waterrmark

Girl's thing.


Minggu sepulang gereja, Jave memang betul mampir ke rumah Rain untuk makan pagi. Mama kemarin sudah mengontak lelaki itu secara mandiri karena takut Rain kelupaan menyampaikan ajakan makan-makan darinya.

“Rain kamu ngerti gak di lampu merah depan sana yang 100 detik itu kadang ada kayak kumpulan orang bawa angklung sama nyanyi lagu daerah?” Javerio membuka obrolan sembari tangan kirinya mengoper gigi mobil. Sudah jelas dibawah telapak tangannya yang tengah mengoper itu ia menjalani kewajiban untuk bergandengan dengan Rain.

Bedanya, kali ini Rain sendiri juga ikut inisiatif menggelayut tangan Jave jika tangan lelaki itu sudah menganggur, sebentar-sebentar, tidak terlalu lama, tapi cukup membuat Javerio merasa senang karena tumben-tumben gadis itu mau tempel-tempel dengannya. Entah, Rain lumayan rewel hari ini.

Rain menggeleng. “Tiap hari apa emang?”

“Kadang senin, kadang kamis, gak tentu sih? Mau coba lewat gak?”

“Mau dong kak. Gak muter kan tapi?”

“Searah kok.”

Rain mengangguk, menyenderkan kepala di tangan Jave yang tadi masih ia pegang. Tangan kanannya mulai mengotak-atik media Jave untuk mengganti lagu.

“Kamu suka lagu-lagunya band oasis gak kak?”

“Yang?”

“Ya apa aja. Kayak don't look back in anger, atau champagne supernova? Kamu suka 1975 kan? Menurutku ya agak memper sih modelnya. MENURUTKU LOH YA, jadi kamu gak boleh ngomel kalo misalnya gak memper.”

Jave terkekeh. Rain jadi agak sensitif hari ini. “Ya udah kamu puter aja.”

Gadis itu mengangguk, melepas tangan Jave, kemudian menyender di kursinya sendiri. Sibuk mencari lagu.

“Eh tapi lagu ini juga enak.”

“Apa?”

“Lagunya Novo Amor. Kamu tau aku suka banget lagu yang kayak gini, yang nadanya ngambang-ngambang gitu jadi kayak kitanya pas merem tuh terus jadi bayangin wahhh.. padang pasir.”

“Apa sih kok mendadak padang pasir segala?”

“Serius. Coba kamu dengerinnya sambil merem.”

“Aku nyetir Rain.”

Rain menepuk jidat. “Iya ya. Ya nanti aja dengerin lagi pas udah di rumah. Sensasinya enak kalo pas kamu tuh lagi di kamar, terus di bawah AC, tutup mata gitu pas mau tidur kan.. Percaya deh kamu kayak diseret ke pinggiran kota gitu. Asik.”

Jave mengangguk-angguk, matanya menyipit karena tersenyum gemas akibat Rain cerewet sekali pagi ini.

“Eh omong-omong yang itu gak sih, kak? Yang katamu angklung-angklung tadi. Astaga ini minggu mereka ada loh!!!!” Rain tiba-tiba melanjutkan pembicaraan, menunjuk sekumpulan pemuda yang tengah memainkan alat musik di pinggir jalan. “Woooow.” Gadis itu spontan saja jaw dropping. Matanya menatap takjub karena suara nyanyian dan musik para pemuda itu begitu memikat hati. Tangan kiri Jave reflek mengecilkan media player supaya Rain bisa mendengar lagu bawaan pemusik jalanan itu tanpa terganggu.

“Kak satu orangnya ada yang keliling bagian narik uang, aku boleh buka jendela gak?”

Jave mengangguk. “Ada uangnya? Aku juga mau kasih dong.”

“Aku ada. Kamu bareng aku aja sekalian gak papa.”

“Ya udah. Tuh semobil lagi sampe di sebelahmu.”

Rain menjulurkan tangan dan memasukkan uang tepat di keranjang yang dibawa pemuda itu ketika gilirannya sudah tiba. Raut wajahnya begitu terpesona, tak lupa gadis itu mengucapkan kata terima kasih sebelum akhirnya lampu merah berganti menjadi hijau kembali.

“Itu mereka ada lagi di lampu merah yang deket dieng loh Rain.”

“Keren. Itu sehari mereka disitu kira-kira bisa jadi jutawan.”

Jave tertawa, lalu menarik kepala Rain mendekat agar menyender di pundaknya.

“Leherku tengeng nanti kak yang ini ekstrim, kamu tuh tinggi sadar diri lah.”

“Ini tinggi apa sih orang sama duduknya?”

Rain mendengus, tapi moodnya hari ini memang sedang tidak teratur, bawaannya ingin menempel terus padahal biasanya gadis itu tidak pernah begini. Jarang sekali, maksudnya.

“Kamu mau beli cilok atau apa yang asin-asin gak Rain?”

Gadisnya menggeleng. “Pengen es victoria, temenin bentar ke pander boleh kah?”

Jave terkekeh. Lelaki itu lantas mengangguk, memutar kemudi. Kali ini ia benar-benar menggelengkan kepala sambil menahan tawa karena mengerti kenapa Rain jadi manja seperti ini.


Sampai di lapangan basket itu suasana masih sangat ramai, banyak pemuda-pemudi berlalu-lalang melempar bola kesana-kemari. Maklum lah, masih pukul setengah lima.

Jave duduk di salah satu bangku sembari tangannya sibuk membuka bungkus lilin. Angka 17, Kalandra sudah berumur 17 hari ini. Entah, mungkin cowok itu akan mengadakan makan-makan sebentar lagi. Siapa pula yang mau melewatkan masa ulang tahun ketika umur 17?

“Sialan nih plastik kaku banget. Ada yang bawa gunting gak?” Jave berteriak jengkel, bertanya pada teman tim basketnya yang juga sibuk menyiapkan surprise.

“Gak lah, gue dompet aja kaga bawa pake acara gunting segala?”

Rain terkekeh, “Sini coba, itu tanganmu keringetan soalnya makanya licin kak.”

“Masa?”

“Iya. Makanya jangan gandeng-gandeng terus.”

“Dih.” Jave mendengus, menyerahkan plastik itu ke tangan Rain. Dan sebelum gadis itu sempat menyobek ujungnya, plastik berisi lilin tersebut sudah ditarik kasar oleh tangan seseorang yang baru saja datang mendekati posisi mereka.

“Gue bawa gunting Jav. Nih gue bukain.”

Rain mendongak, begitu pula dengan Jave dan teman-temannya. Sial. Itu Clara dan anak-anak satu circlenya.

Rain melongo, ia lalu menoleh ke arah Jave yang kini rupanya juga ikut diam terpaku. Wajah lelaki itu tampak mengeras kaku ketika menerima lilin dari tangan Clara.

“Gue Clara kapten dance, temennya Jave. Lo bendahara kelas 11 kan? Anak baru?” Gadis itu bertanya, menyelidik penampilan Rain dari atas hingga bawah dengan tatapan yang tidak bisa dibaca apa maunya. “Salam kenal, Rain?” Ia menyodorkan tangan.

Rain mengangguk, demi sopan santun ia segera bangkit berdiri untuk menyambut tangan Clara, namun sebelum tangannya terulur, Jave sudah bergerak menarik tangan Rain turun kembali. “Gak usah basa-basi Cla. Lo gak pernah ajak orang lain kenalan kecuali ada maunya.”

Clara mendecih, mengedik bahu singkat. Matanya menangkap tangan Jave yang kini menahan tangan Rain di bawah sana. “Gue cuma mau kenalan, apa salahnya?”

“Salah. Karena lo bukan tipe cewek yang mau lakuin hal beginian kalo gak ada niatnya.” Kali ini Gibran yang bersuara, berhenti sudah kegiatannya membuka kotak kue akibat kehadiran Clara.

“Lo juga belain cewek ini Bran? Bahkan gue dateng gak bikin keributan loh? Gue cuma ngajak kenalan.”

Gibran menghela napas, “Kalo lo mau join surprise Kalandra mending lo duduk aja Clar.”

“Wah.. Cuma gara-gara anak baru kelas 11 ini lo berdua jadi gini sama gue? Sebelumnya gue join juga tampang kalian biasa aja loh?”

“Gak gitu maksud mereka Clar..” Rendy berusaha menengahi supaya tidak terjadi keributan penting akibat masalah sepele di ulang tahun Kalandra.

“Gak gitu gimana maksud lo Ren? Hah.. Gue dateng baik-baik mau minta kenalan doang udah dilarang loh? Gue cuma mau tau lebih dalem apa kelebihan dia dari pada gue. Gue cuma mau tau apa yang dihasilin keluarganya lebih besar dari keluarga gue kalo papanya udah mening..”

“Stop. Stop it.” Jave bangkit berdiri, menghentikan kata yang hendak keluar dari mulut Clara. “Stop sebelum gue anggep lo beneran musuh Cla.” Lanjutnya.

“See? Lo belain dia lagi Jav?”

Rain mengerut kening. Separuh merasa ciut berhadapan dengan semua kakak kelas yang ada di lapangan ini, separuh lagi merasa kesal karena diam-diam dia sepertinya dijadikan bahan gosip oleh kelompok Clara yang sekarang hanya diam mengawasi cekcok tidak penting tersebut. Sisa perasaannya campur aduk ketika mendengar almarhum papanya ikut diungkit-ungkit.

“Rain cewek gue.” Jave berucap. Memberi penekanan pada tiap katanya.

“Lo gak berani pacaran di sekolah. Semua anak di sekolah juga taunya lo pacar gue. Jadi kenapa tiba-tiba lo claim pacaran sama dia? Liat, bahkan gue jauh lebih sempurna dari dia. Gue bisa kasih apapun buat lo Jav. Lo selama ini diem-dieman karena lo jaga image gue di depan anak sekolah kan? Lo sebenernya peduli sama gue.”

Jave menghela napas, mengatur kesabaran yang makin terkikis. Dan sebelum cowok itu meledak, Rain sudah mengangkat tangannya di udara. “Stop. Jangan ribut sama adegan-adegan aneh. Kak Kalandra dateng itu, sama pelatih basket.”

