu sendiri.

“ya abis.. pegang aja, begini.” jave memegangi tangan rain, lalu mengarahkannya dengan benar. “nah, kalo udah gitu diteken dik.. DIKIT AJA NEKENNYA SAYANG ASTAGA..”

“eh eh kekencengan kah?”

“gakkkkkkk..”

“maaf maaf, sekali lagi ini betulan.”

jave sangsi, menahan pergelangan tangan rain. “pelan aja, pelan-pelan, kayak kamu kalo ngelus rara..”

“aku kalo sama rara kepengen nyekek soalnya dia nakal.”

“ya ampun rain terus aku kasih ibarat apa sayang..”

“lala aja lala, sini bentar tapi ini gendut gak?”

“gak, tapi keker.”

“IH JOROK IH.”

“lah fakta kok, buka aja..”

rain malah memejamkan mata.

“diajak ngomong kok malu terusssss. kamu nih diem-diem pikirannya ikut jorok.” jave mencibir, melepas tangan rain agar gadis itu bisa berbuat sendiri.

“ih enggak pikiranku gak separah kamu.” rain mendengus ketika pikirannya kembali jatuh, ia lantas kembali meletakkan fokus pada benda milik jave yang masih tertutup celana tersebut. “jadi ini namanya apa? kamu mau dipanggil apa adik?”

“jani aja.”

“anjani?”

“jave mini.”

“IHHHHHHH..” rain geregetan dengan jawaban jave yang menurutnya absurd tersebut, namun sepersekian detik kemudian ia menurut saja. “oke jani, kamu aku pegang bentar ya..” rain menyapa, menepuk pelan seperti sedang menepuk kepala anjing ketika sedang lucu-lucunya.

jave meringis, antara gemas tidak tahan, pun nikmat merasakan sentuhan lagi. tangan rain bahkan kini sudah meremas lembut sesuai arahan. tidak sekaku sebelumnya, atau setidaknya gadis itu sudah berusaha agar lemas menikmati permainan.

“omong-omong ini bukan mini tapi maxi. gak muat, eh muat sih, tapi kayak gak muat maksudnya gak ada unsur mini gitu dalam genggaman. kak maaf cerewet ini seperti pengalihan isu aja biar gak grogi. tuh kan.. IH KAK KOK BISA BEGITU???”

“cerewet rain.”

“kak dia kayak.. wah... muat kah celananya astaga kasian, eh..” rain jadi tidak fokus bermain karena milik jave bangun sempurna. antara seram dan takjub juga melihatnya.

jave semakin menggigit bibir ketika rain mengurut miliknya dari balik celana, tangannya yang kecil dan putih kontras sekali dengan celana hitamnya.

“mau liat gak?”

“aku gak mau.”

“whyyyyyy..” jave spontan frustasi.

“ih takut liat aja itu dia udah kayak marah, nanti kalo udah keluar makin marah gimana?”

“kalo gak dikeluarin ya makin marah itu sempit betulan.”

rain menimbang, “aku takut, maksudnya aku grogi, kamu mau keluarin sendiri aja enggak..”

jave berdecak, menarik tangan rain mendekat dan mengarahkannya ke celana. “tinggal tarik begini loh.”

“AAAAAAAAAAAAAA.”

“heh apa sih ini kamu kayak korban mutilasi.”

“bilang dulu jangan main diarah-arahin itu tadi tersenggol. KAKAK AKU MALU BANGET MAAF AKU GAK BISA MELIHAT.” wajah rain betul merah padam kali ini, gadis itu memejam erat sambil membuang pandang ke samping.

padahal, jave masih melepas luarannya saja. dalamannya masih menempel disana.

“apa sih? gak ada apa-apa.”

“ih sama aja itu malu.”

“yang harusnya malu aku gak sih?” jave kebingungan setengah gemas.

“aku juga malu.”

“gak usah malu, siniin cepet gak mau kenalan sama jani apa?”

“gak usah sok imut itu bukan jani itu jaxi kak betulan gak ada mininya.” rain protes, masih belum menoleh.

“ya udah kenalan sama jaxi sini dah, masa kamu mau buang muka terus.”

rain menghela napas, tidak menoleh, namun tangannya bergerak mendekat. memegang jaxi yang sudah sepenuhnya tegang karena tersentuh lagi.

jave menutup mata dan mendongak, mengarahkan tangan rain agar bergerak kembali.

“memang itu rasanya kayak apa kak?” rain menoleh, menatap ekspresi jave.

“nanya?”

“iya lah ini bertanya.”

“enak.”

“geli?”

“gak bisa jelasin, tapi.. ahh rainh.. ya gitu, ngurutnya pake perasaan.” jave memuji, menurunkan pandang kembali demi melihat jemari kecil rain yang sibuk memuaskan.

jave terus melenguh, lenguhannya kian tak terarah ketika rain menyusupkan jemarinya masuk ke dalam.

jave melotot, rain juga melotot.

“panas kak..”

