waterrmark

suasana club malam ini sangat tidak bisa dibicarakan lagi ramainya seperti apa. jika memang bisa, mungkin satu-satunya hal yang mampu disamakan hanyalah pasar. versi ada musik, lampu serta dj berpakaian seksi yang nangkring di atas sana.

jave menegak minumannya sekali lagi. tidak peduli juna sudah muring-muring setengah murka di sebelahnya sembari sesekali mengusir perempuan yang mendekati jave dengan gerakan agresif.

“balik astaga jave anjing udah jam 2 lo digrepe-grepe cewek woyyy.”

“jav..”

“astaga sumpah jangan bilang lo begini gara-gara rain doang.”

jave terkekeh dalam mabuknya, seperti masih sadar, tapi lebih banyak tidak sadarnya. ucapannya sudah melantur tidak keruan. bahkan tadi laki-laki itu sempat menunduk lama, menangis dalam diam.

juna berdecak, prihatin.  “lagian putus kenapa dah lo berdua astaga.. balikan woi kalo masih demen.” ia berucap, mengomel.

sedetik kemudian juna langsung mengecek hp jave, memastikan mantan dari pemilik hp itu sudah menelpon ataukah belum.

persis ketika ia mengangkat ponsel, benda layar datar tersebut bergetar kecil dan nama rain muncul di atasnya.

tak banyak bicara lagi juna segera mengangkat panggilan tersebut yang rupanya adalah panggilan video.

“halo..?” suara rain muncul di ujung sana, serak.

“oh halo rain. gue juna. sorry ngerepotin lo jam segini, tapi boleh tolongin gue kan?”

“oh iya kak juna.. gak apa-apa.”

“lo panggilin jave ya, rain.. lo kalo malu, gue melipir kok.. gue ngejauh dulu.”

“gitu kak?”

“iya. gue taruh hpnya di sini aja lo panggilin jave ya? suruh balik rain.”

rain hening sesaat.

“mau kan rain?”

“hm, memang mempan kah kak kalo disuruh pulang?”

try it rain. kalo menurut gue, mempan.” juna membalas, meletakkan hp tepat di depan wajah jave yang sedang menunduk itu, lalu melangkah 3 meter menjauh. memberikan sedikit ruang.

“halo..” rain mulai menyapa pelan. entah suaranya mampu menembus telinga jave atau tidak karena suasana club semakin parah saja bisingnya.

“kak jave?” gadis itu memanggil sekali lagi.

jave tampak bergerak, namun hanya bergerak sedikit saja rupanya karena sedetik kemudian lelaki itu lanjut berdiam diri lagi. menunduk semakin dalam, menyembunyikan wajah di tangannya yang sedang tertekuk di atas meja.

“kak jave, ini rain..” gadis itu bersuara, menyebut identitas. suaranya mengecil akibat air mata yang entah kenapa sudah ingin keluar kembali.

sebenarnya salah satu alasan ia tidak ingin on cam adalah matanya yang sudah tidak jelas lagi bagaimana bentuknya. bengkak sekali. ya, rain sedang sering menangis akhir-akhir ini.

lelaki di seberang sana masih belum bereaksi. rain bahkan sudah melihat beberapa gadis datang mendekat, menyentuh pundak laki-laki itu. mungkin ingin mengajaknya turun ke lantai untuk menari.

“ini javerio basket pas itu kan? tambah gede ototnya anjing, cakep banget.”

“lo taruhan dia betah main di kasur?”

“semua harta gue, gue taruhin.”

“hahahaha. asli. 2 lawan 1, menurut lo oke gak?”

tangis rain terurai sudah. banjir sekali mendengar ucapan-ucapan yang terlontar di ujung sana. ia bahkan sudah ingin mengakhiri panggilan ketika melihat jave mendadak menegakkan punggungnya perlahan.

mata lelaki itu merah, entah akibat mabuk, ataukah hal yang lain.

“udah bangun, jav?”

“lo gak mau main, bareng kita?” salah satunya sudah duduk di pangkuan jave, menghalangi pandangan layar telepon.

jave dengan sopan mendorong gadis itu pergi dari atas pahanya. tidak berucap apapun lagi selain tangannya yang bergerak menarik ponsel untuk bisa segera pergi menjauh.

“jav.. lo selalu begini sama kita? apa kurangnya kita? lo bukannya sekarang lagi single? apa masalahnya?” salah satu gadis berteriak, membuat jave menoleh ke belakang sekali lagi.

“gue masih punya cewek.”

“lo udah putus.”

jave seketika terdiam. “iya, iya gue udah putus.”


panggilan video dari rain masih belum dimatikan sampai jave masuk di dalam kamarnya yang berada di apartment milik kalandra. ya, jave dan gibran sedang sering menginap di apartment kalandra karena dekat dengan kampus.

juna pulang sendiri setelah selesai mengantar jave dengan aman. mobil lelaki itupun sudah terparkir mulus di garasi karena kalandra memanggilkan sopir untuk mengurus mobil jave.

“mabuk sampe begini jav jav... emak lo ngerti bisa dihajar gue.”

“sadar woy ganti dulu lah minimal.” gibran menggoyang pundak jave, menyadarkan.

lelaki itu hanya diam, fokus memegangi kepalanya sendiri dengan ponsel yang kini sudah terlempar di sebelah tubuhnya.

tidak ada suara memang, rain membisukan panggilannya.

“lo ditelpon rain loh tadi. lo angkat gak?” gibran tiba-tiba bertanya, langkah kakinya sudah hampir keluar dari kamar jave.

“gak ada yang telpon gue, cuma emang tadi kayaknya gue over minum, gue denger suara rain. ngayal.”

“iya.. ngayal kali emang lo. tapi siapa tau beneran di call gak sengaja kepencet mending lo cek hp aja.”

jave menggeleng, “rain udah sama karel, bran. mana mau dia hubungi gue hahaha.”

“lo dari dulu kenapa bahas karel mulu sih? rain demen karel?”

jave menggeleng. “gak ngerti. gue mau tidur.”

gibran mendengus, “ati-ati muntah dah lo.”

“hm.”

gibran lantas benar menghilang di balik pintu setelah menutupnya rapat-rapat.

jave merebahkan tubuhnya, tidak berniat mengecek ponsel meski sudah diberitahu bahwa rain mungkin menelponnya tadi.

mustahil, rain tidak pernah menghubunginya sejauh ini. mungkin tadi iya, menanyakan apakah ia mabuk atau tidak. tapi hanya sebatas itu saja.

hening. hanya suara dengung AC ruangan yang terdengar dan deru napas jave yang tidak beratur.

“kak, jangan mabuk lagi. ya?” suara rain tau-tau keluar begitu saja, mendarat di telinga jave dengan beningnya.

“halu beneran gue.”

“aku gak pernah deket sama karel juga. dari dulu. aku cuma temenan aja.”

jave benar mengerjap kali ini. kepalanya yang makin berat itu sudah tidak ia pedulikan lagi.

“rain?”

“iya, ini rain.”

lelaki itu sibuk mencari, mulai menyalahkan pikirannya yang mungkin sudah awut-awutan.

“di hp kak.”

jave mengerjap lagi, mengusir rasa berat pada kepalanya. meraih hp.

“call? sejak kapan..?”

“2 jam lalu.”

“oh?”

“tadi disuruh sama kak kalandra.”

“oke.”

“iya.”

hening.

“suaramu serek banget, rain.”

“lagi batuk kak.” balasnya, berbohong.

“minum yang dulu pernah aku beliin mempan kah?”

“mempan kok.”

“oke.”

“iya.”

hening lagi, kali ini cukup lama. jave sendiri juga tidak menunjukkan wajahnya barang sedikitpun. ponselnya mengarah ke langit-langit kamar.

“siapapun yang tadi kamu liat di bar, bukan cewekku rain.”

“iya kak.”

“sorry.” ucapnya, berbisik. “sorry for being selfish, rain.”

“kamu gak mau tidur kah?”

“oh iya, sorry lagi. udah malem ya. matiin aja rain.”

rain tidak lekas menjawab.

thanks udah mau telpon aku.”

“gak masalah.”

“iya.”

“aku matiin ya kak?”

“bentar.”

rain menurut. memberikan ruang pada jave untuk berbicara lagi.

“boleh lihat wajahmu gak rain?”

“oh.. kenapa?”

“aku, kangen.”

hening. lama sekali. rain entah bagaimana kondisinya di seberang sana karena yang terdengar beberapa saat kemudian hanya suara grasak-grusuk saja.

“rain?”

“iya.”

“boleh?”

“ya, boleh.” gadis itu menyalakan kameranya sendiri pada akhirnya. tepatnya setelah dua jam hanya warna hitam yang muncul di layarnya.

“sejak kapan pake kaca mata rain?”

“barusan kak.”

“jangan sering begadang biar matanya gak sakit.”

“iya makasih.”

jave mengangguk, membuang pandangan karena dirasa hatinya semakin nyut-nyutan saja malam ini. pikirannya berjalan kesana kemari, tidak jelas. tidak nyaman.

“kak jave.”

“ya rain.”

“apapun masalahnya jangan pergi clubbing lagi ya? jangan sedih.”

tepat ketika ucapan rain terlontar, jave langsung menunduk. tangisannya pecah.

sorry rain. sorry. aku minta maaf banget.”

“jangan nangis.” rain malah kembali berkaca-kaca.

“sejak hari itu ada satu bagian hatiku yang marah banget, setiap hari selalu kepikiran. maafin aku ya rain.”

“gak salah kak. gak papa.”

“aku tiap hari kangen kamu. aku ngaku salah pas itu. sekali lagi maaf ya rain.”

“ya.”

“satu-satunya jalan buat nebus cuma doaku yang selalu aku kasih buat kamu. semoga kamu selalu baik-baik aja.”

sepi. rain benar menahan semua tangisannya melihat jave seperti itu.

“kamu sendiri? kamu baik-baik aja kah kak?”

jave diam, menggeleng. “nyatanya enggak sebaik itu rain.”

“semoga kamu juga baik-baik aja ke depannya.”

jave mendongakkan kepala. matanya semakin merah. pengaruh alkohol belum hilang benar dari tubuhnya.

“can we go back together again, rain?”

hening.

sangat lama.

beberapa saat kemudian layar ponsel jave menghitam. baterainya habis.

finger kiss.

lowercase.


jave maju berulang kali. lelaki satu itu rupanya punya banyak prestasi terlebih di bidang olahraga.

rain yang tadi sedang asik bersama jeva itu melipir. mendekati kalandra dan lainnya karena tadi lukas memberi kode agar dirinya minggir. yah, kata lainnya, rain diusir.

memang sialan.

“sini lah gak usah canggung.” kalandra melambai, menepuk kursi di sebelahnya. kursi milik jave.

“liat noh cowok lo, idih.. kaga capek-capek maju begitu.” ia melanjutkan, memberi canda sedikit agar rain nyaman duduk di sebelahnya.

gadis itu hanya mengangguk. fokus mendengarkan apa saja piagam yang diterima jave malam ini.

