waterrmark

“Lo mau restock atau resell sih Cel? Gak terlalu banyak itu?” Kalandra yang berdiri di sebelah Celine hanya bisa kebingungan melihat botol demi botol lotion yang dimasukkan gadis itu ke keranjang bawaan.

“Nyoba Kal. Yang kemaren gue pake kayaknya udah gak fungsi ke gue. Maaf rada tmi tapi gue abis diomel sama staff agensi. Takutnya nanti jelek di kamera ya gue juga yang gak enak sih..”

Demi mendengar nada serius yang jarang ia dengarkan dari bibir Celine yang normalnya hobi ngejeplak, Kalandra reflek ikut memasukkan beberapa merk lain ke dalam keranjang.

“Diomel tuh dimarah Miles?”

“Gak sebegitunya sih, aman. Emang dia ngomelnya tuh ngasih tau bener aja. Beda cerita kalo sama model yang lain.”

“Kenapa?”

“Brrrrrrrr, toxic. Muka 2 sih intinya. Gak bisa gue temenan sama yang begitu.”

Kalandra masih mendengarkan, dan sejujurnya sangat masuk akal karena Celine memang mencolok. Dalam artian lain mudah dijadikan bahan gossip oleh mulut-mulut lain yang tentunya sebagian merasa sirik. Pun, pekerjaannya di tempat perkumpulan visual pula. Siap mental saja jika harus berjejer dengan model lain dan dijadikan bahan perbandingan.

Lelaki itu sudah ingin melangkah mengikuti kaki Celine yang sebenarnya cukup sering menjauh dari jangkauan tubuhnya itu ketika netra Kalandra menangkap beberapa mata yang sedang melirik nakal. Tentu saja objeknya adalah Celine, meski gadis itu tidak mengenakan pakaian terbuka toh memang bentuk tubuhnya sangat menonjol. Memiliki proporsi yang pas dan tampak sehat.

Tidak tahan, Kalandra akhirnya bertukar posisi tanpa suara dan berdiri sedikit di belakang tubuh Celine agar menghalangi pandangan empat lelaki yang masih menonton. Beberapanya geram, beberapanya lagi pasrah dan memilih untuk pergi.

Celine menoleh, hampir mencari keberadaan Kalandra ketika sepatu lelaki itu tiba-tiba menyenggol kecil sepatunya di bawah sana. Memberi tahu bahwa ia ada di belakang Celine dan tidak pergi kemana-mana.

“Kal, hwww.. Kalo menurut lo baunya enakan yang itu tadi apa yang ini?”

“Siniin parfumnya Miles. Gak kecium kalo lo geser terus, kejauhan heh.”

“Hehehe. Ini ini. Lagian lo juga ngapain disitu sih? Gue kaget.”

Kalandra tidak menjawab, fokus menentukan aroma mana yang lebih cocok dipakai Celine meski dalam hati bingung juga karena parfum ini adalah parfum yang jarang dikenakan oleh perempuan. “Sama-sama enak. Tapi kata gue lebih enakan yang tadi.”

“Oke ayo balik ke sana nanti beli.”

“Buat siapa? Lo gak pake parfum cowok, kan?”

“Buat lo tuuuuuu.”

Kalandra meneleng kepala. “Gue?”

“Hadiah. Gantian.”

“Hahahaha Miles. Oke, nanti kita kesana.”

Celine mengangguk, wajahnya sumringah entah mengapa. Langkah kakinya menuju kasir untuk membayar segala lotion itu juga tampak ringan. Hingga mendadak saja telapak tangan Kalandra mendarat di sikunya tuk menarik sedikit posisi Celine agar tidak tersenggol orang dari arus berlawanan. Pun lagi-lagi ia mendapati mata lelaki yang terus memandangi tubuh Celine bak memburu mangsa.

Kalandra berdecak, cukup kencang. Netranya menyorot tajam ke sekitar ketika membawa Celine untuk segera sampai ke kasir. “Mata orang-orang nih.. Heran gue.” Lelaki itu lanjut bermonolog, namun tetap saja suaranya mendarat jernih di telinga Celine karena kini posisinya lumayan berdempetan.

“Diem di sebelah gue Miles, jangan geser-geser sampe keluar store.”

“Hww....” Celine bergumam tidak jelas, melirik sikunya yang masih dicekali oleh Kalandra dengan jantung berdegup tidak beraturan. Tangan lelaki itu hangat. Sangat hangat dan sangat mampu membuat tubuh Celine panas dingin.

“Liat jalannya dong princess.

Princess..

Celine seketika lemas totalitas.


“Lo mau restockatau resell sih Cel? Gak terlalu banyak itu?” Kalandra yang berdiri di sebelah Celine hanya bisa kebingungan melihat botol demi botol lotion yang dimasukkan gadis itu ke keranjang bawaan.

“Nyoba Kal. Yang kemaren gue pake kayaknya udah gak fungsi ke gue. Maaf rada tmi tapi gue abis diomel sama staff agensi. Takutnya nanti jelek di kamera ya gue juga yang gak enak sih..”

Demi mendengar nada serius yang jarang ia dengarkan dari bibir Celine yang normalnya hobi ngejeplak, Kalandra reflek ikut memasukkan beberapa merk lain ke dalam keranjang.

“Diomel tuh dimarah Miles?”

“Gak sebegitunya sih, aman. Emang dia ngomelnya tuh ngasih tau bener aja. Beda cerita kalo sama model yang lain.”

“Kenapa?”

“Brrrrrrrr, toxic. Muka 2 sih intinya. Gak bisa gue temenan sama yang begitu.”

Kalandra masih mendengarkan, dan sejujurnya sangat masuk akal karena Celine memang mencolok. Dalam artian lain mudah dijadikan bahan gossip oleh mulut-mulut lain yang tentunya sebagian merasa sirik. Pun, pekerjaannya di tempat perkumpulan visual pula. Siap mental saja jika harus berjejer dengan model lain dan dijadikan bahan perbandingan.

Lelaki itu sudah ingin melangkah mengikuti kaki Celine yang sebenarnya cukup sering menjauh dari jangkauan tubuhnya itu ketika netra Kalandra menangkap beberapa mata yang sedang melirik nakal. Tentu saja objeknya adalah Celine, meski gadis itu tidak mengenakan pakaian terbuka toh memang bentuk tubuhnya sangat menonjol. Memiliki proporsi yang pas dan tampak sehat.

Tidak tahan, Kalandra akhirnya bertukar posisi tanpa suara dan berdiri sedikit di belakang tubuh Celine agar menghalangi pandangan empat lelaki yang masih menonton. Beberapanya geram, beberapanya lagi pasrah dan memilih untuk pergi.

Celine menoleh, hampir mencari keberadaan Kalandra ketika sepatu lelaki itu tiba-tiba menyenggol kecil sepatunya di bawah sana. Memberi tahu bahwa ia ada di belakang Celine dan tidak pergi kemana-mana.

“Kal, hwww.. Kalo menurut lo baunya enakan yang itu tadi apa yang ini?”

“Siniin parfumnya Miles. Gak kecium kalo lo geser terus, kejauhan heh.”

“Hehehe. Ini ini. Lagian lo juga ngapain disitu sih? Gue kaget.”

Kalandra tidak menjawab, fokus menentukan aroma mana yang lebih cocok dipakai Celine meski dalam hati bingung juga karena parfum ini adalah parfum yang jarang dikenakan oleh perempuan. “Sama-sama enak. Tapi kata gue lebih enakan yang tadi.”

“Oke ayo balik ke sana nanti beli.”

“Buat siapa? Lo gak pake parfum cowok, kan?”

“Buat lo tuuuuuu.”

Kalandra meneleng kepala. “Gue?”

“Hadiah. Gantian.”

“Hahahaha Miles. Oke, nanti kita kesana.”

Celine mengangguk, wajahnya sumringah entah mengapa. Langkah kakinya menuju kasir untuk membayar segala lotion itu juga tampak ringan. Hingga mendadak saja telapak tangan Kalandra mendarat di sikunya tuk menarik sedikit posisi Celine agar tidak tersenggol orang dari arus berlawanan. Pun lagi-lagi ia mendapati mata lelaki yang terus memandangi tubuh Celine bak memburu mangsa.

Kalandra berdecak, cukup kencang. Netranya menyorot tajam ke sekitar ketika membawa Celine untuk segera sampai ke kasir. “Mata orang-orang nih.. Heran gue.” Lelaki itu lanjut bermonolog, namun tetap saja suaranya mendarat jernih di telinga Celine karena kini posisinya lumayan berdempetan.

“Diem di sebelah gue Miles, jangan geser-geser sampe keluar store.”

“Hww....” Celine bergumam tidak jelas, melirik sikunya yang masih dicekali oleh Kalandra dengan jantung berdegup tidak beraturan. Tangan lelaki itu hangat. Sangat hangat dan sangat mampu membuat tubuh Celine panas dingin.

“Liat jalannya dong princess.

Princess..

Celine seketika lemas totalitas.

their first “date”.


Kalandra sudah mendahului duduk di kursi kemudi dan kini tengah menunggu Celine, yang otaknya memang agak sedikit kurang penuh itu berdiri diam di samping pintu, belum kunjung masuk. Lelaki itu lantas menurunkan kaca jendela di kursi penumpang agar bisa berbincang sebentar.

“Miles. Lagi apa?” Tanyanya.

Celine tidak membalas, masih tampak lag. Matanya bahkan kini sudah memandangi ponsel dan dompet bergantian.

“Ada yang ketinggalan?” Kalandra bertanya lagi.

Hening. Pagar kos-kosan yang diam itu menjadi sasaran pandang Celine kali ini.

“Miles?”

“Ya?”

“Kenapa?”

Sepi. Hanya ada suara kecil dari mobil Kalandra yang menghiasi indra pendengaran.

“MILES!!!!!!”

“Ohhhhh ya ampun!!!!!!”

“Apa?”

“Hehehehehe.”

Kalandra mengerut alis, kebingungan. Sebab Celine hanya tertawa dan belum menjawab ketika akhirnya duduk di kursi penumpang.

