waterrmark

OUR BELOVED SAKAYNA MOMENT'S

▪︎ kinda +++++

tapi untuk menghindari readers sakaymar biar gak jorok mari kita tetap pada jalur aman.

ENJOY THE STORY!


Ini hari minggu. Cuaca mendung dan hujan gerimis di depan membuat sepasang kekasih ini batal untuk pergi ke gereja.

Nanti sore saja. Ucap salah satunya seraya bergoler malas di kasur.

Kayna bergidik, merasakan dingin AC ruangan kamarnya yang mendadak begitu menusuk tulang, lantas meraih remot di sebelah bantal Saka agar bisa menaikkan suhunya.

Saka menggeleng pelan. Dengan mata yang masih terpejam lelaki itu menahan tangan Kayna agar tidak berhasil meraih remot.

Usil sih, biasa.

“Dingin Sak.” Ucap Kayna memprotes seraya menepis tangan Saka.

Lelaki yang masih setengah tertidur itu terkekeh, lantas membiarkan gadisnya melakukan apa yang ia mau.

Setelah berhasil menaikkan suhu agar ruangan sedikit lebih hangat, Kayna kembali memasukkan tubuhnya ke dalam selimut dan menyelimuti badan hingga ke kepala tanpa sebuah kata lagi. Jelas-jelas nampak masih ngantuk.

Maklum sih, tadi malam ia tertidur pukul 1 setelah menidurkan Giana yang agak rewel itu dan sekarang jam masih menunjukkan pukul 4 lebih 15 menit.

Saka menoleh ke samping, memperhatikan gadis yang kini sudah menjadi miliknya utuh 100% itu dengan tatap yang tidak bisa dibaca apa maunya.

“Kay..”

“Hmm.”

“Kamu tidur?”

“Heem.”

“Kamu mau.....” Ucapan Saka terhenti ketika Kayna membalik badan ke arahnya dengan raut kesal. “Berisik Saka berisik.” Ucapnya mencubit perut Saka pelan seraya kembali memejamkan matanya.

Sial.

Gadisnya ini lucu sekali. Saka lantas terkekeh lagi dan dengan tiba-tiba melingkarkan tangannya ke perut Kayna dengan erat. “Iya deh maaf, tidur tidur..” Ucapnya mengelus dahi Kayna pelan layaknya menidurkan seorang bayi.

Tidak ada jawaban. Kayna rupanya sudah tertidur lagi.

Lelaki itu kemudian mengusuk punggung gadisnya demi menyalurkan rasa hangat, dan detik itu juga ia merasakan tangan Kayna bergerak naik dari perut lalu mengelus wajahnya halus.

“Lah gak tidur?” Saka terkaget. Alisnya bahkan sempat menyatu beberapa saat ketika merasa panasnya tangan Kayna yang berada di sekitar pipinya.

“Kamu lagi liatin aku kan? Malu lah.” Gadis itu menjawab masih dengan mata memejam.

Hah?

“Tiap hari udah tidur bareng masih malu-malu maksudnya gimana deh Kay?”

“Ya malu aja.”

“Ya udah tidur tidur.. Gak aku liatin deh ini aku merem.”

Kayna membuka matanya demi memastikan bahwa ucapan Saka benar, namun..

“Katanya kamu mau merem tapi kok masih melek.”

“Ya kan ini mau Kay. Sabar dong.”

“Ya udah cepet kamu merem dulu baru aku ikut merem juga.”

Saka tidak mendengarkan lagi omelan Kayna tersebut dan sebagai gantinya ia mulai menatap mata gadis itu dengan intens dalam diam.

Keduanya saling menatap beberapa saat. Membiarkan keheningan melingkupi dan hanya berbicara lewat pandangan mata saja.

“Kay..” Saka tiba-tiba memanggil, membuat Kayna mengerjap cepat dan segera membalik badannya membelakangi Saka akibat salah tingkah.

“Apa sih dipanggil doang kok udah minggir aja..” Saka mencibir dan menarik tubuh Kayna agar merepet kembali ke arahnya. “Biar anget ini, katanya kan kamu tadi kedinginan.”

Kayna mendengus. Dengan rasa kantuknya yang sudah meluap sempurna, gadis itu akhirnya kembali menghadap ke arah wajah Saka yang sialnya malah tertawa usil.

“Agak nyebelin ya minggu-minggu gangguin orang jam segini?”

“Ya kangen, nanti kalo Gia bangun juga kamu jagain dia terus gak mau liat aku.”

“Apanya yang gak liat? Gia juga bangun jam 7 tidur lagi jam 8 terus pasti aku nyusulin kamu nyuci mobil.”

Saka berdecak, “Ya kan beda..”

“Beda apanya coba?”

Lelaki itu terdiam. Membiarkan Kayna kebingungan sendiri sementara tangannya mulai menyibak anak rambut gadis itu yang berjatuhan di depan wajah.

“Ditanyain beda apanya kok malah elus-elus?”

“Kangen.”

Gadisnya reflek berdecak, “Ya udah iya kangen iya.” Kayna mengalah dan membiarkan wajahnya dimainkan Saka dengan raut pasrah.

Hening.

Saka masih mengelus wajah Kayna dengan tenang ketika tiba-tiba saja sebuah kecupan ringan ia layangkan pada kelopak mata Kayna yang sekarang sudah terpejam akibat ulahnya.

Kecupan tersebut jatuh berulang kali hingga akhirnya sang pemilik mata mulai menarik wajahnya sedikit menjauh. “Ih basah Sak.”

“Ya biar kamu gak ngantuk.”

“Udah gak ngantuk ini aku emang.”

Saka terkekeh lagi dan kembali menarik Kayna masuk ke dalam pelukannya. “Maaf deh bikin bangun jam segini.”

“Ya tapi kakinya gak usah uyel-uyel dibawah sana.”

“Biar kakimu anget.”

“Terserah.” Kayna menjawab pasrah seraya ikut menepuk-nepuk punggung Saka dengan pelan.

“Bukan Giana aku ngapain kamu puk-puk?”

“Ya biar tidur. Capek gak sih kerja ngurusin anak perusahaan terus jalan mondar-mandir ngecek pabrik?”

Saka terdiam cukup lama dan menggeleng, “Aku seneng-seneng aja sih. Kalo capek ya jujur aja emang capek. Tapi aku enjoy.. Aku tiap kerja inget muka Giana sama mukamu soalnya.”

“Jawabannya udah kayak bapak-bapak sekarang.”

“Ya emang kan bapak-bapak. Meski masih muda dan ganteng sih.”

“Halah!” Kayna mencibir keras.

“Ngaku aja emang ganteng kan, umurku juga dibawahmu setaun loh Kay.”

Sial.

Kayna meredam mukanya pada dada Saka dan mencubit pinggir perut lelaki itu dari dalam kaos hitamnya.

“Eh eh. Kok daritadi cubit-cubit.”

“Ya kamu ngeselin. Aku kan jadi kayak tua.”

Saka mengecup puncak kepala Kayna lama dan mengacak rambutnya karena gemas. “Gak tua. Cuma lebih tua dari aku aja maksudnya.”