“goshhhhhh..” jave tak tahan lagi, mencium bibir rain cepat agar tidak bersuara kembali sambil melucuti celananya turun.

keduanya benar tak memakai sehelai benangpun sekarang, membiarkan suara televisi yang kini berdengung akibat keduanya hanya fokus satu sama lain saja. sibuk meladeni dan menggempur karena sejak tadi nafsunya belum tersalur dengan benar.

tangan jave perlahan mencekali tangan rain, menuntunnya mendekat ke arah pusakanya sembari terus memberikan ciuman. sebab ia tau ia tidak akan bisa fokus jika rain terus berkomentar lucu nantinya.

rain terkejut, tersentak pelan dalam selingan ciuman mereka. sedang jave semakin kasar saja meraup bibir rain karena gerakan tangan gadis itu mulai terarah secara mandiri. mengurut pelan kepalanya hingga mengocok atas bawah.

nikmat sekali.

jave melepas ciumannya demi melepas suara berat ketika rain mendadak mendekatkan bibir ke telinga jave. ia penasaran kenapa lelaki itu suka sekali bermain disana, setidaknya ia ingin mencicipnya sebentar saja.

gadis itu meniup pelan, mengecup daun telinganya sebagai sapaan. mulai menjulurkan lidahnya memutar dan mengulum telinga tersebut dengan gerakan kaku. namun sekaku-kakunya gerakan rain tersebut tetap saja membuat jave bernafsu.

dengan pasti ia berucap serak, menyuruh rain menaikkan tempo gerakan tangannya. gadis itu menurut saja, suruhan jave terdengar begitu merdu sekali hingga tak sadar ia mulai menghisap belakang telinga jave kuat dan terus turun ke lehernya. gila sekali hisapannya barusan.

laki-laki itu reflek menahan kuat cairannya agar tak meledak, ia lantas menarik rain pelan dan menjatuhkan tubuh itu agar telentang saja di bawahnya.

“udah gak tahan, foreplaynya udahan ya?”

rain tak menjawab, karena merasa canggung tentu saja.

jave mengecup pelipis gadisnya lama, lantas membisikkan kalimat penenang tepat di samping telinga. “kalo sakit kamu gebuk aku gak papa, cakar aja atau apa terserah. oke?”

rain gelisah seketika, namun, “oke, nanti kamu aku jambak aja.” ia balas bergurau demi mengurangi tegang.

“boleh. kamu tarik kenceng juga aku gak keberatan.” jave menjawab, tangannya bergerak melebarkan kaki rain sebentar. “liat mataku aja rain, jangan liat ke bawah.”

“okay.......”

“sini tangannya.” jave mempersilakan rain mengalungkan tangan di lehernya.

“sekarang liat aku.” ia menyambung dan mengunci tatapan dengan manik rain ketika perlahan ia menggesek miliknya di pintu milik rain demi menyapa, membuat rain menggigit bibir bawahnya karena geli sekali.

“jangan liat ke bawah, oke?” jave mengecup bibir rain sekali. tak bermain terlalu lama lagi dan segera memasukkan miliknya perlahan ke milik rain.

sempit. sudah tentu lubang itu sempit sekali karena tak pernah dilintasi benda apapun.

rain hampir berteriak ketika jave mendadak menyumpal bibirnya dengan pagutan ringan.

dorongan miliknya di bawah terus berusaha masuk, masih seperempat mungkin, namun rasanya sudah nikmat sekali menurut jave.

lelaki itu berulang kali mengelus pipi rain dan masih menciumnya lembut ketika terus mendesak masuk.

“ahhh..”

“sakit?”

“gak muat, segitu aja.”

“itu bahkan belum separuh rain.” jave menjelaskan, masih mengunci mata rain agar tak menoleh ke arahnya yang melakukan penetrasi.

“itu nanti, sobek... ahh kak pelan aja please..”

jave menggeram berat, terus melesak masuk hingga akhirnya berhasil masuk setengah, wajahnya memerah sempurna. “demi apapun sempit rainh..”

“punyamu aneh, kayak, ahhh kak sumpah pelan-pelanh...”

“udah pelan sayang.” jave sibuk menahan napas.

“enggakh itu kamu dorongnya kecepetan.”

jave menggeleng, menenggelamkan wajahnya yang memerah itu ke ceruk leher rain. “maaf ya rain, kamu boleh siksa aku abis ini.” jave berbisik, mendorong kembali miliknya yang memang sudah hampir sepenuhnya masuk itu dalam sekali sentak hingga akhirnya pertahanan rain runtuh sudah.

milik jave sepenuhnya tenggelam ke dalam milik rain dengan kondisi rain yang tegang kesakitan di bawahnya.

gadisnya tidak berteriak, pun tidak mengomel. sebagai gantinya sebulir air mata lepas begitu saja. sakit sekali dan rasanya begitu aneh karena ada benda asing yang berani menerobos di dalam miliknya.

jave reflek meminta maaf. rain bahkan tidak sempat menjambaknya tadi, hanya mampu meremat rambut saking cepatnya gerakan jave di bawah sana.

jave lekas mencium rain untuk sedikit mengobati rasa anehnya. mengusap air matanya cepat dan terus berucap maaf maaf tiada henti.

“itu sakit.” keluhnya, masih tidak berani bergerak. saking perihnya bibir rain sampai terkunci tak bisa berkata-kata lebih banyak lagi. tetesan air matanya bahkan masih melumer keluar.

“maaf sayang.” jave mendaratkan kecupan panjang di dahi dan banyak tempat lainnya dengan tangan yang terus mengusap pipi rain lembut. menghapus air mata rain dan mengabaikan kedutan nikmat di bawah sana akibat sudah terjepit sempurna.

jave masih membiarkan rain relax beberapa saat, memberikan rasa tenang dengan terus menciumi wajah dan bibirnya lembut.