“Maap-maap Kal, tadi gue mikir Bella transfer uang tuh gue tarik dulu apa gimana lah kan bisa gesek disana.”

“Oh God.....” Kalandra memijat pelipis. Baru kali ini ia melihat gadis keren dengan kelas tinggi seperti Celine ngehang hanya karena masalah transfer.

“Maaf doooooong, otak gue memang kadang ke-log out.”

Lelaki itu geleng-geleng kepala, memutuskan untuk memaklumi saja sebab sekarang toh ia sudah tau bahwa Celine memang keterlaluan aneh. Ia lantas menghadap kiri, memandang Celine yang terbalut pakaian serba hitam itu dalam diam.

“Apaaa liat-liat?”

“Nungguin lo.”

“Nunggu apa? Gue udah duduk udah siap berangkat Kal.”

Kalandra berdecak. Raut gemasnya tercetak begitu sempurna sebelum akhirnya tangan lelaki itu terulur maju untuk menarik seatbelt Celine yang belum terpasang. “Nungguin lo pasang ini loh, princess.”

Celine mematung lama, bau tubuh Kalandra yang segar itu menusuk indra penciuman dan berhasil membuat jantungnya tidak berdetak normal. Kacau sekali.

“Jangan bablas ngelamun Cel..” Lelaki itu berbicara ketika sudah mundur ke posisinya kembali.

Cel.. Kalandra masih terus memanggilnya dengan sebutan Celin alih-alih Selin.

“Kenapa sih Cel Cel terus Tan?”

“Tan? Tan what?”

“Titanio. Nama lo.”

Kalandra tertawa. Bibirnya membentuk huruf O sebentar. “Gue suka aja sih dipanggil Tan, tapi kayak tante-tante dong Cel nantinya hahahaha.”

“Tannnnnnnnnn..”

“Ya Cellll...”

Celine mendengus. Memutuskan untuk mengakhiri perdebatan pekara nama yang mungkin memang tidak akan pernah bisa berakhir. Toh, semakin banyak percakapan juga semakin salting pula dirinya. Dengan artian lain, Celine masih tidak biasa untuk berduaan dengan oknum yang terang-terangan begitu menarik perhatiannya akhir-akhir ini.

“Anyway Miles..” Kalandra memecah hening yang sempat tercipta beberapa detik.

“Apa?”

Is the concept of our first date is black date or what?”

Demi mendengar gemuruh petir yang entah datang dari pelosok bumi sebelah mana, paru-paru Celine mendadak kosong mendadak sebab mendengar kata date yang diaku-aku berhasil membuat bulu tubuhnya meremang akibat baper totalitas.

“Black.. date?”

“Look at our outfit.” Kalandra menjelaskan.

Celine melirik, ia tentu sudah sadar dengan baju serba hitam Kalandra dan entah kenapa ia juga ikut-ikutan pakai baju serupa barusan. Mungkin seperempatnya sengaja supaya bisa kembaran, atau mungkin juga tidak sengaja karena sudah dibilang pikiran Celine suka ngelag dadakan.

“Hehehehehe kembar ya Kal..”

Kalandra mengangguk, mulai mengoper persnelling agar mobil bergerak maju.

Komplek kos-kosan Celine pun perlahan menghilang dalam sekejap dan digantikan oleh pemandangan padatnya lalu lintas kota.

“Nanti habis cari jaket makan roti bakar mau gak Cel? Kalo gue yang pesen kejunya dibanyakin loh.”

“Eh sorry gak bisa Kal. Gue udah makan kotor soalnya kemaren. Mana belum gue buang pula lemaknya. Maksud gue, gue belum olahraga.”

Kalandra menoleh. Seperempat lupa jika ia sedang jalan dengan seorang model. “Tapi diet bukan tentang gak makan loh Miles.”

“Iya tau, gue emang suka menyiksa diri aja soalnya body gue tipe yang gampang naiknya gitu Kal.”

“Terus hari ini lo makan apa?”

“Selada? Telur, tahu.. Gitu lah.”

“Ya Tuhan.. Terus karbonya lo isi pake?”

“Ini jadwal gue skip karbo, besok kentang. Hehehehe.”

“Makan pake beras merah bagus Miles. Jangan lo skip-skip lah, asal gak melebihi kalori kan gak papa. Sedikit aja asal nyukupin asupan gizi dalam sehari gitu maksud gue.”

Celine menoleh, “Kalandra lo jangan gitu.”

“Gitu apa?”

“Perhatian.”

“Hahahaha karna nanti lo demen gue?”

“HWWWWWWWWW.”

“Demen aja gak papa sih Miles. Gue gak keberatan.”

Wajah Celine langsung merah padam. Sebab gadis itu paham betul bahwa Kalandra hanya iseng merecoh hati saja. Tidak ada jaminan akan serius bertanggung jawab jika nantinya Celine terlanjur jatuh seratus persen.

their first “date”.


Kalandra sudah mendahului duduk di kursi kemudi dan kini tengah menunggu Celine, yang otaknya memang agak sedikit kurang penuh itu berdiri diam di samping pintu, belum kunjung masuk. Lelaki itu lantas menurunkan kaca jendela di kursi penumpang agar bisa berbincang sebentar.

“Miles. Lagi apa?” Tanyanya.

Celine tidak membalas, masih tampak lag. Matanya bahkan kini sudah memandangi ponsel dan dompet bergantian.

“Ada yang ketinggalan?” Kalandra bertanya lagi.

Hening. Pagar kos-kosan yang diam itu menjadi sasaran pandang Celine kali ini.

“Miles?”

“Ya?”

“Kenapa?”

Sepi. Hanya ada suara kecil dari mobil Kalandra yang menghiasi indra pendengaran.

“MILES!!!!!!”

“Ohhhhh ya ampun!!!!!!”

“Apa?”

“Hehehehehe.”

Kalandra mengerut alis, kebingungan. Sebab Celine hanya tertawa dan belum menjawab ketika akhirnya duduk di kursi penumpang.

“Maap-maap Kal, tadi gue mikir Bella transfer uang tuh gue tarik dulu apa gimana lah kan bisa gesek disana.”

“Oh God.....” Kalandra memijat pelipis. Baru kali ini ia melihat gadis keren dengan kelas tinggi seperti Celine ngehang hanya karena masalah transfer.

“Maaf doooooong, otak gue memang kadang ke-log out.”

Lelaki itu geleng-geleng kepala, memutuskan untuk memaklumi saja sebab sekarang toh ia sudah tau bahwa Celine memang keterlaluan aneh. Ia lantas menghadap kiri, memandang Celine yang terbalut pakaian serba hitam itu dalam diam.

“Apaaa liat-liat?”

“Nungguin lo.”

“Nunggu apa? Gue udah duduk udah siap berangkat Kal.”

Kalandra berdecak. Raut gemasnya tercetak begitu sempurna sebelum akhirnya tangan lelaki itu terulur maju untuk menarik seatbelt Celine yang belum terpasang. “Nungguin lo pasang ini loh, princess.”

Celine mematung lama, bau tubuh Kalandra yang segar itu menusuk indra penciuman dan berhasil membuat jantungnya tidak berdetak normal. Kacau sekali.

“Jangan bablas ngelamun Cel..” Lelaki itu berbicara ketika sudah mundur ke posisinya kembali.

Cel.. Kalandra masih terus memanggilnya dengan sebutan Celin alih-alih Selin.

“Kenapa sih Cel Cel terus Tan?”

“Tan? Tan what?”

“Titanio. Nama lo.”

Kalandra tertawa. Bibirnya membentuk huruf O sebentar. “Gue suka aja sih dipanggil Tan, tapi kayak tante-tante dong Cel nantinya hahahaha.”

“Tannnnnnnnnn..”

“Ya Cellll...”

Celine mendengus. Memutuskan untuk mengakhiri perdebatan pekara nama yang mungkin memang tidak akan pernah bisa berakhir. Toh, semakin banyak percakapan juga semakin salting pula dirinya. Dengan artian lain, Celine masih tidak biasa untuk berduaan dengan oknum yang terang-terangan begitu menarik perhatiannya akhir-akhir ini.

“Anyway Miles..” Kalandra memecah hening yang sempat tercipta beberapa detik.

“Apa?”

Is the concept of our first date is black date or what?”

Demi mendengar gemuruh petir yang entah datang dari pelosok bumi sebelah mana, paru-paru Celine mendadak kosong mendadak sebab mendengar kata date yang diaku-aku berhasil membuat bulu tubuhnya meremang akibat baper totalitas.

“Black.. date?”

“Look at our outfit.” Kalandra menjelaskan.

Celine melirik, ia tentu sudah sadar dengan baju serba hitam Kalandra dan entah kenapa ia juga ikut-ikutan pakai baju serupa barusan. Mungkin seperempatnya sengaja supaya bisa kembaran, atau mungkin juga tidak sengaja karena sudah dibilang pikiran Celine suka ngelag dadakan.

“Hehehehehe kembar ya Kal..”

Kalandra mengangguk, mulai mengoper persnelling agar mobil bergerak maju.

Komplek kos-kosan Celine pun perlahan menghilang dalam sekejap dan digantikan oleh pemandangan padatnya lalu lintas kota.

“Nanti habis cari jaket makan roti bakar mau gak Cel? Kalo gue yang pesen kejunya dibanyakin loh.”

“Eh sorry gak bisa Kal. Gue udah makan kotor soalnya kemaren. Mana belum gue buang pula lemaknya. Maksud gue, gue belum olahraga.”

Kalandra menoleh. Seperempat lupa jika ia sedang jalan dengan seorang model. “Tapi diet bukan tentang gak makan loh Miles.”

“Iya tau, gue emang suka menyiksa diri aja soalnya body gue tipe yang gampang naiknya gitu Kal.”

“Terus hari ini lo makan apa?”

“Selada? Telur, tahu.. Gitu lah.”

“Ya Tuhan.. Terus karbonya lo isi pake?”

“Ini jadwal gue skip karbo, besok kentang. Hehehehe.”