“Tapi emang iya, kenapa kamu suka aku? Diliat-liat aku gak oke kayak cewek-cewek yang ngejar kamu kan? Rambutku gak lurus mulus kayak Kanaya, terus tingkahku juga gak sedewasa dia? I mean ya kamu liat apa????” Kayna mendadak kepo dan menarik wajahnya.

Saka tersenyum, “Iya ya, ngapain suka sama kamu? Mending pas itu ngejar fansku aja apa sama selebgram sebelah tuh, yang siapa namanya? Stellera? Asal tau aja dia ngejar aku 3 taun.”

“Wui? Serius ngejar kamu 3 taun?” Kayna melongo.

“Ya iya dong. Kan suamimu ini emang mempesona.” Saka menaik turunkan sebelah alisnya.

“Eh tapi aku dulu juga suka sama Jevan 3 taun terus dianya gak suka aku ya kan? Berarti kesimpulannya cowok gak seneng dikejar-kejar? Gitu?”

Saka reflek mendengus, “Kok malah ngelantur ke Jevan sih.”

“Ya kamu nyebut 3 taun, reflek aja.”

“Kamu gak cemburu sama Stellera yang aku sebut tadi?”

“Kamu nyebut dia soalnya pengen aku cemburu?”

“Ya iya lah???”

“Cemburu sih aslinya. Emang dia cakep gitu, mana pendidikannya tinggi juga kan gak ka...” Ucapan Kayna terpaksa menggantung di udara karena bibir Saka mendadak maju dan membungkam miliknya dengan kuat.

Ciuman pagi hari yang aneh, masih dengan setengah ngantuk dan terjadi setelah percakapan random gak jelas yang sama-sama membahas masa lalu juga.

“Mmmh..” Kayna merintih pelan ketika merasa gigitan pelan diberikan Saka pada bibir bawahnya.

Lelaki itu tersenyum disela kegiatannya mengeksplor mulut Kayna seraya tangannya mulai masuk memegangi tengkuk gadisnya agar kepala Kayna tidak mundur terdorong kepalanya.

“Sak...” Kayna mendorong dada Saka ketika merasa paru-parunya sesak kekurangan angin.

Gadis itu menarik diri dan meraih remot AC agar suhu ruangan kembali dingin seperti semula.

“Ngapain diturunin lagi suhunya?”

Kayna merengut, “Panas.”

“Baru dicium doang masa udah panas?” Saka mendudukkan diri di sebelah Kayna yang sibuk menurunkan suhu ruangan.

“Hobi barumu godain aku perlu dikurang-kurangin deh kayaknya.”

Saka menggeleng dan kembali menarik tubuh Kayna agar tidur menuju posisinya semula.

“Kan kan...”

“Biar anget. Kan kamu ademin lagi kamarnya.”

“Sakaaaaaaaa...” Kayna memprotes ketika tangan lelaki itu mengelus pinggulnya berulang kali seraya sesekali meremat pantatnya pelan.

“Apa?”

“Jangan kayak gak ada dosa ya kalo apa?!”

“Ya emang aku ngapain sih astaga Kayna..”

“Ya tanganmu..”

“Apa?”

Kayna memukul tangan lelaki itu kencang dan menariknya ke atas agar diam tidak berulah.

“Demi apa aku cuma nyalurin anget doang padahal.”

“Diem aja diem.”

Saka merengut, lantas memejamkan matanya. “Ya udah diem.”

“Ngambek ceritanya?”

“Gak.”

“Tuh kan bocah ngambek.”

Saka hanya berdeham menanggapi tanpa membuka kata lagi.

“Jangan ngambek lah ya udah ini di lepas deh.” Kayna menyerah dan melepas genggaman tangannya agar tangan Saka kembali bebas.

“Saaaaaaak kok masih merem. Melek dong kan udah di lepas.” Kayna mencubit pipi kiri Saka seraya memainkan alis lelaki itu agar pemiliknya membuka mata.

“Ngeselin.” Gadis itu mencibir pelan dan berhasil membuat Saka membuka matanya.

Lelaki itu tertawa, “Nunggu dicium padahal, tapi gak dicium-cium.”

“Ogah. Bibirmu berasa kayak puteran air yang kalo nyedot apa-apa itu kayak harus ikut semua terus gak bisa lepas.”

“Bibirmu enak soalnya.”

“Ya udah diem gak usah dibahas?”

“Manis.”

“Saaaaaak..”

“Apa sih manggil-manggil terus?”

“Diem... Malu.”

Saka mengangguk dan menghentikan godaannya pada Kayna yang kini mulai asik menepuk-nepuk perut samping Saka dari balik baju.

“Kay Kay..”

“Hm?”

“Gak deh.”

“Apa Saka?” Kayna tengkurap agar bisa mendengarkan ucapan Saka yang mungkin kali ini serius.

Lelaki itu terdiam dan menarik dagu Kayna mendekat supaya ia bisa menciumnya.

Gadis itu menurut dan memejamkan matanya, membiarkan Saka memberikan pagutan lembut dan hisapan-hisapan kecil pada bibirnya yang terbuka mempersilahkan lelaki itu untuk mengeksplornya lebih dalam lagi.

Decakan-decakan keras mulai terdengar dalam ruangan tanda keduanya sudah mulai terpancing satu sama lain.

“Kay..”

“Mmh?”

“Want to do it now apa nanti malem aja?”

Kayna melayang, tatapan Saka ketika bertanya begitu memabukkan pikirannya. “Is it okay to do it now? In the morning?”

Mendengar hal itu Saka spontan tersenyum puas. Ia lantas membalik posisinya agar Kayna berada dibawah tubuhnya.

“Gak papa pagi-pagi. Asal jangan kenceng-kenceng aja kamu kalo teriak nanti Gia bangun.”

Sial.

“Aku gak pernah teriak-teriak.”

“Biasanya desah keras sambil nyebut nam...”

Kayna malu, ia lantas melingkarkan tangannya ke leher Saka dan menarik bibir lelaki itu maju agar ucapannya terhenti seketika.

Kayna bisa merasakan Saka tersenyum disela ciumannya sementara celana tidurnya mulai diturunkan perlahan oleh tangan Saka yang daritadi tidak bisa diam.

Entah. Lelaki itu mungkin sudah kepingin berat.

“Mmmh..” Satu lenguhan lolos ketika ciuman Saka turun menuju lehernya. Lidah lelaki itu menari pelan di sekitar tulang selangka-nya dan mulai naik menuju belakang telinga.

“Kay..”

“Apa..” Lirihnya pelan karena lidah Saka terus menggelitik area telinganya.

“Kalo kembar mau cowok-cewek apa cowok-cowok apa cewek-cewek? Terus mau kembar 2 apa 3?”

Sial.

Kayna langsung memukul punggung Saka kencang, “Belom-belom udah nanya aja ya!”

“Ya kan penasaran.”

Kayna nampak berpikir, “Aku mau 2 deh, kembar cowok-cewek. Gimana?”

Saka tersenyum, “Kamu yang minta lho ya?”

“Ya iya? Lucu bayangin aja ada 2 gitu kan terus cowok-cewek, nanti pas sekolah pasti famous. Percaya sama aku.”