“lo suka jave karena apa rain?” kalandra tau-tau bertanya.

rain menoleh. mengerut alis. “kenapa memang?”

“gak. gue cuma mikir semua cewek suka jave karna dia ganteng. apa lo juga?”

“ganteng itu penting sih. maksud gue, lo kalo suka banget sama sesuatu pasti lihat dari covernya dulu kan? ibarat lo suka motor, lo pasti bilang wah gila bodynya mantap, stangnya oke. dan lain-lainnya. kak jave emang ganteng. yah, golongan lo semua ganteng. tapi..”

“tapi?”

“gue suka karna dia deketin gue duluan.”

kalandra kali ini menghadapkan tubuhnya sempurna ke rain. “jadi?”

“gue liat dia ganteng. sama kayak gue liat lo ganteng gini. tapi dia beneran keliatan mepet gue banget waktu awal itu, dan gue termasuk orang yang sadar diri. maksudnya kan gue tau dia ini orang yang most wanted gitu ya di sekolah, gak mungkin dong gue kayak... wah! cowok ini harus jadi pacar gue gimanapun caranya nanti!! karena itu nanti jatuhnya gue bisa patah hati sih..”

“jadi kalo misal jave gak ada acara godain lo..”

“ya. gue gak akan suka dia. gue bisa menahan diri buat gak cinta sama orang lain demi hati gue tetep aman sentosa sampe akhir.”

kalandra mengangguk, paham. “menurut lo jave gimana sejauh ini?”

rain membuang pandangan ke depan lagi karena topik ini jauh lebih ringan dari sebelumnya. gadis itu fokus melihat ke depan, ke arah jave yang kini sedang berdiri berdua dengan clara. sepertinya perwakilan DBL tetap dipanggil meski sudah berakhir sama-sama kalah waktu itu.

“baik. kak jave baik.”

“udah?”

“gue gak bisa puji-puji orang kak..”

“ya apa kek satu dua patah kata..”

“ya dia perhatian. dia lucu. dia.. dia apa yaaa aku gak ngerti lagi pokoknya definisi pacar yang meski gak selalu ada di tiap menitnya tapi tetep mau ngasih semuanya gitu, ngerti gak? ini aku sangat serius.”

“aku?”

“gue. salah. maaf.”

kalandra terkekeh.

“jave suka banget sama lo rain. lo liat itu di depan sana, clara.. tuh cewek bandel banget naksir jave 3 tahun.”

“ya, tau.”

“tapi jave tetep pilih lo. kenapa?”

“kenapa?”

“karena itu lo. gimana sih? pas itu jave kan udah ngomong sendiri.”

“hm.” rain menunduk, perutnya mulas karena pikirannya mendadak kalang kabut. “lo tau hubungan semanis apapun kalo misalnya nanti ada masalah pasti ada kata putus, kak?”

“gak selalu. masih banyak masalah yang bisa dibicarain baik-baik.”

“oke kalo masalah. kalo misalnya ada salah satu yang nantinya bosen. gimana?”

“no comment. gue gak tau, dan gue gak berhak jawab ini.”

“gue kadang takut.” rain akhirnya sambat juga. menoleh pada kalandra.

“takut apa?”

“kak jave pergi.”

“hehhh..” kalandra siap mengomel.

“jangan nyela dulu kak, maksud gue, hubungan gak bisa selamanya mulus. gue akui hubungan gue sama kak jave masih aman sampe sekarang. tapi nanti? gue bahkan gak tau ambil kuliah dimana..”

“lo rencana dimana emang?”

“sama mama gue disaranin ke luar kota.” rain makin menunduk saja. dan detik itu juga bahunya yang tadi terbuka kedinginan itu mendadak menghangat. sebuah jas menyampir disana dengan bau parfum yang ia kenal.

milik jave.

“aku udah selesai rain. kamu kenapa nunduk gitu?” lelaki itu bertanya. “pusing? kamu mau di luar aja?” lanjutnya kemudian.

rain mendongak. menggeleng. “aku gak lagi pusing. disini aja kan ngeliatin ini acara belum selesai.”

“udah. ini tinggal dance sama foto-foto bebas di booth aja.”

rain manggut-manggut. “kamu mau keluar kah emangnya?”

“banget.”

rain terkekeh. bangkit berdiri. gadis itu ingin berpamitan pada kalandra ketika menyadari cowok itu sudah hilang dari tempatnya duduk tadi. entah kemana.

“ya udah ayo ke depan.”

“kita foto dulu mau gak rain?”

“ayoooooo, mau mauuuu.” rain mengangguk, reflek menarik tangan jave untuk membawanya keluar lebih dahulu.

“tumben kamu narik aku duluan?”

“ya biar cepet.”

“sini.” jave menurunkan pegangan rain di pergelangan tangannya itu turun agar bisa masuk ke genggaman.

rain tertawa. “ini fotonya bayar kah?”

“hahahaha gratis lah rain!”

keduanya kini sudah berdiri antri di dekat booth. tidak terlalu banyak karena yang lain masih asik menari di dalam sana.

“kamu kenapa gak ikut seneng-seneng di dalem? aku kalo duduk sendirian tadi gak papa. ada mama papamu nanti aku bisa ngampirin.”

jave menggeleng. “males. mereka sok-sok nyebut king and queen sekolah kayak ini prom di amerika aja..”

“lah emang di indonesia gak ada?”

“gak tau. intinya aku males.”

“siapa queenmu?”

“kamu.” jave merapatkan genggamannya. wajahnya sudah menekuk lucu.

mood rain seketika menaik, “hahahahaha astaga nggak, maksudnya queen kelas 12. siapa? kak clara kah?”

“yeah. siapa lagi?”

rain manggut-manggut.

“kak jave..”

“ya?”

“nanti minta peluk boleh apa gak?”

jave menunduk. “mau sekarang juga boleh.”

“hei serius.”

jave merangkul pundak rain. “kenapa? kamu kenapa?”

rain tidak menjawab dulu, menunjuk antrian yang kosong. “foto dulu ayo.”

jave menurut dengan tidak berpikir apapun. menggiring langkah menuju area photobooth yang sudah menyepi.

“pacaran ya?” fotografer bertanya.

jave yang menjawab. mengangguk sambil tersenyum.

“hahahahah ya udah oke. yuk 1.. 2..” fotografer langsung menjepret berulang-ulang. sepertinya jave rain tidak perlu diarahkan lagi karena sudah nyaman satu sama lain.

“nih fotonya, mau pilih lebih dari dua gratis gak papa, soalnya..”

“soalnya?”

“adik saya ngefans masnya.”

“lahhh...” jave langsung terkekeh. memberikan salam dan sebagainya, mengambil foto sebentar, lalu melangkah pergi.


angin malam di balkon samping gedung benar-benar kencang. tapi untungnya bukan angin dingin yang bisa membuat badan menggigil.

rain yang sudah mengedarkan pandang dan memastikan balkon ini sepi langsung saja menggoyang lengan jave.

“apa rain?” lelaki itu bertanya, membenarkan posisi jasnya pada pundak rain agar semakin rapat.

gadisnya tidak menjawab, hanya merentangkan tangan. “i said i wanna hugs you.”

“hahahaha.” jave terkekeh, menyambut pelukan rain dengan ikut merentangkan tangannya lebar-lebar.

“selamat udah lulus, selamat liburan, terus selamat susah-susah besok di kuliahan. tapi intinya tetep selamat. kamu kereeeeen bangeeet.” rain berucap, mendongakkan kepala.

“thankyou, rain.” balasnya tersenyum hingga matanya benar menyipit sempurna.

rain sebenarnya ingin membahas hal lain, tapi sepertinya ini bukan waktu yang cocok. lagi pula, ia sendiri sedang tidak mood membicarakan topik tersebut.

“jadi kenapa minta peluk gini?”

“pengen.”

“aneh.”

“ih enggak. ini tuh namanya bentuk saluran kasih sayang.”

“kamu sayang aku rain?”

“heeei.. kenapa tanya?”

“jawab aja.”

“sayang lah.”

jave mengangguk, tersenyum.

“kalo kamu? kamu sayang aku gak?”

“perlu nanya?”

“ya kamu tadi nanya aku masa aku gak boleh nanya juga.”

jave menunduk, menaikkan sebelah alisnya. “i can't answer this, rain.”

“whyyyyyyy?”

lelaki itu terkekeh, mengusap pipi rain yang masih ada dalam pelukannya itu lembut.

“i can't talk about how much i love you. but i can show you.”

rain mendadak grogi. menyesali pertanyaannya karena mata jave kini menatapnya tanpa berkedip.

deru napas lelaki itu bahkan menyapu pelan permukaan wajahnya.

“how?” rain memutuskan bertanya dengan hati-hati.

jave masih tidak menjawab. mendorong sedikit langkah mereka menjauh menuju balik tembok. “how?” lelaki itu mengulang pertanyaan, sok berpikir.

“jangan aneh-aneh...” rain makin ketar-ketir. dalam keadaan seperti ini, posisinya benar-benar terpepet sekali.

“rain.”

“apa?”

“want to hear something cringe?”

“nggak. jangan.”

“you look so damn pretty in this dress.”

“heeei kak jave astaga sumpah.” rain langsung membuang muka karena panas bukan main.

jave tersenyum, entah ingin berbuat apa karena sedetik kemudian tangannya yang memeluk itu sudah terangkat, bertumpu pada tembok di belakang rain. “i do love you. like, seriously in love with you..”

“sama.” rain spontan menyahut.

“for real?”

“yaaaaaaaaa... kamu ini kerasukan apa jangan sok mengintimidasi aku ini merasa panas.” rain hampir menangis berada di posisi ini. jantungnya meledak bukan main.

parfum jave yang beraroma segar itu menusuk-nusuk indra penciumannya. membuat bulu-bulu tubuh reflek meremang sempurna.

jave mendekat, mengunci pergerakan gadisnya. tidak mengucap kata apapun, hanya wajahnya yang terus maju sambil menatap lekat mata rain dan bibirnya bergantian.

sial.

rain spontan menelan ludahnya kasar. tidak bisa berbuat apapun selain balas melihat pada mata jave yang semakin dekat itu dalam hening.

napas keduanya bahkan sudah menderu bersamaan akibat jantung yang bekerja ekstra.

“rain.” jave memanggil, memastikan.

“hm.”

“can i do this?”

rain tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. sebagai gantinya gadis itu hanya memejamkan mata. seakan mempersilakan.

jave mendadak tersenyum, senyum yang benar-benar tampak bahagia sekali. lelaki itu lantas meletakkan telunjuknya di bibir rain. mengecup jarinya sendiri sekilas.

rain membuka matanya. melihat perbuatan jave yang membuat jantungnya semakin menggila.

jari lelaki itu masih menempel di bibirnya, jarak merekapun masih belum berjauh-jauhan.