Semuanya tersentak, menoleh. Benar saja Kalandra memang baru masuk gerbang dengan tas basket besarnya. Siap latihan. Lelaki itu datang bersamaan dengan Lukas, Jeva, Karel, dan dua pelatihnya.

Clara berdecak, lalu ia memutuskan untuk pergi dari situ karena hampir saja mengeluarkan tangisan kesal. Tidak masalah sebenarnya jika ia menangis di depan umum, tapi kehadiran Jeva dan Karel membuatnya ingin pergi dari situ secepat kilat.

Hening. Rain merosot cepat ketika Clara dan teman-temannya hilang ke parkiran. Kakinya melemas sempurna. Bohong jika ia bilang tidak takut, prinsip hidupnya selama ini adalah ketenangan dan kedamaian. Bahkan ia saja berusaha tidak menonjol dimanapun supaya menghindari masalah yang membawa namanya, tapi sekarang? Gadis itu menggelengkan wajah. Tangannya mencekal kaki Jave supaya tidak oleng ke belakang.

Jave menunduk, matanya yang tadi masih mengawasi Kalandra masuk gerbang itu ganti melihat gadisnya yang kini berjongkok dibawah kakinya. “Rain astaga.” Ia berucap, melepas tangan Rain dan ganti menggenggamnya. Lelaki itu ikut berjongkok. “Sorry. Sorry kalo dia bawa-bawa keluarga ya Rain.. Kamu gak papa?”

Rain menggeleng. Dia cuma deg-degan. Walau benar pikirannya jadi kacau membayangkan yang tidak-tidak, ia tetap tidak kenapa-kenapa. Gantinya gadis itu mulai menyenderkan kepala di pundak Jave karena merasa lega Clara sudah pergi. “Makasih udah dibelain. Meski dia begitu karena suka kamu tetep aja bawa-bawa keluarga emang gak pantes. Makasih udah stop omongannya ya kak Jave.”

Jave terdiam. Ia kaget karena Rain mau sedekat ini dengannya di depan umum. Meski bukan waktu yang tepat untuk baper-baperan, lelaki itu akhirnya mengusuk pucuk kepala Rain pelan. “Ayo ke toko sebelah itu aku beliin susu moka biar gak bad mood. Mau?”

Rain menggeleng, mengerutkan kening. “Bukan bocah ya kak Jave.”

“Di mataku kamu tetep bocah gimanapun gedenya. Ayo, itu Kalandra masih omong-omongan sama coach juga. Sekalian beli air putih, tadi anak tim gak sempet beli.”

Rain mengangguk, menatap mata Jave yang kini tengah melihatnya teduh. “Karena hari ini kamu jadi cowok baik aku traktir boleh?”

Jave tertawa, matanya menyipit. “Ya udah. Nanti gantinya pas pulang kamu aku traktir ronde sama terang bulan. Oke?”

“Deal.” Rain bangkit berdiri, menyodorkan telapak tangan dengan perasaan yang jauh lebih tenang. “Mau gandeng?” Bisiknya menjinjitkan kaki.

JENAVE 2

lowercase. 18+


“jev, let's do more.”

jevian mendengar suara ave yang memohon dengan serak seraya menatap matanya yang kian sayu.

gadis itu memanggilnya jev alih-alih jen. sudah terbukti bahwa keinginannya bukan sekedar main-main belaka.

jevian menghela nafas. ia sebenarnya bisa saja melakukan lebih pada ave. toh manusia mana yang bisa menolak rejeki seperti ini?

kita bicara tentang aveyla. gadis satu itu benar-benar idaman ratusan lelaki.

dulu ketika masih belum pacaran pun jevian juga susah payah bersaing dengan yang lain.

tapi sekarang? gadis itu bahkan sudah ada di depan mata dan memintanya untuk melakukan hal nikmat lebih jauh dari sekedar berciuman.

jevian kembali menggeleng. menyatukan segala pikirannya yang sempat ambyar ketika lagi-lagi bibir ave mendarat di bibirnya.

hanya kecupan, dan itu mendarat sekitar lima kali.

“ave..” lelaki itu memanggilnya, menahan pinggul ave agar tidak bergerak maju kembali.

namun yang terjadi ave malah menarik maju tengkuk jevian dan mulai melahap rahang lelaki itu dengan perlahan.

jevian mendesah berat. sial. tangan ave mengelus urat lehernya yang sempat menegang dan itu berhasil membuatnya kembali hilang akal.

jilatan itu turun, menuju jakun jevian yang menurutnya begitu seksi itu kemudian lanjut mengecupnya.

dijilatnya memutar area itu seraya melumatnya sesekali karena desahan berat jevian menggugah minatnya untuk berbuat lebih jauh.

ave bergerak maju. gadis itu menumpukan salah satu tangannya di paha jevian dan kembali menjilati leher kekasihnya. disedotnya beberapa area hingga menimbulkan bercak kemerahan.

spontan saja jevian memegangi kepala ave, tanda birahinya sudah kembali memuncak.

diperhatikannya ekspresi ave yang kian memerah itu dari spion tengah mobil, “sayang..” jevian memanggilnya, serak, dan cukup basah. sukses membuat merinding tubuh ave dalam sekejap.

“ya..”

“yang barusan kamu jelajah itu area paling sensitif yang aku punya..” peringat jevian seraya menatap mata ave lama.

ave mengangguk. “jadi?”

“jangan sentuh yang itu atau aku kebablasan.”

“kebablasan aja.. aku udah bilang, ahh..” ave seketika mendesah ketika jevian mendorong tubuhnya perlahan hingga menempel sempurna di jendela samping seraya mengelus pundaknya.

“i've told you, ve..”

lelaki itu menciumi leher ave dengan lincah, menjilatnya di beberapa area hingga membuat sang pemilik leher mendesah keenakan.

sedotan kencang akibat nafsu jevian yang membuncah itu berbunyi keras, membuat bagian bawah ave semakin basah dari waktu ke waktu.

“ahh, jenh...” ave menggeliat ketika atasannya yang terbuka itu diturunkan oleh tangan jevian. bahkan bibir lelaki itu tidak segan-segan sudah menjelajah area dada atasnya.

“ve..” jevian mendongak, meminta ijin.

ave hanya membalas dengan anggukan dan membantu pergerakan jevian dengan memajukan badannya, membuat bajunya turun dengan bebas.

jevian melongo sebentar. tubuh bagian atas ave terpampang di hadapan wajah seakan meminta dimakan detik itu juga.

“u sure ve?”

ave mengangguk.

dan seakan didorong sesuatu, jevian segera maju dan melahap gundukan tersebut setelah sebelumnya sudah menurunkan sedikit bra merah milik ave.

desahan seksi mulai terdengar di dalam mobil, membuat jevian kian semangat menjilati area milik gadisnya tersebut.

“jenh..”

“hah.” jevian menarik wajahnya mundur dengan sentuhan gigitan gemas terakhir pada puting ave yang kian menjulang tersebut.

let's stop here ve. aku gak bisa nahan lebih jauh. bisa sinting.” lelaki itu menarik mundur badannya sedikit, lalu mengecup dahi pacarnya lama. “aku pacarin kamu bukan buat ini. nanti, nanti kita bisa lakuin lebih. kita nikah dulu ya.”

ave diam. dalam hatinya gadis itu jelas masih ingin berbuat jauh akibat suara teman-temannya yang mengompor tidak jelas kian mendengung di telinga.

“jen..”

“ya?”

ave menggeleng, “sorry.” katanya pada akhirnya.

“kenapa?”

“sorry for being aggresive.”

jevian terkekeh meski bagian bawahnya belum kunjung tidur hingga detik ini. “it's okay.”

“makasih juga.”

“buat?”

“buat gak ngelakuin lebih jauh malem ini. karna dasarnya aku tau kalo kita berdua cuma lagi kemakan nafsu sesaat.”

jevian mengangguk, kali ini ia mendaratkan kecupan panjang pada bibir merah milik ave.

“lain kali kalo diajak ngomong sama orang gak jelas jangan mau.” omel jevian pada akhirnya.

“ya..”

“besok aku mau labrak cewek yang namanya ayna. FKG kan?”

ave mengangguk. tapi kemudian menggeleng. “dia bilang dia pernah pegang-pegang kamu.. kamu gak..”

“ve.... aku pacarmu.”

“ya kan..”

“cuma kamu cewek yang pernah berhasil cium aku.”

ave terdiam.

“jadi jangan dengerin omongan gak jelas lagi. oke?”

kali ini ave langsung mengangguk dan memeluk jevian lama.


next 250+ di kepalanya yah.

JEN – AVE

18+ lowercase


ini sudah pukul 8 malam dan disinilah lelaki yang dari tadi dipanggil dengan sebutan jen itu melangkah.

bar malam yang lumayan besar dan begitu ramai.

gemerlap cahaya yang mampu membuat mata rusak jika tidak terbiasa itu berpendar tak kunjung henti disertai oleh musik kencang yang dimainkan oleh dj berbaju seksi di depan sana.

jen, pacar ave, atau yang nama aslinya adalah jevian wijaya, memutar kepala dengan mata elangnya demi mencari sang kekasih di antara lautan manusia.

dan disitulah ia akhirnya melihat aveyla, pacarnya, yang merupakan seorang model pakaian dan tak jarang muncul di beberapa acara televisi lokal itu sedang berdiri di sebelah meja tinggi, lengkap dengan pakaian seksi yang lumayan terbuka.

gadis itu terlihat tidak nyaman, sesekali mengusir beberapa tangan yang meraih tubuhnya, lalu meringsut mundur dengan ekspresi letih dan sedikit ketakutan.

jevian semakin yakin bahwa gadis sesat bernama ayna itu telah memaksa ave agar datang kemari. kemungkinan besar ingin menyerahkan pacarnya itu agar bisa bebas disentuh lelaki lain supaya ia mendapat uang tambahan.

sial. jevian merasa kepalanya mendidih ketika melihat paha mulus kekasihnya diraba oleh lelaki asing di depan sana.

semuanya berlalu begitu cepat, lelaki itu maju terburu dan menabrak gerombolan manusia yang sibuk menari itu dan langsung meninju siapapun yang tadi sempat menyentuh gadisnya.

pemegang sabuk hitam. jevian sudah terkenal dengan keahliannya dalam hal bela diri. bahkan sesekali ia mewakili kota untuk bertanding dan tak jarang mendapatkan kemenangan telak.