Saka tersenyum dan lanjut memeluk Kayna dengan sayang, “Love you Kay.”

“Tiba-tiba?”

Saka menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kayna yang sudah kemerahan akibat ulahnya. “Thank you, just thank you for existing in this world. Love you.”

“Jadi kamu mau love-lovean dulu apa mau apa sih Saka?”

“Bentar, gini dulu. Yang itu 5 menit lagi aja.”

Kayna mendengus, tapi selanjutnya mulai tertawa dan mengelus rambut Saka dengan gerakan pelan dan halus.

ABOUT THREE OF THEM.


Sudah satu minggu tepat sejak kepergian Marco, dan Kayna masih saja duduk di dalam ruang tengah rumah lelaki itu sambil sesekali menepuk-nepuk bantalan sofa yang minggu lalu masih digunakan oleh Marco dengan pandangan kelewat kabur.

Rumah Marco kosong, mamanya yang memang jarang terlihat itu sudah selesai mengemas barang-barang penting yang ada di rumah ini karena rumah berniat akan dijual.

Hanya tersisa perabot-perabot besar seperti meja, kursi, kulkas, kasur, dan beberapa vas bunga yang isinya masih segar karena dirawat mama Kayna setiap hari.

Kayna sendiri sudah tentu gak berguna, gadis itu tiap hari menangis keras seperti tak ada hari esok, kepalanya yang memang terkenal suka bikin ulah pun terasa semakin hari semakin berat karena rasa sakit yang datang tidak main-main.

Dengan hembusan nafas pelan karena suasana masih sama heningnya seperti tadi ia datang, Kayna mulai bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan menuju lemari baju Marco yang terletak dalam kamar.

Dibukanya perlahan lemari itu seraya matanya meniti setiap pakaian yang masih tersisa banyak di dalam sana, bau-bauan khas Marco yang menguar membuat hidungnya kembali tersumpal cairan karena menahan tangis.

“Mar, lo kenapa perginya kok cepet banget..” Gadis itu berucap lirih sambil tangannya mulai memindahkan semua pakaian Marco ke atas kasur dengan gerakan pelan dan sepenuhnya gemetar.

Iya, mama Kayna dan mama Marco memang bilang kalau baju-baju tersebut masih bagus dan layak pakai boleh diambil dan disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Niat mereka pada mulanya hendak memberikan semua pada anak kecil yang mungkin habis terkena musibah atau tidak mampu membeli pakaian, tapi sayang, Kayna tidak menyetujui.

Bukannya egois, namun..

“Jangan ya ma, nanti Marco pulang kasian gak ada bajunya, dingin. Masa mau minjem punya Kay? Gak muat dong.”

Yup, semuanya karena Kayna masih belum ikhlas.

Berakhirlah ia disini membereskan semuanya agar bisa dikemas ke kardus dan dibawa pulang.

Saka dan teman-temannya yang selalu datang karena khawatir akan keadaan Kayna juga sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi kini ia tolak mentah-mentah.

Tidak apa, mereka paham. Kayna mungkin ingin waktu tambahan untuk menyendiri.

Gadis berambut panjang itu terduduk di sudut kasur dan mengambil salah satu jaket yang paling sering dipakai oleh Marco dari tumpukan baju. Jaket dengan warna hitam yang memiliki banyak kantong kecil itu memang sering dipakai cowok itu ketika berangkat balapan.

Lagi. Kayna menangis lagi.

Ia memeluk erat jaket Marco tersebut seraya pantatnya mulai merosot jatuh ke lantai. Entah, kakinya terasa sangat lemas meskipun tidak ia gunakan untuk menumpu beban tubuh sekalipun.

Tangisannya bahkan terdengar begitu miris disela suara rintikan hujan yang mulai turun deras di depan sana.

Lucu. Dunia terasa begitu memainkan dirinya.

“Mar..” Kayna melirih pelan.

“Lo aslinya pasti cuma ngeprank gue ya kan? Bulan ini masih bulan ulang taun gue Mar, gak mungkin lo tega ninggalin gue..”

“Kita bahkan belom spend time bareng buat ngerayain natal besok tapi lo udah main-main sama gue..”

“Gue...” Ucapannya tercekat ketika pandangannya jatuh ke arah cermin kosong yang terletak di sebelah lemari.

“Gue kalo nyusulin lo aja bisa gak sih?” Gadis itu melanjutkan pelan dengan air mata yang terus mengalir tanpa adanya paksaan sedikitpun.

Petir berbunyi seakan menjawab pertanyaannya barusan. Bersaut-sautan kian kencang tanda hujan kini turun semakin deras.

Terasa begitu menghina.

Rambutnya yang berantakan lengkap dengan mata bengkak dan hidung memerah. Semuanya yang melihat bahkan bisa langsung menduga jika gadis ini sedang tertimpa masalah serius.

Rindu.

Ia hanya merindukan sahabatnya.

Janji 5 tahun akan kembali yang minggu lalu sempat diucapkan lelaki itu bahkan kembali berputar menusuk-nusuk telinga.

“Janji Kayna.. Gue janji bakal pulang, karena lo, jadi atau gak jadi pendamping gue, adalah satu-satunya rumah favorit yang ada di daftar hidup gue.”

Miris.

Siapa sangka janji yang terucap malam itu merupakan akhir dari segalanya?

Kayna meremat kalung pemberian Marco yang menempel di lehernya dengan kuat agar rasa sakitnya menjalar lepas, namun satu panggilan yang ia dengar dari arah pintu membuatnya menghentikan tangis secara tiba-tiba.

“Kayna..”

Suara itu..

“Jangan nyakitin diri sendiri..” Suara itu berlanjut, terdengar cukup pelan, namun berhasil sampai di telinganya dengan jelas dan keras.

“Kay..”

Lagi, suara itu memanggil namanya.

Kayna spontan menoleh ke arah pintu dan melihat sebuah sosok yang tidak asing tengah berdiri kaku disana.

Sosok itu,

“Marco..” Kayna berucap lirih.

Pandangannya jatuh pada mata lelaki itu yang nampak begitu sedih dan suram di depan sana.

Suara guntur dan hujan yang kian keras bahkan sudah tidak ia pedulikan lagi.

“Mar?” Panggilnya pelan.

Aneh, suaranya sendiri terdengar begitu asing di telinganya. Begitu bergetar dan mengawang, tidak seperti biasanya.

Marco terdiam, tidak menanggapi ucapan Kayna barang sedikitpun dan mulai meletakkan helm bawaannya di lantai.

Iya, Marco yang kini berada di hadapannya tengah mengenakan jaket jeans dan celana panjang lengkap dengan helm putih kesayangannya yang tadi sempat terpasang kaku di kepala.

“Marco..” Kayna mengulangi ucapannya dan mulai melangkah mendekat. “Ini beneran Marco?” Ia bertanya.

“Kay..”

“Mar!” Belum sempat jawaban lelaki itu terlontar, sebuah pelukan kuat sudah ia terima dari gadis di hadapannya.

Wanginya berubah, tidak seperti Marco yang Kayna kenal biasanya, namun hangat dan nyaman yang ia terima sekarang terasa sangat nyata dan berhasil membuat air matanya turun seketika.