“Makan pake beras merah bagus Miles. Jangan lo skip-skip lah, asal gak melebihi kalori kan gak papa. Sedikit aja asal nyukupin asupan gizi dalam sehari gitu maksud gue.”

Celine menoleh, “Kalandra lo jangan gitu.”

“Gitu apa?”

“Perhatian.”

“Hahahaha karna nanti lo demen gue?”

“HWWWWWWWWW.”

“Demen aja gak papa sih Miles. Gue gak keberatan.”

Wajah Celine langsung merah padam. Sebab gadis itu paham betul bahwa Kalandra hanya merecoh hati saja tanpa ada jaminan akan bertanggung jawab.

their “first” met.

lowercase.

happy reading ;)


celine tengah berdiri di trotoar panjang yang mengarah persis ke gedung fakultas kedokteran dengan kaki melemas. jantungnya berdegup tidak aturan. berdebum gila hanya dengan membayangkan kalandra, —sang lelaki tampan yang baru-baru ini menyita separuh isi otak, berdiri di sampingnya tuk sekedar mengantarkan masuk dalam gedung bangunan.

entah, sebenarnya celine bisa saja menolak sisi kadal kalandra barusan. namun satu sisi terdalam di hatinya juga ingin merasakan kehadiran lelaki itu yang sudah berhasil dinikmati oleh beberapa gadis top di kampusnya. yang tentu saja merupakan kelas elit incaran kalandra.

celine sendiri cantik. wajahnya tipikal cantik simetris yang begitu sempurna. badannya tegak dengan proporsi pas yang membuat orang lain kerap memandang tanpa diminta. maklum, celine adalah seorang model di bawah naungan agensi dalam kota meskipun tidak terlalu begitu terkenal. dengan kata lain, masih banyak model yang jauh lebih baik berada di atasnya.

“miles?” suara asing yang baru kali ini bisa celine dengarkan itu mendarat mulus dari jarak 3 meter di belakangnya. begitu halus. membuat gadis itu reflek menegang dan melotot sebentar sebab terkejut, lalu lanjut melangkah maju untuk menjauh.

entah apa tujuannya tapi mendadak ia memang merasa malu bukan main. dan sudah dibilang, jika ia malu, maka tindakannya akan semakin memalukan juga.

kalau kata bella, otak dan saraf celine sempat tersangkut ketika lahir dulu. kasihan.

“stop disitu. STOP. CEL. MILES!!! ya Tuhan lo kenapa sih?” kalandra gemas bukan main ketika pergerakan celine semakin cepat di depannya. lelaki itu bahkan sampai rela berlari demi menyejajarkan langkah kaki mereka.

“gue bukan hantu. kenapa lari-lari coba? masih pagi ini!” kalandra mengomel ketika berhasil menangkap pergelangan tangan celine pada akhirnya.

tak sampai satu detik lelaki itu langsung melepasnya dan berganti menarik tote bag hitam yang celine bawa. “sini, gue bawain buat sandra nih tas. lo jalan, GAK USAH LARI. celine ya ampun Gusti..”

“demi segala hantu yang gentayangan deket kepala mickey mouse..... kalandra lo sumpah mending berdiam diri dan lanjut menenangkan diri di sebelah pembakaran api unggun agar segala tingkah laku lo dipermudah dan dijaga oleh roh suci......” celine meremat ujung jaketnya kencang sambil memejamkan mata rapat. ucapannya melantur tak jelas dibarengi oleh jantung yang makin menggila. telapak tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin, mengaku lunglai sebab dicekal oleh kalandra walau hanya seperempat detik saja.

“biar apa gue menenangkan diri? lo tuh.. jalan minggir-minggir ilang ketabrak motor beneran ya lo.. CEL!” kalandra berdecak, menarik siku celine agar bertukar tempat dan tidak berjalan di sisi luar trotoar. masalahnya iya jika celine hanya berjalan di sekitar garis, gadis itu bahkan sudah sampai turun trotoar saking groginya.

“ahhhhhhhhh.”

“apa lagi sekarang?”

celine membuang wajah. “lo wangi banget itu lo makan parfum apa makan pewangi stella jeruk sih?”

“bau gue kayak gantungan stella?”

“GAKKK HAAZZZZZ..”

kalandra tertawa melihat celine yang baper sendirian. gadis itu bahkan mulai bermonolog dan perlahan menjauhkan diri dari tubuh kalandra. lagi. terus bergeser dan menolak melakukan kontak mata sampai kalandra curiga gadis itu bisa masuk ke semak belukar jika dibiarkan bergeser terus menerus.

“sini jalan yang bener cel. iya gue diem deh jadi lo jangan jauh-jauh. oke?”

“bener diem?” celine sangsi.

“dari tadi juga sebenernya gue emang ngapain sih? gak ngapa-ngapain kan?” lelaki itu menoleh, mengedik pundak.

ya, memang benar kalandra tidak berbuat apapun yang terlalu berarti. namun jelas pergerakan lelaki itu terlalu sadar diri. ia tau ia tampan dan ia tau ia tidak akan mendapat penolakan dalam bentuk apapun. apa lagi, celine memang sudah menunjukkan gerak-gerik tertarik sejak awal meminta nomornya dari gibran beberapa hari lalu.

“lo juga wangi menurut gue miles. seger. agak manis juga?” kalandra tiba-tiba berbicara, mengendus singkat jaket celine di area bahu dengan gerak yang kali ini memang sepenuhnya karena reflek. membuat celine menoleh dan melotot lagi sebab wajah kalandra dekat sekali dengan tubuhnya.

“KALANDRA!!!!!”

“hm?” ia mendongak.

“BISA-BISANYA HM DOANG KALO MENJAWAB?”

kalandra menarik mundur tubuhnya, meneleng wajah. “apa, sih?”

“APA SIH??????”

“hahahahaha apa miles?”

*“and please stop calling me miles miles miles. IT'S CELINE. WITH S, SELIN!!!”*

“okay-okay. celine. but i'll make it with c.

celine merengut. “selin kalllll!”

“iya, cel...”

“S!!”

“lucuan pake c. muka lo imut juga jadi gak ada salahnya.”

pipi celine memanas. merah dan gerah sekali.

“ini pertama kalinya gue ngobrol sama lo sih cel, mau kenalan dengan bener sama gue gak? we can be friend, or.. anything? gue gak tau apa yang terjadi ke depan. ya, kan?”

“AHHHHHHHHHH KAL STOP IT.”

“hahahahahaha serius. ayo kenalan. gue kalandra bimantara.” lelaki itu menyodor tangan ke depan setelah menghentikan langkah kaki.

“celine miles. NYEBUTNYA SELIN. oke?”

“no. gue mau panggil pake c. celinnnnnnnn..” kalandra menolak, masih belum menurunkan tangannya yang tersodor lurus.

“biar apa sih? gak ada yang manggil gue begitu serius.” celine hampir menangis bombay, menyambut tangan mulus kalandra dengan raut merah padam menahan malu.

“biar lo inget gue terus. gue yang pertama ya berarti, cel?”

celine hampir meremas wajahnya sendiri sebab semakin baper dan grogi bukan main. bahkan lihatlah kalandra sekarang sudah tersenyum lebar sambil mulai menyodorkan tas hitam milik celine yang tadi ia bawakan. wajahnya tampak puas sekali. “udah sampe. see you later, princess?” ujarnya kemudian sebagai bentuk berpamitan.

“KALLLLLLL.”

kalandra tertawa, melambaikan tangan sebentar dan mulai melangkah menjauh dari gedung fakultas kedokteran setelah sebelumnya sudah mendapatkan lambaian balik dari tangan celine yang bergerak gemetar.

part of throwback.

—jaman kuliah.

lowercase and HAPPY READD!


pukul 3 lebih seperempat, rain duduk di atas karpet luas apartment kalandra bersama dengan jeva yang masih memakai seragam sekolah. ingin ganti, namun mengaku malas. adik jave itu tadi mampir kemari karena mama dan papanya sedang ada acara mantenan (pernikahan.) biasalah, dititipkan sebentar meskipun jave sendiri masih ada jadwal di kampus.

kalandra melongo. rambut acak-acakannya terlihat semakin semrawut ketika melihat ruang tengahnya berantakan. lego berserakan lengkap bersama dengan puzzle-nya juga.

“rain, kalo rumahnya dibikin kayak rumah abang-abang rongsokan boleh enggak?” jeva menggaruk keningnya sebentar, bertanya pada rain yang sibuk memasang puzzle besar kalandra.

“hahaha memang kenapa harus kayak rumah rongsok?” rain menoleh, penasaran.

“soalnya biar enak aja, aku udah males natain. jadi sisa printilannya bisa taruh di pojokan.” jeva menjawab, meletakkan asal segala potongan lego berbentuk kayu dan perabot-perabot kecil sesuka hatinya.

“itu kan ada contohnya toh adek-adek.. capek gue dah sumpah kenapa dari segala banyaknya rumah harus di tempat gueeeeeeeeeeee sih? HEH JEV JEV.. ITU DIPASANG DULU POHONNYA?? RAIN CALON ADEK LO BENERIN HEH PATAH ITU LEGO GUE.”

rain dan jeva mendongak, separuh jengkel namun juga separuh maklum. kalandra memang pada dasarnya cerewet, jadi mereka sudah tentu biasa saja jika harus menerima semprotan seperti itu.

“jev, lo mending mandi aja sih kata gue. nanti abis mandi makan sumpah gue gojekin bakso ini.” kalandra melanjutkan ketika tatapan dua gadis itu masih menempel lekat ke arahnya tanpa ada satupun yang membuka mulut.

jeva berdeham, menoleh pada rain sebentar. “ya udah lah, mandi aja dulu. baksoku pesen campur ya kak kalandra. 2 porsi boleeeeh.”

“tekor gue jev.”

“jangan berlagak miskin ya andaaaaa.” jeva nyolot, lalu mulai masuk ke toilet kamar kakaknya untuk mandi disana.

demi melihat jeva yang sudah menghilang di balik kamar jave, rain segera melanjutkan memasang puzzle kalandra dalam hening. gadis itu toh pada dasarnya memang tidak suka banyak omong. namun sayangnya....