“jen?” ave mengerjap ketika tangan jevian meraih pergelangan tangannya.

“ya, ini aku. mana cewek yang namanya ayna?”

ave menggeleng. “gak tau, tadi dia bilang mau keluar bentar.”

jevian mendesah berat, lalu segera membawa gadisnya keluar dari bar sialan tersebut.


“mana yang tadi dipegang orang?”

ave terdiam ketika pertanyaan itu ditodong ke arahnya. tangannya berkutat gelisah dengan kepala yang lumayan pusing akibat masih di bawah pengaruh alkohol.

“mana ve?”

“kamu marah.”

“siapa yang gak marah? aku cowokmu aja gak pernah begituin kamu tapi orang lain dengan kurang ajarnya pegang-pegang kamu?”

ave menciut. “tadi hampir dicium.” adunya, dengan suara pelan.

“ave dengerin aku.” jevian menarik pergelangan tangan ave pelan, “aku ngerti kamu emosi dengerin omongan ayna apa siapalah yang bilang pernah tidur sama aku. but trust me aku gak pernah ngapa-ngapain sama orang lain.”

“aku pusing jen.”

“ya soalnya kamu mabuk.”

“tapi jen, kenapa kita gak pernah kissing?”

jevian menyatukan alis. “kenapa juga kamu dari tadi bahas masalah cium? kamu mau?”

ave membuang wajah. warna merah akibat mabuk dan malu itu bercampur menjadi satu.

“mau denger jawaban gak ve?”

“mau.”

jevian menghela nafas, “karna aku takut gak bisa nahan kalo udah terlanjur nyentuh kamu.”

hening.

ave terdiam, lalu mengembalikan pandang ke arah pacarnya.

“masalah foto, aku gak mau kamu upload yang terlalu kebuka di publik. udah, gitu aja. kebuka biasa sih santai, tapi mata cowok normal bakalan gak bisa kedip ve. kamu terlalu sempurna.”

suara mesin mobil yang menyala dan belum sempat melaju itu menjadi saksi obrolan serius mereka malam ini. bahkan ave masih terdiam, mencerna segala kalimat jevian dalam keheningan.

“jen..”

“ya.”

gadis itu menatap wajah jevian yang tegas itu, lalu meraba rahangnya halus. menyentuh setiap sudut wajahnya yang tampan itu seraya mulai memajukan wajah mendekat.

“ave, no. aku udah bilang aku takut kebablasan nantinya.”

ave tuli seketika. gadis itu mengelus rahang dan bawah bibir pacarnya itu seduktif, dan terus mencondongkan wajah. dari jarak sejauh 3 senti, jevian bisa merasa nafas hangat ave mendarat sempurna.

sebenarnya lelaki itu bisa saja mundur, tapi pergerakan ave seperti menyihirnya supaya tetap diam.

“jen.” ave berbicara dengan suara serak.

“hm.”

“makasih udah pukulin mereka semua tadi.” lanjutnya, masih dengan jarak dekat dan suara yang kian hilang hingga kini terdengar menyerupai desahan ringan.

“iya.”

“asal kamu tau kalo aku punya otot lebih aku juga mau hajar cewek-cewek yang sering bilang ke aku kamu jago main di kasur.”

jevian memejamkan mata, lagi, gadis-gadis di luar sana selalu saja mengarang cerita yang tidak-tidak.

“aku gak pernah ngapa-ngapain sama mereka ya ve.”

“hm.” ave hanya menggumam. tangan kirinya yang tadi terdiam mulai menyusur tengkuk jevian yang hangat itu, “so, do you want to kiss me tonight, jen?”

jevian membuka mata. pandangan sayu ave yang menatapnya sejak tadi berbicara sejujurnya sudah membuat sesuatu dibawah sana menegang sempurna. belum lagi ditambah nafsu ave yang sepertinya sudah naik ke ubun-ubun membuat nafas jevian perlahan memburu. dan sedetik sebelum lelaki itu mengikis jarak, ave sudah menahan bibirnya dengan jari telunjuk.

“why ve?”

ave menyibak rambut jevian ke belakang, “perlu kamu tau, aku juga punya sesuatu yang susah di tahan. sama kayak kamu.”

hening.

keduanya saling tatap lumayan lama. hingga jevian yang pertama kali tidak tahan itu mulai mengikis jarak bibir mereka dengan perlahan.

hangat. bibir jevian hangat. gadis itu bisa merasakan bibir tersebut melumatnya perlahan. begitu pelan seakan tidak ingin menyakitinya. ave sendiri tidak bisa berbuat banyak karena ini masih pertama kali baginya.

lidah lelaki itu menyapu perlahan, memberikan kesan basah dan panas yang membuat ave ketagihan. tangan gadis itu bahkan sudah berpindah tumpuan ke area leher jevian yang kekar.

tanpa suara, hanya ada suara sedotan pelan dan decakan ringan di dalam mobil.

jevian memiringkan kepalanya, sedikit menarik pinggul ave supaya maju lebih dekat, lantas mulai menyusupkan tangan ke tengkuk gadisnya.

ia sudah menahan diri selama menit-menit awal agar ave tidak terkejut, dan sekarang nafsunya sudah kepalang tidak karuan akibat desahan ave yang mendadak saja keluar entah karena apa. maka dengan pasti lelaki itu mulai menaikkan levelnya dengan menggigit bibir ave supaya terbuka sedikit.

jantung gadis itu menggila ketika lidah jevian perlahan masuk ke dalam mulutnya dan mengeksplor bagian dalamnya dengan lihai. seakan isi mulut ave adalah makanan yang berhak ia makan semuanya.

ave melenguh, tangan jevian mendadak mengelus punggungnya dari balik baju. panas, dan berhasil membuat bagian bawahnya semakin basah.

tidak ingin kalah akibat ia yang pertama kali meminta, ave mulai belajar dan sedikit membalas ajaran jevian beberapa menit lalu. gadis itu membiarkan lidah jevian mengeksplornya sekali lagi sebelum mulai menyedot perlahan lidah kekasihnya dengan penuh nafsu.

jevian spontan menegang, ia lantas mendorong tubuh ave mundur. “jangan kelewatan ve. aku gak yakin bisa nahan kalo kamu mendadak bales gitu.”

ave menyentuh bibirnya. mengecap lidahnya sendiri. yang barusan terjadi itu begitu nikmat. jantungnya meledak-ledak dan badannya terasa panas.

“jev, let's do more.


woi finally jen ave ada narasinya wkwkwk

lanjut kepalanya 150+ dulu ya

SPECIAL CHAPTER.

BE HAPPY. I LOVE U ALWAYS.


Marco tengah berdiri di samping meja bundar yang terdapat dalam sebuah acara besar malam ini. Tampilannya rapi, mengenakan setelan serba putih dengan sepatu hitam mengkilat yang terpasang rapi.

Senyum lelaki itu terus mengembang ketika lagu favoritnya, lucky, mulai mengalun pelan dari arah pemain musik di ujung ruangan.

Lucky i'm in love with my best friend, lucky to have been where i have been lucky to be coming home again.

Entah, Marco sendiri sempat bingung kenapa bisa-bisanya Kayna memilih lagu ini untuk acara besar yang diadakan sekali seumur hidup itu. Bukannya apa, tapi lagu tersebut memang tidak nyambung sama sekali dengan acara ini.

Lelaki itu mengedik pundak, lalu menyingkir ke dekat pintu samping ketika para pramusaji mulai masuk ke ruangan membawa nampan-nampan berisi camilan ringan dan disusul oleh hidangan pembuka.

Belum, ia belum duduk di kursinya sejak datang tiga jam yang lalu. Pikirannya terlalu mengawang jauh seakan tidak punya arah.

Kaki yang sejak tadi berjalan kesana-kemari itu kini bahkan sudah membawa tubuhnya keluar area, ke arah ruangan putih yang kini tengah ramai oleh para wanita berlalu-lalang. Entah, tapi sudah pasti Kayna ada di ruangan itu sekarang.

Marco menghela nafas kelewat kencang ketika suara-suara keras mulai masuk ke telinganya.

Sial. Kepalanya mendadak berkedut.

“Kay!”

Marco menoleh, suara yang barusan terlontar itu tembus dengan lantang di antara bisingnya suasana.

Itu Saka.

Bisa ia lihat Kayna melambaikan tangan dari kursi kayu di depan sana, tepatnya berjarak 10 meter jika diukur dari letak kaki Marco berdiri detik ini.

Belum. Kayna masih belum melihat dan menyadari keberadaannya. Gadis itu kini bahkan tengah tersenyum cerah sambil sesekali memukul tangan Saka kencang. Biasa, mungkin Saka baru saja melempar jokes receh yang berhasil membuat perut Kayna geli secara dadakan.

“Mau minum?” Marco mengerjap dan menoleh ke belakang, lalu menyingkir mundur mendekati tembok setelah sebelumnya sudah tersenyum menolak.

Ia tidak haus.

Lagipula, ia masih ingin memandangi Kayna dan Saka sebentar saja dari jarak jauh.

Kini tangan Saka terulur pelan, mengajak gadis itu agar segera bangkit berdiri dan berpindah tempat karena mama Kayna baru saja muncul dari balik pintu memanggil keduanya.

Marco berdecak, sudah mulai, rupanya.

Lelaki itu lantas bergerak cepat menembus kerumunan agar bisa kembali menuju area utama yang detik ini semakin ramai.

Kursi-kursi terisi penuh tak bersisa dan aroma makanan sudah menguar lepas dari area dapur siap untuk masuk ke dalam ruangan.

Marco menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang kenalan melambaikan tangan dari kejauhan, tepatnya dari area depan.

“Marco.. Apa kabar?” Ia bertanya ketika kaki Marco sudah menapak di sekitarnya, lantas mempersilahkan Marco untuk duduk disampingnya.