“Lo pake parfum apa Mar? Di Kanada lo maling parfum papa ya?” Gadis itu mengoceh seraya menenggelamkan wajahnya total di dada Marco.

Lelaki itu bergeming.

“Mar.. Gue tau lo ketinggalan pesawat dan semua berita itu ngaco. Perlu dituntut gak sih medianya?”

Lagi, Marco masih terdiam.

Lelaki itu tidak mengeluarkan sepatah kata lagi ketika tangannya terulur membalas pelukan Kayna tidak kalah erat seraya mengendus puncak kepalanya ringan. Seperti biasanya.

Ia mendengarkan setiap ocehan Kayna dengan sabar seraya sesekali menepuk punggungnya agar gadis itu terdiam.

“Mar.” Kayna mendongak, menatap matanya. “Kalo lo mau pergi ke suatu tempat, ajakin gue ya? Gue gak mau ditinggal sendiri lagi. Meski seharipun gue gak mau.”

Marco tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sebagai gantinya ia hanya menatap mata bengkak dan merah Kayna itu dalam hening, lalu mengecupnya.

Satu bulir air mata jatuh ketika gadis itu menutup mata akibat kecupan Marco yang kini turun menuju pipi dan terus turun hingga menempel di bibirnya.

Hangat. Bibir itu terasa begitu hangat.

Kayna tau ini salah, tapi gadis itu tetap memejamkan matanya dan mulai memindahkan pelukannya hingga kini mulai melingkar di leher Marco.

Lelaki itu masih menciumnya, dengan pagutan ringan yang terkesan sedikit menuntut karena ada rasa rindu dan takut kehilangan yang lagi-lagi muncul disela kegiatannya.

Kayna merintih, kepalanya terasa begitu berat dan udara disekitarnya menjadi dingin dalam sekejap.

“Kayna... Ayo pulang.” Suara tak asing lain terdengar memanggil disampingnya, begitu nyata hingga berhasil membuatnya mengerjap dan terjaga.

“Kay ayo pulang. Ujan. Kamu dicariin mama.”

Tidak...

Tidak mungkin..

Gadis itu bangkit berdiri dari duduknya dan menoleh ke kanan kiri.

“Marco?” Panggilnya mulai nampak frustasi.

“Kay..”

Gadis itu tidak mendengarkan dan berjalan ke arah pintu dengan langkah berat dan sempoyongan, “Marco...” Panggilnya dengan suara bindeng yang lagi-lagi tercipta akibat terus-terusan menangis.

“Kayna..” Suara itu memanggilnya lagi dari arah belakang dan langsung memeluknya tanpa aba-aba.

“Jangan gini Kay.. Jangan gini..”

Kayna terdiam. Lagi-lagi pikirannya hilang arah. Kosong, dan yang ada hanya kesedihan berlarut yang siap untuk pecah kembali.

“Jangan gini Kay.. Aku tau kamu kuat. Jangan gini..” Suara itu terdengar menangis ketika perlahan tangan kekarnya membalik tubuh Kayna agar menghadap ke arahnya.

“Marco udah istirahat.. Kamu harus kuat. Ada aku, ada mama, ada Jevan, ada Renan.. Kita semua masih disini Kay.” Ia berucap seraya menarik masuk kepala gadisnya agar menangis dalam pelukannya.

Kayna bergetar. “Tapi Sak.. Marco tadi ada disini..” Lirihnya dengan suara sepenuhnya terisak.

Saka mengangguk, tidak menanggapi lagi ucapan Kayna dengan kalimat. Ia sendiri tau kondisi pacarnya memang sedang sangat tidak stabil. Beberapa hari lalu psikiater yang didatangi oleh Kayna dan mamanya bahkan mengatakan bahwa gadis itu mengalami shock berat hingga menyebabkan halusinasi sesaat.

“Sak.. Marco...”

“Iya Kay.” Saka menanggapi pelan seraya mengeratkan pelukannya.

“Saka..”

“Nangis aja, gak papa.”

“Sak... Capek nangis. Tapi mau nangis.”

Saka menggiring langkah mereka agar duduk di sofa ruang tengah, membiarkan kaki Kayna supaya tidak menumpu badan terlalu lama.

“Tidur aja ya Kay..” Pinta Saka seraya meletakkan kepala Kayna agar menyender di pundaknya dan mulai mengelus-elus wajah cantik gadis itu agar segera terlelap disampingnya.

Tidak ada suara lagi yang terdengar. Saka menoleh dan melihat Kayna yang masih berusaha memejamkan mata.

Jemari tangan gadis itu yang daritadi terdiam mulai menarik tangan kanan Saka dari sekitar wajahnya dan menggenggamnya erat.

“Biar cepet tidur Kay..”

Kayna mengangguk. Ia merasakan tangan kiri Saka naik mengusuk lengannya, menyalurkan rasa hangat yang begitu menenangkan batin.

“Saka..”

“Iya.”

“Jangan pergi.”

Saka mengangguk dan mengecup puncak kepala Kayna lama. “Gak bakal kemana-mana. Aku tetep disini.”

Akhirnya, Kayna benar-benar terlelap panjang tanpa air mata dan pikiran berat dalam pelukan Saka sore ini.

ABOUT THREE OF THEM.


Sudah satu minggu tepat sejak kepergian Marco, dan Kayna masih saja duduk di dalam ruang tengah rumah lelaki itu sambil sesekali menepuk-nepuk bantalan sofa yang minggu lalu masih digunakan oleh Marco dengan pandangan kelewat kabur.

Rumah Marco kosong, mamanya yang memang jarang terlihat itu sudah selesai mengemas barang-barang penting yang ada di rumah ini karena rumah berniat akan dijual.

Hanya tersisa perabot-perabot besar seperti meja, kursi, kulkas, kasur, dan beberapa vas bunga yang isinya masih segar karena dirawat mama Kayna setiap hari.

Kayna sendiri sudah tentu gak berguna, gadis itu tiap hari menangis keras seperti tak ada hari esok, kepalanya yang memang terkenal suka bikin ulah pun terasa semakin hari semakin berat karena rasa sakit yang datang tidak main-main.

Dengan hembusan nafas pelan karena suasana masih sama heningnya seperti tadi ia datang, Kayna mulai bangkit berdiri dari duduknya dan berjalan menuju lemari baju Marco yang terletak dalam kamar.

Dibukanya perlahan lemari itu seraya matanya meniti setiap pakaian yang masih tersisa banyak di dalam sana, bau-bauan khas Marco yang menguar membuat hidungnya kembali tersumpal cairan karena menahan tangis.

“Mar, lo kenapa perginya kok cepet banget..” Gadis itu berucap lirih sambil tangannya mulai memindahkan semua pakaian Marco ke atas kasur dengan gerakan pelan dan sepenuhnya gemetar.

Iya, mama Kayna dan mama Marco memang bilang kalau baju-baju tersebut masih bagus dan layak pakai boleh diambil dan disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Niat mereka pada mulanya hendak memberikan semua pada anak kecil yang mungkin habis terkena musibah atau tidak mampu membeli pakaian, tapi sayang, Kayna tidak menyetujui.

Bukannya egois, namun..