“itu bukan disitu anjir.”

ya, lawannya saja yang cerewet bukan main.

“puzzle lo ribet kak kalandra, tapi udah terlanjur gue bongkar. gimana?”

kalandra mengurut kening. “hari ini gue dah berasa bapak-bapak sih sumpah.”

“gak papa, simulasi. dimanakah pacar lo?”

“GUE JOMBLO.”

“lah yang kemarin ketemu di kafe mana?”

“itu gebetan gue.”

rain mengangguk-angguk saja sebagai tanggapan, membiarkan kalandra duduk di hadapannya untuk membantu.

“jave gak ngerti lo pulang. gak dimarahin?”

“dimarahin lah sudah pasti. gak papa. dia kalo marah-marah lucuuu.”

“asik ye gue pantengin lo berdua..”

rain mendongak. “asik karena?”

“ya asik aja. lucu. maksud gue kayak yang gak ribet-ribet alay gitu lah. kebanyakan pasangan yang udah jadi diumur kecil begini kan suka alay..”

“kayak lo?”

“enak aja?! gue jomblo anjir!”

rain cengengesan, kembali sibuk ke puzzle-nya sendiri. “omong-omong kak jave gojekin nasi padang.”

“gak terima gue gojekin bakso dia?”

“iya. katanya suruh makan nasi.”

“ribet anjing sampe lo berdua gak nikah gue gampar beneran..”

“hahahaha. nikahnya nunggu lo memiliki kekasih gimana kak?”.

“siapa? lo?”

rain mengerut alis, “gue laporin kak jave boleh kah?”

“hehhhhhh! bercandaa!!” kalandra nyolot. lelaki itu lantas menyelonjorkan kaki dan mulai menyalakan televisi.

“jangan mainin perempuan mulu loh kak kalandra. kasihan, mereka kan juga bukannya benda gitu. maksudnya, punya hati.” rain berujar dengan pandangan fokus ke puzzle, tidak beranjak sedikitpun padahal tatapan mata kalandra jatuh ke arahnya berulang kali.

“belum cocok.”

“ya kalo belum cocok jangan lah lo kasih perhatian berlebih. nanti mereka baper.”

kalandra mati kutu. ingin membela diri, namun memang benar disini ia brengsek bukan main. lelaki itu lantas mengangguk saja sebagai tanggapan.

“omong-omong dari pada lo melihat tv apakah boleh membantu aja? gue udah pusing.”

“makanya jangan bongkar-bongkar..”

“bagus tau! barang lo tuh kayak yang gemes-gemes jadi pengen gue obrak-abrik gitu.”

“bilang jave minta beliiii.”

“gak usah. gak penting. selagi bisa pinjem ke lo kenapa pacar gue harus keluar uang?”

“reseeeek ya lo rain!”

“hahahahah engga resek, tapi itu separuh memuji karna tandanya lo tuh berduit, gitu.”

kalandra berdecih, lantas bangkit berdiri. “bentar, gue ambil gojek dulu. tunggu diem disini. STOPPP JANGAN BONGKARIN MAINAN GUE YANG LAIN RAIN.”

“HAHAHAHA oke-oke. oke gue diam.”

part of throwback.

lowercase.


javerio bersumpah baru pertama kali ini ia melihat rain menangis. garis bawahi, MENANGIS.

tangisannya tidak bersuara, pun tidak heboh. gadis itu menangis dalam tenang dengan wajah ditutupi hoodie. punya jave, tentu saja. bahunya tidak bergoncang, hanya kadang merosot, atau juga limbung miring kehilangan tumpuan.

lelaki itu menarik napas pelan, tidak ingin bersuara sedikitpun bahkan untuk sekedar bertanya kenapa sebab menurutnya lebih baik rain sendiri yang membuka bibir di detik-detik seperti ini. atau minimal, tunggu sampai waktunya tepat.

jave menggerakkan tangannya untuk sesekali mengelus punggung rain sabar, sesekali juga menempelkan kepalanya di pucuk kepala rain tanda ia masih ada disitu dan sudah siap untuk dijadikan sandaran ataupun luapan tempat sampah isi hati kekasihnya yang kali ini sedang awut-awutan.

sepi.

taman komplek perumahan rain sepi sekali. maklum, perumahan elit. jarang ada penghuni yang mau duduk di tempat umum kecuali jika sedang berjalan-jalan dengan hewan peliharaannya saja. ya, jave dan rain tidak berkeliling jauh tadi. hanya keluar dari blok rumah dan mampir ke indomart membeli camilan, lalu memutuskan untuk duduk di taman saja.

“kak maaf ya jaketnya basah.. tapi gak ada umbelnya kok. MAAF JOROK, tapi serius aku bawa sapu tang..” ucapan gadis itu yang keluar setelah sekian lama hening terhenti ketika jave memeluknya dari samping. cukup erat, menyalurkan rasa nyaman.

“ada umbelnya juga gak masalah rain. udah enakan, kan? plong abis nangis?”

rain jadi ingin menangis lagi. “iya, udah. maaf ya kak. pasti lebay banget.”

“enggak. gak ada orang nangis lebay tuh gak ada. nih aku tadi sebelum ke rumah beli sop di pujasera. tapi adanya sop merah. mau kan? sini makan dulu, aku juga beli nih. makan bareng, oke?”

rain benar-benar mewek di depan jave kali ini. wajahnya tentu terlihat sangat imut di mata jave, namun melihat air mata yang berkumpul di pelupuk gadisnya, lelaki itu reflek memajukan jempol dan mengusapnya cepat. “mau makan kok nangis?” jave tersenyum, berusaha menghibur.

“makasih udah beliin sop ya kak jave. sejujurnya aku gak papa makan soto. maksudku, aku makan apa aja tuh gak papa. aku bukan yang kayak pilih-pilih makan juga. cuma aku kesel, maksudku, kemarin aku sama mama belanja gitu kan.. terus aku tau mama gak bisa masak, mama tanya ke aku.. rain besok mau makan apa? ya aku jawab aja mama mau sop aja kah? soalnya kan kita lama gak makan sop juga gitu. terus semalem kemarin ya di otak aku isinya hari ini makan sop kan.. akhirnya tadi aku siap-siapin gitu bahannya, kayak udah aku iris-iris gitu kan.. nah eh om janu dateng, bilang mau makan soto.. kamu tau mama langsung ajak aku belanja keperluan soto detik itu jugaaa.. terus kan beli tuh ya, kamu tau ayamnya dipinggirin semua kayak yang disendiriin di mangkuk lain gitu jadi aku cuma dapet kuah. ya maksudnya ini bukan bahas makanannya kayak yang aku rakus gitu bukann.. aku cuma sakit ati aja.. aku pengen didengerin. aku pengen diperhatiin. aku juga suka makan ayam. maaf kalo kesannya egois, tapi aku udah lama nyimpen kecewa jadi meledak gitu. dan ini bukan pertama kalinya. kayak beberapa minggu lalu aku sempet dikasih roti item banget tapi om janu sama clau-ri dapet yang cantik buatan mama. terus kadang aku hari minggu masak, tapi yang makan cuma gio aja soalnya mama sama om janu makan keluar. maksudnya.. oke, oke aku iri. itu mamaku kak jave... aku gak tau kenapa aku diginiin sekarang. aku kangen papa. aku ngerasa aku sendirian banget yang kayak gak punya orang tua. ya andai papa masih ada gitu kan mama gak bingung sama yang lain. aku capek. maaf ini jeleknya aku keluar ya? maaf ya kak jave.” rain meledak, mengeluarkan isi hati sambil berulang kali meminta maaf sebab takut akan dihakimi. membiarkan air matanya meluber keluar dan diusap secara teratur oleh jave yang terus memandangnya tanpa ada sedikitpun tatap menghujat. lelaki itu mendengarkan tiap kata dan mengangguk-anggukkan kepala. memeluk rain sekali lagi dan kali ini enggan melepaskannya.

“cantikku ini duh.. cup-cup. udah jangan ditangisin lagi kalo besok kejadian lagi oke? kalo besok mama gak dengerin kamu, kamu langsung telpon aku. karena toh sekarang kamu juga punya aku. kamu mau ini itu bilang ke aku. meski aku gak bisa kasih semuanya seenggaknya aku bisa kasih waktuku ke kamu. oke, rain? nanti kalo dikasih yang gosong-gosong gitu langsung pinggirin aja ya? rain anak baik gak berhak dikasih yang jahat-jahat. minggu depan aku ajak main kemana aja kamu mau, ajak gio juga sekalian. oke? cup.. rain? sayang....”

“maaf ya kak jave.”

“kenapa maaf lagi?”

“maaf jadi ngeselin. aku gak maksud yang kayak nyebelin gitu tapi emang hari ini paru-parunya sesek gitu. pikiranku sering rame akhir-akhir ini. maaf kalo ngerepotin ya?”

“hus, gak ada yang ngerepotin. aku gak pernah keberatan sama apapun yang nyangkut kamu. semua manusia berhak ngeluapin emosi rain. kamu toh juga manusia bukannya robot. ya kan? gak papa. cerita ke aku kalo lagi berat lain kali ya?”

rain mengangguk, menghentikan tangisan kesalnya itu dan mendongak. “mau cium..” pintanya, menunjukkan kening.

jave tersenyum, menyatukan dahi sebentar sebab gemas bukan main. lalu berakhir mengecup kening rain lama sekali. “kamu boleh egois ke aku rain. minta perhatian sebanyak apapun itu.. aku siap kasih ke kamu. jangan pernah ngerasa sendiri lagi, oke?”

rain mengangguk, membalas pelukan jave erat tanda bersyukur sebab lelaki itu mau menerimanya di saat begini sekalipun.

part of throwback.

lowercase.


javerio bersumpah baru pertama kali ini ia melihat rain menangis. garis bawahi, MENANGIS.

tangisannya tidak bersuara, pun tidak heboh. gadis itu menangis dalam tenang dengan wajah ditutupi hoodie. punya jave, tentu saja. bahunya tidak bergoncang, hanya kadang merosot, atau juga limbung miring kehilangan tumpuan.

lelaki itu menarik napas pelan, tidak ingin bersuara sedikitpun bahkan untuk sekedar bertanya kenapa sebab menurutnya lebih baik rain sendiri yang membuka bibir di detik-detik seperti ini. atau minimal, tunggu sampai waktunya tepat.

jave menggerakkan tangannya untuk sesekali mengelus punggung rain sabar, sesekali juga menempelkan kepalanya di pucuk kepala rain tanda ia masih ada disitu dan sudah siap untuk dijadikan sandaran ataupun luapan tempat sampah isi hati kekasihnya yang kali ini sedang awut-awutan.

sepi.

taman komplek perumahan rain sepi sekali. maklum, perumahan elit. jarang ada penghuni yang mau duduk di tempat umum kecuali jika sedang berjalan-jalan dengan hewan peliharaannya saja. ya, jave dan rain tidak berkeliling jauh tadi. hanya keluar dari blok rumah dan mampir ke indomart membeli camilan, lalu memutuskan untuk duduk di taman saja.