“Baik. Kelewat luar biasa.” Jawab Marco tertawa. “Papa gimana?” Lanjutnya bertanya.

“As you can see, i'm fine too Marco, hahahaha.” Suara tawa lelaki yang dipanggilnya papa itu menguar merdu di sampingnya. “Tapi dimana Kayna? Kok gak datang-datang?”

“Sebentar lagi kayaknya masuk pa.”

“Iya ya, sudah mau mulai juga.”

Marco hanya mengangguk. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan tenggorokannya kering setengah mati.

Ya, lelaki itu mulai menyesali perbuatannya menolak air yang tadi sempat ditawarkan.

“Nah itu dia, mulai masuk.”

Lagi-lagi Marco hanya mengangguk, tidak menoleh, juga tidak bergerak dari posisinya barang se-inci.

Suara tepuk dan sorakan yang berasal dari sekitarnya bahkan membuat kening lelaki itu nyeri setengah mati.

Hingga akhirnya disinilah ia melihat Kayna dan Saka berjalan melewati seluruh kursi dan mulai berdiri di hadapannya lengkap dengan tangan Kayna yang melingkar manis di lengan Saka.

Mata keduanya bahkan nampak bahagia dan begitu terpukau satu sama lain.

Setidaknya, begitulah rentetan acara panjang yang diikuti Marco malam ini bisa berjalan begitu lancar dan mulus tanpa ada kendala sedikitpun.

Kenalannya yang tadi berada di sampingnya itu bahkan kini sudah berjalan-jalan bersama seorang lain yang entah siapa dan hilang termakan waktu.

Marco merenung. Mengawasi kedua kakinya yang menapak di lantai dingin itu dengan tatap kosong.

Bukan, ia bukannya tidak bahagia atas pencapaian baru yang didapatkan oleh Kayna hari ini.

Hanya saja..

“Sak, aku kangen Marco.”

Suara yang barusan mendarat di telinganya membuat lelaki itu mendongak.

“Sama Kay. Aku juga.” Saka membalas ucapan Kayna dengan tatapan yang tidak kalah kosongnya.

Gue disini..

“Dia dateng gak sih, kira-kira?”

Marco mengalihkan pandang, dadanya nyeri bukan main melihat mata Kayna yang berkaca-kaca itu tengah memandang ke arah kursinya secara cuma-cuma.

Hening.

Keadaan sekitar yang masih ramai itu seakan kosong secara mendadak.

“Mar..”

Itu suara Kayna lagi. Kali ini sendirian karena Saka hilang entah kemana.

Marco menoleh. Menatap mata Kayna yang kini duduk di kursi kenalannya tadi itu dengan pandangan kelewat kabur.

“Gue tau lo dateng Mar.. Lo sahabat gue dari kecil.” Gadis itu berucap, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang mungkin sudah siap untuk keluar dan tengah ia tahan setengah mati.

“As you can see, gue udah bahagia Mar. Dia selalu ada buat gue pas gue jatuh jungkir balik sendirian ngatasin idup. Saka, maksudnya.”

Marco mendengarkan dalam diam.

“Gue tau ini salah, tapi kenapa rasanya kebahagiaan gue kurang? Gak, bukannya gue gak bersyukur, tapi semua ini emang kerasa gak complete.”

“Lo tau apa Mar? Ya. Karna lo gak ada disini.”

Marco menghela nafas, berusaha menyentuh dagu gadis itu agar mendongak, namun tidak bisa.

“Gue kangen lo banget. Gak ada detik kelewat tanpa gue keinget lo. Lo punya tempat sendiri di hati gue Mar, dan itu nyiksa banget.”

Kali ini Marco bisa mendengar suara Kayna mulai bergetar, mungkin gadis itu sudah menangis sekarang.

Lelaki itu membalik tubuhnya, mencari keberadaan Saka yang sialnya kini sedang dikerubuti oleh para ibu-ibu entah untuk tujuan apa.

“Mar..”

Hening.

“Marco..”

“Apa, sayang?”

“Lo denger gue kan?”

“Ya. Gue selalu bisa dengerin lo.”

“Mar, gue sayang lo. Maaf selama itu gue gak pernah bisa ngomong sayang serius, tapi gue harap malem ini lo bisa sadari rasa sayang gue tulus banget sama lo.”

Marco berusaha menarik oksigen ketika merasa paru-parunya seperti diikat tali dengan kencang. Matanya memanas, bahkan berair.

Ya, lelaki itu ikut menangis.

“Mar please kalo lo dengerin gue, kasih gue tanda kalo lo emang dateng dan ada disini. Gue frustasi Mar.”

Gue mau Kay, tapi gue gak bisa.

Lelaki itu kini mulai berlutut di hadapan Kayna dan berusaha menggapai tangannya. Seakan mencoba menenangkan agar setidaknya gadis itu diam sebentar saja.

Dulu, dulu sekali, ia memang terbiasa memeluk, mencium pucuk kepala, menggenggam, dan melakukan hal lain kepada gadis di depannya ini, namun sekarang semuanya tidak lagi mudah.

Waktu dan geraknya begitu terbatas.

Marco mendesah berat ketika lagi-lagi yang ia rasa hanya udara. Ia tidak bisa menggapai gadisnya.

“Kay..”

Entah mengapa, Kayna mengerjap, lalu sedikit mengangkat pandangannya sehingga Marco bisa melihat gadis itu menatapnya tepat di manik mata.

“Mar?”

Sial. Keadaan ini begitu mempermainkan mereka berdua.

Berada di ruangan yang sama namun dengan kondisi yang sudah jauh berbeda.

“Sialan. Gue halu lagi?” Kayna mengerang, dan sedetik sebelum Kayna memukul kepalanya sendiri, Saka hadir dan menghentikan pergerakannya.

“Kayna sayang. Jangan dipukul.” Ucapnya mengingatkan. Raut wajahnya begitu khawatir. “Jangan dipukul lagi, nanti sakit.”

Beruntung Saka hadir di waktu yang tepat.

Kayna tidak menanggapi, gadis itu masih setia menatap ke arahnya seakan mencari jawaban akan panggilan yang tadi sempat dilontarkan.

Just if You let me hug her for the last time..

I mean, before i'm going home again..

Marco memejamkan matanya memohon dan maju mendekat.

Dan detik itu juga air mata keduanya mengalir bersamaan, disertai oleh hembusan udara hangat yang mendarat di sekitar tubuh Kayna serta bisikan pelan yang mungkin hanya bisa didengarkannya seorang diri.

“Be happy on your special day ya Kay. I love you. I still love you. I mean, i always will.”

Pundaknya terasa berat dan keningnya menghangat, cukup lama, sebelum akhirnya suara tersebut kembali menggema dalam rongga dada. “Gue pulang.”

Lalu semuanya kembali seperti semula.

Dingin, dan ramai.

Marco sudah pergi.


SPECIAL CHAPTER.

BE HAPPY. I LOVE U ALWAYS.


Marco tengah berdiri di samping meja bundar yang terdapat dalam sebuah acara besar malam ini. Tampilannya rapi, mengenakan setelan serba putih dengan sepatu hitam mengkilat yang terpasang rapi.

Senyum lelaki itu terus mengembang ketika lagu favoritnya, lucky, mulai mengalun pelan dari arah pemain musik di ujung ruangan.

Lucky i'm in love with my best friend, lucky to have been where i have been lucky to be coming home again.

Entah, Marco sendiri sempat bingung kenapa bisa-bisanya Kayna memilih lagu ini untuk acara besar yang diadakan sekali seumur hidup itu. Bukannya apa, tapi lagu tersebut memang tidak nyambung sama sekali dengan acara ini.

Lelaki itu mengedik pundak, lalu menyingkir ke dekat pintu samping ketika para pramusaji mulai masuk ke ruangan membawa nampan-nampan berisi camilan ringan dan disusul oleh hidangan pembuka.

Belum, ia belum duduk di kursinya sejak datang tiga jam yang lalu. Pikirannya terlalu mengawang jauh seakan tidak punya arah.

Kaki yang sejak tadi berjalan kesana-kemari itu kini bahkan sudah membawa tubuhnya keluar area, ke arah ruangan putih yang kini tengah ramai oleh para wanita berlalu-lalang. Entah, tapi sudah pasti Kayna ada di ruangan itu sekarang.

Marco menghela nafas kelewat kencang ketika suara-suara keras mulai masuk ke telinganya.

Sial. Kepalanya mendadak berkedut.

“Kay!”

Marco menoleh, suara yang barusan terlontar itu tembus dengan lantang di antara bisingnya suasana.

Itu Saka.

Bisa ia lihat Kayna melambaikan tangan dari kursi kayu di depan sana, tepatnya berjarak 10 meter jika diukur dari letak kaki Marco berdiri detik ini.

Belum. Kayna masih belum melihat dan menyadari keberadaannya. Gadis itu kini bahkan tengah tersenyum cerah sambil sesekali memukul tangan Saka kencang. Biasa, mungkin Saka baru saja melempar jokes receh yang berhasil membuat perut Kayna geli secara dadakan.

“Mau minum?” Marco mengerjap dan menoleh ke belakang, lalu menyingkir mundur mendekati tembok setelah sebelumnya sudah tersenyum menolak.

Ia tidak haus.

Lagipula, ia masih ingin memandangi Kayna dan Saka sebentar saja dari jarak jauh.

Kini tangan Saka terulur pelan, mengajak Kayna agar segera bangkit berdiri dan berpindah tempat karena mama Kayna baru saja muncul dari balik pintu memanggil keduanya.

Marco berdecak, sudah mulai, rupanya.

Lelaki itu lantas bergerak cepat menembus kerumunan agar bisa kembali menuju area utama yang detik ini semakin ramai.

Kursi-kursi terisi penuh tak bersisa, dan aroma makanan sudah menguar lepas dari area dapur siap untuk masuk ke dalam ruangan.

Marco menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang kenalan melambaikan tangan dari kejauhan, tepatnya dari area depan.

“Marco.. Apa kabar?” Ia bertanya ketika kaki Marco sudah menapak di sekitarnya, lantas mempersilahkan lelaki itu untuk duduk disampingnya.

“Baik. Kelewat luar biasa.” Jawab Marco tertawa. “Papa gimana?” Lanjutnya bertanya.