“Jangan ya ma, nanti Marco pulang kasian gak ada bajunya, dingin. Masa mau minjem punya Kay? Gak muat dong.”

Yup, semuanya karena Kayna masih belum ikhlas.

Berakhirlah ia disini membereskan semuanya agar bisa dikemas ke kardus dan dibawa pulang.

Saka dan teman-temannya yang selalu datang karena khawatir akan keadaan Kayna juga sudah menawarkan diri untuk membantu, tapi kini ia tolak mentah-mentah.

Tidak apa, mereka paham. Kayna mungkin ingin waktu tambahan untuk menyendiri.

Gadis berambut panjang itu terduduk di sudut kasur dan mengambil salah satu jaket yang paling sering dipakai oleh Marco dari tumpukan baju. Jaket dengan warna hitam yang memiliki banyak kantong kecil itu memang sering dipakai cowok itu ketika berangkat balapan.

Lagi. Kayna menangis lagi.

Ia memeluk erat jaket Marco tersebut seraya pantatnya mulai merosot jatuh ke lantai. Entah, kakinya terasa sangat lemas meskipun tidak ia gunakan untuk menumpu beban tubuh sekalipun.

Tangisannya bahkan terdengar begitu miris disela suara rintikan hujan yang mulai turun deras di depan sana.

Lucu. Dunia terasa begitu memainkan dirinya.

“Mar..” Kayna melirih pelan.

“Lo aslinya pasti cuma ngeprank gue ya kan? Bulan ini masih bulan ulang taun gue Mar, gak mungkin lo tega ninggalin gue..”

“Kita bahkan belom spend time bareng buat ngerayain natal besok tapi lo udah main-main sama gue..”

“Gue...” Ucapannya tercekat ketika pandangannya jatuh ke arah cermin kosong yang terletak di sebelah lemari.

“Gue kalo nyusulin lo aja bisa gak sih?” Gadis itu melanjutkan pelan dengan air mata yang terus mengalir tanpa adanya paksaan sedikitpun.

Petir berbunyi seakan menjawab pertanyaannya barusan. Bersaut-sautan kian kencang tanda hujan kini turun semakin deras.

Terasa begitu menghina.

Rambutnya yang berantakan lengkap dengan mata bengkak dan hidung memerah. Semuanya yang melihat bahkan bisa langsung menduga jika gadis ini sedang tertimpa masalah serius.

Rindu.

Ia hanya merindukan sahabatnya.

Janji 5 tahun akan kembali yang minggu lalu sempat diucapkan lelaki itu bahkan kembali berputar menusuk-nusuk telinga.

“Janji Kayna.. Gue janji bakal pulang, karena lo, jadi atau gak jadi pendamping gue, adalah satu-satunya rumah favorit yang ada di daftar hidup gue.”

Miris.

Siapa sangka janji yang terucap malam itu merupakan akhir dari segalanya?

Kayna meremat kalung pemberian Marco yang menempel di lehernya dengan kuat agar rasa sakitnya menjalar lepas, namun satu panggilan yang ia dengar dari arah pintu membuatnya menghentikan tangis secara tiba-tiba.

“Kayna..”

Suara itu..

“Jangan nyakitin diri sendiri..” Suara itu berlanjut, terdengar cukup pelan, namun berhasil sampai di telinganya dengan jelas dan keras.

“Kay..”

Lagi, suara itu memanggil namanya.

Kayna spontan menoleh ke arah pintu dan melihat sebuah sosok yang tidak asing tengah berdiri kaku disana.

Sosok itu,

“Marco..” Kayna berucap lirih.

Pandangannya jatuh pada mata lelaki itu yang nampak begitu sedih dan suram di depan sana.

Suara guntur dan hujan yang kian keras bahkan sudah tidak ia pedulikan lagi.

“Mar?” Panggilnya pelan.

Aneh, suaranya sendiri terdengar begitu asing di telinganya. Begitu bergetar dan mengawang, tidak seperti biasanya.

Marco terdiam, tidak menanggapi ucapan Kayna barang sedikitpun dan mulai meletakkan helm bawaannya di lantai.

Iya, Marco yang kini berada di hadapannya tengah mengenakan jaket jeans dan celana panjang lengkap dengan helm putih kesayangannya yang tadi sempat terpasang kaku di kepala.

“Marco..” Kayna mengulangi ucapannya dan mulai melangkah mendekat. “Ini beneran Marco?” Ia bertanya.

“Kay..”

“Mar!” Belum sempat jawaban lelaki itu terlontar, sebuah pelukan kuat sudah ia terima dari gadis di hadapannya.

Wanginya berubah, tidak seperti Marco yang Kayna kenal biasanya, namun hangat dan nyaman yang ia terima sekarang terasa sangat nyata dan berhasil membuat air matanya turun seketika.

“Lo pake parfum apa Mar? Di Kanada lo maling parfum papa ya?” Gadis itu mengoceh seraya menenggelamkan wajahnya total di dada Marco.

Lelaki itu bergeming.

“Mar.. Gue tau lo ketinggalan pesawat dan semua berita itu ngaco. Perlu dituntut gak sih medianya?”

Lagi, Marco masih terdiam.

Lelaki itu tidak mengeluarkan sepatah kata lagi ketika tangannya terulur membalas pelukan Kayna tidak kalah erat seraya mengendus puncak kepalanya ringan. Seperti biasanya.

Ia mendengarkan setiap ocehan Kayna dengan sabar seraya sesekali menepuk punggungnya agar gadis itu terdiam.

“Mar.” Kayna mendongak, menatap matanya. “Kalo lo mau pergi ke suatu tempat, ajakin gue ya? Gue gak mau ditinggal sendiri lagi. Meski seharipun gue gak mau.”

Marco tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sebagai gantinya ia hanya menatap mata bengkak dan merah Kayna itu dalam hening, lalu mengecupnya.

Satu bulir air mata jatuh ketika gadis itu menutup mata akibat kecupan Marco yang kini turun menuju pipi dan terus turun hingga menempel di bibirnya.

Hangat. Bibir itu terasa begitu hangat.

Kayna tau ini salah, tapi gadis itu tetap memejamkan matanya dan mulai memindahkan pelukannya hingga kini mulai melingkar di leher Marco.

Lelaki itu masih menciumnya, dengan pagutan ringan yang terkesan sedikit menuntut karena ada rasa rindu dan takut kehilangan yang lagi-lagi muncul disela kegiatannya.

Kayna merintih, kepalanya terasa begitu berat dan udara disekitarnya menjadi dingin dalam sekejap.

“Kayna... Ayo pulang.” Suara tak asing lain terdengar memanggil disampingnya, begitu nyata hingga berhasil membuatnya mengerjap.

“Ayo pulang. Ujan. Kamu dicariin mama.”

Tidak...

Gadis itu bangkit berdiri dari duduknya dan menoleh ke kanan kiri.

“Marco?”

“Kay..”

Gadis itu tidak mendengarkan dan mulai berjalan ke arah pintu dengan langkah berat dan sempoyongan, “Marco...” Panggilnya dengan suara bindeng yang lagi-lagi tercipta akibat terus-terusan menangis.