“masih sakit?”

“masih, tapi udah gak papa, kamu mau gerak kah?”

“kalo sakit biar gitu dulu gak papa rain.”

“gerak aja, tapi pelan-pelan.”

jave reflek mencium bibir rain lagi, rasa sayangnya melimpah ruah, dan ia benar menggerakkan miliknya secara perlahan, tak ingin menyiksa rain lagi setelah tadi sudah kesakitan akibat pertahanannya ditembus paksa.

lelaki itu melenguh berat di setiap gerakannya, merasa tiap cengkraman dinding kuat rain yang meremat-remat miliknya kencang di bawah sana.

“wajahmu merah banget kak.”

“mabuk kamu.”

rain sendiri sudah tidak fokus lagi karena kini sibuk menikmati tiap tusukan yang diberikan jave.

rasanya.. bagaimana ia mendeskripsikan hal ini?

“ahh astagah...” rain mendesah kencang kala jave meraup payudaranya dari atas. pergerakan lelaki itu yang masih menggempur dengan ritme pelan membuat napas rain tersengal dimakan nafsu.

“kak jave..”

“ya sayang..”

“enak?”

“banget.”

rain mengangguk, mengakui jawaban jave barusan. gadis itu lantas memejam mata dan tak sadar terus mengeluarkan desahan enak yang membuat jave makin semangat menggempur.

“kak jave boleh dicepetin enggakh..”

“beg me.”

“gak jago begituan tapi please betulan cepetin dikit kak.”

“kamu mau pipis?”

“hmh..”

jave mengalah, menusukkan cepat miliknya pada milik rain hingga akhirnya rain menarik wajah jave mendekat dan mencium bibirnya karena berhasil meledak untuk kedua kali.

“pinter..” jave memuji, mendaratkan kecupan di pelipis rain. ia sendiri masih belum lepas sejak tadi karena masih ingin bermain.

“ayo sekarang kamu..”

jave mengangguk. “mau coba kamu di atas?”

“aku takut nanti gak jago..”

“bisa, yuk sini.” jave membantu rain bangkit untuk berpindah posisi.

jave menyenderkan punggungnya di kepala dipan, “bisa gak masukinnya?”

“nanti sakit lagi..”

“pelan-pelan sini duduk dulu.” jave membantu mengarahkan miliknya agar bisa pas dan perlahan menyuruh rain untuk duduk di pangkuannya.

“ahh ya ampunh...” rain mendesah kecil, dari posisi ini rasanya berbeda lagi rupanya. makin aneh karena kini ia yang harus bermain dengan isi kepala kosong tak mengerti bagaimana harus bergerak.

“diapain kak..”

“terserah, cari aja posisi enakmu. aku belakangan gak papa rain.”

“eh..” rain menggigit bibirnya, perlahan menurut dan menggerakkan sedikit pinggulnya memutar.

“gosh rainy.. you're so fuckin hot on me.” jave meremat pantat rain gemas dan membantunya bergerak maju mundur.

desahan berat kembali menguar bersahutan. rain yang tadinya masih ikut arahan mulai berani bergerak sendiri. “enak kak?” tanyanya memastikan.

“apapun yang sama kamu itu enak.” jave menjawab ala kadarnya, fokus memejamkan mata karena kenikmatannya tidak terkalahkan lagi.

rain sangat menggiurkan ketika bergerak malu-malu di atasnya, meski gerakannya tak teratur sama sekali menurut jave masih saja nikmat.

rain bercekalan pada pundak jave, beberapa kali kedapatan mengomel sambil mengelukan namanya.

*“kak jave itu ada anak kecil dia gak seharusnya menonton kita yang 21 plus ini, ahh kak.. jangan dipegang-pegang terus itu biarin ajah jarimu usil bangethh..” rain merengek ketika jempol jave mengusap klitnya cepat, memberikan kenikmatan terus padanya meski jave sejak tadi belum terpuaskan.

“anak kecil siapa?”

“itu di tv. dia masih bayi malah.” rain menjawab setengah tersengal.

“ya ampun..”

“diem kak.”

“kamu yang berisik kok aku yang disalahin...”

“mmhh..”

“capek rain?”

“enggak, kamu belum keluar, capeknya nanti aja.”

“sini kalo capek gantian.”

rain akhirnya mengangguk setuju, “ya udah boleh.”

“yeeee.” jave reflek mencibir, menggigit pipi rain gemas. “katanya gak capek tapi mau gantian.”

“ya kan biar kamu seneng aja.”

“ini seneng kok, apa ajaaa. apa aja sama kamu aku seneng.” jave menyeringai sebentar, membalik tubuh rain agar kembali telentang saja. sebenarnya ada banyak posisi yang diinginkan jave, namun mengingat ini masih hari pertama dan rain butuh penyesuaian lebih baik ia saja yang bergerak aktif. toh mau apapun posisinya tetap tak mengurangi nikmat.

“pelan-pelan kak..” rain mengingatkan sebelum jave bergerak di atasnya.