“As you can see, i'm fine too Marco, hahahaha.” Suara tawa lelaki yang dipanggilnya papa itu menguar merdu di sampingnya. “Tapi dimana Kayna? Kok gak datang-datang?”

“Sebentar lagi kayaknya masuk pa.”

“Iya ya, sudah mau mulai juga.”

Marco hanya mengangguk. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan tenggorokannya kering setengah mati.

Ya, lelaki itu mulai menyesali perbuatannya menolak air yang tadi sempat ditawarkan.

“Nah itu dia, mulai masuk.”

Lagi-lagi Marco hanya mengangguk, tidak menoleh, juga tidak bergerak dari posisinya barang se-inci.

Suara tepuk dan sorakan yang berasal dari sekitarnya bahkan membuat kening lelaki itu nyeri setengah mati.

Hingga akhirnya disinilah ia melihat Kayna dan Saka berjalan melewati seluruh kursi dan mulai duduk di hadapannya. Berdiri berdua dengan tangan Kayna yang melingkar manis di lengan Saka.

Mata keduanya bahkan nampak bahagia dan begitu terpukau satu sama lain.

Rentetan acara panjang yang diikuti Marco malam ini berjalan begitu lancar dan mulus tanpa ada kendala sedikitpun.

Kenalannya yang tadi berada di sampingnya itu bahkan kini sudah berjalan-jalan bersama seorang lain yang entah siapa dan hilang termakan waktu.

Marco merenung. Mengawasi kedua kakinya yang menapak di lantai dingin itu dengan tatap kosong.

Bukan, ia bukannya tidak bahagia atas pencapaian baru yang didapatkan oleh Kayna hari ini.

Hanya saja..

“Sak, aku kangen Marco.”

Suara yang barusan mendarat di telinganya itu membuat lelaki itu mendongak.

“Sama Kay. Aku juga.” Saka membalas ucapan Kayna itu dengan tatapan yang tidak kalah kosongnya.

Gue dateng..

“Dia dateng gak sih, kira-kira?”

Marco mengalihkan pandang, dadanya nyeri bukan main melihat mata Kayna yang berkaca-kaca itu tengah memandang ke arahnya secara cuma-cuma.

Hening.

Keadaan sekitar yang masih ramai itu seakan kosong secara mendadak.

“Mar..”

Itu suara Kayna lagi.

Marco menoleh. Menatap cuma-cuma mata Kayna yang kini duduk di kursi kenalannya itu dengan pandangan kelewat kabur.

“Gue tau lo dateng Mar.. Lo sahabat gue dari kecil.” Gadis itu berucap, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang mungkin sudah siap untuk keluar dan tengah ia tahan setengah mati.

“As you can see, gue udah bahagia Mar. Dia selalu ada buat gue pas gue jatuh jungkir balik sendirian ngatasin idup. Saka, maksudnya.”

Marco mendengarkan dalam diam.

“Gue tau ini salah, tapi kenapa rasanya kebahagiaan gue kurang? Gak, bukannya gue gak bersyukur, tapi semua ini emang kerasa gak complete.”

“Lo tau apa Mar? Ya. Karna lo gak ada disini.”

Marco menghela nafas, berusaha menyentuh dagu gadis itu agar mendongak, namun tidak bisa.

“Gue kangen lo banget. Gak ada detik kelewat tanpa gue keinget lo. Lo punya tempat sendiri di hati gue Mar, dan itu nyiksa banget.”

Kali ini Marco bisa mendengar suara Kayna mulai bergetar, mungkin gadis itu sudah menangis sekarang.

Lelaki itu membalik tubuhnya, mencari keberadaan Saka yang sialnya kini sedang dikerubuti oleh para ibu-ibu entah untuk tujuan apa.

“Mar..

“Apa sayang?”

“Lo denger gue kan?”

“Ya. Gue selalu bisa dengerin lo.”

“Mar, gue sayang lo. Maaf selama itu gue gak pernah bisa ngomong sayang serius, tapi gue harap malem ini lo bisa sadari rasa sayang gue tulus banget sama lo.”

Marco berusaha menarik oksigen ketika merasa paru-parunya seperti diikat tali dengan kencang. Matanya memanas, bahkan berair.

Ya, lelaki itu ikut menangis.

“Mar please kalo lo dengerin gue, kasih gue tanda kalo lo emang dateng dan ada disini. Gue frustasi Mar.”

Gue mau, tapi gue gak bisa Kayna.

Lelaki itu hanya bisa berlutut di hadapan Kayna dan berusaha menggapai tangannya.

Dulu, dulu sekali, ia memang terbiasa memeluk, mencium pucuk kepala, menggenggam, dan melakukan hal lain kepada gadis di depannya ini, namun sekarang semuanya tidak lagi mudah.

Waktunya terbatas.

Marco mendesah berat ketika lagi-lagi yang ia rasa hanya udara. Ia tidak bisa menggapai gadisnya.

“Kay..”

Entah mengapa, Kayna mengerjap, lalu sedikit mengangkat pandangannya sehingga Marco bisa melihat gadis itu menatapnya tepat di manik mata.

“Mar?”

Sial. Keadaan ini begitu mempermainkan mereka berdua.

Berada di ruangan yang sama namun dengan kondisi yang sudah jauh berbeda.

“Sialan. Gue halu lagi?” Kayna mengerang, dan sedetik sebelum Kayna memukul kepalanya sendiri, Saka hadir dan menghentikan pergerakannya.

“Kayna sayang. Jangan dipukul.” Ucapnya mengingatkan. “Jangan dipukul lagi, nanti kamu sakit.”

Beruntung Saka hadir di waktu yang tepat.

Kayna tidak menanggapi, gadis itu masih setia menatap ke arahnya seakan mencari jawaban akan panggilan yang tadi sempat dilontarkan.

Just if You let me hug her for the last time..

I mean, before i'm going home.

Dan detik itu juga air mata keduanya mengalir, disertai oleh hembusan udara hangat yang mendarat di sekitar tubuh Kayna serta bisikan pelan yang mungkin hanya bisa didengarkannya seorang diri.

Be happy on your special day Kay. I love you. Always.

Lalu semuanya kembali seperti semula.

Dingin, dan ramai.

Marco sudah pulang.

SPECIAL CHAPTER.

BE HAPPY. I LOVE U ALWAYS.


Marco tengah berdiri di samping meja bundar yang terdapat dalam sebuah acara besar malam ini. Tampilannya rapi, mengenakan setelan serba putih dengan sepatu hitam mengkilat yang terpasang rapi.

Senyum lelaki itu terus mengembang ketika lagu favoritnya, Lucky, mulai mengalun pelan dari arah pemain musik di ujung ruangan.

Lucky i'm in love with my best friend, lucky to have been where i have been lucky to be coming home again.

Entah, Marco sendiri sempat bingung kenapa bisa-bisanya Kayna memilih lagu ini untuk acara besar yang diadakan sekali seumur hidup itu. Bukannya apa, tapi lagu tersebut memang tidak nyambung sama sekali dengan acara ini.

Lelaki itu mengedik pundak, lalu menyingkir ke dekat pintu samping ketika para pramusaji mulai masuk ke ruangan membawa nampan-nampan berisi camilan ringan dan disusul oleh hidangan utama.

Belum, ia belum duduk di kursinya sejak datang tiga jam yang lalu. Pikirannya terlalu mengawang jauh seakan tidak punya arah.

Kaki yang sejak tadi berjalan kesana-kemari itu kini bahkan sudah membawa tubuhnya keluar area, ke arah ruangan putih yang kini tengah ramai oleh para wanita berlalu-lalang. Entah, tapi sudah pasti Kayna ada di ruangan itu sekarang.

Marco menghela nafas kelewat kencang ketika suara-suara keras mulai masuk ke telinganya.

Sial. Kepalanya mendadak berkedut.

“Kay!”

Marco menoleh, suara yang barusan terlontar itu tembus dengan lantang di antara bisingnya suasana.

Itu Saka.

Bisa ia lihat Kayna melambaikan tangan dari kursi kayu di depan sana, tepatnya berjarak 10 meter jika diukur dari letak kaki Marco berdiri detik ini.

Belum. Kayna masih belum melihat dan menyadari keberadaannya. Gadis itu kini bahkan tengah tersenyum cerah sambil sesekali memukul tangan Saka kencang. Biasa, mungkin Saka baru saja melempar jokes receh yang berhasil membuat perut Kayna geli secara dadakan.

“Mau minum?” Marco mengerjap dan menoleh ke belakang, lalu menyingkir mundur mendekati tembok setelah sebelumnya sudah tersenyum menolak.

Ia tidak haus.

Lagipula, ia masih ingin memandangi Kayna dan Saka sebentar saja dari jarak jauh.

Kini tangan Saka terulur pelan, mengajak Kayna agar segera bangkit berdiri dan berpindah tempat karena mama Kayna baru saja muncul dari balik pintu memanggil keduanya.

Marco berdecak, sudah mulai, rupanya.

Lelaki itu lantas bergerak cepat menembus kerumunan agar bisa kembali menuju area utama yang detik ini semakin ramai.

Kursi-kursi terisi penuh tak bersisa, dan aroma makanan sudah menguar lepas dari area dapur siap untuk masuk ke dalam ruangan.

Marco menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang kenalan melambaikan tangan dari kejauhan, tepatnya dari area depan.

“Marco.. Apa kabar?” Ia bertanya ketika kaki Marco sudah menapak di sekitarnya, lantas mempersilahkan lelaki itu untuk duduk disampingnya.

“Baik. Kelewat luar biasa.” Jawab Marco tertawa. “Papa gimana?” Lanjutnya bertanya.

“As you can see, i'm fine too Marco, hahahaha.” Suara tawa lelaki yang dipanggilnya papa itu menguar merdu di sampingnya. “Tapi dimana Kayna? Kok gak datang-datang?”

“Sebentar lagi kayaknya masuk pa.”

“Iya ya, sudah mau mulai juga.”

Marco hanya mengangguk. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan tenggorokannya kering setengah mati.

Ya, lelaki itu mulai menyesali perbuatannya menolak air yang tadi sempat ditawarkan.

