suasana club malam ini sangat tidak bisa dibicarakan lagi ramainya seperti apa. jika memang bisa, mungkin satu-satunya hal yang mampu disamakan hanyalah pasar. versi ada musik, lampu serta dj berpakaian seksi yang nangkring di atas sana.
jave menegak minumannya sekali lagi. tidak peduli juna sudah muring-muring setengah murka di sebelahnya sembari sesekali mengusir perempuan yang mendekati jave dengan gerakan agresif.
“balik astaga jave anjing udah jam 2 lo digrepe-grepe cewek woyyy.”
“jav..”
“astaga sumpah jangan bilang lo begini gara-gara rain doang.”
jave terkekeh dalam mabuknya, seperti masih sadar, tapi lebih banyak tidak sadarnya. ucapannya sudah melantur tidak keruan. bahkan tadi laki-laki itu sempat menunduk lama, menangis dalam diam.
juna berdecak, prihatin. “lagian putus kenapa dah lo berdua astaga.. balikan woi kalo masih demen.” ia berucap, mengomel.
sedetik kemudian juna langsung mengecek hp jave, memastikan mantan dari pemilik hp itu sudah menelpon ataukah belum.
persis ketika ia mengangkat ponsel, benda layar datar tersebut bergetar kecil dan nama rain muncul di atasnya.
tak banyak bicara lagi juna segera mengangkat panggilan tersebut yang rupanya adalah panggilan video.
“halo..?” suara rain muncul di ujung sana, serak.
“oh halo rain. gue juna. sorry ngerepotin lo jam segini, tapi boleh tolongin gue kan?”
“oh iya kak juna.. gak apa-apa.”
“lo panggilin jave ya, rain.. lo kalo malu, gue melipir kok.. gue ngejauh dulu.”
“gitu kak?”
“iya. gue taruh hpnya di sini aja lo panggilin jave ya? suruh balik rain.”
rain hening sesaat.
“mau kan rain?”
“hm, memang mempan kah kak kalo disuruh pulang?”
“try it rain. kalo menurut gue, mempan.” juna membalas, meletakkan hp tepat di depan wajah jave yang sedang menunduk itu, lalu melangkah 3 meter menjauh. memberikan sedikit ruang.
“halo..” rain mulai menyapa pelan. entah suaranya mampu menembus telinga jave atau tidak karena suasana club semakin parah saja bisingnya.
“kak jave?” gadis itu memanggil sekali lagi.
jave tampak bergerak, namun hanya bergerak sedikit saja rupanya karena sedetik kemudian lelaki itu lanjut berdiam diri lagi. menunduk semakin dalam, menyembunyikan wajah di tangannya yang sedang tertekuk di atas meja.
“kak jave, ini rain..” gadis itu bersuara, menyebut identitas. suaranya mengecil akibat air mata yang entah kenapa sudah ingin keluar kembali.
sebenarnya salah satu alasan ia tidak ingin on cam adalah matanya yang sudah tidak jelas lagi bagaimana bentuknya. bengkak sekali. ya, rain sedang sering menangis akhir-akhir ini.
lelaki di seberang sana masih belum bereaksi. rain bahkan sudah melihat beberapa gadis datang mendekat, menyentuh pundak laki-laki itu. mungkin ingin mengajaknya turun ke lantai untuk menari.
“ini javerio basket pas itu kan? tambah gede ototnya anjing, cakep banget.”
“lo taruhan dia betah main di kasur?”
“semua harta gue, gue taruhin.”
“hahahaha. asli. 2 lawan 1, menurut lo oke gak?”
tangis rain terurai sudah. banjir sekali mendengar ucapan-ucapan yang terlontar di ujung sana. ia bahkan sudah ingin mengakhiri panggilan ketika melihat jave mendadak menegakkan punggungnya perlahan.
mata lelaki itu merah, entah akibat mabuk, ataukah hal yang lain.
“udah bangun, jav?”
“lo gak mau main, bareng kita?” salah satunya sudah duduk di pangkuan jave, menghalangi pandangan layar telepon.
jave dengan sopan mendorong gadis itu pergi dari atas pahanya. tidak berucap apapun lagi selain tangannya yang bergerak menarik ponsel untuk bisa segera pergi menjauh.
“jav.. lo selalu begini sama kita? apa kurangnya kita? lo bukannya sekarang lagi single? apa masalahnya?” salah satu gadis berteriak, membuat jave menoleh ke belakang sekali lagi.
“gue masih punya cewek.”
“lo udah putus.”
jave seketika terdiam. “iya, iya gue udah putus.”
panggilan video dari rain masih belum dimatikan sampai jave masuk di dalam kamarnya yang berada di apartment milik kalandra. ya, jave dan gibran sedang sering menginap di apartment kalandra karena dekat dengan kampus.
juna pulang sendiri setelah selesai mengantar jave dengan aman. mobil lelaki itupun sudah terparkir mulus di garasi karena kalandra memanggilkan sopir untuk mengurus mobil jave.
“mabuk sampe begini jav jav... emak lo ngerti bisa dihajar gue.”
“sadar woy ganti dulu lah minimal.” gibran menggoyang pundak jave, menyadarkan.
lelaki itu hanya diam, fokus memegangi kepalanya sendiri dengan ponsel yang kini sudah terlempar di sebelah tubuhnya.
tidak ada suara memang, rain membisukan panggilannya.