“jangan tanya, soalnya kamu masih bayi. bayi gak boleh dicium sembarangan. kecuali kalo ciumnya disini gak papa.” jave berucap, mencium kening rain lama sekali.

sial. jave benar-benar memperlakukan dirinya selayak tuan putri. seumur-umur belum ada lelaki yang memberikan ketulusan sebesar jave kepadanya.

rain tiba-tiba jadi ingin menangis. baper sekali. ia bahkan langsung paham maksud jave tentang bagian tidak bisa menjabarkan rasa sayang dengan kata-kata beberapa menit lalu. rasa sayang jave ditunjukkannya dengan tindakan.

“kak..”

“apa?”

“ulang tahun besok aku udah ke tujuh belas.”

jave memicing. “iya aku tau. kamu ada request kado?”

“gak. maksudku, aku udah legal.”

“HAH? HAHAHAHAHAHA ASTAGA RAIN.”

rain jadi makin malu saja. ia spontan menyembunyikan wajah di dada jave.

“maksudmu kamu mau aku cium gitu?”

“HEEEEEEEI.” suara omelan rain teredam badan jave karena ia makin mengeratkan wajahnya disana. tidak ingin melihat jave.

“ya apa maksudnya ayo sini jelasin cantik.”

“gak ada.”

“loh loh.. eh ada orang rain.” jave bergurau, membuat rain melepas pelukannya secara tiba-tiba.

“mana-mana?!”

“gak adaaaaaa hahahahahaha.” jave langsung kabur beberapa meter menjauh.

“oh gitu mainnya sekarang. mentang-mentang aku pake sepatu heels kamu ngajakin aku lari-lari? gitu?”

“hahahahahahaha rain rain.. udah-udah.. UDAH, astaga udah jangan lari. oke aku gak kabur.”

“kena langsung aku jambak kamu.”

jave makin tertawa saja di posisinya, lelaki itu lantas merentangkan tangan sekali lagi saat rain sudah tiba di depannya. memeluk gadis itu tanpa perlu ijin lagi. pelukan sayang yang entah bisa berakhir atau tidak.

Start Over, Again.


“Hahahaha kak jangan cemberut. Iya aku join mereka, maaf, tapi kamu seneng kan? Aku yakin dibalik cemongmu ini kamu pasti bahagia.” Rain tertawa kencang, tangannya membersihkan wajah Jave yang penuh cream kue.

Biasalah, anak cowok. Tidak iseng, tidak asik.

Jave hanya menurut saja wajahnya dibersihkan pakai tisu berulang kali. Matanya fokus menatap Rain yang kini duduk di hadapannya. Cantik sekali.

Rambutnya yang tadi terkuncir rapi itu sudah tergerai. Pusing, katanya.

“Eh aku juga punya loh sesuatu buat kamu.”

Jave menelengkan kepala. “Apa?”

“Tunggu disini bentar. Aku lari. 2 menit aku akan kembali okay jangan kemana-mana.”

Jave terkekeh, membiarkan Rain pergi ke kamarnya.

Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri lagi di depannya. Membawa kotak hitam yang sepertinya pernah dilihat Jave sebelumnya.

“Itu kan....?”

“Ya.. Kotak yang kamu liat di laci kelasku. Ini buat kamu.” Rain berucap setelah mengatur napas. Menyerahkan kotak itu pada Jave.

Hening. Laki-laki itu membuka kotak Rain pelan hingga jemarinya menarik kotak kaca lagi yang di dalamnya terdapat gantungan kunci berbentuk bola basket.

Warna biru.

Terbuat dari manik-manik kecil yang disusun begitu rapi.

“Ayo tebak siapa yang buat?” Rain berucap sambil menaikkan sebelah alis.

“Siapa? Bukan kamu lah ya..” Jave berpura-pura bodoh. Balas menggoda Rain.

“Heeeeeeeei enak aja. Itu aku yang buat ya!!!!!!”

“Masa sih?”

“Ya udah kamu kalo gak percaya. Aku sampe rela rewatch youtube berulang-ulang tau.”

“Hahahahahaha Rain.......” Jave reflek tertawa dan mencubit pipi gadisnya gemas. “Kamu kalo istirahat gak mau aku ajak turun, alesannya ini?”

“Tuh kamu pinter. Gitu kok kamu gak percaya aku yang bikin.”

“Emang kenapa biru?” Jave bertanya.

“Biar kamu kalo liat itu inget aku yang bikin.” Rain menjawab agak menyindir. Bercanda.

“Aku gak perlu liat apapun buat inget kamu. Aku selalu inget kamu.”

“Heeei...” Rain lanngsung protes. “Kamu kenapa hari ini giniin aku terus?” Ia merengut, menatap Jave yang kini sudah menatapnya setengah tertawa. Matanya hilang menyipit. Lucu sekali.

“So, mumpung kamu bahas.. Apa jawabanmu?”

“Apa?”

“Yang tadi. Di gor. Gak mungkin lah kamu lupa. Orang pipimu merah banget ta..” Ucapan di bibir Jave terhenti akibat bibir Rain yang mendadak saja mendarat di pipinya.

Hening.

Jave benar-benar terkejut. Jantungnya seperti jatuh dari ketinggian seratus meter. Ia yakin telinganya juga sudah merah sekali saat ini.

Lelaki itu lantas menoleh, menghadap Rain yang kini mematung di sampingnya. Tidak bergerak barang satu senti.

“Maaf.. maaf kak.. it was an accident. Gak sengaja. Gak sadar. Itu tadi kayaknya aku kemasukan siluman kalajengking gitu jadi gak sad.. HEEEEIIII..” Rain reflek mundur menjauh ketika bibir Jave juga ikut mendarat di pipinya.

“Impas. Jangan maaf maaf. Udah. Impas.” Jave berucap, membuka jaketnya karena mendadak saja merasa gerah.

“Udah kejawab. Jadi kamu jangan tanya lagi.” Rain langsung buang muka, tidak ingin memandang Jave karena sudah jelas wajahnya merah padam. Tangannya kebas sekali di bawah sana.

Jave berulang kali juga mengatur napas. Bangkit berdiri, kipas-kipas. Lalu duduk. “Sinting.” Umpatnya tertahan karena jantung yang tak kunjung aman.

“Rain. Ke depan pager mau gak?”

“Biar apa?”

“Gerah Rain. Mules perutku kalo duduk terus.”

“Wajahmu belum dicuci.”

“Nanti. Nanti aja.”

Rain akhirnya memutuskan untuk berjalan ke depan pagar. Menuruti Jave.

“Bentar. Diem bentar.” Jave berucap, menyenderkan tubuh di pintu mobil.

Sedangkan Rain sudah tentu masih membisu. Pikirannya berjalan kesana kemari dan pipinya panas sekali.

Sorryyyyyy.. Maaf bikin canggung. Tapi serius kenapa kamu bales juga itu bikin makin luar biasa canggung.”

“Biar kamu gak ngerasa aneh sendirian. Aku join.”

Rain mendecih. Berjalan mundur. Masih malu. Ralat, sangat malu.

Tangan Jave reflek menarik pergelangan tangan Rain agar tidak menjauh. “Jantungku gak aman Rain. Kenapa kamu giniin aku!!!”

“Heii. Samaa..” Rain yang tadinya mau mengomel itu langsung batal. Gadis itu lanjut mengaku.

Jave memutuskan untuk mendongak saja ke atas. Membiarkan jantungnya normal sendiri sementara tangan Rain masih ada dalam cekalannya.

Langit sedang bagus. Tidak ada bulan memang, tak terlihat. Tapi ratusan bintang terbentang nyata, tampak sangat jelas.

Hening. Lama sekali. Mereka berdua hanya diam membiarkan masing-masing hati bekerja menuruti aliran waktunya sendiri-sendiri.

“Kak..”

“Hm?”

“Kamu inget yang di pertigaan sekolah kemaren aku bilang makasih?”

Jave menundukkan wajah kembali. Melihat Rain di matanya. “Inget.”

“Itu makasih buat apapun yang kamu kasih ke aku.”

“Aku kasih apa ke kamu? Aku belum pernah beliin sesuatu yang official buat kamu. Malah kamu duluan yang kasih gantungan ini buat aku.”

“Bukan barang. Tapi atas perhatianmu ke aku. Makasih udah kasih sebagian waktumu buat aku, makasih udah kasih ke aku semua jenis pengertian yang sebelumnya jarang aku dapet sejak papa gak ada. Makasih kak.. Makasih udah suka ke aku dan pilih aku kemaren.”

FFFFFFF..” Jave hampir meninju mobil.

“Apa sih orang lagi serius.”

“Kamu.. Kamu diem aja.. please. Sebelum tanganmu aku gigit beneran.”

“Lah apa sih kan aku berbicara apa adanya ini serius reaaaal.”

Jave menahan seluruh perasaannya karena tidak bisa berbuat apapun lagi. Sudah cukup hatinya tidak keruan karena kecupan singkat beberapa menit lalu.

“So, yes?” Jave akhirnya bertanya, memastikan.

“Apanya sih ya kan kita memang sudah berpacaran. Kenapa kamu pake acara tembak aku lagi.”

*“Just wanna start over again, i guess?” *

“Wah...” Rain speechless. “Bisa-bisanya masih bertanya.”

“Aku mau ajak kamu ngedate beneran malming besok. Kemana aja. Aku turutin.”

Rain memicing. “Mau keluar kota?”

“Sure.”

“Ke makam papaku..”

Jave mengelus punggung tangan Rain. Mengangguk.

“Aku bohong.. Itu jauh.”

“Deket sih.. Tol lah.”

“Bener?”

“Yaaa.”

Rain mendadak berkaca-kaca. “Aku udah lama gak kesana. Makasih banyak.” Serunya tertahan.

Jave mengangguk. Mengusap-usap mata Rain yang sempat basah beberapa detik lalu.

“Wanna hear another confession?” Rain bertanya.

“Ya.. Apa?”

“I love you too. I mean i like you, like.. like a lot? i don't know how to show feeling to other people, so that's why i kissed you on your cheek before. People said, kissing is the another language of love. Yeah.. so.. you know..”

Rain mengerjap juga pada akhirnya, jengah diperhatikan oleh Jave terus-terusan.

“Hahahahahahahaha. Jadi hari ini kita hari pertama lagi, kan?”

Sial.. Untuk pertama kalinya Rain ingin mengumpat karena jantungnya tidak mau diam.

“Ya. Oke. Akan kuturuti semua maumu termasuk pacaran lagi.”

Jave mengangguk puas. Mengayun tangannya yang masih berpegangan itu semangat. Seperti anak kecil yang sedang kegirangan.

“Gak nyangka.”

“Gak nyangka apa?”

“Ya maksudku, kalo aku kemaren gak jadi ketua basket dan kamu gak jadi bendahara kelas.. kayaknya sampe sekarang kita gak akan mungkin bisa kenal.”

“Oh.” Rain terkekeh. Mengiyakan kebenaran ucapan Jave.