“kak maaf ya jaketnya basah.. tapi gak ada umbelnya kok. MAAF JOROK, tapi serius aku bawa sapu tang..” ucapan gadis itu yang keluar setelah sekian lama hening terhenti ketika jave memeluknya dari samping. cukup erat, menyalurkan rasa nyaman.

“ada umbelnya juga gak masalah rain. udah enakan, kan? plong abis nangis?”

rain jadi ingin menangis lagi. “iya, udah. maaf ya kak. pasti lebay banget.”

“enggak. gak ada orang nangis lebay tuh gak ada. nih aku tadi sebelum ke rumah beli sop di pujasera. tapi adanya sop merah. mau kan? sini makan dulu, aku juga beli nih. makan bareng, oke?”

rain benar-benar mewek di depan jave kali ini. wajahnya tentu terlihat sangat imut di mata jave, namun melihat air mata yang berkumpul di pelupuk gadisnya, lelaki itu reflek memajukan jempol dan mengusapnya cepat. “mau makan kok nangis?” jave tersenyum, berusaha menghibur.

“makasih udah beliin sop ya kak jave. sejujurnya aku gak papa makan soto. maksudku, aku makan apa aja tuh gak papa. aku bukan yang kayak pilih-pilih makan juga. cuma aku kesel, maksudku, kemarin aku sama mama belanja gitu kan.. terus aku tau mama gak bisa masak, mama tanya ke aku.. rain besok mau makan apa? ya aku jawab aja mama mau sop aja kah? soalnya kan kita lama gak makan sop juga gitu. terus semalem kemarin ya di otak aku isinya hari ini makan sop kan.. akhirnya tadi aku siap-siapin gitu bahannya, kayak udah aku iris-iris gitu kan.. nah eh om janu dateng, bilang mau makan soto.. kamu tau mama langsung ajak aku belanja keperluan soto detik itu jugaaa.. terus kan beli tuh ya, kamu tau ayamnya dipinggirin semua kayak yang disendiriin di mangkuk lain gitu jadi aku cuma dapet kuah. ya maksudnya ini bukan bahas makanannya kayak yang aku rakus gitu bukann.. aku cuma sakit ati aja.. aku pengen didengerin. aku pengen diperhatiin. aku juga suka makan ayam. maaf kalo kesannya egois, tapi aku udah lama nyimpen kecewa jadi meledak gitu. dan ini bukan pertama kalinya. kayak beberapa minggu lalu aku sempet dikasih roti item banget tapi om janu sama clau-ri dapet yang cantik buatan mama. maksudnya.. oke, oke aku iri. itu mamaku kak jave... aku gak tau kenapa aku diginiin sekarang. aku kangen papa. aku ngerasa aku sendirian banget yang kayak gak punya orang tua. ya andai papa masih ada gitu kan mama gak bingung sama yang lain. aku capek. maaf ini jeleknya aku keluar ya? maaf ya kak jave.” rain meledak, mengeluarkan isi hati sambil berulang kali meminta maaf sebab takut akan dihakimi. membiarkan air matanya meluber keluar dan diusap secara teratur oleh jave yang terus memandangnya tanpa ada sedikitpun tatap menghujat. lelaki itu mendengarkan tiap kata dan mengangguk-anggukkan kepala. memeluk rain sekali lagi dan kali ini enggan melepaskannya.

“cantikku ini duh.. cup-cup. udah jangan ditangisin lagi kalo besok kejadian lagi oke? kalo besok mama gak dengerin kamu, kamu langsung telpon aku. karena toh sekarang kamu juga punya aku. kamu mau ini itu bilang ke aku. meski aku gak bisa kasih semuanya seenggaknya aku bisa kasih waktuku ke kamu. oke, rain? nanti kalo dikasih yang gosong-gosong gitu langsung pinggirin aja ya? rain anak baik gak berhak dikasih yang jahat-jahat. minggu depan aku ajak main kemana aja kamu mau, ajak gio juga sekalian. oke? cup.. rain? sayang....”

“maaf ya kak jave.”

“kenapa maaf lagi?”

“maaf jadi ngeselin. aku gak maksud yang kayak nyebelin gitu tapi emang hari ini paru-parunya sesek gitu. pikiranku sering rame akhir-akhir ini. maaf kalo ngerepotin ya?”

“hus, gak ada yang ngerepotin. aku gak pernah keberatan sama apapun yang nyangkut kamu. semua manusia berhak ngeluapin emosi rain. kamu toh juga manusia bukannya robot. ya kan? gak papa. cerita ke aku kalo lagi berat lain kali ya?”

rain mengangguk, menghentikan tangisan kesalnya itu dan mendongak. “mau cium..” pintanya, menunjukkan kening.

jave tersenyum, menyatukan dahi sebentar sebab gemas bukan main. lalu berakhir mengecup kening rain lama sekali. “kamu boleh egois ke aku rain. minta perhatian sebanyak apapun itu.. aku siap kasih ke kamu. jangan pernah ngerasa sendiri lagi, oke?”

rain mengangguk, membalas pelukan jave erat tanda bersyukur sebab lelaki itu mau menerimanya di saat begini sekalipun.

random moment. lowercase.

happy reading!


terhitung sudah genap 3 jam mata jave masih setia memejam dan belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari kamar. kelelahan, katanya. namun manusia mana yang bisa dibodohi? bibir jave tadi sore terlihat pucat sekali. bahkan rain berani bersumpah baru kali ini melihat jave pulang kerja hanya mandi biasa dan tidak keramas. padahal lelaki itu terkenal paling risih jika rambutnya kotor terkena debu-debu dari luar.

rain melirik jam dinding sebentar lalu lanjut menata alat makan di atas nampan. gadis itu lantas membawanya masuk ke kamar, mengabaikan anjing-anjing peliharaan mereka yang kini ikut ribut di kandang sebab melihat bayangan majikannya yang hanya numpang melintas dan tak mengajak bermain meski cuma sedetik.

gelap. kamar yang harusnya menyala terang itu tampak gelap tak bercahaya. terselamatkan sedikit berkat lampu taman samping berwarna warm white yang membuat keadaan menjadi sedikit remang-remang. rain reflek menyalakan lampu, lalu kembali menutup pintu kamar dan berjalan mendekati badan kasur.

AC menyala dengan suhu sedang. dan di dalam selimut hitam itu berbaringlah jave dengan posisi terlentang anteng tidak bergerak sedikitpun. dengan peluh yang keluar beberapa titik di sekitar dahi, berhasil membuat rain langsung meletakkan nampan berisi nasi dan sayur bayam itu di atas meja, lalu ganti menarik sapu tangan asal yang ada dalam lemari untuk menyeka keringat suaminya.

“kakak kamu katanya cuma capek, kok jadi sakit..” suara rain cukup bergetar ketika tangan dinginnya mulai mendarat di sekitar dahi. panas. jave benar sakit sesuai dugaannya. gadis itu mendadak jadi ingin menangis saja sebab baru kali ini melihat jave tepar sampai tak bersuara. bangun saja tidak.

“kak jave..” rain memanggil kecil, mengelus kepala jave pelan agar lelaki itu bangun. “makan dulu ayo bentar aja terus nanti minum obat tidur lagi.” lanjutnya, berbicara di dekat telinga.

jave masih diam, belum tersadar. hembusan napasnya bahkan mulai terdengar berat dan kadang menderu hingga membuat rain sesekali mengusuk dadanya agar tenang.

“kakak..” rain memanggil lagi, masih berusaha membangunkan jave. “kepalanya pusing ya? ayo sini aku suapin, nanti abis makan sama minum obat boleh tidur lagi gak akan aku gangguin.” rain melanjutkan, tangannya mengelus mata jave agar lelaki itu setidaknya akan merasa terganggu dan bisa segera bangun.

suhunya tinggi. mata jave terasa panas sekali. dan beberapa detik sebelum rain beranjak untuk mengambil baskom di kamar mandi untuk mengompres, ia mulai melihat jave bergerak kecil. matanya pun turut terbuka perlahan, menyipit sepersekian detik sebab lampu yang asalnya mati total itu sudah menyala. silau.

“rain? ini jam berapa?” jave menyapa dengan suara berat dan serak kas bangun tidur, ingin bangun duduk ketika sadar pandangannya berputar dan kepalanya terasa berat. rain reflek membantu, mencekali kepala jave pelan dan menarik bantalnya agar berdiri menempel di kepala dipan. “pelan aja kalo bangun kak, sekarang senderan gih sebentar? ayo makan sini aku suapin nasi.”

jave menggeleng sesuai dugaan. “kenyang aku rain.”

“iya kalo sakit memang begitu, gak papa, dikit aja ayo. 3 sendok aja boleh.”

jave memijat pelipis, “aku gak sakit sayang. cuma capek. tadi kan aku udah bilang?”

“kamu sakit. kamu demam. kamu panasssssssss. jangan bilang gak sakit sambil senyum-senyum itu seriusan ngeselin banget. kalo sakit bilang aja sakit, kan kamu juga manusia bukannya superman. gak papa, aku yang rawat sini. boleh manja-manja yang manjaaa banget itu, boleh minta apa aja juga nanti aku turutin. yang penting anakku nggak boleh sakit..” rain berujar seraya bangkit berdiri untuk menarik nampan nasi dari meja di seberang dipan.