“siap sayang.”

meski tentu setelah jawaban itu pikirannya justru makin kalang kabut kembali. nafsunya yang tadi tertahan lama itu menguar lepas secara perlahan ketika desahan rain yang terus menyebut namanya itu terlepas berulang kali.

jave menggeram nikmat, mempercepat tempo sambil menghentakkan miliknya melesak hingga ke titik terujung berulang kali kala merasa dinding rain berkedut lagi.

“bareng aku rainh..”

“gak bisa, gak kuath kak..”

“bentar lagi, tahan.”

rain menggigit bibirnya kuat, benar menahan sesuai arahan.

“aku keluarin di dalem ya?”

“ya memang mau dimana lagi?”

jave mengangguk, mereka memang sudah sempat membicarakan perihal anak dan sebangsanya, umur mereka sudah pas untuk memiliki anak pertama tahun depan.

“oke, barengh rain, sebentar lagi.”

“kamu lamaaa.” rain mengeluh, terus mendesah tanpa sadar karena gempuran jave makin tak keruan. sinting sekali rasanya.

“sekarang babe.”

jave melenguh kuat ketika akhirnya cairan itu meledak, meluncur deras ke dinding rahim bersamaan dengan cairan rain yang juga melumer pada akhirnya.

“itu anget, maaf, bukannya ceplas-ceplos, aku cuma mau review sebentar.”

jave menetralkan napas, tersenyum penuh penghargaan. menciumi bibir rain lama sekali dengan halus.

“makasih.” ujarnya, menjatuhkan pelukan rapat dari atas.

rain menggeleng, jave tak perlu berterima kasih.

“aku gak peduli gender, kalo kamu?” jave berucap random, membahas calon anak yang bahkan masih baru saja diciptakan.

“sama.” rain tertawa, mengelus rambut jave.

“i love you rain. gak berkurang.”

“so do i?”

“kok tanda tanya sih nadanya.”

“hahahahaha.”

“maafin tadi sakit.”

“gak papa. memang udah tau sih kalo bakal begitu, tapi tadi kaget perih gitu.”

“iya maaf.. sini jambak aku sekarang bol.. AH HEI BERCANDA KOK BENERAN SIH.”

“HAHAHAHAHAHA ALAY KAMU PELAN DOANG KOK.”

jave mendengus mengusel ceruk leher rain. “aku ngantuk, tapi harus mandi dulu. keringetan.”

“ya udah sana buruan pergi, cabut punyamu itu buruan keburu nanti ketiduran betulan ini gak lucu banget.”

“hahahahahaha iya juga belum dicabut.”

“kak gak usah ngomongin itu seakan itu cas-casan.”

“kamu chargerku.”

“ahhhh sudahlah oldman..” rain menggerutu.

“tapi kamu sayang aku kan rain..”

“gak.”

“oh gitu????” jave menarik pelukannya, memicing alis.

“bercanda kak, ahh.. STOP. AKU GAK MAU LAGI. JANGAN DIGERAK-GERAKIN.”

“dia bangun sendiri.”

rain seketika frustasi. malam ini, sepertinya akan menjadi malam panjang pertamanya berdua.

day 1 honeymoon, at night. 10 p.m


sepulang dari berjalan-jalan di beachwalk dan putar-putar untuk makan atau menyegarkan mata, keduanya segera kembali ke villa. sudah sejak pukul 8 waktu setempat sebenarnya mereka kembali, namun..

“beneran mau sekarang? kamu engga capek? engga dingin?” rain bertanya, melirik ke arah jave yang kini mengedik pundak sebentar.

“waktu itu kita renang juga malem, enak sih, anget.”

“mending besok pagi kak jave. hari pertama nanti kamu tepar duluan loh.” rain berusaha mencegah, mencekali pergelangan tangan jave agar menurut.

ya, setidaknya lelaki itu memang tersenyum dan mengangguk. ia langsung luluh. “ya udah besok aja, sekarang kita mau apa? nanti keinginannya gak bisa di checklist cepet-cepet loh rain.”

“gak perlu nurutin keinginanku cepet-cepet, aku ada kamu aja udah seneng meski diem-diem di dalem bangunan aja. serius.”

jave seperti disiram ratusan bunga, sumringah sekali wajahnya. dengan sigap ia segera menarik langkah mereka masuk ke kamar. ingin manja-manja disitu, maksudnya.

televisi mereka nyalakan dan segera sambung ke netflix. entah, buat bunyi-bunyian saja karena sepi.

“agak sini loh tidurnya.”

“engga, engep banget dijadiin guling sudah 2 hari!!!!”

“hahahahahaha lucu sih, sini rain buruan.” jave tak sabar dan memutuskan untuk segera mendekat saja agar bisa memeluk gadisnya.

“duh duh ini apa sih wangi banget?” ia berujar, menciumi pucuk kepala rain dengan gemas.

“hhhh besok-besok aku gak keramas aja gimana?”

“boleh. terserah kamu. aku tetep suka apapun bentuknya.” jave terkekeh pelan sambil ciumannya turun ke dahi. posisinya sekarang sudah setengah tidur akibat tangan kanannya menumpu badan.

“apaaaaaa sok-sok serius..” rain berusaha tetap melihat ke tatapan jave yang tiba-tiba menghunjam intens itu sambil menahan gejolak untuk tidak kabur saking groginya.