Karena jauh di lubuk hati ia sadar jika dirinya sendiri terlalu pasif dan posisi Jave terlalu melambung tinggi di sekolah. Keduanya bertolak belakang.

“Jadi besok aku boleh mondar-mandir temuin kamu di sekolah?”

Rain mengangguk. “Ya. Ayo mulai dari pertama lagi secara bebas besok.” Ucapnya tersenyum cerah.

Jave mengusap pucuk kepala Rain lama. Lalu lanjut mendekapnya erat.


Start Over, Again.


“Hahahaha kak jangan cemberut. Iya aku join mereka, maaf, tapi kamu seneng kan? Aku yakin dibalik cemongmu ini kamu pasti bahagia.” Rain tertawa kencang, tangannya membersihkan wajah Jave yang penuh cream kue.

Biasalah, anak cowok. Tidak iseng, tidak asik.

Jave hanya menurut saja wajahnya dibersihkan pakai tisu berulang kali. Matanya fokus menatap Rain yang kini duduk di hadapannya. Cantik sekali.

Rambutnya yang tadi terkuncir rapi itu sudah tergerai. Pusing, katanya.

“Eh aku juga punya loh sesuatu buat kamu.”

Jave menelengkan kepala. “Apa?”

“Tunggu disini bentar. Aku lari. 2 menit aku akan kembali okay jangan kemana-mana.”

Jave terkekeh, membiarkan Rain pergi ke kamarnya.

Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri lagi di depannya. Membawa kotak hitam yang sepertinya pernah dilihat Jave sebelumnya.

“Itu kan....?”

“Ya.. Kotak yang kamu liat di laci kelasku. Ini buat kamu.” Rain berucap setelah mengatur napas. Menyerahkan kotak itu pada Jave.

Hening. Laki-laki itu membuka kotak Rain pelan hingga jemarinya menarik kotak kaca lagi yang di dalamnya terdapat gantungan kunci berbentuk bola basket.

Warna biru.

Terbuat dari manik-manik kecil yang disusun begitu rapi.

“Ayo tebak siapa yang buat?” Rain berucap sambil menaikkan sebelah alis.

“Siapa? Bukan kamu lah ya..” Jave berpura-pura bodoh. Balas menggoda Rain.

“Heeeeeeeei enak aja. Itu aku yang buat ya!!!!!!”

“Masa sih?”

“Ya udah kamu kalo gak percaya. Aku sampe rela rewatch youtube berulang-ulang tau.”

“Hahahahahaha Rain.......” Jave reflek tertawa dan mencubit pipi gadisnya gemas. “Kamu kalo istirahat gak mau aku ajak turun, alesannya ini?”

“Tuh kamu pinter. Gitu kok kamu gak percaya aku yang bikin.”

“Emang kenapa biru?” Jave bertanya.

“Biar kamu kalo liat itu inget aku yang bikin.” Rain menjawab agak menyindir. Bercanda.

“Aku gak perlu liat apapun buat inget kamu. Aku selalu inget kamu.”

“Heeei...” Rain lanngsung protes. “Kamu kenapa hari ini giniin aku terus?” Ia merengut, menatap Jave yang kini sudah menatapnya setengah tertawa. Matanya hilang menyipit. Lucu sekali.

“So, mumpung kamu bahas.. Apa jawabanmu?”

“Apa?”

“Yang tadi. Di gor. Gak mungkin lah kamu lupa. Orang pipimu merah banget ta..” Ucapan di bibir Jave terhenti akibat bibir Rain yang mendadak saja mendarat di pipinya.

Hening.

Jave benar-benar terkejut. Jantungnya seperti jatuh dari ketinggian seratus meter. Ia yakin telinganya juga sudah merah sekali saat ini.

Lelaki itu lantas menoleh, menghadap Rain yang kini mematung di sampingnya. Tidak bergerak barang satu senti.

“Maaf.. maaf kak.. it was an accident. Gak sengaja. Gak sadar. Itu tadi kayaknya aku kemasukan siluman kalajengking gitu jadi gak sad.. HEEEEIIII..” Rain reflek mundur menjauh ketika bibir Jave juga ikut mendarat di pipinya.

“Impas. Jangan maaf maaf. Udah. Impas.” Jave berucap, membuka jaketnya karena mendadak saja merasa gerah.

“Udah kejawab. Jadi kamu jangan tanya lagi.” Rain langsung buang muka, tidak ingin memandang Jave karena sudah jelas wajahnya merah padam. Tangannya kebas sekali di bawah sana.

Jave berulang kali juga mengatur napas. Bangkit berdiri, kipas-kipas. Lalu duduk. “Sinting.” Umpatnya tertahan karena jantung yang tak kunjung aman.

“Rain. Ke depan pager mau gak?”

“Biar apa?”

“Gerah Rain. Mules perutku kalo duduk terus.”

“Wajahmu belum dicuci.”

“Nanti. Nanti aja.”

Rain akhirnya memutuskan untuk berjalan ke depan pagar. Menuruti Jave.

“Bentar. Diem bentar.” Jave berucap, menyenderkan tubuh di pintu mobil.

Sedangkan Rain sudah tentu masih membisu. Pikirannya berjalan kesana kemari dan pipinya panas sekali.

Sorryyyyyy.. Maaf bikin canggung. Tapi serius kenapa kamu bales juga itu bikin makin luar biasa canggung.”

“Biar kamu gak ngerasa aneh sendirian. Aku join.”

Rain mendecih. Berjalan mundur. Masih malu. Ralat, sangat malu.

Tangan Jave reflek menarik pergelangan tangan Rain agar tidak menjauh. “Jantungku gak aman Rain. Kenapa kamu giniin aku!!!”

“Heii. Samaa..” Rain yang tadinya mau mengomel itu langsung batal. Gadis itu lanjut mengaku.

Jave memutuskan untuk mendongak saja ke atas. Membiarkan jantungnya normal sendiri sementara tangan Rain masih ada dalam cekalannya.

Langit sedang bagus. Tidak ada bulan memang, tak terlihat. Tapi ratusan bintang terbentang nyata, tampak sangat jelas.

Hening. Lama sekali. Mereka berdua hanya diam membiarkan masing-masing hati bekerja menuruti aliran waktunya sendiri-sendiri.

“Kak..”

“Hm?”

“Kamu inget yang di pertigaan sekolah kemaren aku bilang makasih?”

Jave menundukkan wajah kembali. Melihat Rain di matanya. “Inget.”

“Itu makasih buat apapun yang kamu kasih ke aku.”

“Aku kasih apa ke kamu? Aku belum pernah beliin sesuatu yang official buat kamu. Malah kamu duluan yang kasih gantungan ini buat aku.”

“Bukan barang. Tapi atas perhatianmu ke aku. Makasih udah kasih sebagian waktumu buat aku, makasih udah kasih ke aku semua jenis pengertian yang sebelumnya jarang aku dapet sejak papa gak ada. Makasih kak.. Makasih udah suka ke aku dan pilih aku kemaren.”

FFFFFFF..” Jave hampir meninju mobil.

“Apa sih orang lagi serius.”

“Kamu.. Kamu diem aja.. please. Sebelum tanganmu aku gigit beneran.”

“Lah apa sih kan aku berbicara apa adanya ini serius reaaaal.”

Jave menahan seluruh perasaannya karena tidak bisa berbuat apapun lagi. Sudah cukup hatinya tidak keruan karena kecupan singkat beberapa menit lalu.

“So, yes?” Jave akhirnya bertanya, memastikan.

“Apanya sih ya kan kita memang sudah berpacaran. Kenapa kamu pake acara tembak aku lagi.”

*“Just wanna start over again, i guess?” *

“Wah...” Rain speechless. “Bisa-bisanya masih bertanya.”

“Aku mau ajak kamu ngedate beneran malming besok. Kemana aja. Aku turutin.”

Rain memicing. “Mau keluar kota?”

“Sure.”

“Ke makam papaku..”

Jave mengelus punggung tangan Rain. Mengangguk.

“Aku bohong.. Itu jauh.”

“Deket sih.. Tol lah.”

“Bener?”

“Yaaa.”

Rain mendadak berkaca-kaca. “Aku udah lama gak kesana. Makasih banyak.” Serunya tertahan.

Jave mengangguk. Mengusap-usap mata Rain yang sempat basah beberapa detik lalu.

“Wanna hear another confession?” Rain bertanya.

“Ya.. Apa?”

“I love you too. I mean i like you, like.. like a lot? i don't know how to show feeling to other people, so that's why i kissed you on your cheek before. People said, kissing is the another language of love. Yeah.. so.. you know..”

Rain mengerjap juga pada akhirnya, jengah diperhatikan oleh Jave terus-terusan.

“Hahahahahahahaha. Jadi hari ini kita hari pertama lagi, kan?”

Sial.. Untuk pertama kalinya Rain ingin mengumpat karena jantungnya tidak mau diam.

“Ya. Oke. Akan kuturuti semua maumu termasuk pacaran lagi.”

Jave mengangguk puas. Mengayun tangannya yang masih berpegangan itu semangat. Seperti anak kecil yang sedang kegirangan.

“Gak nyangka.”

“Gak nyangka apa?”

“Ya maksudku, kalo aku kemaren gak jadi ketua basket dan kamu gak jadi bendahara kelas.. kayaknya sampe sekarang kita gak akan mungkin bisa kenal.”

“Oh.” Rain terkekeh. Mengiyakan kebenaran ucapan Jave.

Karena jauh di lubuk hati ia sadar jika dirinya sendiri terlalu pasif dan posisi Jave terlalu melambung tinggi di sekolah. Keduanya bertolak belakang.

“Jadi besok aku boleh mondar-mandir temuin kamu di sekolah?”

Rain mengangguk. “Ya. Ayo mulai dari pertama lagi secara bebas besok.” Ucapnya tersenyum cerah.

Jave mengusap pucuk kepala Rain lama. Lalu lanjut mendekapnya erat.


E N D.

Start over, again.


“Hahahaha kak jangan cemberut. Iya aku join mereka, maaf, tapi kamu seneng kan? Aku yakin dibalik cemongmu ini kamu pasti bahagia.” Rain tertawa kencang, tangannya membersihkan wajah Jave yang penuh cream kue.

Biasalah, anak cowok. Tidak iseng, tidak asik.

Jave hanya menurut saja wajahnya dibersihkan pakai tisu berulang kali. Matanya fokus menatap Rain yang kini duduk di hadapannya. Cantik sekali.

Rambutnya yang tadi terkuncir rapi itu sudah tergerai. Pusing, katanya.

“Eh aku juga punya loh sesuatu buat kamu.”

Jave menelengkan kepala. “Apa?”

“Tunggu disini bentar. Aku lari. 2 menit aku akan kembali okay jangan kemana-mana.”

Jave terkekeh, membiarkan Rain pergi ke kamarnya.

Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri lagi di depannya. Membawa kotak hitam yang sepertinya pernah dilihat Jave sebelumnya.

“Itu kan....?”