“aku anakmu?” jave terkekeh berat.

“iya, gantian. sekarang kamu anakku. harus sembuh. oke?”

jave tidak fokus. “bener aku boleh manja sampe sembuh?”

rain mengangguk. “iya, boleh. mau dipuk-puk pas tidur sampe pules juga boleh. tapi sekarang harus makan dulu. harus sembuh demamnya. oke?”

jave memijat pelipis sebentar, “oke.” ujarnya setuju. mulai membuka bibir ketika sendok rain akhirnya bergerak mendekat.

“kak jave gak boleh capek-capek. kalo malem capek langsung tidur aja, mau pijet pundaknya bilang ke aku. intinya kamu gak boleh sakit lagi.” rain berisik seorang diri sambil sibuk mendinginkan makanan. matanya jelas bergetar sebab tidak tega jika jave yang biasanya full energi itu jadi letih-lesu-gundah-merana (paket komplit) seperti ini.

“khawatir kah?” jave bertanya. separuh menggoda, separuh ingin mendengar validasi dari bibir rain sendiri.

“iya. aku gak suka liat cowokku sakit. besok-besok sebelum penyakitnya dateng harus dihajar dulu. oke?” rain berujar jujur seraya memajukan sendok kembali. menyuapkan nasi dan banyak kuah sebab jave memang tidak suka makan bubur.

merasa mendapatkan kasih dari perempuan yang selama ini selalu ia prioritaskan, jave mulai tersenyum dan mengelus pucuk kepala rain pelan. “habis ini aku boleh tidur sambil peluk perut?”

“boleh.”

“sambil elus-elus rambut sampe aku tidur juga mau?”

“mau. semuanya boleh. ayo sini tinggal 2 lagi terus kamu minum obat.”

jave mengangguk dengan ekspresi patuh. tampak menggemaskan sebenarnya, namun siapa yang peduli pada keimutan lelaki itu jika sudah di posisi seperti ini?

bahkan sejujurnya pula kepala jave memang sangat pusing dan pandangannya terlampau berkunang-kunang. ia ingin lanjut tidur sekarang agar kedutan di kepalanya mereda, namun melihat rain yang tampak linglung sebab melihat dirinya tumbang itu jave menjadi tidak tega.

“nah ini obatnya diminum semua oke? di kotak obat enggak ada paracetamol tapi itu obat pusing pasti ada kandungannya ya kan? semoga saja dia mempan sih. nanti aku bantu kompresin biar suhunya cepet turun juga.”

“iya sayang.”

“nanti abis minum obat kamu tiduran dulu aja sebentar aku ambilin baskom sekalian.” rain melanjutkan, lalu bangkit berdiri setelah meringkas alat makan jave. gadis itu lantas berjalan keluar kamar dengan langkah besar.

tidak sampai 5 menit rain kembali lagi membawa air hangat lengkap dengan handuknya.

“lampunya mau aku matiin lagi aja kah biar bisa istirahat?”

“kamu gak papa lampunya dimatiin? biasanya suka serem-serem sendiri.”

“gak papa. yang penting kamu bisa tidur. aku matiin ya?”

jave mengangguk, tidak bertenaga untuk bercengkrama lagi. lelaki itu lantas menidurkan kembali tubuhnya, menunggu rain agar mendekat naik ke kasur.

“udah sekarang anaknya rain tidur, oke?” rain duduk persis di sebelah jave dan langsung disambut oleh tangan panas jave yang melingkar lemas di perutnya. gadis itu lantas meletakkan handuk yang baru ia peras itu di dahi jave. “kakinya jangan nendang kesana ya kak? ada air.”

lelaki itu hanya menggumam tak jelas sebagai balasan.

rain menghela napas, menoleh kanan kiri sebab sejujurnya ia memang tidak suka suasana gelap. gadis itu lantas fokus mengelus rambut jave dan beberapa kali menarik handuk ketika suhu panasnya sudah menempel disana. telaten sekali.

“rainh..”

“iya aku disini. kamu mau apa?”

“biarin aja handuknya gak usah diganti-ganti lagi nanti kamu capek.”

“gak capek aku kak jave.”

“sini aja kamu tidur, katanya yang aku minta diturutin.”

“selain ini aku turutin.”

“hei.” jave membuka mata sebentar, “aku kan udah minum obat, bentar lagi pasti keringetan soalnya dia kerja. udah kamu tidur aja sini, nanti kalo panas lagi aku bangunin kamu boleh kompresin aku lagi.”

rain menimbang, dan mengerti jika jave memang tidak bisa diajak berdebat dan lumayan keras kepala, gadis itu akhirnya menurut saja. setidaknya sampai jave sudah terlelap sempurna ia akan lanjut mengompres kening, kalau bisa sampai dingin sembuh.

“maaf ya aku sakit. tadi gak bilang biar kamu gak gupuh, tapi ketauan.”

rain berdecak, sok kecewa. bercanda.

“maaf dong?”

“iya tapi tidur dulu.” rain mengusuk rambut dan pipi jave bergantian. menyuruhnya lekas pergi ke alam bawah sadar.

jave mencekali tangan rain dan membawanya ke depan bibir. mengecup lama sekali. “besok kalo sembuh bakal aku cium kamu.”

“kamu kepengen kah?”

“tiap hari kepengen.”

“ya sekarang boleh. kamu gak kuat kissing pas sakit?”

“iya, gak kuat. tapi kalopun kuat juga jangan sih, nanti kamu ketularan. aku pilek dikit.”

rain mendengus, mencekali pipi jave sebentar dan maju mencium bibirnya tanpa aba-aba. gadis itu bahkan berani menjilat perlahan dan merasakan bahwa panas badan jave masih belum turun. bibir lelaki itu bahkan sampai kering padahal baru saja minum air putih.

“kali ini kamu diem aja, biar aku yang gerak.” rain berujar pelan, kembali menempelkan bibir dengan gerak lembut dan mulai melumat bawah bibir jave dengan halus. tidak bergerak aneh-aneh, gadis itu hanya mengeksplor luar bibir tanpa adegan brutal seperti yang biasa jave berikan. ciumannya terkesan lembut dan penuh cinta kasih.

“bibirku basah sekarang rain.” jave tertawa kecil, menunjukkan matanya yang melengkung sempurna. mengundang bibir rain bergerak naik ke atas dan mulai mengecup mata jave lama sekali. “kak, kamu boleh ngapa-ngapain aja, tapi please.. gak boleh sakit.” rain berujar, menaikkan kecupan ke dahi sebentar sebelum kembali ke posisi tidurnya lagi.

jave benar-benar merasa disayang sekali. lelaki itu lantas menarik tubuh rain menempel di dekatnya. “sini aku mau cium punyamu bentar.” tagihnya kemudian.

“punyaku apa?”

“ya apa maunya? kening lah sini.” lelaki itu gemas, lalu lanjut menarik kening rain mendekat dan menciumnya lama. “aku mau tidur begini biar kamu gak pindah-pindah. gak papa ya?”

“eh tapi kan..”

“iya, justru.. aku tau kamu mau begadang ngompres aku kan? gak usah. tidur aja udah sini diem sama aku.”

rain menghela napas, pasrah. “oke, nanti kalo butuh sesuatu bangunin aku.”

“siap sayang.”

rain langsung mengangguk-angguk. “anak pinter.” ujarnya, melingkarkan tangan pada pinggang jave. siap untuk tidur meski ia sendiri yakin tidak akan bisa sepenuhnya memejam.

sudah pukul 10 malam, dan rain masih saja berada di kamar mandi tak menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari sana. pintunya menutup rapat, tidak ada suara air, ataupun tanda-tanda kehidupan yang seharusnya juga terdengar meski sayup-sayup.

jave mengacak rambutnya gemas. seperempat merasa khawatir, selebihnya lagi sudah ingin mendobrak pintu sebab tau bahwa rain tidak keluar hanya karena sedang malu. padahal toh tadi siapa juga yang mencetus ide pakai baju haram?

lelaki itu sudah ingin melayangkan tangan untuk mengetuk pintu ketika rain mendadak membukanya terlebih dulu. gadis itu keluar dengan badan tertutup jaket kulit hitam milik jave yang kebesaran dan wajah menunduk, menolak melakukan kontak mata.

malu-malu. khas rain chandra.

“apa ini?” jave hampir tertawa, menangkup pipi rain agar bisa fokus melihat ke matanya sebentar.

“kakak aku malu. maaf. tapi serius ini, ini terasa agak apa sih? agak berdosa gitu. kayak telanjang gak telanjang, pake baju juga gak pake baju. bingung. konsepnya apa..” rain menjawab, masih tidak menjatuhkan mata ke milik jave. ia jelas lama di toilet karena merutuk diri sejak detik pertama mengenakan kain dari lea tersebut. gadis itu sampai rela menarik jaket bersih jave yang baru ia lipat di atas kursi tadi hanya untuk sekedar menutup badan ketika keluar.

lelaki itu tertawa, menyigar rambutnya yang sudah kering setelah selesai keramas itu dan lanjut memepet rain sampai menempel di tembok sempurna.

“aku udah kepingin dari minggu lalu... dan dengan kamu begini ini udah godain aku banget.”

“iya maaf maksudnya bukan mau godain tapi..”

“tapi?” jave meneleng kepala.

“gak jadi.”

“dasar rain jelek gak jelas.” jave mencubit hidung rain pelan, lalu menggeret langkah perlahan mendekati kasur.

“eh eh.. mulai sekarang kah? maksudnya, anu, ini tuh.. gak ada basa-basinya gitu?” rain panik.

jave duduk, menarik rain naik ke pangkuannya. “mau basa-basi apa enggak juga nanti jatuhnya tetep main, ya gak rain?”