“haha, nothing. but, may i kiss you?

rain terkejut hingga bola matanya membesar sesaat. sudah tentu mereka sering melakukannya, tapi, ketika jave bertanya sedemikian rupa untuk mendapat ijinnya tetap saja membuat jantungnya disko bukan main.

rain reflek menggigit bibir atasnya kala perutnya mulas berulah. laki-laki itu selalu saja berhasil membangkitkan segala hewan dan apa saja yang membuat rusuh tubuh hingga bulu-bulunya merinding sempurna.

tubuh rain yang tidur normal itu perlahan ditindih dari samping. jave mengecup keningnya sebentar sebagai bentuk sapaan karena tak kunjung direspon, lalu turun perlahan menuju kelopak mata, turun lagi ke hidung, ke pipi kiri, lalu ke dagu dan terakhir ke bibir, cukup lama hingga benar-benar menempel setiap sudutnya.

“yang ini aku nggak mau ngecup aja.” jave menambahkan informasi sambil mengelus bibir rain dengan ibu jari.

rain menegak ludah, meski perlahan ia sudah jatuh terlena oleh buaian, ia masih diam. pikirannya kabur kesana kemari.

“sebenernya kamu gak perlu nanya sih, kak. maksudku, itu terserah kamu mau apa. kan sekarang, aku memang punyamu.” rain akhirnya menjawab patah-patah sembari menatap mata jave yang mengintimidasi tersebut. tatapannya memang tetap lembut, namun ada beberapa titik di mata lelaki itu yang berkobar sekali.

“cium aja, gak papa.” rain kembali melanjutkan ketika jave tidak bergerak. lelaki itu hanya sibuk mengelus wajah rain yang sudah merah itu dalam diam.

tangan rain reflek bergerak, menangkap tangan jave yang masih mengelus itu agar diam sebentar sedang tangan satunya mulai menarik tengkuk jave agar mendekat ke arahnya.

“kiss me. just do it. or you want something more about me tonight... just do it. aku gak papa.” rain berucap setengah berbisik akibat posisi jave memang sudah dekat dengannya. sebagai pembuktian kalimatnya barusan, gadis itu segera mencium bibir jave dengan lembut. menyesapnya perlahan seperti yang sudah-sudah seraya melumatnya bergantian, atas dan bawah.

lelaki itu langsung tersihir, belum membalas dan malah diam kaku. tangan rain terus bergerak menekan tengkuk jave agar ia bisa memperdalam ciumannya. namun merasa jave yang tumben pasif, ia segera merubah posisi dan menjatuhkan tubuh jave perlahan agar ia bisa ganti menindih tubuh lelaki itu. bermain dari atas, untuk pertama kalinya.

bibir rain memerah sama seperti pipinya yang sudah menahan malu bukan main. rambutnya yang terurai berantakan akibat tadi habis diusel-usel oleh jave itu ia benarkan perlahan dengan jemari.

rain tersenyum, ragu sesaat karena benar merasa canggung. menatap bola mata jave lama sebelum akhirnya dengan tanpa banyak bicara ia kembali menjatuhkan bibir di tempat semula. memulai semuanya dari awal dengan tangan yang bertumpu pada dada bidang jave.

ciumannya pelan, dengan diselingi oleh sapuan lidahnya yang mencicip permukaan bibir jave yang lembut itu secara halus. jave terbuai sempurna, pikirannya kacau dadakan. dengan pasti ia segera membalas ciuman lembut itu dengan sedikit aktif, mulai memainkan lidahnya sendiri agar ia bisa mencicip balik sensasi lama yang sudah beberapa minggu tak ia rasakan.

enak. bibir rain memang enak. jave sampai mabuk sekali dibuatnya. suara decakan yang awalnya tak terdengar karena permainan lembut itu perlahan menguar, rain sampai bergidik ketika tangan jave bergerak naik menekan kepalanya agar terus menunduk dan menempel sempurna dengan miliknya.

lelaki itu meraup isi bibir rain lama, memainkan lidahnya di milik rain sambil menyapukannya terus ke seluruh bagian dalamnya. rain curiga ia akan tersedak jika terus dihajar seperti ini. napasnya bahkan sudah tersengal bukan main.

jave tidak puas, perlahan kembali membalik posisi tubuh dengan rain ada di bawahnya. “i just brutally in love with you. kenapa bisa begini?” jave berucap serak sekali, wajahnya bahkan sudah ikut memerah menahan segala hasrat agar tak mendadak berbuat kasar.

rain mengambil napas banyak-banyak, memanfaatkan kesempatan agar ia bisa selamat di gempuran jave babak kedua. dan betul saja, setelah mengucap kalimat tadi laki-laki itu langsung menekan ciumannya ke bibir rain, rakus sekali, lidahnya menyerobok masuk dan bermain kembali. sesekali melilitkan lidah dan menyesap milik rain kuat, sesekali lepas untuk meraup bagian luar bibir seperti dagu dan apa saja di sekitarnya.

jave benar jujur jika ia menginginkan rain, terlihat dari tatapan matanya dan ciuman yang tak segera berakhir ini.

rintih pelan mulai terdengar ketika jave aktif menggigit gemas bibir bawah rain. menyedot isinya kuat sampai rain ingin berteriak. antara nikmat dan takut jika paru-parunya bablas tersedot saking kuatnya hisapan jave barusan.