“Nah itu dia, mulai masuk.”

Lagi-lagi Marco hanya mengangguk, tidak menoleh, juga tidak bergerak dari posisinya barang se-inci.

Suara tepuk dan sorakan yang berasal dari sekitarnya bahkan membuat kening lelaki itu nyeri setengah mati.

Hingga akhirnya disinilah ia melihat Kayna dan Saka berjalan melewati seluruh kursi dan mulai duduk di hadapannya. Berdiri berdua dengan tangan Kayna yang melingkar manis di lengan Saka.

Mata keduanya bahkan nampak bahagia dan begitu terpukau satu sama lain.

Rentetan acara panjang yang diikuti Marco malam ini berjalan begitu lancar dan mulus tanpa ada kendala sedikitpun.

Kenalannya yang tadi berada di sampingnya itu bahkan kini sudah berjalan-jalan bersama seorang lain yang entah siapa dan hilang termakan waktu.

Marco merenung. Mengawasi kedua kakinya yang menapak di lantai dingin itu dengan tatap kosong.

Bukan, ia bukannya tidak bahagia atas pencapaian baru yang didapatkan oleh Kayna hari ini.

Hanya saja..

“Sak, aku kangen Marco.”

Suara yang barusan mendarat di telinganya itu membuat lelaki itu mendongak.

“Sama Kay. Aku juga.” Saka membalas ucapan Kayna itu dengan tatapan yang tidak kalah kosongnya.

Gue dateng..

“Dia dateng gak sih, kira-kira?”

Marco mengalihkan pandang, dadanya nyeri bukan main melihat mata Kayna yang berkaca-kaca itu tengah memandang ke arahnya secara cuma-cuma.

Hening.

Keadaan sekitar yang masih ramai itu seakan kosong secara mendadak.

“Mar..”

Itu suara Kayna lagi.

Marco menoleh. Menatap cuma-cuma mata Kayna yang kini duduk di kursi kenalannya itu dengan pandangan kelewat kabur.

“Gue tau lo dateng Mar.. Lo sahabat gue dari kecil.” Gadis itu berucap, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang mungkin sudah siap untuk keluar dan tengah ia tahan setengah mati.

“As you can see, gue udah bahagia Mar. Dia selalu ada buat gue pas gue jatuh jungkir balik sendirian ngatasin idup. Saka, maksudnya.”

Marco mendengarkan dalam diam.

“Gue tau ini salah, tapi kenapa rasanya kebahagiaan gue kurang? Gak, bukannya gue gak bersyukur, tapi semua ini emang kerasa gak complete.”

“Lo tau apa Mar? Ya. Karna lo gak ada disini.”

Marco menghela nafas, berusaha menyentuh dagu gadis itu agar mendongak, namun tidak bisa.

“Gue kangen lo banget. Gak ada detik kelewat tanpa gue keinget lo. Lo punya tempat sendiri di hati gue Mar, dan itu nyiksa banget.”

Kali ini Marco bisa mendengar suara Kayna mulai bergetar, mungkin gadis itu sudah menangis sekarang.

Lelaki itu membalik tubuhnya, mencari keberadaan Saka yang sialnya kini sedang dikerubuti oleh para ibu-ibu entah untuk tujuan apa.

“Mar..

“Apa sayang?”

“Lo denger gue kan?”

“Ya. Gue selalu bisa dengerin lo.”

“Mar, gue sayang lo. Maaf selama itu gue gak pernah bisa ngomong sayang serius, tapi gue harap malem ini lo bisa sadari rasa sayang gue tulus banget sama lo.”

Marco berusaha menarik oksigen ketika merasa paru-parunya seperti diikat tali dengan kencang. Matanya memanas, bahkan berair.

Ya, lelaki itu ikut menangis.

“Mar please kalo lo dengerin gue, kasih gue tanda kalo lo emang dateng dan ada disini. Gue frustasi Mar.”

Gue mau, tapi gue gak bisa Kayna.

Lelaki itu hanya bisa berlutut di hadapan Kayna dan berusaha menggapai tangannya.

Dulu, dulu sekali, ia memang terbiasa memeluk, mencium pucuk kepala, menggenggam, dan melakukan hal lain kepada gadis di depannya ini, namun sekarang semuanya tidak lagi mudah.

Waktunya terbatas.

Marco mendesah berat ketika lagi-lagi yang ia rasa hanya udara. Ia tidak bisa menggapai gadisnya.

“Kay..”

Entah mengapa, Kayna mengerjap, lalu sedikit mengangkat pandangannya sehingga Marco bisa melihat gadis itu menatapnya tepat di manik mata.

“Mar?”

Sial. Keadaan ini begitu mempermainkan mereka berdua.

Berada di ruangan yang sama namun dengan kondisi yang sudah jauh berbeda.

“Sialan. Gue halu lagi?” Kayna mengerang, dan sedetik sebelum Kayna memukul kepalanya sendiri, Saka hadir dan menghentikan pergerakannya.

“Kayna sayang. Jangan dipukul.” Ucapnya mengingatkan. “Jangan dipukul lagi, nanti kamu sakit.”

Beruntung Saka hadir di waktu yang tepat.

Kayna tidak menanggapi, gadis itu masih setia menatap ke arahnya seakan mencari jawaban akan panggilan yang tadi sempat dilontarkan.

Just if You let me hug her for the last time..

I mean, before i'm going home.

Dan detik itu juga air mata keduanya mengalir, disertai oleh hembusan udara hangat yang mendarat di sekitar tubuh Kayna serta bisikan pelan yang mungkin hanya bisa didengarkannya seorang diri.

Be happy on your special day Kay. I love you. Always.

Lalu semuanya kembali seperti semula.

Dingin, dan ramai.

Marco sudah pulang.

Is It Only Dream? Why?


Malam itu ia menangis lagi. Ya, lelaki itu terduduk hening di samping kasur sambil menatap album foto keluarga yang waktu itu baru selesai dicetak.

Saka mengerang, ingin menangis kencang tapi teringat jika Gia, Leon, dan Lia sudah tertidur lelap setelah seharian rewel panjang.

Lelaki itu lantas bangun dari duduknya, lalu berdiri menghadap cermin rias Kayna yang masih ada di dalam kamar.

Gak sih, Kayna jarang sekali dandan seperti kebanyakan gadis lain kecuali jika ada kepentingan rapat besar yang harus ia datangi.

Ya, cermin itu berguna hanya jika Kayna ingin skincarean atau sisiran saja.

Saka menunduk, mengawasi tangannya yang mengepal kaku di atas meja cermin seraya menahan gejolak rindu yang tiap hari datang tak kenal lelah.

Ia rindu gadisnya.

Kayna.

Segalanya tentang gadis itu membuatnya gila dan susah bernafas. Belum lagi fakta jika Kayna telah tiada dan tidak bisa ia jumpai lagi, sekarang, bahkan nanti.

Kecuali jika ia menyusul mati.

“Kay..” Saka tiba-tiba melirih pelan. “Kalo aku nyusulin kamu sekarang, gimana?” Lanjutnya, lantas menatap kosong bayangan gelap tubuh yang tercetak jelas di atas lantai marmer kamar.

“Aku gak kuat tiap hari gini. Aku mau pindah rumah, gak bisa. Mau ketemu kamu, gak bisa. Yang ada aku bisa gila Kay..” Keluhnya, lalu tak sadar air mata kesal yang terpendam itu jatuh lagi. Diiringi isak tangisnya yang terdengar begitu menyedihkan dan tanpa arah di penghujung malam.

Miris.

Sekali lagi, ia hanya rindu gadisnya. Ia rindu bagaimana cara gadis itu mengelus dan memeluknya kala ia sedih. Lelaki itu merasa sudah hilang tujuan dan hampir menyerah.

Suara rengekan Gia yang hampir membangunkan adik kembarnya bahkan terdengar begitu samar di telinga.

“Kay.. Aku susulin kamu ya?”

“Sakaaaaa!! BEGO IH TOLOL LARINYA GAK DILIAT-LIAT.”

Suara itu, suara gadisnya yang berputar. Entah dalam otak atau memang ia sedang berada disini.

“Iya tau kalo kangeen tapi gak usah lari-lari dari gerbang utama kesini lah. Kayak orang India lagi fallin love tau gak?!”

Sial. Saka meremat spreinya kasar ketika suara itu hadir lagi.

“Sini-sini. Kamu mau masuk dulu minta makan di dalem apa mau makan di luar aja? Aku kepengen makan bakso. Terakhir makan bakso udah sebulan lalu.”

“Itu loh Saaaakkk. Bakso yang tahunya dipotongin kecil-kecil terus daun seledrinya banyak.”

“Ih manjaaaa, kalo lagi rewel ngalah-ngalahin Giana ya kamu.”

Dalam pikirannya, ia bisa melihat gadis itu mengacak rambutnya, lalu menarik jemarinya agar berpindah menuju parkiran depan gedung utama GNC.

Bahkan semuanya berlalu begitu cepat, otaknya memutar jauh ke moment ketika mereka baru pertama kali pacaran.

Di rumah Derry. Saka ingat betul setiap percakapan dan kejadian yang terjadi, dan itu semua berputar layaknya rentetan televisi rusak di dalam tabung.

Saka mengerang. Lalu melangkah terseok keluar kamar agar suaranya tidak membangunkan ketiga anaknya yang masih saja terlelap. Seperti tanpa beban.

“Kay, please, come home. Aku stress banget. Tiap hari kamu muncul, tapi gak bisa aku pegang. Gak bisa aku peluk. Gak bisa aku ajak ngobrol. Aku beneran bisa gila Kay.”

“Aku gak ada pegangan lagi, aku gak punya kamu.” Lirihnya frustasi, lalu berlutut di hadapan sofa seraya menelungkupkan wajah di atas sana.

Bisa ia rasakan keadaan sekitarnya sepi, seakan tidak ada yang peduli akan rasa kehilangannya yang tak kunjung hilang dari hari ke hari.

“Aku mau nangis lagi. Kamu.. kamu mau peluk aku malem ini gak Kay?” Lelaki itu berucap serak, lalu memejamkan mata. Berusaha menetralkan nafasnya sebelum akhirnya ia tertidur sambil duduk di atas karpet ruang tengah.