“hrrrr, ya juga sih. ya, gak salah. oke. terserah.” rain langsung pasrah. pasalnya jave memang sudah beberapa hari mengode minta jatah namun tidak ada cukup waktu. kelelahan adalah faktor utamanya.

gadis itu lantas mengelus pipi jave sebentar dengan tangan kebas berkeringat untuk sekedar menyapa, lalu mulai menurunkan ritsleting jaket yang masih menempel di tubuhnya tersebut secara perlahan. malu. gadis itu memang malu bukan main, tapi entah kenapa hari ini ia juga menginginkan hal serupa. jadi ia tidak merasa begitu keberatan.

mata rain memejam rapat sebentar kala tangannya mulai menarik lepas jaket agar pergi dari badannya. jave sampai terperangah beberapa detik ketika melihat gerakan sensual yang terjadi persis di depan mata tersebut. menurutnya, rain memang cukup berani saat ini. dan fakta itu membuat otak jave makin ingin meledak. lebih tepatnya, ingin bermain sedikit lebih kasar nantinya. namun, masalah tega atau tidaknya mungkin bisa dilihat kedepan saja.

“hrr.. kamu mau main sambil tutup mata kah kak jave?” rain bertanya ketika jaketnya sudah ia sampir ke ujung kasur. tangannya menangkup kedua pipi jave agar mata lelaki itu mau melihat ke matanya saja dan tidak bergerak kemana-mana terlebih dahulu. masih malu. terlampau malu.

jave reflek mengerut alis. jantungnya sudah berdetak tidak beraturan sebab tau bahwa rain telah lepas kain di atas pangkuannya. namun menyadari bahwa mata istrinya sedikit goyah karena rasa malunya lebih mendominasi, jave berusaha kuat untuk tetap tenang dan mengatur napasnya dengan benar agar tidak merusak suasana hati rain yang memang mudah berubah jika sudah urusan ranjang.

“memang kenapa aku yang tutup mata rain?” jave meneleng kepala pada akhirnya. menggoda.

“eh lah masa aku kak?” rain malah terjebak percakapan.

“hahaha. kamu mau coba?”

“kak jave seriusan itu serem.” rain menggigit bibirnya gelisah. dan seperti melihat air di tengah padang gurun, gerakan rain barusan membuat bulu tubuh jave meremang beberapa saat. pandangan mata lelaki itu bahkan kini sudah turun dan menjelajah setiap area tubuh dengan perlahan. mengabaikan wajah merah padam penuh raut penyesalan itu sambil sesekali membasahi bibirnya sendiri yang tanpa sadar telah mengering sempurna.

bagaimana tidak? istrinya itu terlihat seksi sekali sebab baju yang diberikan lea sungguh sangat pas, entah dari segi ukuran ataupun designnya. mengingat kepribadian rain yang memang pendiam dan lebih sering malu-malu itu, baju ini memang cocok untuk rain. dalam artian lagi, terbuka, namun tidak berlebihan. lubangnya memang ada dimana-mana, namun tidak separah itu. menurut jave sebenarnya malah masih aman-aman saja. selain fakta bahwa lubang besar itu memang terletak pada bagian sensitif rain di bawah sana. pencipta baju ini memang benar-benar punya imajinasi luar biasa.

jave lantas kembali menjatuhkan pandangannya ke mata rain. mengunci tatapan seperti yang biasa ia lakukan agar mood rain naik. ia tau rain suka diperlakukan lembut, gadis itu tidak begitu suka dikasari ketika bermain. padahal terkadang jave ingin sekali bergerak lebih brutal daripada biasanya, setidaknya ia ingin memberikan energi terbaik yang bisa ia keluarkan pada rain agar gadisnya juga bisa merasa terpuaskan.

lelaki itu lantas menyisir rambut rain ke belakang agar tidak mengganggu pandangan. sudah tentu ia akan langsung memulainya. tidak perlu menunggu lama lagi karena detik terus bergerak, besok mereka bahkan juga masih harus bekerja. jave kemudian tersenyum kecil. tangannya bergerak membuang kain hitam yang memang ada satu paket dengan baju rain tersebut ke ujung kasur. dengan arti lain, ia tidak membutuhkannya.

lelaki itu ingin rain bermain dengan menatap matanya. sebab, kenapa pula ia harus melihat secarik kain hitam jika bagian yang paling ia suka adalah sorot mata rain yang selalu menatapnya penuh puja?

“kak jave..” rain mengeluarkan erangan kecil ketika lidah jave mendadak saja terulur ke belakang telinga kanannya. tidak banyak basa-basi betulan rupanya melihat lelaki itu yang terus menyerang bagian sensitif rain dengan tanpa dosa tersebut. gerakan awalnya memang masih pelan dan lembut, hingga lama-lama berubah brutal dan membuat rain kelabakan menahan lenguhan.

dan jika rain biasanya hanya pasif menunggu jave bergerak kian jauh, maka kali ini berbeda. entah, gadis itu sudah seperti kerasukan. tangannya perlahan mengalung rapat sambil sesekali mengelus kasar rambut belakang jave yang halus rapi.

“enak rain?” jave berbisik, memberikan jeda sebentar sebelum akhirnya kembali menjulur lidah masuk ke lubang telinga dan menimbulkan suara becek yang makin membuat tubuh keduanya memanas sempurna.

rain tidak menjawab, sebagai gantinya gadis itu meneleng kepala, membiarkan jave menyedot dan mengeksplor telinga serta leher sampingnya dengan puas. meski sejujurnya ia sudah ingin pergi sebab leher adalah bagian tersensitif yang rain punya.

lenguh demi lenguh keluar memenuhi ruangan, membuat jave kian semangat memberikan kecup dan hisap kuat pada leher dan pundak putih milik istrinya tersebut. lidahnya mengeksplor tak kenal wilayah hingga akhirnya rain menarik napas kuat, mencoba memberanikan diri untuk menginterupsi kegiatan jave tersebut dan menarik mundur badannya.

jave mengusap bibir sebentar, deru napasnya tidak beraturan. lelaki itu sudah ingin menanyakan alasan rain menjauhkan badan ketika tiba-tiba saja lehernya dijadikan tumpuan oleh tangan rain yang kecil dan dingin tersebut.

“aku aja, maksudku, malem ini gantian aku yang main. kamu gak usah repot capek-capek.” rain berujar, mendekatkan bibir ke arah leher jave dan menekankan kecupan lama pada jakun jave yang menonjol sebab sejak tadi sibuk menelan saliva.

jave ingin menahan, namun hisapan dan uluran lidah rain di area leher dan pundak itu sudah menghilangkan kewarasannya yang tersisa.

“gosh..” jave mengerang ketika tangan rain masuk ke dalam kaos jave dan meraba perutnya halus. garis demi garis rain telusuri secara pelan dan lembut hingga akhirnya jemari indah itu mendarat di dadanya. dan demi apapun jave tidak pernah menyangka jika rain akan berani memilin putingnya sedemikian rupa seperti saat ini.

stress. jave reflek menarik lepas kaosnya dan memilih untuk menindih rain di atas ranjang.

“eh, kenapa kok mendadak jadi aku di bawah lagi?” rain protes dengan wajah lucu kebingungan. tidak kaget, gadis itu memang suka linglung jika sudah berurusan dengan hal-hal dewasa seperti ini. tindakannya seperti dilakukan antara sadar dan tidak sadar.

jave terkekeh, tidak menjawab pertanyaan rain tadi dan kini mulai menyampir tali tipis yang menggantung di pundak itu agar turun ke lengan atas, ingin menarik kain di area dada itu ke bawah sedikit demi menilik dua buah anaknya yang dari tadi belum ia lihat keberadaannya.

“oh..” jave menegang, rain memakai baju dari lea sepertinya keputusan bagus sebab kini otak lelaki itu makin kalang kabut melihat gundukan yang seakan malu-malu menyembul tersebut.

rain sudah tidak mampu berkomentar. gadis itu menarik bantal milik jave sebentar, lalu menutup wajahnya rapat. desahan rain mulai keluar ketika merasa hangatnya mulut jave menyelimuti miliknya secara penuh. lelaki itu seakan ingin memakan dan menghisap semuanya tanpa sisa sedikitpun.

“ahh.. ya ampun....” rain protes bukan main ketika bantal penutupnya ditarik minggir. bibir jave yang tadi masih sibuk menghisap dada itu kini berpindah menghajar bibir rain kembali. tangan kanan lelaki itu meremas gemas gundukan kiri rain sambil sesekali mencubit dan memilin putingnya keras. sedang tangan kirinya meremat kuat jemari rain demi menyalur nafsu. istrinya itu sampai kelabakan antara ingin berteriak dan menendang jave kali ini. saking nikmatnya

lidah lelaki itu terus bermain dalam mulut rain, menyapu seluruhnya hingga puas dan mengakhirinya dengan dua kali sedotan kuat. gila sekali. bunyinya bahkan terdengar begitu nyaring di telinga.

“hhh.” jave membuang napasnya yang berderu berat. terkekeh pelan melihat rain yang sudah setengah amburadul, lalu bergerak mengecup pipinya. cinta sekali.

“biasanya kalo udah sok-sok melemah begitu mau aneh-aneh!!!!” rain sangsi, meneleng kepala ketika kecupan jave turun hangat di pipinya berulang kali.

“hehe.”

“tuh kan!!!! aku tuh sudah hafal ya sama kamu kak jave.”

lelaki itu memundurkan badan, menaikkan sebelah alis sebagai balasan. “jangan marah ke aku ya besok?”

“apa? kamu mau apaaaa?????” rain makin sensitif sebab jave sudah berucap demikian.

jave hanya diam, namun dengan perlahan ia memiringkan tubuh rain ke arah samping, lalu ikut menidurkan badan di belakang rain dengan posisi berlawanan.

“kak jave sumpah kamu sedang kerasukan kah?” rain grogi setengah mati sebab kini kepala jave ada di bawahnya sana, berada tepat di belakang pantat.

“kak javh.. mmh ya ampunhh.. bisa begitu orang ini serius....” rain menggelinjang hebat ketika kakinya dengan cepat diangkat sebelah, lalu dengan tanpa banyak percakapan lagi kepala jave masuk menyempil di antara kedua kakinya. siap bermain.