“lo ditelpon rain loh tadi. lo angkat gak?” gibran tiba-tiba bertanya, langkah kakinya sudah hampir keluar dari kamar jave.
“gak ada yang telpon gue, cuma emang tadi kayaknya gue over minum, gue denger suara rain. ngayal.”
“iya.. ngayal kali emang lo. tapi siapa tau beneran di call gak sengaja kepencet mending lo cek hp aja.”
jave menggeleng, “rain udah sama karel, bran. mana mau dia hubungi gue hahaha.”
“lo dari dulu kenapa bahas karel mulu sih? rain demen karel?”
jave menggeleng. “gak ngerti. gue mau tidur.”
gibran mendengus, “ati-ati muntah dah lo.”
“hm.”
gibran lantas benar menghilang di balik pintu setelah menutupnya rapat-rapat.
jave merebahkan tubuhnya, tidak berniat mengecek ponsel meski sudah diberitahu bahwa rain mungkin menelponnya tadi.
mustahil, rain tidak pernah menghubunginya sejauh ini. mungkin tadi iya, menanyakan apakah ia mabuk atau tidak. tapi hanya sebatas itu saja.
hening. hanya suara dengung AC ruangan yang terdengar dan deru napas jave yang tidak beratur.
“kak, jangan mabuk lagi. ya?” suara rain tau-tau keluar begitu saja, mendarat di telinga jave dengan beningnya.
“halu beneran gue.”
“aku gak pernah deket sama karel juga. dari dulu. aku cuma temenan aja.”
jave benar mengerjap kali ini. kepalanya yang makin berat itu sudah tidak ia pedulikan lagi.
“rain?”
“iya, ini rain.”
lelaki itu sibuk mencari, mulai menyalahkan pikirannya yang mungkin sudah awut-awutan.
“di hp kak.”
jave mengerjap lagi, mengusir rasa berat pada kepalanya. meraih hp.
“call? sejak kapan..?”
“2 jam lalu.”
“oh?”
“tadi disuruh sama kak kalandra.”
“oke.”
“iya.”
hening.
“suaramu serek banget, rain.”
“lagi batuk kak.” balasnya, berbohong.
“minum yang dulu pernah aku beliin mempan kah?”
“mempan kok.”
“oke.”
“iya.”
hening lagi, kali ini cukup lama. jave sendiri juga tidak menunjukkan wajahnya barang sedikitpun. ponselnya mengarah ke langit-langit kamar.
“siapapun yang tadi kamu liat di bar, bukan cewekku rain.”
“iya kak.”
“sorry.” ucapnya, berbisik. “sorry for being selfish, rain.”
“kamu gak mau tidur kah?”
“oh iya, sorry lagi. udah malem ya. matiin aja rain.”
rain tidak lekas menjawab.
“thanks udah mau telpon aku.”
“gak masalah.”
“iya.”
“aku matiin ya kak?”
“bentar.”
rain menurut. memberikan ruang pada jave untuk berbicara lagi.
“boleh lihat wajahmu gak rain?”
“oh.. kenapa?”
“aku, kangen.”
hening. lama sekali. rain entah bagaimana kondisinya di seberang sana karena yang terdengar beberapa saat kemudian hanya suara grasak-grusuk saja.
“rain?”
“iya.”
“boleh?”
“ya, boleh.” gadis itu menyalakan kameranya sendiri pada akhirnya. tepatnya setelah dua jam hanya warna hitam yang muncul di layarnya.
“sejak kapan pake kaca mata rain?”
“barusan kak.”
“jangan sering begadang biar matanya gak sakit.”
“iya makasih.”
jave mengangguk, membuang pandangan karena dirasa hatinya semakin nyut-nyutan saja malam ini. pikirannya berjalan kesana kemari, tidak jelas. tidak nyaman.
“kak jave.”
“ya rain.”
“apapun masalahnya jangan pergi clubbing lagi ya? jangan sedih.”
tepat ketika ucapan rain terlontar, jave langsung menunduk. tangisannya pecah.
“sorry rain. sorry. aku minta maaf banget.”
“jangan nangis.” rain malah kembali berkaca-kaca.
“sejak hari itu ada satu bagian hatiku yang marah banget, setiap hari selalu kepikiran. maafin aku ya rain.”
“gak salah kak. gak papa.”
“aku tiap hari kangen kamu. aku ngaku salah pas itu. sekali lagi maaf ya rain.”
“ya.”
“satu-satunya jalan buat nebus cuma doaku yang selalu aku kasih buat kamu. semoga kamu selalu baik-baik aja.”
sepi. rain benar menahan semua tangisannya melihat jave seperti itu.
“kamu sendiri? kamu baik-baik aja kah kak?”
jave diam, menggeleng. “nyatanya enggak sebaik itu rain.”
“semoga kamu juga baik-baik aja ke depannya.”
jave mendongakkan kepala. matanya semakin merah. pengaruh alkohol belum hilang benar dari tubuhnya.
“can we go back together again, rain?”
hening.
sangat lama.
beberapa saat kemudian layar ponsel jave menghitam. baterainya habis.