“Kayna..” Suara itu memanggilnya lagi dari arah belakang dan langsung memeluknya tanpa aba-aba.

“Jangan gini Kay.. Jangan gini..”

Kayna terdiam. Lagi-lagi pikirannya hilang arah. Kosong, dan yang ada hanya kesedihan berlarut yang siap untuk pecah kembali.

“Jangan gini Kay.. Aku tau kamu kuat. Jangan gini..” Suara itu terdengar menangis ketika perlahan tangan kekarnya membalik tubuh Kayna agar menghadap ke arahnya.

“Marco udah istirahat.. Kamu harus kuat. Ada aku, ada mama, ada Jevan, ada Renan.. Kita semua masih disini Kay.” Ia berucap seraya menarik masuk kepala gadisnya agar menangis dalam pelukannya.

Kayna bergetar. “Tapi Sak.. Marco tadi ada disini..” Lirihnya dengan suara sepenuhnya terisak.

Saka mengangguk, tidak menanggapi lagi ucapan Kayna dengan kalimat. Ia sendiri tau kondisi pacarnya memang sedang sangat tidak stabil. Beberapa hari lalu psikiater yang didatangi oleh Kayna dan mamanya bahkan mengatakan bahwa gadis itu mengalami shock berat hingga menyebabkan halusinasi sesaat.

“Sak.. Marco...”

“Iya Kay.” Saka menanggapi pelan seraya mengeratkan pelukannya.

“Saka..”

“Nangis aja, gak papa.”

“Sak... Capek nangis. Tapi mau nangis.”

Saka menggiring langkah mereka agar duduk di sofa ruang tengah, membiarkan kaki Kayna supaya tidak menumpu badan terlalu lama.

“Tidur aja ya Kay..” Pinta Saka seraya meletakkan kepala Kayna agar menyender di pundaknya dan mulai mengelus-elus wajah cantik gadis itu agar segera terlelap disampingnya.

Tidak ada suara lagi yang terdengar. Saka menoleh dan melihat Kayna yang masih berusaha memejamkan mata.

Jemari tangan gadis itu yang daritadi terdiam mulai menarik tangan kanan Saka dari sekitar wajahnya dan menggenggamnya erat.

“Biar cepet tidur Kay..”

Kayna mengangguk. Ia merasakan tangan kiri Saka naik mengusuk lengannya, menyalurkan rasa hangat yang begitu menenangkan batin.

“Saka..”

“Iya.”

“Jangan pergi.”

Saka mengangguk dan mengecup puncak kepala Kayna lama. “Gak bakal kemana-mana. Aku tetep disini.”

Akhirnya, Kayna benar-benar terlelap panjang tanpa air mata dan pikiran berat dalam pelukan Saka sore ini.

KENNERA

21+

WTP BOLEH, TP CROP LINK W AS NYA YA.

lower case.

HAPPY READ.


anastasya nerysha, cewek yang kerap kali disapa dengan nama nera itu tengah berjalan menelusur lorong sepi di lantai 1 dalam sebuah hotel bintang 5.

maklum sih kalau sepi, acara ulang tahun pernikahan tante bella yang berlangsung ricuh itu memang sedang berlangsung di lantai 2.

cewek yang kini sedang sibuk meniti tiap pintu toilet itu mulai menghentikan langkahnya, “kenan..” panggilnya pelan ketika ia sampai di pintu utama toilet laki-laki.

tidak ada sahutan.

lorong kamar mandi ini masih tetap saja sepi seperti sebelumnya.

nera mendengus, lantas mulai membalik badannya karena malas untuk meneriakkan lagi nama cowok yang cuek dan judesnya terlampau kelewatan itu.

bodoamat solo, kenapa gue yang ribet?

dengan pasti ia mengedikkan pundaknya dan langsung berjalan keluar dari area toilet yang memang harus melewati lorong panjang terlebih dulu.

baru saja nera hendak belok di sudut lorong, pinggangnya yang sedikit terbuka karena model dressnya yang memang agak mature itu ditarik pelan menuju sebuah ruangan kosong disamping jalan.

Ruangan itu bersih dengan cat putih cream dan lampu yang yang tengah menyala terang. Sepertinya ruangan tersebut adalah ruang yang digunakan para pengisi acara untuk berganti pakaian.

kata lainnya adalah ruang ganti sih. ribet banget.

“gue udah panggil-panggil, tapi lo gak berhenti. dasar budek.” suara dengan nada rendah itu menyapa telinga nera dalam jarak tidak lebih dari 20cm.

namun bukannya deg-degan, nera spontan mengusir telapak tangan besar yang beberapa detik lalu sempat membekap bibirnya itu dengan cepat.

“sialan.” umpat nera mengerut alis.

“gue tadi gak solo, asal lo tau.” kenan, cowok yang barusan menarik pinggang nera itu memberitau.

lagi-lagi nara mengerut alis kebingungan. “tadi katanya iya?”

“gue gak bilang iya?” kenan menyandarkan tubuh tingginya yang dibalut dengan pakaian serba hitam itu ke tembok dengan santai.

sial, cowok itu begitu nampak tampan dan atraktif jika sedang seperti ini.

nera reflek menegak ludahnya kasar ketika wangi dari tubuh kenan menguar menusuk hidungnya, lalu mulai berjalan menjauh demi mendekati pintu keluar.

“mau kemana lo?” kenan bertanya ketika ucapannya tidak digubris oleh nera beberapa detik yang lalu.

bahkan ia sempat mengira bahwa nera akan meninggalkannya di sini sendirian, namun perkiraannya meleset total. terbukti dari tangan nera yang mulai terulur menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

“ner.” kenan kebingungan ketika gadis itu mulai melangkah mendekat dan menatap intens matanya dari jarak tidak lebih dari 15 cm.

tangannya yang mulus itu mulai bergerak mengusap rahang kenan yang terbentuk jelas, lantas menyusupkannya ke tengkuk kenan untuk menariknya mendekat.

whats wrong with you ner?” kenan makin kebingungan ketika tangan kiri nera mengusap bagian bawah bibir kenan yang kini tengah terbuka setengah.

nera hanya diam, jantungnya yang berpacu 3x lipat dari biasanya itu benar-benar tidak bisa diajak kompromi. bibirnya bahkan masih terkatup rapat saat akhirnya ia tempelkan pelan pada bibir kenan yang masih saja diam di posisinya.

ini memang bukan pertama kalinya mereka berciuman, sejak 2 tahun lalu ketika keduanya mabuk di sebuah club dan gak sengaja malah berciuman itu, kenan memang jadi sering meminta jatah dari nera kira-kira seminggu sekali karena bibir nera enak, katanya.