“Ya.. Kotak yang kamu liat di laci kelasku. Ini buat kamu.” Rain berucap setelah mengatur napas. Menyerahkan kotak itu pada Jave.

Hening. Laki-laki itu membuka kotak Rain pelan hingga jemarinya menarik kotak kaca lagi yang di dalamnya terdapat gantungan kunci berbentuk bola basket.

Warna biru.

Terbuat dari manik-manik kecil yang disusun begitu rapi.

“Ayo tebak siapa yang buat?” Rain berucap sambil menaikkan sebelah alis.

“Siapa? Bukan kamu lah ya..” Jave berpura-pura bodoh. Balas menggoda Rain.

“Heeeeeeeei enak aja. Itu aku yang buat ya!!!!!!”

“Masa sih?”

“Ya udah kamu kalo gak percaya. Aku sampe rela rewatch youtube berulang-ulang tau.”

“Hahahahahaha Rain.......” Jave reflek tertawa dan mencubit pipi gadisnya gemas. “Kamu kalo istirahat gak mau aku ajak turun, alesannya ini?”

“Tuh kamu pinter. Gitu kok kamu gak percaya aku yang bikin.”

“Emang kenapa biru?” Jave bertanya.

“Biar kamu kalo liat itu inget aku yang bikin.” Rain menjawab agak menyindir. Bercanda.

“Aku gak perlu liat apapun buat inget kamu. Aku selalu inget kamu.”

“Heeei...” Rain lanngsung protes. “Kamu kenapa hari ini giniin aku terus?” Ia merengut, menatap Jave yang kini sudah menatapnya setengah tertawa. Matanya hilang menyipit. Lucu sekali.

“So, mumpung kamu bahas.. Apa jawabanmu?”

“Apa?”

“Yang tadi. Di gor. Gak mungkin lah kamu lupa. Orang pipimu merah banget ta..” Ucapan di bibir Jave terhenti akibat bibir Rain yang mendadak saja mendarat di pipinya.

Hening.

Jave benar-benar terkejut. Jantungnya seperti jatuh dari ketinggian seratus meter. Ia yakin telinganya juga sudah merah sekali saat ini.

Lelaki itu lantas menoleh, menghadap Rain yang kini mematung di sampingnya. Tidak bergerak barang satu senti.

“Maaf.. maaf kak.. it was an accident. Gak sengaja. Gak sadar. Itu tadi kayaknya aku kemasukan siluman kalajengking gitu jadi gak sad.. HEEEEIIII..” Rain reflek mundur menjauh ketika bibir Jave juga ikut mendarat di pipinya.

“Impas. Jangan maaf maaf. Udah. Impas.” Jave berucap, membuka jaketnya karena mendadak saja merasa gerah.

“Udah kejawab. Jadi kamu jangan tanya lagi.” Rain langsung buang muka, tidak ingin memandang Jave karena sudah jelas wajahnya merah padam. Tangannya kebas sekali di bawah sana.

Jave berulang kali juga mengatur napas. Bangkit berdiri, kipas-kipas. Lalu duduk. “Sinting.” Umpatnya tertahan karena jantung yang tak kunjung aman.

“Rain. Ke depan pager mau gak?”

“Biar apa?”

“Gerah Rain. Mules perutku kalo duduk terus.”

“Wajahmu belum dicuci.”

“Nanti. Nanti aja.”

Rain akhirnya memutuskan untuk berjalan ke depan pagar. Menuruti Jave.

“Bentar. Diem bentar.” Jave berucap, menyenderkan tubuh di pintu mobil.

Sedangkan Rain sudah tentu masih membisu. Pikirannya berjalan kesana kemari dan pipinya panas sekali.

Sorryyyyyy.. Maaf bikin canggung. Tapi serius kenapa kamu bales juga itu bikin makin luar biasa canggung.”

“Biar kamu gak ngerasa aneh sendirian. Aku join.”

Rain mendecih. Berjalan mundur. Masih malu. Ralat, sangat malu.

Tangan Jave reflek menarik pergelangan tangan Rain agar tidak menjauh. “Jantungku gak aman Rain. Kenapa kamu giniin aku!!!”

“Heii. Samaa..” Rain yang tadinya mau mengomel itu langsung batal. Gadis itu lanjut mengaku.

Jave memutuskan untuk mendongak saja ke atas. Membiarkan jantungnya normal sendiri sementara tangan Rain masih ada dalam cekalannya.

Langit sedang bagus. Tidak ada bulan memang, tak terlihat. Tapi ratusan bintang terbentang nyata, tampak sangat jelas.

Hening. Lama sekali. Mereka berdua hanya diam membiarkan masing-masing hati bekerja menuruti aliran waktunya sendiri-sendiri.

“Kak..”

“Hm?”

“Kamu inget yang di pertigaan sekolah kemaren aku bilang makasih?”

Jave menundukkan wajah kembali. Melihat Rain di matanya. “Inget.”

“Itu makasih buat apapun yang kamu kasih ke aku.”

“Aku kasih apa ke kamu? Aku belum pernah beliin sesuatu yang official buat kamu. Malah kamu duluan yang kasih gantungan ini buat aku.”

“Bukan barang. Tapi atas perhatianmu ke aku. Makasih udah kasih sebagian waktumu buat aku, makasih udah kasih ke aku semua jenis pengertian yang sebelumnya jarang aku dapet sejak papa gak ada. Makasih kak.. Makasih udah suka ke aku dan pilih aku kemaren.”

FFFFFFF..” Jave hampir meninju mobil.

“Apa sih orang lagi serius.”

“Kamu.. Kamu diem aja.. please. Sebelum tanganmu aku gigit beneran.”

“Lah apa sih kan aku berbicara apa adanya ini serius reaaaal.”

Jave menahan seluruh perasaannya karena tidak bisa berbuat apapun lagi. Sudah cukup hatinya tidak keruan karena kecupan singkat beberapa menit lalu.

“So, yes?” Jave akhirnya bertanya, memastikan.

“Apanya sih ya kan kita memang sudah berpacaran. Kenapa kamu pake acara tembak aku lagi.”

*“Just wanna start over again, i guess?” *

“Wah...” Rain speechless. “Bisa-bisanya masih bertanya.”

“Aku mau ajak kamu ngedate beneran malming besok. Kemana aja. Aku turutin.”

Rain memicing. “Mau keluar kota?”

“Sure.”

“Ke makam papaku..”

Jave mengelus punggung tangan Rain. Mengangguk.

“Aku bohong.. Itu jauh.”

“Deket sih.. Tol lah.”

“Bener?”

“Yaaa.”

Rain mendadak berkaca-kaca. “Aku udah lama gak kesana. Makasih banyak.” Serunya tertahan.

Jave mengangguk. Mengusap-usap mata Rain yang sempat basah beberapa detik lalu.

“Wanna hear another confession?” Rain bertanya.

“Ya.. Apa?”

“I love you too. I mean i like you, like.. like a lot? i don't know how to show feeling to other people, so that's why i kissed you on your cheek before. People said, kissing is the another language of love. Yeah.. so.. you know..”

Rain mengerjap juga pada akhirnya, jengah diperhatikan oleh Jave terus-terusan.

“Hahahahahahahaha. Jadi hari ini kita hari pertama lagi, kan?”

Sial.. Untuk pertama kalinya Rain ingin mengumpat karena jantungnya tidak mau diam.

“Ya. Oke. Akan kuturuti semua maumu termasuk pacaran lagi.”

Jave mengangguk puas. Mengayun tangannya yang masih berpegangan itu semangat. Seperti anak kecil yang sedang kegirangan.

“Gak nyangka.”

“Gak nyangka apa?”

“Ya maksudku, kalo aku kemaren gak jadi ketua basket dan kamu gak jadi bendahara kelas.. kayaknya sampe sekarang kita gak akan mungkin bisa kenal.”

“Oh.” Rain terkekeh. Mengiyakan kebenaran ucapan Jave.

Karena jauh di lubuk hati ia sadar jika dirinya sendiri terlalu pasif dan posisi Jave terlalu melambung tinggi di sekolah. Keduanya bertolak belakang.

“Jadi besok aku boleh mondar-mandir temuin kamu di sekolah?”

Rain mengangguk. “Ya. Ayo mulai dari pertama lagi secara bebas besok.” Ucapnya tersenyum cerah.

Jave mengusap pucuk kepala Rain lama. Lalu lanjut mendekapnya erat.


E N D.

Mini Little Surprise.


Mobil Jave akhirnya sampai juga. Lelaki itu membuka kunci mobil, lalu turun.

“Ayo masuk dulu kak.” Rain menyuruh, menunjuk pagarnya yang kali ini sudah tertutup kembali. Sepertinya jika dilihat-lihat mobil tim hore untuk Jave itu sudah tiba sejak tadi.

Entah apa yang mereka perbuat di dalam sana karena hening sekali.

Membayangkannya saja sudah membuat perut kram dan tegang. Kasian Lea, sendirian disana.

“Udah malem loh. Gak papa? Besok aja deh Rain.” Jave menolak, sungkan.

“Bentar aja.”

“Besok. Besok aku dateng pagi.”

“5 menit kak!”

“Besok aja Rain. Udah malem..”

“Kak Jave sayang please katanya kamu mau foto sama aku.” Rain mengeluarkan jurus ampuh. Menggenggam jemari Jave erat sambil mengucap kata keramat yang sungguh sangat cringe menurutnya itu dalam bisikan.

Tidak peduli jika dilihat oleh Gio atau Kalandra asal rencana tim tidak gagal hanya karena Jave sungkan mampir.

Lelaki itu terkejut. Masih saja dia terkejut jika Rain inisiatif terlebih dulu. “Oke. Oke ayo masuk. Bentar aja aku nyapa mamamu, foto, terus pulang. Ya?”

“Deal.” Rain mengacung jempolnya.

Gadis itu lantas menaiki tangga batu dan masuk ke rumah lebih dulu. Kosong. Dimana mereka semua?

“SSSTTT..” Desisan kencang diiringi pukulan terdengar di samping kiri.

Sial. Rain hampir berteriak. Itu Jinan dan Lea. Bersembunyi dibalik mobil om Janu yang terparkir di garasi kiri.

“Pada dimana?” Rain bertanya, berbisik.

“Disana noh. Taman belakang.”

“Oke.”

“Apa oke, Rain?” Jave bertanya, tau-tau saja cowok itu sudah ada di balik tubuh Rain.

“Eh gak ada. Oke.. Oke apaan aku gak bilang oke itu kayaknya kupingmu yang agak buntu soalnya di gor denger orang teriak-teriak.”

Jave memegang telinganya. “Masa?”

“Iyalahhhhhhhhhh Javvv..” Kalandra bersuara, sedikit keras. Sepertinya kode agar teman-temannya bisa keluar sesuai waktu yang sudah diatur. Tepatnya lima menit setelah kode Kalandra.

“Mama dimana? Di dalem?” Jave bertanya.

“Ada.. Gi, mama mana Gi?”