lelaki itu menyesap isi bibir rain lama sekali, ekspresinya bahkan sudah seksi totalitas karena benar-benar merah padam, ditambah lagi oleh urat lehernya yang kekar itu mulai menyembul keluar akibat ia mengerahkan tenaga untuk menghisap. sempurna sudah.

perlahan ciumannya lepas, ia mengusap bibir rain yang setengah tak manusiawi karena hampir bengkak itu dengan ibu jarinya. jave tersenyum, kembali mengecup bibir rain lembut seakan mengucap maaf karena sudah menciumnya sedikit brutal barusan.

kecupannya lepas, namun kali ini segera turun ke dagu. rain menggeleng, “please, please skip leherku. aku gak kuat. sumpahhhh, duh kak javeeeee.” teriakan kecilnya yang sedikit frustasi itu terdengar gemas sekali menurut jave. lelaki itu tak mendengarkan permintaannya, tentu saja. karena siapa pula yang mau melewati leher cantik ini? hanya lelaki bodoh menurutnya.

kecupan jave mulai terdengar, semakin lama semakin ke bawah. kadang berhenti lama di ceruk leher guna menghirup wangi, kadang juga mulai menggigit kecil akibat gemas setengah mati. rain mencekali kepala jave, wajah gadis itu sudah semakin merah akibat lehernya memang mudah sekali merasa geli. titik sensitifnya, karena sekali tersentuh maka mudah sekali untuk membuat rain aktif atau sekedar mengeluarkan suara-suara ancaman bagi kesadaran jave yang sudah terlampau minim.

benar saja, sekali lidahnya terjulur untuk menjamah, urat leher rain langsung menyembul secara perlahan. seakan mengerti jika ia memang diinginkan kali ini. jave mengangkat pandang, menatap rain yang kini menggigit bibirnya akibat tak ingin teriak-teriak. karena percuma, buang energi, jave tak akan mendengarnya.

“seksi.” satu kata itu keluar dari bibir jave ketika ibu jarinya bergerak melarang rain untuk lanjut menggigit. “tapi itu punyaku, jangan diterusin. kalo mau ngomel geli ya ngomel aja, jangan ditahan.”

“iya memang geli. aku udah bilang looooh kakkkh..” ucapannya mendadak kembali tertahan karena jave sudah menjatuhkan kepalanya lagi di area leher rain. tanpa basa-basi segera meraupnya, menciptakan banyak tanda merah karena ia sedot tidak cuma-cuma.

rain menggelinjang, mengaduh pelan dalam hati akibat tangannya yang sudah dikunci kanan dan kiri. jave betul menginginkannya.

“lepasin tanganku bentar boleh enggh..” ucapannya kembali tertahan ketika jave menjilati area lehernya tanpa ampun, bunyi sedotannya yang keras bahkan sampai tembus ke telinga. kuat sekali, sepertinya memang sudah kepalang bernafsu.

jave menilik hasil karyanya, “udah merah semua, tapi aku belum puas.”

“kamu brutal banget.” rain mengatur detak jantung dan napasnya sendiri setelah berucap. pun jave yang kini malah asik menatapnya dengan tatap puja.

tak membiarkan jeda terlalu lama, jave kembali mendekatkan bibir. kali ini mendekati telinga rain. dan sebelum rain melarang, ia segera menciumi daun telinga tersebut dan mulai menjulurkan lidahnya memutari area.

basah sekali suaranya, membuat rain spontan menahan napas dan hampir saja mengeluarkan suara aneh yang asing sekali untuk didengarkan. tubuhnya menegang ketika jave benar memasukkan telinganya ke dalam mulut, melumatnya di berbagai sisi sambil menggigitinya gemas.

satu suara kecil tak bisa ditahan dan berhasil lolos keluar, membuat jave semakin hilang akal karena deru napas rain di depan lehernya berhembus tak beraturan.

“rainy..”

“gak pake y.” masih sempat pula mengajak debat.

“you okay?” jave yang sudah menghentikan kegiatannya itu memutuskan untuk kembali memberi jeda gadisnya agar tak terlalu terkejut.

rain mengangguk, ia aman, hanya jantungnya saja yang sudah kena mental. “aku selalu penasaran deh, kamu belajar dimana?”

jave tertawa. “belajar apanya?”

“ya itu.. cium-cium...”

“hahahahaha, gak belajar lah.. cuma ikutin aja hatimu nyuruh jajah kemana. terus nanti pas nyampe pasti tau mau ngapain.”

“tapi kok aku bingung ya kalo mau gituin kamu..”

jave tersenyum, wajah rain itu lucu sekali, “ya karena kamu nahan diri. lepasin aja sesekali, aku sama sekali gak pernah keberatan kamu apa-apain aku.”

rain menggeleng, malu, “diem ah, gak usah ngobrol-ngobrol.”

jave menurut dan kembali terdiam, fokus memandangi seluruh sudut wajah rain sambil mengelus rambutnya. “u're so totally my type rain.. super cute, but, hot? kinda spicy, but actually sweet.”

“gak ngerti gak ngerti diem aja udah please gak mau mendengar.” pipi rain panas sekali digempur tak henti sejak tadi.

jave terkekeh sebentar dan memutuskan untuk benar diam, hingga ia merasa tangan rain yang tadi pasif dalam cengkramannya itu perlahan balas menggenggam. gadis itu menatapnya fokus.