“*empuk, manis, seksi. gue beneran suka bibir lo. seenggaknya gue harap kita bisa lakuin ini lagi kedepannya.” *kata kenandra waktu itu dengan ekspresi serius, dan nera yang memang juga menemukan hal serupa pada milik kenan itu langsung menyanggupi keinginannya tanpa pikir panjang lagi.

kenandra masih diam, bibir nera yang begitu ia sukai itu tengah memagutnya ringan. sesekali gadis itu menggigit bibir bawah kenan agar lelaki itu membuka bibirnya, tapi sayang, pikiran kenan masih mengawang jauh.

nera menciumnya duluan..

kemungkinan besar gadis itu sedang memiliki hasrat besar untuk melakukan lebih.

tanpa sadar jantung kenan terpompa cepat detik ini, dan selanjutnya yang terjadi adalah tangan lelaki itu mulai terangkat mengelus pinggang putih nera dengan seduktif. tentu saja bibirnya juga sudah terbuka untuk membiarkan gadis itu mengeksplor mulutnya.

nera terpancing, elusan panas yang ia terima di sekitar tubuh bawahnya itu membuat birahinya naik di ubun-ubun. pagutan kenan yang memang benar-benar ia sukai juga sudah terbalas, membuatnya melayang seperti ke awan-awan dan reflek saja membuatnya mengeluarkan lenguhan singkatnya yang kelewat seksi.

kenan berhenti. ia menghentikan kegiatannya dan menjauhkan sedikit wajah nera dari depan wajahnya. “kenapa tiba-tiba gini?” tanyanya penasaran.

nera menggeleng, gadis berambut panjang yang kini matanya nampak menggelap sempurna itu hanya diam menatapnya, “gak tau, cuma kepengen aja tadi soalnya gue kirain lo beneran solo gara-gara liat baju gue melorot. taunya enggak.”

kenan mengerut alis, “lo pengen gue solo gara-gara dress lo?”

“lo beneran gak tertarik sama gue ken? sedikitpun?”

“sama lo apa sama tubuh lo, ner?”

nera diam sebentar, “all about me.” jawabnya pelan.

lelaki itu tersenyum meledek, lalu mulai mengecup dan menjilat cuping nera agar gadis itu terpancing kembali.

sejujurnya hanya manusia bodoh yang mau menolak nera, gadis 23 tahun yang berprofesi sebagai model dan beberapa kali tampil di acara red carpet itu benar-benar sangat sempurna dalam bidang apapun. selain itu sikap dewasanya yang begitu menonjol sangat menambah nilai positif pada dirinya.

“ner..” kenan berbisik pelan di samping telinga.

“hm?”

“apakah gue terlalu cuek sampe lo harus gerak duluan kayak tadi?”

“apa?”

kenan kembali tidak menjawab, sebagai balasannya lelaki itu mulai menarik dekat tubuh nera dan lanjut menciumi pundak serta leher jenjangnya yang terbuka.

lidah lelaki itu benar-benar mengeksplor pundak kirinya secara menyeluruh. rasa basah dan panas yang nera dapat dalam sekejap itu seketika membuat kakinya melemas sempurna.

satu lenguhan yang keluar dari bibir nera mulai terdengar, membuat nafas kenandra menggebu karena otaknya benar-benar sudah terlampau bernafsu.

dengan perlahan lelaki itu menurunkan kaitan dress putih nera hingga lepas sempurna dari tubuh, lalu mulai melepas bra putihnya dalam sekali jentikan.

“is it okay if i touch it?” lelaki itu meminta ijin dengan bisikan pelan kepada pemiliknya yang kini sudah berada di ambang kegilaan.

“gak usah banyak tanya, udah lo buka juga. ahh..” ucapan nera seketika berubah menjadi desahan tertahan ketika tangan kanan kenandra maju meramas bongkahan padat tersebut dengan kencang.

lelaki itu sesekali memutar puting menjulang tersebut dan mencubitnya pelan, memberikan sensasi nikmat yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata lagi.

*“feel good ner?” *

gadis itu memejamkan matanya dan mengangguk ringan. desahan dengan volume pelan itu kerap kali terlontar ketika tangan kiri kenan mulai mengelus dan menekan-nekan kuat area bawahnya yang sudah terlampau basah.

“kenh, ahh.. kok.. kok enak?”

“lo gak pernah nyentuh punya lo sendiri ner?” kenan heran ditengah kegiatannya.

“cuma kalo abis pipis aja.”

fuck.

kenandra reflek menghentikan kegiatannya, “lo gila ya?”

“hmh?”

“lo aja gak pernah nyentuh, kenapa jadi gue ngeduluin lo?”

nera memajukan badan dan menelusupkan tangannya demi mengelus dada bidang kenan dari balik luaran hitamnya. “its okay, gue mau, asal itu lo.”

tolol?

memang.

tapi apalah daya 2 manusia yang sudah dirasuki pikiran setan?

kenandra mengangguk, bahkan seperti mendapat sengatan, lelaki itu mulai mengangkat pantat nera yang masih terbungkus oleh satu-satunya kain yang masih tersisa itu menuju meja kayu depan kaca besar di sudut ruangan.

lelaki itu lantas kembali menciumi gadis itu pada bibir, lalu turun menuju payudaranya yang menggelantung indah dan terus turun lalu berhenti di area pusarnya.

dijilatinya area tersebut memutar seraya membuka perlahan kaki nera agar tangannya bisa meloloskan celana dalam putih tersebut dengan bebas.

“kenh.. gue gakh pernah tau, kalo, mmh..” ucapannya kembali terhenti ketika bibir kenan tanpa permisi mulai maju mengendus bibir kemaluannya dibawah sana.

basah.

terasa begitu geli dan aneh ketika nafas kenandra menggelitik dibawah sana.

“gue jilat, jadi tolong lo jangan desah kenceng-kenceng ya?” lelaki itu memberi aba-aba singkat, lalu mulai memajukan kepalanya mendekat dan menjilat bagian basah tersebut layaknya menjilati permen lolipop.

disedotnya area sensitif tersebut seraya sesekali jempolnya bergerak untuk menggelitik clitnya dengan tekanan kuat.

gadis itu reflek mendesah keras seraya mengelukan namanya, sesekali meminta berhenti, dan sesekali meminta untuk menjilatnya lebih dalam.

kenan masih berada pada posisinya ketika suara-suara di depan sana tiba-tiba menjadi ramai.

“lo kunci pintunya dari dalem? HP GUE KETINGGALAN DISITU HEH!”

“gue gak ngunci!!! tadi jelas-jelas cuma gue tutup biasa.”

“coba lo telpon aja, bunyi pasti.”

“bunyi ya bunyi, tapi kalo gue gak bisa ngambil gegara kekuncian gini ya gimana?”

sial.

nera membekap sendiri bibirnya dengan telapak tangan ketika kenan tidak terganggu sedikitpun dibawah sana. jari lelaki itu bahkan sudah mulai menelusup masuk ke lobang nera tanpa kata permisi lagi dan menariknya keluar masuk dengan cepat.

“mmmh, kenh.. lo ahh.”

“sst ner, banyak orang.” lelaki itu mengingatkan seraya kembali menjilati cairan vagina nera yang melumer keluar.

“ahh, tapi itu, jari lo tolonghh.. kekencenganh.. mmhh.” desahan nera kembali tertahan ketika bibir kenan meraupnya dengan pagutan kasar dan penuh tuntutan. jari lelaki itu yang bergerak cepat tidak ia kendorkan barang sedetikpun.

“please, kenh, gue mau pipish..”

kenan mengangguk seraya menjilati rahang nera dengan lembut.