“Oh iya. Dimana ya mama, bentar, bentar aku masuk dulu manggil mama.” Gio ikut grogi, adiknya itu lantas cepat berlari masuk ke rumah.

Tak berapa lama mama Rain benar keluar. Menyapa.

“Dimana ma?” Rain mendekat, berbisik.

“Bentar lagi, kuenya keguling gara-gara yang tinggi sepintu itu nyenggol. Konyol banget kakak kelasmu.”

“Astaga.”

“Ganteng-ganteng Rain.”

“Eh mama..”

“Kata om Janu itu.”

“Lah om Janu mana?”

“Di...” Bisikan mama Rain tergantung oleh sambutan kencang teman-teman Jave yang baru saja keluar, lewat pintu samping. Disusul om Janu dibelakangnya. Sepertinya pria itu menemani teman Jave di belakang sana tadi.

“SELAMAT LENGSER JAVEEEEE..” Suara Lukas, paling mendominasi teriakan. Jeva juga berdiri disamping lelaki itu. Menyapa Rain cerah. Lalu lanjut menyapa Gio.

Adik Jave itu lantas mendekati Rain karena memang sama-sama tidak ikut acara tim hore Gibran dan Arya.

“Le.. Sini Le hahaha.” Jinan berteriak, berseru pada pacarnya yang terpepet tim supporter, teman Arya.

Lea menurut, mendekat. Jinan langsung pergi menyusul Karel ketika Lea sudah aman bersama Rain dan Jeva.

“Kok lama mobil kak Jave tadi Rain? Kamu tau kakakku hobi ngebut di jalan.”

Rain hanya tertawa. Tidak tau harus menanggapi apa.

“Liat liat!!! Mukanya kena cream hahahahahaha anjir Jave kenapa gak ngehindar aja sih?”

“1 lawan berapa ini Jev?” Lea terkekeh, menyahut.

“Iya sih.”

Selanjutnya Jeva dan Lea asik menonton Jave dengan senyum dan tawa kecil. Ingat sudah malam.

Bahkan tak diduga-duga acara serah kue dan kado itu hanya berjalan 10 menit saja. Tidak lama-lama.

“Tante.. Sekali lagi kami makasih banyak sudah diijinkan pinjam tempat, buat ramai, dan buat kotor lantai. Besok-besok saya dan yang lain mampir lebih sopan lagi, bawa oleh-oleh.” Gibran, yang memang jago memikat hati itu bersuara. Tersenyum sopan sekali.

Mama Rain hanya balas tertawa, lalu mengangguk-angguk membolehkan. “Tante suka apel. Besok bawain apel aja.”

“Lah mama hahahaha.” Rain reflek tertawa mendengar lawakan mamanya yang jarang sekali terdengar itu.

Setelahnya Gibran dan yang lain resmi berpamitan. Meninggalkan Jave yang masih cemong di berbagai sisi sambil memegang kado serta kue, dan beberapa surat kecil yang diselipkan di saku jaketnya.

“Kak Jave aku balik bareng kak Lukas aja ya?” Jeva meminta ijin.

Jave yang entah masih terharu atau kesal karena pipinya jadi berminyak itu mengangguk saja.

Kalandra yang tidak mau kena hantam di mobil juga memutuskan pulang bersama Rendy dan Juna. Bisa saja balik dengan Gibran jika cowok itu tak memutuskan untuk lanjut pacaran dengan Keyla, ceweknya yang akhirnya ditunjukkan ke publik hari ini.

Karel, Lea dan Jinan berpamitan paling terakhir. Berulang kali mengatakan maaf karena sudah mengganggu dan lain sebagainya. Lalu mengucap selamat dan bersalaman pada Jave.

Tentu saja Lea sudah kejang di tempat habis bersentuhan dengan Jave.

“Dah lah, gue ngapain salam-salam sama lo?” Karel berdecih ketika gilirannya. Langsung berjalan pergi.

Jave hanya tertawa saja melihatnya. “Ati-ati baliknya Rel.”

“Yoi!” Balasnya, mengacungkan jempol.

“Trims!”

Karel lagi-lagi menunjukkan jempolnya dan hilang dibalik mobil, disusul Lea dan Jinan yang sekali lagi melambai. Meninggalkan Jave dan Rain sendirian bersama keluarga Rain.

JALAN-JALAN MALAM, 18.30


“Rain.” Lelaki itu memanggil, menarik hoodie salem pacarnya yang kebesaran itu agar berjalan lebih dekat dengannya.

Keduanya kini tengah berjalan di gelapnya malam, di pinggir jalan perumahan Rain, ditemani oleh sorot cahaya dari lampu-lampu penerangan trotoar yang berjarak 6 meter tiap tiangnya.

Sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang mau berjalan di perumahan besar ini, sisanya tentu tidak ingin berjalan ditengah udara dingin seperti Jave dan Rain.

Rain hanya mendengus, kekesalannya akibat teman sekelas dan kapten dance itu masih hinggap dan rasa-rasanya makin membuat Rain kian hening saja malam ini.

Jave masih belum menyerah, dari tadi cowok itu berusaha mengajak bicara dan menarik-narik pergelangan tangan Rain yang kali ini melemas tidak peduli. Jika ditarik mendekat, Rain memang mendekat, tapi beberapa detik kemudian kakinya berjalan menjauh lagi.

“Aku ada salah ya?” Lelaki itu bertanya, nadanya lucu sekali. Ia menarik sekali lagi gadisnya yang terus berjalan ke kiri, menjauhi dirinya.

Kali ini bahkan Jave tidak hanya menarik pergelangan tangan, lelaki itu dengan sigap merangkul pundak Rain agar gadis itu tidak kemana-mana lagi.

“Enggak. Kan udah dibilang kamu gak salah.” Rain menjawab. Memainkan tali topi hoodienya yang tadi sudah ditutupkan ke kepala oleh Jave yang tangannya tidak bisa diam.

Jave mengangguk. “Terus kenapa? Kamu kan biasanya mager, kok mendadak pengen jalan?”

“Enak aja kena angin.”

“Tapi kamu pake hoodie sekarang?” Jave menggoda, menunjuk hoodie Rain yang benar-benar menutupi separuh lebih tubuhnya.

“Ya kamu mau aku lepas hoodie ini sekarang kah?” Rain mendongak, menatap dengan raut kesal yang jatuhnya malah jadi lucu sekali.

Merasa gemas Jave hanya semakin merapatkan rangkulannya. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa jantungnya meledak sekali saat ini.

Rain lanjut berjalan saja menyadari Jave semakin mepet dengan tubuhnya. Kali ini rasa kesalnya melebihi rasa baper, jadi dia tampak kebal di apa-apakan Jave saat ini.

“Ngomong ke aku gak papa Rain kalo kamu kesel. Biar aku tau kamu kenapa gitu, kalo bisa biar aku senggol sekalian.”

Huh. Rain makin mendengus mendengar ucapan Jave. Gadis itu lantas menoleh ke kanan, ke arah jalan besar yang kini nampak mobil berlalu-lalang. Makin mendengus lagi ketika tau bahwa pemilik mobil atau penumpangnya mengawasi Jave bak mangsa siap diburu.

“Males. Males banget orang-orang ngeselin pengen aku usel-usel yang kayak diremet itu kamu ngerti gak kak yang kayak pas kamu emosi terus pengen ngeremes kertas terus disobek-sobek.. lagian maksudku juga ini semua salahmu tapi juga bukan salahmu, kamu tau temenku tiap hari bahas aku pacaran sama kamu ini itu, ya aku gak masalah sih cuma kalo keseringan dibilang ih keren banget rain pacaran sama kak jave, kadang malah ditanya pake pelet apaan, itu kan feelnya kayak aku emang gak pantes pacaran gitu, terus yang kedua itu yang paling bikin aku males.. kamu tau...!!” Ucapan Rain mengambang, sengaja saja dipotong karena ia tidak ingin membahas yang satu itu dengan Jave.

“Kamu tau..? Kamu tau apa, sayang? Lanjutin gih.”

“Males.”

Jave menghela napas. Mengerti sedikit alasan Rain mendadak kesal hari ini. Lelaki itu lantas merogoh saku hoodienya, meraih satu permen stroberi dari dalam sana.

“Nih..” Ucapnya, memberikan.

Rain mendongak, belum menerima permen tersebut dari tangan Jave.

“Kamu gak mau? Tumben?” Jave menunduk, memperhatikan mata Rain yang masih saja melihatnya tidak berkedip.

“Apa? Ada apa di mukaku?” Lelaki itu mendadak grogi sendiri.

Rain menggeleng. Menerima permen yang masih terulur dari tangan Jave. “Kamu gak bawa yang rasa melon?”

Jave menggeleng. “Ini di mukaku bener gak ada apa-apa?”

“Gak ada.”

“Terus kamu ngapain liatin aku lama?”

“Emang aku gak boleh ngeliatin kamu?”

“Enggak, maksudku kamu tumben liatnya lama terus gak bersuara.”

“Kamu cakep.”

Sial. Jave tersedak angin seketika. Lelaki itu sampai melepas rangkulan akibat terlalu kaget. Pasalnya Rain memang jarang sekali berucap blak-blakan pada Jave seperti ini.

“Maaf. Tapi emang itu jujur.” Rain jadi salah tingkah juga pada akhirnya. Gadis itu berjalan agak cepat demi menyejajari langkah Jave di depannya.

“Kak maaf keselek.” Gadis itu berucap, menggoyang lengan Jave yang masih tidak mau melihat ke arahnya.

“Kak Javeeeeeee. Maafin aku bikin keselek.”

“Hm.”

“Kamu jangan ikut cuek ya hari ini cukup aku yang marah-marah gara-gara omongan temanmu yang menyakiti aku. Kamu tau itu tadi level kekeselanku udah sampe level dewa perhutanan dan pertambangan yaaaaaaaa. KAK JAVE KAMU GAK DENGERIN AKUUUUUUUU.”

“Sssst iya sayang ini dari tadi dengerin sumpah. Temenku siapa emang? Sini aku hajar.” Jave reflek menutup mulut Rain yang baru saja meledak untuk pertama kalinya.

Tidak terlalu keras sebenarnya, tapi ini malam hari. Meski sebelah kiri mereka hanya pemandangan kosong dan kanan mereka hanya jalan besar, tetap saja, ini sudah gelap.

“Emangnya kamu mau menghajar kaum hawa?”

“Lah perempuan? Siapa temenku perempuan yang gangguin kamu sampe murka?”

“Gak tau.” Ucapnya, sedikit mengerut alis.

“Siapa kasih tau aku..”

“Rahasia negara top secret paling nomer satu jadi kamu tidak diijinkan untuk tau.”

“Ya udah gak usah dikasih tau siapanya, dia ngapain kamu?”

Rain menarik lepas topi hoodie dan mengeluarkan rambut panjangnya. Wangi stroberi langsung menguar dan menusuk hidung Jave yang memang cukup sensitif dengan bau-bauan.