Angin perlahan berhembus.

Bukan. Bukan angin dingin yang tidak enak dirasa, namun angin hangat yang seakan datang entah darimana menyelimuti tubuh.

Lelaki itu mulai masuk ke dalam mimpi. Membiarkan dunia halusinasi yang mungkin tercipta akibat rasa frustasinya atau memang itu pesan dari gadisnya yang baru bisa masuk saat ini.

“Nah kaaaaannnn.. Jatuh. Gia sini nak, gendong mama aja jangan main jalan-jalan sendiri kamu masih belom bisa jalan 3 langkah.. KAAANN...” Kayna berlari, lalu berlutut di hadapan putri kecil yang rambutnya coklat bermata lentik itu sambil dengan cekatan menggendongnya.

“Gak papa. Gak sakit. Sini mama liat.” Gadis itu menunduk mengawasi kaki Gia yang untung-untung saja memang tidak kenapa-kenapa.

Ya maklum sih, anak kecil kan suka cari perhatian.

Gak berdarah dan sakitpun, ia masih menangis.

Saka terkekeh dari posisinya, lalu memutuskan untuk berjalan menghampiri 2 perempuan favoritnya itu seraya menyampirkan selendang di pundak.

“Sini sini, Gia sama papa aja. Kasian mama dari tadi habis repot benerin genteng.”

“Hah? Genteng siapa?”

Saka mengedik. “Asal ngomong aja sih.” Kekehnya, disambut dengan tempilingan ringan khas Kayna yang mendarat di kepala.

“Sakit Kay..”

“Masaaaaaaaa..”

“Iyalah ini liat.” Saka mengadu sambil menundukkan kepala.

“Aduh kasian bangeeeet. Sini-sini, diapain deh biar gak sakit lagi?”

Lah Kayna malah ikutan drama.

“Cium boleh gak?”

Kayna melotot. “Ada Giaaaaa, gak boleh.”

Saka cemberut. Lalu berjalan meninggalkan Kayna di teras depan.

“Saaaaaaaakkkk. Kok ngambek.” Gadis itu tertawa sambil berlari menyusul langkah besar Saka yang kini mulai masuk di dalam ruang tamu.

“Kamu gak mau ngobatin jidatku kok.”

Kayna menghela nafas, lalu akhirnya menutup mata Gia sebentar dengan telapak tangan dan mulai mengecup kening Saka berulang kali.

“Tuh sembuh.” Kekehnya pelan, menarik telapak tangan dari mata Giana.

“Mana masih beloom.”

“Sakit dimana lagii sih hahahahaha.”

Saka menaikkan sebelah alisnya, “banyak, di sini, sini, sini, sini.. Semuanya sakit.” Lelaki itu berucap sembari menunjuk pipi, bibir, pundak, dan YA SEMUANYA DITUNJUK SIH, asal aja. Dasar Saka.

Kayna tertawa. Lalu menggelengkan kepala, dan melangkah menuju dapur meninggalkan Saka sendiri di ruang tamu. “Aku mau bikin susu, bentar.”

“Ikut Kaaaaay.”

“Bikin susu doaaang ya Tuhan.”

“Ikutttt.”

“Kamu lagi PMS? Kenapa manja banget hari ini?”

“Aku mau ikut kamu kemana aja. Asal sama kamu.”

“APASIH OMONGANNYA KAYAK BARU PACARAN.” Kayna geli. Gadis itu memang gak bisa romantis. Padahal ia juga sama cintanya setengah mati.

“Ikut yaaaa. Liat, Gia mau ikut. Ya kan? Gia mau ikut mama bikin susu kan?”

Anak kecil itu diam saja. Masih tidak paham omongan orang dewasa. Maklum sih, masih satu tahun kurang.

“Apaan orang Gia males pengen goler-goler di kasur. Ya kan sayang?”

“Iya sayang.”

“KAN TADI NGAJAK NGOBROL GIA.”

“Ya aku yang balesin sama aja kan.”

Kayna menyerah, lalu memutar bola matanya. Antara gemas dan greget. Saka hari ini benar-benar rewel sekali.

“Ayo katanya kita mau bikin susuuu.”

“Ya ayoo kita jalan ke dapur lah ya masa mau bikin susu disini? SAKAAAAA JANGAN CIUM-CIUM.”

“Apaaaa?”

“ADA GIA. GIA MASIH KECIL.”

“Ya ditutup matanya.”

Kayna mencubit pinggir perut Saka lumayan kencang akibat salah tingkah, lalu benar-benar berlari meninggalkan Saka di ruang tamu sendirian.

“Tuh kan Gia, liat deh. Papa mesti ditinggal-tinggal sama mamamu.”

“SAKA AKU DENGERRRR.”

“HAHAHAHA IYA SAYANG, BERCANDA.”

15+ lower case.


gadis berambut panjang dengan warna dark brown yang begitu jelas di atas pakaian hitamnya itu tengah berjalan cepat melewati batas pagar.

kekasihnya, marvin, tengah menunggu dari dalam mobil.

“udah makan?” sapa lelaki itu ketika pantat sheena sudah mendarat di sampingnya.

“udah sih, roti. nih aku bawain, coklat tapi. mau kan?” sheena menanggapi, lalu membuka kotak tupperware dan mengeluarkan isinya.

“mau, but let me get my morning kiss first.” marvin mengangkat sebelah alisnya dan melepas seatbeltnya, “boleh kan?” tanyanya melanjutkan.

sheena mendengus, lalu menyadari jika ia tidak punya pilihan lain selain menurut, ia-pun mengangguk mengiyakan.

marvin lagi-lagi tersenyum, kemudian membelai rambut sheena pelan dan mulai mencomot roti coklatnya dari tangan sheena.

“katanya mau cium dulu?”

marvin mengedikkan bahu, “nanti kamu mikir aku liar dan mesum banget kalo baru masuk mobil aja udah narget bibir.” lelaki itu menjawab, kemudian mengunyah rotinya.

coklat langsung lumer digigitannya yang pertama.

“buat sendiri sheen?”

sheena mengangguk, “iya dong.”

lelaki itu hanya menggumam dan lanjut memakannya hingga habis.

“coklatnya nempel di pinggir bibir mar.” sheena memberitau seraya menyerahkan selembar tissue ke hadapan marvin.

“bersihin sheen.”

“ya sendiri lah, ini kan udah diambilin.”

marvin berdecak. lelaki itu lantas menggenggam pergelangan tangan sheena yang masih terulur memberikan tissue itu, kemudian menekannya di bawah agar gadisnya tidak banyak bergerak.

“mau dibersihin pake yang lain kan maksudnya?” sheena sampai sudah hafal jenis kadalan marvin.

“hehe.”

“padahal tadi sok gak mau.”

marvin hanya balas tertawa renyah.

“ck. ya udah, merem sana.” titah sheena menyuruh.

pacarnya itu lantas memejamkan mata menurut. sempat tersenyum puas juga beberapa detik sebelum akhirnya merasakan nafas sheena yang sudah berada dekat di hadapan wajahnya.

nafas gadis itu benar-benar terasa hangat sebelum akhirnya bibirnya disentuh oleh benda kenyal yang sejak semalam sudah menghantui otaknya.

sheena ikut memejam, tidak bisa berbuat banyak akibat satu pergelangan tangannya ditekan kuat seraya sesekali diusap oleh jemari marvin yang dingin di bawah sana.

efek AC, marvin emang suka kedinginan sendiri setelah mesin mobilnya dibawa ke bengkel seminggu yang lalu.

marvin mengerang pelan kala merasakan lidah sheena menari di sekitar bibirnya, menghapus sisa coklat yang ada.

dan sedetik sebelum sheena menarik mundur badannya, marvin segera memegangi tengkuk gadis itu agar tidak menjauh, lantas memagutnya lagi dengan gerakan lembut.

gigitan kecil lelaki itu berikan agar sheena membuka mulutnya. sesekali ia menghisap dan melumat bergantian bibir merah tersebut atas bawah.

sheena kelimpungan, marvin benar-benar membabat habis bibirnya. gadis itu lantas menarik tangan dari genggaman marvin dan mulai mengalungkannya di leher lelaki itu.

desahan ringannya mulai terdengar kala elusan tangan marvin mulai ia dapatkan di sekitar pinggulnya. entah, rasanya aneh dan sedikit menyengat mengingat bahwa marvin tidak pernah berani menyentuh tubuhnya lebih jauh sebelum ini.

“sorry sheen.” lelaki itu langsung melepas ciumannya secara tiba-tiba. “gue takut kebablas kalo kelamaan.” ia melanjutkan seraya mengusap bibir bawah sheena yang basah akibat ulahnya barusan.

sheena mengangguk, kemudian menarik dagu marvin mendekat dan mengecup singkat bibirnya.

“buat apa ngecup tiba-tiba?” lelaki itu bingung.

“penutupan aja biar gak aneh kalo lepas kayak tadi tiba-tiba.”

tawa marvin langsung pecah.

ya biasa sih, marvin emang level recehnya kalo di depan sheena suka anjlok dadakan.

KENNERA 2.

▪︎ 21+

▪︎ lower case.

HAPPY READING.


“lama.” kenan agak merengut ketika akhirnya nera masuk ke dalam mobilnya. lantas mulai menjalankan mobil maticnya keluar dari parkiran hotel.

“iya, sorry. javi ngobrolnya lama.”

kenan mengangguk, lalu fokus menjalankan mobilnya dengan tenang. khas kenandra.

nera akhirnya jadi tolah toleh karena bingung sendiri, “kenan..” panggilnya pelan.

“apa?”

“gak gak.. gak jadi.” nyali nera langsung ciut seketika, aura dingin kenan memang begitu kuat.

siapapun yang melihat mereka berdua saat ini pasti gak akan menduga bahwa mereka baru saja melakukan hal ++ berduaan saking canggungnya.

ya itulah, kenan memang cowok menyeramkan.

“kalo mau ngomong gak boleh ditarik-tarik ner.”

akhirnya.

akhirnya nera bisa mendengar suara kenan agak lama dibanding jawaban singkat model iya, enggak, apa, dan sebangsanya.