“ahh sumpah kamu mau apa sih kenapa harus begitu? aku.. kakk!!!”

jave terkekeh berat, mulai menjulurkan lidah dan menjilat area hangat tersebut dengan perlahan. gerakannya kadang lurus mengikut jalur, kadang memutar juga diselangi oleh hisapan kuat sebab cairan rain turun banjir dari detik ke detik. sepertinya posisi ini membuat rain juga hilang akal karena gadis itu benar-benar kelimpungan ingin kabur betulan jika jave tidak memeluk pinggulnya rapat.

“ahhhh.. udah.. sayang udah.. pleaseeeeeee..”

jave tidak mendengarkan, terus melumat makanannya itu dengan gerakan sensual, menjulur lidah keluar dan masuk lubang tanpa permisi lagi. tangannya yang memeluk itu meremat pinggul rain berulang kali hingga kulit putihnya mengecap kemerahan. jave baru menarik mundur kepalanya ketika rain melenguh kuat, cairannya meledak untuk pertama kali malam ini.

“sudah gila kah sumpah kak javeeeeeeeee...” rain tidak memberikan ruang pada jave untuk menggempur lagi. gadis itu duduk, menyender di kepala dipan sembari menyilang tangan.

“diam disitu!!!!!!!!! jangan mendekat.. STOPPPPP. GAK MAU. KAK SUMPAH ORANG INI AHHHHH..”

“apa sayang?” jave tertawa, melebarkan kaki rain dan mendekatkan bagian bawahnya sendiri ke sana. masih pakai dalaman, aman.

“ahh.. jangan begitu kak.. kenapa sih suka banget godain orang?” rain meremat tangan jave yang kini mulai mengungkung di atasnya itu kuat. menyalurkan rasa aneh sebab milik jave yang belum keluar dari sarang itu benar-benar menempel dan digesek pelan pada miliknya yang masih berkedut.

begitu terus jave menggesekkan miliknya dengan tekanan kuat sampai akhirnya gerah sendiri. desahan rain yang mendarat tepat di dekat telinga terus menerus itu membuat jave menepi, langsung menurunkan dalamannya. ya, tidak tahan.

“kakak coba kamu diem situ dulu biar gantian aku yang.. yah, itu lah.. kamu tau..”

jave meneleng kepala. “hahaha. anak kecil mau apa?”

“ish..” rain mengerut alis, ganti duduk mendekati arah jave berdiri.

“gak usah repot-repot udah sayang.. kalo gitu nanti makin malem, kamu besok ngantuk..”

“no. kasihan kamu.”*

“yang penting kamu duluan, aku belakangan tuh gampang. mau main versi komplit juga bisa malem minggu besok.”

“agak serem.” rain bergidik, bangkit berdiri. gadis itu lantas menatap mata jave lama sekali sebelum akhirnya berjinjit dan mencium bibirnya halus.

“biar apa?” jave tertawa hingga matanya menyipit hilang, memeluk pinggang rain erat.

“biar.. biar gak papa sih.. maksudnya aku pengen aja. enak tau, kalo ciuman gak keburu-buru. eh.. eh?” rain kaget sendiri, buru-buru menutup bibirnya karena main ceplas-ceplos.

see? rain masih selucu itu.

jave tersenyum, menundukkan kepala dan kembali menjatuhkan ciuman ringan pada bibir rain setelah sebelumnya sudah menjauhkan tangan dari objek incarannya. menjilat dan melumat pelan, lalu menarik mundur wajahnya sebentar sambil mengelus tengkuk rain demi menyalurkan kenyamanan. lelaki itu lantas menempelkan kembali bibirnya rapat. ciuman halus, namun intens sekali. tidak perlu heran, jika masalah menghidupkan sisi dewasa rain memang jave sudah juara sekali.

gadis itu kembali terpancing, mulai mengalungkan sebelah tangan pada leher jave sambil sesekali meremasnya kuat. entah, ingin saja.

“mmh..”

bukan. itu bukan suara milik rain, melainkan suara jave yang kini menguar disela ciuman sebab satu tangan rain diam-diam turun dan mengurut pelan miliknya yang memang sudah bangun sejak tadi. ingin melepas pagutan, namun istrinya mencekali tengkuk tanda tidak mau berpisah.

sensasinya sinting sekali. tangan rain yang dulu masih sedikit kaku ketika bermain kini sudah mulai lihai. perempuan itu mengurut sambil sesekali meremas bijinya gemas. jave sampai kerap menahan napas di tengah ciuman saking brutalnya tangan rain di bawah sana.

“enak kak?”

jave menunduk, melihat mata rain yang kini menatap lurus ke arahnya. menunggu jawaban. makin sinting lagi pikirannya karena disaat ia mengangguk, bibir rain perlahan bergerak turun untuk menjilat putingnya. belum, belum seberapa karena puncak kegilaan jave adalah kepala pusakanya yang kini sudah digesekkan pada milik rain tanpa aba-aba.

“rainy......” jave bersumpah ia ingin meledak saat ini, tangan lelaki itu sampai harus meremas lengan atas rain karena otaknya benar-benar blur totalitas. birahinya sudah kepalang diubun-ubun, tidak bisa dibendung lagi.

dengan sigap lelaki itu menarik tubuh dan memutar rain agar membelakanginya. menyuruh gadis itu agar naik dan menungging di kasur, lalu bergegas menyusul dan berlutut di belakangnya.

jave menggeram nikmat ketika perlahan memasukkan pusakanya pada milik rain yang basah tersebut. mendengarkan rain melenguh kencang, lalu mulai merapatkan punggung. menindih rain dari atas.

“ahh mmh, kak.. kok.. kok enak..” rain tersengal, menggenggam tangan jave yang ada di sekitar tubuhnya itu sambil terus memejam mata, menikmati hajaran jave yang terus menikam nikmat sambil terus mengeluarkan desahan-desahan dengan berbagai oktaf.

jave tersenyum, mulai mencium dan menjilat pundak rain sembari tangannya sesekali mengelus halus. lelaki itu terus menyentak sampai akhirnya rain merengek di bawahnya.

“harder, please?”

“oh? bisa request kamu sekarang?” jave membalas bingung, namun tetap menurut. menghajar titik terdalam rain dengan hentakan kuat dalam ritme pelan teratur. membuat desahan rain benar-benar menguar seiringan dengan dorongan jave tersebut.

“aku mau punya anak kak.. kemaren-kemaren, kayaknya gak jadi.. ahh.. karena bukan tanggal subur.”

“sekarang subur?”

“mmmhhhhh.. kakkk, jangan dihentak lagi udah. aku mau pipis.”

jave melumat telinga rain dari atas ketika perlahan menarik tubuh rain agar sedikit naik ke atas. menahan istrinya agar tidak keluar terlebih dulu.
“subur sayang?”

“hmmh, iya.. aku, aku udah cek. ahhh.. sumpah kak jave brutal banget..” rain yang kini menumpu di atas kasur dengan kedua tangan itu makin sinting ketika payudaranya diremas kuat. ciuman yang menjajah di pundak itu bahkan kini turun makin liar.

jave menghentakkan pinggulnya dengan ritme cepat, lalu ketika rain melenguh ingin keluar lagi, lelaki itu sigap mengubah posisi kembali.

“kakak aku capek........” rain sambat ketika kini ia duduk di atas jave dengan posisi membelakangi. membiarkan lelaki itu menusuk kembali pusakanya yang belum habis baterai. jemari kanan jave bahkan kini sudah turun memainkan klit rain, sedangkan tangan kirinya sibuk meremas payudara lagi.

“kamu hari ini godain akalku banget rain.” jave berbisik, menjatuhkan ciuman pada pipi dan telinga kanan rain. benar-benar definisi menghajar yang sesungguhnya.

“iya maaf, aku sengaja dikit. maksudku, aku mau.. ahh.. ya itu.. mau bayiiiiiii.”

jave memejamkan mata, melesakkan miliknya kuat pada milik rain dengan tempo cepat sambil kini ikut mendesah berat. ia sudah siap untuk meledak.

“ayo rainh, bareng..” jave berujar, memeluk rain rapat dari belakang sambil mengangkat pinggulnya sedikit demi memberi akses gerak agar bisa maksimal.

rain mengangguk, beberapa kali tersengal sebab sudah kelelahan setengah mati hingga akhirnya jave benar-benar memuntahkan semua cairannya di dalam rahim disusul oleh miliknya yang kini ikut meluber.

“aku juga mau punya anak. maaf aku sibuk terus belakangan ini.” jave berucap, merebahkan kepala di pundak rain karena lemas bukan main.

“loh eh kakak jangan maaf-maaf, kan kerja.. ngerti kok kalo sibuk. itu tadi aku cuma bicara aja.”

jave menggeleng, menciumi pundak rain lagi. “tetep aja.”

“gak ih kak jave..” rain berdecak, mengelus rambut jave halus.

“semoga yang ini langsung jadi..”

rain mengangguk. “iya, amin 10rius.. tapi bisa gak? itu.. janinya, jangan sengaja digoyang-goyang?” ujarnya, menggigit bibir.

“hehehe.” jave malah terkekeh sambil terus menjatuhkan ciuman di pundak, leher dan pipi.

“love you rain.”

“yaaaaaaaa.”

“LOVE KU?”

“males! kamu brutal-in aku malem ini sampe adegan paksa aku pake bajunya leaaaa!!”

“eh sayang. kan kamu yang mau?”

“ih enggaaaaa.”

“eh iya kamu tadi nanya di chat.” jave menahan rain yang sudah ingin mencabut dirinya menjauh.

“itu bercanda ya kakak. ehh astagaa udah ini udah jam 12 lihatlahhh orang ini ya ampunnn...” rain protes ketika jave mengubek miliknya di bawah sana. ingin bermain lagi.

“gak papa rain, korban sehari ngantuk besok aku gak masalah. lebih kasian lagi kalo jani bangun gak bisa tidur gara-gara kangen sama kamu.”

rain mencubit tangan jave kencang, ingin lari kabur keluar kamar.