“aku gak jago ngobrol serius, jadi selama ini mungkin kamu mikirnya kenapa selalu kamu yang ngasih banyak kata-kata bagus ke aku. maaf gak bisa bales balik, soalnya ya itu tadi, aku gak bisa ngobrol serius kayak, malu aja gitu.”

“okay.” jave terkekeh, masih mendengarkan.

“tapi kalo kamu penasaran aku sebenernya mau bilang apa aja itu gampang, soalnya perasaanku gak jauh sama kamu, alias, sama aja. gitu.”

jave mengangguk, ia tak pernah meragukan ucapan rain karena gadis itu polos sekali. dari melihat pantulan matanya saja sudah terlihat bagaimana isi hatinya yang paling jujur.

rain tersenyum, melepas tangannya pelan dalam genggaman dan berganti mengalung pada leher jave. menariknya mendekat sebentar lalu meluknya erat.

bau wangi segar jave segera menyerobok masuk ke hidungnya, menusuk-nusuk kuat seakan mengundangnya agar mau berbuat hal lain yang sedikit menyenangkan.

suara televisi yang sudah dikecilkan itu menjadi satu-satunya suara yang bisa mereka dengarkan selain deru napas yang tentunya sama berat disana.

jave mendusel masuk ke ceruk leher rain, menciumi kembali area harum yang menjadi favoritnya itu dalam-dalam. membuat yang dicium berjengit pelan akibat kembali merasa geli. seluruh kujur tubuhnya semakin melemas kala jave meniup-niup lubang telinganya pelan. menggoda.

“kak jave jangan gitu..” rain merengek kecil, sayangnya, rengekan yang keluar tepat disamping telinga jave akibat posisi mereka masih berpelukan dalam tidur itu membuat jave semakin ingin berbuat lebih jauh.

satu larangan adalah perintah menurut sarafnya.

“kamu gak mau coba?” jave menjauhkan sebentar wajahnya.

“hm?”

“try this one.” ia menjawab, menunjuk lehernya yang terpampang.

lagi-lagi rain terkejut, ucapan jave efeknya besar sekali bagi kesehatan jantungnya. dan seakan mengerti jika rain merasa malu, lekaki itu segera beranjak untuk duduk.

“sini-sini.” ajaknya, menaikkan tubuh rain agar duduk di pangkuannya.

“lalu?”

jave mengedik pundak, menyerahkan dirinya secara total pada rain agar setidaknya gadis itu bisa mencoba meniliknya sebentar saja.

rain memejamkan mata, jantungnya berdebum gila akibat jave yang kini ia duduki itu mulai sedikit rebah ke belakang dengan dua tangan sebagai tumpuan.

“kamu suruh aku menyentuh-nyentuh kah?”

“hahahahaha iya, nih.. terserah kamu, cobain sesekali kalo penasaran..”

rain menggigit bibir bawahnya gugup, “tapi jangan ketawain aku...”

“eh betulan mau?” jave malah kaget sendiri.

“hrrr, ya gak papa. kamu memang mau kan?”

“ya siapa yang gak mau?”

“hihhh..”

“ini beneran kamu mau?”

“rrrrr, iyaa? tapi janji gak boleh ngeledekin aku nanti apa besok-besok gitu ya betulan aku malu banget soalnya.”

pikiran jave mengawang sekali, ia lantas mengangguk. setuju.

rain mengajak berjabat tangan.

“deal?”

“hahahaha apa sih? tapi oke, deal.”

rain menarik napas perlahan, mulai menumpukan tangannya di bahu jave yang terbalut shirt putih tulang. matanya mengerjap beberapa kali akibat kesempurnaan jave yang kini ia sadari lagi terlihat begitu luar biasa. dadanya tegap dan lebar, alisnya tebal, bibirnya merah, rahangnya bahkan terbentuk jelas. definisi sempurna yang sesungguhnya.

jemari kanan rain terangkat, perlahan mengelus wajah jave tanpa sadar dari atas turun ke bawah. ia terus menelusur, menikmati setiap lekukan wajah yang tersuguh pasrah di hadapannya itu sambil sesekali menelan ludah. situasinya gila memang, sanggup membuat rain panas dingin secara mendadak. belum lagi jika jave sudah menangkap jemari rain lalu mengecupnya lama, pecah sudah.

rain bergerak mendekat, dulu ia pernah hanya sekedar mengecup leher jave sekali, namun sekarang rupanya jave menginginkan lebih. ia ingin dibalas sama, atau setidaknya, ia penasaran bagaimana rasanya ketika lehernya dimainkan oleh lidah gadis yang dicintainya.

rain mengecup kelopak mata jave, menyuruhnya agar memejam sebentar hingga ia bisa merasa tenang ketika awal mencoba.

jave menurut, memejam matanya sebentar ketika bibir rain berpindah turun menuju bibirnya. gadis itu menciumnya, menarik atensi agar jave terbuai perlahan. tangannya yang tadi kembali bertengger di atas bahu itu perlahan bergerak naik, ganti bercekalan pada leher jave yang putih bersih.

rain mengusap pelan area itu ketika akhirnya memberanikan diri untuk menyicipnya sebentar. mata jave masih memejam, lelaki itu menuruti keinginannya, namun...