“Ya gitu, dia ngajak aku ngomong. Awalnya baik, sampe akhir baik sih, tapi ngeselin. Gak tau aku gak mau cerita ke kamu konteksnya apa soalnya disini dia lagi curhat ke aku. Tapi tetep aja aku keseeeeeeeeeeeellllllllllll soalnya ini fakta emang dia bikin aku keselllllllll.”

Jave tidak konsentrasi, pikirannya terbelah karena ingin sekali menarik Rain dan mengendus rambutnya. Aroma wangi gadis itu benar memabukkan.

“Kakkkk aku ini lagi ceritaa!!!!!”

“Iyaa.. iya aku dengerin kok.”

“Apa coba?”

“Temenku yang kaum hawa tadi curhat ke kamu. Bikin kesel. Ya kan?”

“Huh.” Rain berjalan cepat meninggalkan lelaki itu yang masih linglung hanya gara-gara aroma shampoo.

Dengan cepat lelaki itu mengejar, menyuruh gadisnya berhenti.

“Apa? Kamu mau melakukan apaa?” Rain jadi grogi karena Jave yang baru mendapatkan tangannya itu hanya diam memandangi sembari memegang pundaknya.

“Gak ngapa-ngapain. Cuma mau ini aja...” Lelaki itu berucap, maju selangkah, menarik punggung Rain mendekat ke arahnya.

Tangan Jave itu bergerak, menarik helai rambut Rain dan menjadikannya satu, lantas memasukkannya perlahan ke dalam hoodie seperti semula. Ditutupnya topi hoodie Rain, lalu ia rapatkan.

“Apaaaa? Aku kepanasan habis jalan kenapa kamu tali lagi heeeeeeeeei ini kerapetan kamu mau bunuh aku kah?”

Jave menggeleng, menyatukan dahinya dengan dahi Rain akibat gemas karena tidak bisa berbuat apapun. Dan sialnya, jantung Jave makin meledak saja gara-gara dahinya yang saling menempel dekat seperti itu. Meski cuma satu detik.

“Kak kamu tau...”

“Hm?”

“Aku kira kamu mau cium aku.”

Jave melotot kaget. “Rain hhhhhh astaga stop gemesin atau aku cium beneran kamu.”

Gadis itu ikut kaget. Menggampar Jave, lalu berjalan menjauh mendahului.

Yang jelas, kekesalannya tadi sudah meluap sempurna sekarang. Ia siap makan martabak dan membelikan mama terang bulan di depan sana dengan hati ringan. Berkat Jave, tentu saja.

PART 1.1

content warning : apa yah.. gak ada sih.

baca aja lah. HAPPY READING!


Raga. Lelaki bernama lengkap Arasaga Himmillian ini adalah partner kerja Alea yang memiliki tingkat setara dalam hal menembak. Keduanya pintar. Mempunyai paras elok dan disukai banyak orang. Hanya paras saja tentunya, karena jika sudah berbicara mengenai sikap, keduanya bahkan sudah tidak bisa lagi disamakan dengan manusia.

Mereka berdua keji. Membunuh separuh besar musuh adalah tugas mereka. Selain bayarannya tinggi, Alea dan Raga memang sudah tidak punya tumpuan apapun lagi. Mereka berdua tidak memiliki orang tua. Direkrut dan dilatih sejak kecil untuk menjadi anak buah di sebuah perusahaan aneh yang tak bernama. Bahkan sampai sekarang Alea dan Raga tidak pernah bertemu dengan atasannya. Entah, bosnya terlalu pandai menutup diri. Ia tidak mau namanya tercoreng, mungkin.

DARRR!

Suara bantingan pintu itu berasal dari arah depan. Helga dan beberapa bodyguard lainnya segera memasang kuda-kuda dan menodong senjata. Sebenarnya tidak perlu, karena keamanan apartment Alea sendiri sangat terjaga. Tidak ada yang bisa masuk atau membobol sembarangan. Maka jika orang itu bisa masuk tentunya adalah bagian dari tim, atau malah..

“Mana Alea?!”

Yup. Raga. Lelaki ini sudah seperti kembar dempetnya Alea. Dimana ada Alea harus ada Raga disisinya. Helga menyuruh yang lain untuk menurunkan senjata. Gadis berambut hitam sebahu itu lantas menunjuk sebuah ruangan berpintu hitam di sebelah kanannya. “Alea ada di dalam.”

“Masih belom keluar juga?!” Raga frustasi.

Helga lantas hanya mengangguk, lalu memutuskan untuk menggiring langkah Raga untuk masuk ke ruang khusus pengintaian. Ruang CCTV.

Raga menurut, mengikuti langkah asisten Alea tersebut dan duduk di salah satu bangku depan layar besar.

Ruangan pengintaian milik Alea memang luas, 9x9 meter kira-kira. Terdiri dari banyak layar-layar yang menunjukkan banyak sekali kejadian karena terpasang di mana-mana. Gadis itu memang memiliki mata tajam, cocok sekali untuk tugas yang satu ini. Sayangnya, Alea memang terlalu sibuk hingga ruangan ini diserahkan total pada Hima, asistennya yang lain, saudara kembar Helga.

“Kamu tinggal pencet tombol ini saja ya Raga.”

“Lo mau kemana? Ninggalin gue di ruangan ini?”

Helga mengangguk. “Alea tidak ijinkan saya mengecek satupun CCTV. Lagi pula, ini bukan tugas saya.”

“Alea atasan lo!”

Gadis berambut pendek itu lagi-lagi mengangguk. “Tapi tetap bukan tugas saya, saya tidak ingin diputus hubungan kerja oleh Alea.”

“Lo pilih bos lo mati di dalem apa gimana sih?”

“Alea gak akan pernah mati percuma, Raga. Jadi dari pada kamu berisik makan jam kerja saya, lebih baik kamu cek sendiri CCTV. Saya akan berjaga di titik D kembali.”

Sial. Raga merinding. Baru pertama kali ini lelaki itu duduk sendirian di ruangan ini tanpa ada yang menemani. Dengan perlahan ia mulai mengambil earphone besar yang ada di gantungan atas meja, lantas menekan tombol yang telah ditunjuk Helga tadi untuk memutar cam 01. Kamera CCTV yang dipasang di ruangan khusus target milik Alea.

Kosong. Ruangan besar dengan ukuran 6x5 meter itu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bahkan angin lewat pun sepertinya tidak ada.

Raga sudah ingin misuh meneriaki Helga ketika satu suara desahan masuk ke saluran earphonenya. Desahan berat, bukan desahan milik Alea.

Sudah tentu suara itu berasal dari bibir target, dan sialnya desahan itu semakin lama semakin berat dan berhasil mengganggu pikiran Raga.

“What the fuck?” Raga memicing, berusaha mencari titik dimana Alea berada. Sudah pasti kamera ini diputar sedikit supaya tidak ada yang bisa melihat kegiatannya di dalam sana.

Raga menghela napas. Ia seharusnya sudah tau bahwa Alea ada di posisi aman, tapi ada satu hal lain yang membuatnya tidak ingin berpindah tempat.

“Why you're not untie this chain? I can please you too, ladies.”

“I'm not that stupid.”

“I just need to touch you. Rantai ini nahan gerakan gue. Lo nyiksa gue pelan-pelan dengan cara yang aneh.”

Hening. Raga tidak mendengar apapun lagi selain suara desahan berat yang lagi-lagi terdengar.

Sial. Ia tau apa yang dilakukan Alea di dalam sana dan ia tidak bisa berbuat apapun selain menunggu.

“Fuckh.. Gimana bisa punya lo gak tidur-tidur meski udah keluar 2x?”

“Karna gue masih punya keinginan yang lain selain bibir lo?”

“No one ever touch mine except my partner.”

“Who?”

“Arasaga Himmillian. You know him, right?

Suara tawa lelaki itu menguar. “Dia yang tembak papa gue waktu itu. Gimana bisa gue gak ke... ahh fuckhh alea.. you and your damn mouth..

“Why?”

“Lo cuma kepengen nyiksa gue. Kenapa gak sekalian aja lo bunuh gue?”

Alea diam tidak menjawab. Entah apa yang dilakukan gadis itu di dalam sana karena tidak ada yang bisa dilihat Raga selain ruangan kosong tak berpenghuni.

Hening cukup lama hingga lelaki itu mendengar suara Alea mendesah ringan. Desahan yang biasanya hanya Raga yang dengar.

“SHIT!” Raga reflek melepas earphonenya dan melangkah keluar dengan terburu. Membanting pintu ruang pengintaian dengan keras lalu berjalan melewati bodyguard Alea yang kini mulai menepi ketika Raga mulai menggedor-gedor ruangan khusus target dengan liar.

Pintu hitam itu hanya diam tidak terganggu sedikitpun karena memang terbuat dari material tangguh.

“Kamu tau kalau Alea gak akan dengar gedoranmu, kan?” Helga datang dan berdiri di sisi Raga yang wajahnya sudah menunjukkan emosi tidak berujung.

“Alea can't do this Hel!”

“Actually she can do anything she want. Termasuk berhubungan badan dengan orang lain selain kamu..”

“Target itu berbahaya!”

“Alea gak mungkin ceroboh.”

“ANJING!”

Helga mengedik pundak, lalu menepuk punggung Raga dua kali. “Hati-hati dengan perasaan kamu Ga. Alea sudah mati rasa. Dia tidak punya hati.”

Raga mendengus. Menghantam meja dengan telapak tangan. “Lo jangan sok tau Hel..”

Gadis berambut sebahu itu hanya diam dan berlalu, memanggil separuh tim untuk berjaga di titik depan untuk menyambut kedatangan tim A satu jam lagi.


chapter 1.2 lanjut pas kepala thread ini 100+ likes yah, ini ceritanya tes ombak wkwk lol.

TONIGHT, UNDER THE PLANETS.

catatan : Jave disini udah kuliah.

HAPPY READING!


Entah lelaki ini memang gila atau bagaimana, ia tetap datang sesuai omongan 25 menit kemudian. Dengan motor hitamnya, dibalut jaket hangat berwarna putih nyaman.

Lelaki itu turun dari motor ketika netranya menangkap seorang gadis yang kini tengah berdiri sendiri depan pagar. Ia lantas menurunkan standar motor dengan cepat dan langsung memeluk gadisnya dengan gerakan lucu.

“Katamu ini dingin tapi nungguinnya di depan pager.” Jave berucap setengah mengomel akibat pipi Rain yang baru ia tangkup itu dingin setengah mati. Lelaki itu lantas kembali menenggelamkan tubuh Rain dalam pelukannya, masuk ke dalam jaket.

“Kalo aku kamu buntel gini gak bisa liat planet kak.”

“Ya kamu tinggal liat atas aja.”

Rain mendongak, namun bukannya fokus melihat langit gadis itu malah kembali menyembunyikan wajah di dada bidang Jave yang kini memakai kaos biru langit.

“Apa Rain?” Jave bertanya, tertawa.

“Kamu ngapain nunduk? Katanya mau liat langit. Itu tadi posisinya.. Kamu tau kan?”