“gak sih, cuma nyapa aja.. sepi.” nera cengengesan.

kenan kembali mengangguk, tangannya kemudian bergerak mengelus tangan nera yang berada di atas paha itu dan menggiringnya ke atas paha kenan sendiri.

“gue orangnya emang gini, lo kalo emang mau ngomong ya ngomong aja, gue dengerin kok.” ucap cowok itu masih menggenggam tangan nera.

“hah..” nera spontan sesak nafas.

entah, setiap pergerakan kenan selalu berhasil membuatnya menggila.

“tentang tadi, sorry ya ken..”

“apa?”

“di mata lo gue pasti agresif banget.”

“oh..” kenan tertawa. ia kemudian menghentikan mobilnya karena tercegat macet mendadak yang sialnya begitu padat merayap. “santai, gue suka cewek agresif.”

sialan. nera hanya mampu menegak ludahnya kasar seraya membuang pandangannya ke jalan.

“anyway ner,”

“ya?”

“gue suka, suara lo.”

“hah?” nera membalik pandangannya agar kembali menghadap ke arah kenan yang sialnya kini sudah berjarak begitu dekat di hadapan wajahnya.

“ken..” nera mundur beberapa jarak hingga kepalanya hampir terantuk kaca jendela, namun belum sempat hal itu terjadi, tangan kiri kenan sudah terulur menahan belakang lehernya.

“we kiss often.. kenapa lo jadi malu-malu gini sih?”

“anu..”

“wanna kiss again? mumpung macet.”

nera mengatur degup jantungnya. dipikir-pikir iya juga, kenapa disini hanya dia yang sok malu-malu dan jadi deg-degan kayak orang bego?

“i miss your tongue on me, babe.” kenan berucap seraya jempol kanannya mengelus bibir nera yang lipsticknya sudah berantakan akibat ulahnya tadi ketika di ruang ganti.

nera terdiam, matanya memandang lurus mata kenan yang kini juga masih menatapnya. “ken..” panggilnya.

“apa?”

“gue juga suka, lidah lo.”

sial. kenan jadi terpancing 100%.

tanpa membuang waktu lagi, lelaki itu segera melepas seatbeltnya dan menjunjung nera agar naik ke pangkuannya.

gadis itu tidak menolak, ia bahkan sudah mengalungkan tangannya dan menurunkan senderan kursi kenan agar ruangannya menjadi bebas.

“gosh..” kenan tiba-tiba mengerang sebelum ciumannya jatuh menimpa bibir nera.

“what?”

“you look so damn good on me.”

“and you look so damn good pas ada dibawah. should i ride you?”

sial. “ner, lo pinter banget naikin birahi orang.”

“no no, gue cuma bilang gini ke lo doang.”

kenan tidak membalas lagi karena merasa nafasnya kian memburu, lantas memajukan badan demi mencium bibir merekah yang ada di depannya ini.

lumatan demi lumatan dan hisapan demi hisapan ia layangkan hingga suara nera yang mulai melenguh itu terdengar jelas di dalam sepinya mobil.

tidak ada musik, yang ada hanyalah suara decakan-decakan basah serta desahan berat yang keluar bergantian dari bibir keduanya.

nera menyerah, ia lantas melepas pagutan liar kenan dan memundurkan badannya hingga menyender di atas setir. “gila. lo gila.” ucapnya memegangi bagian bawah bibir yang sedikit membengkak karena kenan benar-benar meraup bibirnya tanpa ampun.

“selama ini kita kissing, baru pertama kali ini gue ngerasain pangkal lidah lo ner.. taste good.”

nera tidak mendengarkan lagi. ia kemudian turun dari pangkuan kenan dan kembali duduk di kursinya.

“sini.” ucap nera tiba-tiba.

“apanya?”

“tadi katanya mau solo tapi gak jadi.. sini, gue bantu.”

“di mobil???”

“ya kalo lo bisa nahan sampe ke rumah gue isokay sih.”

kenan terdiam. matanya jauh menerawang mobil-mobil yang berbaris padat didepannya. “sial.” ia memaki.

nera tertawa singkat dan mengedikkan pundaknya, “terserah sama lo sih, gue nurut.”

lelaki itu tampak memejamkan mata menimbang, dan belum sempat jawabannya terlontar, sebuah pijatan ringan sudah ia terima dari tangan nera yang mendadak saja terulur di luar celana kain hitamnya.

kenan reflek membuka matanya dan mendesah berat. “ner..”

“why?”

“fuck.. your hand.”

bulu tubuh nera meremang, ini baru pertama kalinya ia menyentuh milik lelaki dan juga baru pertama kalinya mendengar suara berat desahan lawan jenis.

sialnya suara kenan benar-benar addicting, begitu berat dan seksi di telinganya.

“shith... just do it ner, open it.” kenan mempersilahkan nera melakukan lebih seraya mulai melucuti sendiri sabuk dan celananya.

nera tertegun.

belum, kenan belum melepas celana dalamnya, tapi gadis itu benar-benar merinding merasakan kejantanan kenan yang begitu keras dan menusuk celana seperti memaksa keluar.

kenan gemas. lelaki itu lantas membimbing lagi pergerakan tangan nera yang sempat terhenti tersebut.

“pijet ner, elus aja, isokayh..”

nera menatap mata kenan yang kini terpejam tersebut dan mulai mencium kembali bibirnya.

tangan nera yang masih aktif di bawah sana dan bibir manis gadis itu yang memagut liar benar-benar menambah sensasi tersendiri bagi kenan.

tinnnn

keduanya mengerjap dan reflek melepas diri.

itu suara mobil belakang yang mulai mengebel karena mobil depan sudah berjalan kembali.

“shit..” kenan mengumpat dan dengan terpaksa melajukan kembali mobilnya.

nera cekikikan tanpa suara melihat ekspresi kesal kenan di sebelahnya. gadis itu lantas mendekatkan diri dan lanjut mengelus pusaka kenan seperti tadi.

“gak usah merengut gitu, nih tangan gue lanjut kok.” nera berucap sembari memijat batang tersebut yang sudah sepenuhnya menegang.

kenandra tersentak, pijatan kuat tersebut ia terima cuma-cuma ketika sedang menjalankan mobil.

“nerh.. gue lagi nyetir.”

“ya lo fokus aja, gue juga fokus disini.”

kenan mendesah berat sekali lagi ketika tangan nera masuk menelusup ke dalam celana dalamnya dan langsung menggenggam batangnya dengan gerakan lembut namun kuat.

“gede ken.”

*“fuckh nera.. pijetan lo feels so damn good.”

“masa?”

“hmm.. naik turunin ner.”

gadis itu menurut dan mulai mengocok pelan pusaka kenan yang sudah berdiri tegang tersebut, lantas ketika merasa desahan kenan begitu merangsang hasratnya, ia mulai membungkuk dan menjilat ujung kepala milik kenan dengan gerakan kaku.

kenan reflek saja menepikan mobilnya di bahu jalan yang kosong dan mendesah keras.

“siapa yang nyuruh lo jilat sih ner?”

“ahh..” lelaki itu tidak mendapat jawaban karena nera kini benar-benar melahap separuh miliknya dan beberapa kali menghisapnya gemas.

sinting.

nera benar-benar sinting.

kenan lantas mendorong tubuh nera dan menyumpal bibir gadis itu dengan bibirnya yang kepalang bernafsu.

desahan kembali terdengar kala tangan kenan meremas payudara nera langsung dari dalam dress dengan tekanan kuat.

“moan my name ner..” titah kenan ketika jemari lelaki itu turun dan mengelus klit nera dari balik celana.

“kenhhh...” lenguhnya kuat ketika merasa bagian bawahnya mulai berkedut.

“gantian..”

nera menggeleng, “ken.. should i ride you?”

“gila lo?”

*“please, gakh kuat ahh..” desahan nera lepas kembali ketika jemari kenan mulai masuk dan menusuk dengan perlahan di bawah sana.

kenan menahan nafasnya yang memburu dan mulai memperhatikan wajah cantik nera yang kini sudah sepenuhnya bersandar di kaca mobil.

“lo gila ner..” kenan berkomentar.

“whathh..?”

lelaki itu menggeleng, lantas kembali menaikkan nera ke atas pangkuannya.

kedua manusia itu reflek melenguh bersamaan karena dua titik sensitif tersebut akhirnya bergesekan di bawah sana.

“gak usah dimasukin.” kenan memberitau.

nera mengangguk paham. ia kemudian mulai berpegangan pada pundak kenan dan menyibakkan rambut panjangnya ke belakang.

“gerak ner..”

gadis itu mengangguk, lantas memaju-mundurkan pinggulnya dengan gerakan pelan, mencari kenikmatannya sendiri.

lagi-lagi keduanya mendesah, rasa hangat dan panas serta pijatan kuat yang sama-sama didapat ketika milik mereka bergesekan menimbulkan rasa yang tidak bisa dijabarkan lagi.

“kenh....”

“yes ner..” kenan menjawab sembari melihat ke bawah, ke arah kemaluan mereka yang saling memberikan servis.

nera menyerah, pusaka kenan yang begitu besar dan keras itu benar-benar terasa enak dan nikmat.

gadis itu lantas bergerak kian cepat dan desahan dari mulutnya yang terbuka meneriakkan nama kenan menambah sensasi tersendiri bagi lelaki itu.

“mau keluar ner?”

“hmmh..”

kenan mengangguk, lelaki itu memajukan kepalanya dan menyedot kuat payudara nera seraya mulai menghentak-hentak liar pantat nera.

kasar, tapi begitu terasa nikmat.

pusaka milik kenan dan vagina milik nera yang sudah berkedut kuat itu akhirnya mencapai titik puncaknya masing-masing.

keduanya ambruk lemas.

“gue akui lo hebat ner.” kenan memuji sembari mengecup dahi nera yang berkeringat. *“can we do this again next time?” lanjutnya bertanya.

nera hanya diam, sebagai balasannya gadis itu hanya mengangguk dalam diam karena nafasnya masih tidak beraturan, lantas mencium bibir kenan dengan pagutan lembut dan ringan.