“shithhh, rainh..” jave berucap berat ketika lidah rain terjulur pelan, menekan kuat arah lintasan urat jave yang menyembul itu dari bawah ke atas. hangat dan basah. membuat alam kesadaran jave terkikis sempurna dan yang ada hanyalah rasa ingin dan ingin saja.

rain merinding, melirik ke atas sebentar dan mendapati wajah jave sudah makin padam. gadis itu merasa aneh sekali karena ada sesuatu dalam dirinya yang bangun ketika mendengar suara seksi jave barusan. lidahnya kembali mendekat, kini menemukan mainan baru yang menurutnya enak dilahap karena jave berulang kali menelan saliva berat.

jakun.

jakun itu menonjol sekali, seakan mengundang untuk dimainkan.

bibir rain mengecup halus, membuat jave mendongak sempurna untuk memberi akses jalan gadisnya supaya bisa bergerak leluasa. kecupan itu terasa panas sekali karena jatuh cukup lama, lalu sebelum jave sempat sadar lagi, bibir rain itu mulai terbuka. gadisnya melahap jakun sambil sesekali memutar lidahnya disana.

sial. sekali mencoba gadis itu ternyata bisa begitu luar biasa. meski gerakannya masih canggung karena sesekali melihat ke arah jave seakan takut salah gerak.

lidah rain lama memutar di jakun hingga akhirnya ia mencoba untuk menghisapnya secara perlahan. bagai disengat lebah, jave reflek membuka mata akibat terkejut, tangan lelaki itu bergerak naik untuk mencekali kepala rain agar semakin memperdalam hisapannya.

gadis itu mengerti, maka dengan nafsu yang mulai sedikit naik itu ia terus bermain disitu kemudian perlahan mulai berkeliling di sekitar area leher lain untuk memberi sedikit tanda merah kecil yang baru ia sadari sangat menyenangkan untuk dilakukan. setiap sedotan yang timbul menciptakan satu atmosfer baru hingga tak sadar tangan gadis itu meremas leher jave berulang kali untuk menyalurkan rasa aneh yang timbul dalam dirinya. setidaknya sekarang ia paham kenapa jave suka sekali bermain di area leher dengan jangka lama.

jave menunduk sedikit kala merasa hisapan rain makin turun menuju tulang selangkanya. raut gadis itu seksi sekali ketika bekerja. antara malu tapi ingin, serta ragu-ragu untuk memulai.

“do it rain. gak papa.” jave mempersilakan dengan suara sepenuhnya serak.

dan karena seperti disuruh, tangan rain reflek menarik turun kaos jave ke arah samping agar ia bisa bermain disana dengan bebas.

jave kembali memejam, sinting sekali, ia tidak pernah tau jika rain bisa begini. bahkan sejak dulu ia tidak pernah membayangkannya meski hanya sekali. di matanya, gadis itu sudah seperti anaknya sendiri yang harus dijaga dan disayang. kadang lupa jika rain sekarang sudah makin beranjak dewasa dan.. ya, tidak memungkiri bisa meniru tindakannya dalam bermain.

lihatlah, dengan wajah merah padam, tangan rain masih bisa aktif menurunkan kaos dan meremas bahu jave keras.

rain sudah hidup. jave mengerti itu. seharusnya bagus, namun jika rain melakukannya hanya sekedar perintah maka ia bisa saja menyesal besok-besok hari.

tidak semua harus dilakukan secara tergesah, jika memang bukan waktunya, maka sesuai prinsipnya.. ia bisa menunggu.

“rain?” panggilnya ditengah kesadaran yang ada.

“hmh?”

“kalo misalnya kamu nanti nggak mau lanjut, kamu stop main disitu aja, oke?”

rain langsung berhenti, menarik mundur kegiatannya. gadis itu menatap mata jave sambil mengusap bibir yang basah. cantik sekali. dan tak bisa dipungkiri, terlihat sangat menggiurkan.

“but what if i let it.. maksudku, what if i want, you, too..?”

“no regret? gak perlu buru-buru kalo enggak siap, kita punya banyak hari, banyak minggu, banyak tahun. i can handle this.”

rain tak banyak bicara, menjatuhkan lagi ciumannya di bibir jave, “i want you, enggak peduli sekarang, enggak peduli nanti-nanti, i will not regret this. karena, aku lakuinnya sama kamu? so, why should i feel that way?”

jave menatap lama bola mata rain yang sepenuhnya sudah menggelap tersebut, mengelus pelipisnya sebentar, lalu mengecup keningnya.

“so tell me you want it.”

rain menggigit bibir bawahnya, “i want it.....”

“want what?” jave malah menggoda dengan balik bertanya, padahal, keduanya saja sudah sama-sama serak dipenuhi pikiran masing-masing sekarang.

rain mendadak malu, semakin menggigit bibir tak mau menjawab.

“hahahah, okay.. let's do this rain.”

“do, what..?”

“let's have a sex, today.”


maaf rada ngeselin tp kepala judulnya 400 dulu boleh tidaaaaaaaaa tengkiuuuuuu wkwkakwkwk

anw aku sambil lanjut nyicil buat bukunya, PLS KALO JADI KALIAN MAU AMBIL GAK 🙂😀 kalo ga yaudah, serah.. wkwkwkwk 🥺😵‍💫