Lelaki itu mengeratkan pelukannya. Ia tadi memang sengaja menggoda Rain karena siapa sangka gadisnya ini masih suka malu-malu seperti itu? Merasa gemas Jave reflek mencium pucuk kepala Rain yang masih tenggelam tidak mau berpindah tersebut. “Udah-udah Rain ayo liat atas. Iya aku gak nunduk lagi. Serius.”

“Bener?”

“Iya. Liat itu sejajar 4 bareng bulan keliatan jelas.”

Rain akhirnya benar menarik sedikit kepalanya untuk mendongak, dan ya, melihat hal langka ini bersama Jave memang sangat menyenangkan. Hatinya begitu terasa menghangat detik ini.

“Kak Jave kamu download stellarium gak?”

“Kenapa?”

“Gak sih. Nanya aja.”

“Download aku. Kamu tau gak kalo besok planet-planet ini masih bisa keliatan jelas? Cuma koordinatnya geser dikit.”

“Oh ya?”

Jave mengangguk, merapatkan pelukan. “Saturnusnya besok agak jauh dikit ke arah sana.”

“Sana mana?”

“Ya sanaaaaaaa.”

Rain terkekeh mendengar suara Jave yang entah sedang serius atau tidak itu. “Omong-omong hari ini kita mau doa sore apa malem?”

“Pagi yuk.”

“Kamu nih ngaco apa gimana? Ini pagi. Kamu aja belom mandi.”

Jave menunduk. “Enak aja! Aku mau kesini tadi mandi dulu ya.”

“Ih kak Jave kamu curang dong?!”

“Curang apa?”

“Aku belom mandi!!!!!”

Jave tertawa. “Masa? Coba sih sini liat cewekku jam segini ada beleknya gak?” Lelaki itu menunduk, sok memperhatikan wajah Rain yang sekarang merah sekali akibat jarak mereka yang terlalu dekat.

“Oh iya belom mandi beneran ternyata, lah ini ada beleknya satu.” Jave melanjutkan sok serius sambil tangan kanannya mengusap-usap mata Rain.

Bohong? Sudah jelas. Rain memang belum mandi, tapi gadis itu sudah cuci muka dan gosok gigi setelah Jave bilang akan kemari beberapa menit yang lalu.

Rain spontan mengerut alis, tapi sebelum ia sempat mengomel Jave sudah lebih dulu mengecup matanya cepat. “Gak sih. Bohong. Mana ada belek berani nempel di mata cantik begini?”

“KAK JAVE!!!!!!”

“Ssst Rain masih subuh.”

Rain sudah tidak bisa berkomentar apa-apa lagi, gadis itu lantas kembali menenggelamkan kepalanya masuk ke dada Jave.

“Kenapa Rain?” Lelaki itu bertanya, tertawa tanpa suara.

“Aku malu.” Jawabnya sedikit tidak jelas karena suara yang teredam sebagian. Jave langsung tersenyum gemas.

Hening.

Mereka kembali menengadahkan wajah dan fokus memuji mahakarya Tuhan yang indah di atas sana itu sembari mengucap syukur dalam hati.

“Hpmu mana Rain?”

“Kantong.”

“Foto yuk.”

“Gimana?” Gadis itu menarik wajah.

“Hpnya taruh bawah, terus kita fotonya jongkok jadi planet sama bulannya di atas tetep keliatan.”

Rain tertawa. “Boleh juga. Ayo hahaha.”

“Ayo terus abis ini matahari keliatan kamu mandi.”

“Jadi pagi?”

“Jadi lah. Sorenya biar kita bisa jalan sama Gio-Jeva. Jadi bawa Alex-Rara kan kita?”

Rain reflek mengangguk patuh. Wajahnya jadi makin lucu saja. “Ok deal awas kamu kalo bohong gak bawa Alex ya!”

“Iya nanti kita kawinin mereka kalo merekanya mau.”

“Kalo gak mau?”

“Ya kita aja yang nikah. Ya gak?” Jave menaikkan satu alisnya, kembali menggoda.

“Huh. Kamu mending diem aja!!!”

“Hahahahahaha.”

THEIR FIRST CLOSE TOUCH.


Karel dan yang lain tengah makan dan duduk di dalam salah satu tenda warung pinggir jalan. Lokasinya persis di dekat alun-alun, jadi bisa dibayangkan suasana malam ini begitu ramai luar biasa. Karel tadi juga sudah ijin dengan mamanya bahwa akan menemani Jave, jadi dia aman dan bebas akan pulang jam berapa.

Rain berdiri di ambang pintu mobil bagian depan dengan kakinya yang kini sibuk bermain sendirian. Kadang ia berjinjit, lalu berdiri normal. Ia melakukan hal itu berulang kali hingga Jave yang tadi masih membenarkan balutan perban kakinya itu berhenti. Lelaki itu lantas mendongak. “Kamu ngapain?” Tanyanya.

“Gak ngapa-ngapain. Main aja. Pesenan makanmu tadi apa ya omong-omong kok gak jadi-jadi?”

Jave menggeleng, tangannya meraih tangan Rain yang berada tepat di hadapannya. “Aku gak pesen makan. Kalo punyamu mana?”

“Kenapa kok gak pesen?” Bukannya menjawab, ia balik bertanya.

“Males, gak mood. Nanti aja. Pesenan makanmu mana?”

Rain lagi-lagi tidak menggubris, gadis itu lantas mengerutkan alisnya. “Kamu mesti mikirin basket tadi, kan?” Tembaknya tanpa basa-basi. “Jujur aja kenapa kamu nyalahin diri sendiri? Itu bukan salahmu kok. Serius aku gak lagi mau ngehibur atau ngomong hoax tapi emang bukan salahmu.”

“Tapi aku hari ini gak main maksimal Rain. Kalo kakiku gak sakit aku yakin bisa sumbang nilai lebih banyak dari hari ini. Omong-omong pertanyaanku belum dijawab, mana pesenan makanmu?”

“Aku gak pesen makan. Aku lagi kenyang.” Gadis itu menjawab, menghela napas. Ia bukan tipe manusia yang bisa mengucap kalimat-kalimat positif untuk menenangkan lawan bicara. “Tapi ya, kalo basket hari ini kalah tuh bukan berarti ini salahmu kak. Maksudku, anggota timmu banyak kan? Mereka bisa kok sumbang nilai juga, gak harus kamu. Maksudku.. kamu tau aku ngomong apa gak sih? Ya gimana ya, maksudnya itu anggota basket kan banyak gak cuma kamu aja. Jadi kalo ada kalahnya bukan kamu aja yang salah. Lagipula hari ini kamu sumbang nilai dari jarak 3 point juga banyak banget. Hampir separuh lebih nilai akhir kamu yang kasih. Kamu udah maksimal hari ini meski kakimu sakit. Harusnya kamu gak sedih.”

Jave hanya diam, mendengarkan. Lelaki itu menatap lurus mata Rain yang tadi sudah berbicara panjang lebar itu tanpa berkedip sekalipun.

“Apa kamu liat-liat? Omonganku muter, kan? Emang.” Rain berakhir memalingkan wajah karena merasa panas sekali.

“Liat sini Rain.”

“Males, kamu pasti mau ngeledek.”

“Enggak.”

Rain menggeleng. “Gak mau.”

“Kenapa?”

“Degdegan, kamu ngeliatin aku, kan?”

Jave tertawa. Tawa pertama yang lepas setelah dari tadi lelaki itu galau akibat kalah bertanding dan memikirkan nasib kaki yang cedera tersebut. Ia lantas menarik tubuh Rain maju dan memeluk pinggang gadis itu erat akibat gemas. Pelukan pertama mereka, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali karena terjadi ketika yang satu masih duduk menyamping di dalam mobil.

“Eh..” Rain reflek melotot. Hendak protes, tapi pelukan Jave tersebut terlalu rapat. Lelaki itu menyenderkan kepalanya pada perut Rain.

“Kamu tuh lucu and precious banget.”

“Kak..” Rain speechless. Tidak bisa berucap apa-apa lagi karena jantungnya yang sempurna meledak di dalam tubuh. Kaki gadis itu bahkan sudah melemas sempurna sekarang.

“Iya aku tau. Kamu deg-degan, kan? Kerasa.”

“Heh!”

“Tapi aku juga deg-degan. Sama. Jadi nikmatin dulu aja Rain.”

Gadis itu meringis karena rasa-rasanya ingin menangis. Ia lantas menarik napas banyak-banyak agar kondisi jantungnya stabil sesaat.

“Kak.”

“Hm?”

Rain hanya diam. Ia kemudian memberanikan diri untuk menyentuh kepala Jave yang sudah menemukan tempat nyaman itu dan mengelus rambutnya pelan. “Kamu kalo sedih gara-gara mikir yang lain nyalahin kamu, jangan ya? Gak ada yang nyalahin kamu kok. Kalopun ada ya gak usah didengerin. Mereka cuma gak tau apa yang udah kamu perjuangin aja makanya ngejudge seenak jidat.”

“Hm. Kamu tau gak Rain?”

“Apa?”

“Jantungku makin ribut pas kamu peluk kepalaku. Kamu gak kerasa?”

Rain menegak ludah. “Gak.” Jawabnya.

“Rasain bentar sini.” Jave berucap, lalu menarik lepas pelukannya. Lelaki itu lantas berdiri, menopang berat tubuh pada satu kakinya yang tidak sakit, kemudian menarik kembali tubuh Rain masuk dalam pelukan.

“Sekarang udah kerasa?” Jave bertanya ketika kepala gadis itu sudah menempel di dadanya.

Sial. Jave benar-benar wangi dan sepertinya enak sekali untuk dipeluk. Rain spontan memejamkan mata, dan tepat ketika ia masih mencari ketenangan itu ia mendengarnya. Detak jantung lelaki itu benar terasa di pipinya yang menempel. Tidak teratur, kencang sekali.

“Kak ini kamu gak ada turunan jantung apa gimana kan? Itu kayaknya mau lepas.”

“Kan?”

Rain mengangguk, “Punyaku tadi kayak gimana?” Ia bertanya polos sekali.

Jave langsung tertawa tanpa suara, tidak menanggapi. Lelaki itu lantas mengelus pucuk kepala Rain sayang. “Omonganmu yang tadi kamu kata muter-muter itu aku dengerin kok Rain. Thank you ya, aku ngerti kok kamu ngomong apa tadi.”

“Iya kah?”

“Iya lah.”

Rain sudah ingin membalas lagi ketika suara heboh Jinan tiba-tiba membuat pekak telinga.

“ANJIR LE, KITA BAHKAN BELUM PERNAH GANDENGAN!!!! TEMEN LO YANG SELAMA INI LO KIRA ANTENG DIAM DAN POLOS UDAH PELUKAN!!!!! SAMA COWOK IDAMAN LO PULAAA!!!!!”

Jave tersentak, melepas pelukan. Sedangkan Rain langsung memejam mata, tidak berani menoleh.