“pipis aja, but don't moan to hard. gantinya, lo boleh gigit leher gue atau apapun buat nahan.”

gadis itu menurut, lantas menangkup wajah tampan kenan yang masih aktif menjilati rahangnya itu dan melahap bibir lelaki itu rakus agar desahannya tidak lepas begitu saja.

kenan tersenyum jahil ketika ciumannya terputus, lantas tangannya mulai ia cabut dari lobang basah nera yang berkedut akibat baru saja melakukan pelepasan dengan gerakan pelan.

“gue baru tau kalo lo ternyata suka desah.”

nera mengangguk tidak menanggapi dan langsung meletakkan beban kepalanya di pundak tegap kenan yang curangnya baru ia sadari masih mengenakan pakaian lengkap.

“nyatanya malah lo yang puasin gue padahal tadi gue niatnya bantuin lo solo di toilet.”

“toiletnya mati lampu.”

“hah?”

“tadi aslinya gue emang mau solo, tapi mati lampu, gak jadi.”

“hah?”

“tawaran lo bantuin gue solo masih berlaku kan?”

nera menatap manik kenandra dalam diam, lalu mengangguk.

kenan tersenyum, lalu menggendong tubuh nera turun dari meja. “do it in my car. ayo pulang.”

PRIVATTER AGAIN BAGIAN KENANDRA ONLY PAS KEPALA JUDULNYA 250+ LIKES YA YEOROBUN.. sok2an narget padahal aslinya sengaja biar lama update 🥵

3.48

▪︎ BALIK LAGI SAMA JFAEY PASANGAN HOT AGAK SOMPLAK KITA DI SORE HARI INI HAHAHA.

▪︎ 21+

▪︎ as always lower case.

HAPPY READ


“mandi dulu ya?” feyna bertanya kepada jayden yang kini tengah membaringkan tubuh di sofa ruang tengah seraya memejamkan mata.

lelaki itu mengangguk mengiyakan, namun sebelum gadisnya melangkah pergi, jayden dengan segera menarik pergelangan tangan feyna agar jatuh diatas pahanya.

“bentar deh, elus-elus bentar baru boleh mandi.”

sial. jayden sedang lelah rupanya.

“kalo lagi capek main besok aja gak papa deh jay, gue solo di kamar gampang, cepet.”

“hm?”

feyna hanya diam dan mulai mengelus pelan puncak kepala jayden yang kini masih saja memejamkan matanya.

“lo tidur aja, gue gak papa.” ulang feyna dengan pelafalan yang lebih jelas.

“mana bisa gue tidur?? si kecil udah bangun sejak tadi.”

“lah lo merem terus, ngantuk kan?”

“gak ngantuk fey, cuma pengen selonjoran aja bentar.”

feyna mendengus pelan dan kini hanya menatap wajah tenang pacarnya dalam diam. “jay! jayden alkiano yang ganteng banget itu punya siapa sih?”

“apa fey?”

“jayden alkiano. punya siapa?”

hell? ya punya lo, lah.”

“hahahaha jijik sih, aslinya gue bercanda doang.” feyna terkekeh lantas mulai menurunkan diri dan duduk diam di atas karpet.

keinginannya untuk mandi tadi musnah sudah akibat pesona jayden yang kini berada diam di depannya.

lelaki yang sudah menemani selama 6 tahun itu benar-benar tidak mengalami perubahan sedikitpun.

dari perlakuannya yang lembut dan selalu menuruti apa permintaan feyna, dari sikapnya yang kaku namun benar-benar perhatian disaat yang bersamaan.

tanpa sadar feyna tersenyum dan mengecup ringan bibir jayden yang saat ini sedang kering-keringnya, lantas tertawa ringan. “kering amat tuh bibir kayak gurun sahara.”

“ya makanya lo basahin sekalian lah fey.”

“ya minum jay, kok minta gue?”

“mau minum punya lo aja. bosen, air putih tawar.. gak seksi juga kan gak bisa ngedesah.” lelaki itu berucap dengan nada usil seraya dengan tiba-tiba membuka mata dan menegakkan badannya.

kaget?

ya tentu saja.

memang jayden manusia sialan.

“yuklah, mau main di sofa apa karpet kita hari ini?”

heelll. lo mau main di sofa apa karpet juga sama brutalnya ya gak sih jay..”

“tapi perasaan tadi ada yang minta dikasarin sih pas di kampus. siapa ya, babe?”

“hng.. ya gue sih..”

jayden lantas tergelak sebentar, lalu dengan gerakan yang mendadak ia mulai menarik pinggang gadisnya agar segera naik di atas pangkuan.

posisi yang benar-benar lelaki itu sukai, dengan tubuh feyna yang berada dekat di hadapan wajah dan suara desahannya yang bisa ia tangkap dengan leluasa.

“padahal gue bilang kalo gue mau mandi dulu loh..” feyna mencela ketika tangan jayden sudah mulai melucuti pakaiannya sendiri dengan gerakan cepat.

“percuma mandi, nanti keringetan lagi..”

“ya tapi kan ini kita abis ngampus bodoh.”

“ngampus dua jam duduk di lab ber AC aja ribet kek bau apaan fey.”

“tapi lo bau jay.”

“masaa???”

feyna tertawa, lantas menangkup wajah jayden dan mengecupnya di berbagai area berulang kali. “bercanda gue bercanda..”

“mau mulai main masih sempet bercanda ya???”

feyna mengedikkan bahunya dan menatap intens mata jayden yang kini juga tengah menatapnya tanpa kata.

“fey.”

“apa?”

“lo nanti pasti bakal nikah sama gue kan?”

uhuk.

“bajingan, tiba-tiba banget apa coba sih jay?”

“ya soalnya gue kepikiran buat gak nikah sampe tua kalo gak pasangan sama lo?”

“APA BANGET ANJIR JAYDEN GELI GUE DENGERNYA.”

lelaki itu reflek mengerutkan alis lucu, lantas mulai menarik tengkuk feyna maju dengan gerakan terlampau sensual dan langsung membabat habis jarak yang sempat terbentang.

dilumatnya kasar atas dan bawah bibir ranum tersebut dengan rakus seraya sesekali menyedot permukaan bibir feyna hingga sang pemilik reflek saja kelimpungan mencari asupan oksigen.

decakan-decakan liar yang tercipta di ruang tengah apartment feyna itu mulai menggema dan menambah gairah kedua manusia yang kini tengah sibuk menjamah satu sama lain.

tangan jayden yang awalnya diam mulai ia gunakan untuk meremas pelan bongkahan payudara yang masih tertutup atasan dengan perlahan.

sengaja.

lelaki itu sengaja tidak mengendorkan sedikitpun ciumannya agar feyna meminta ampun karena tidak menanggapi serius ucapannya pekara menikah tadi.

“jay.. mmmh, gue sesek please lepas dulu.” feyna mendorong pundak jayden paksa seraya menarik oksigen dengan cepat karena paru-parunya terasa kosong detik ini.

jayden hanya menaikkan satu alisnya sebagai tanggapan dan lanjut melucuti atasan feyna dengan gerakan yang begitu lincah.

dielusnya pelan punggung putih gadis itu  hingga tidak butuh waktu lama jayden sudah berhasil melepas kaitan bra merah maroon milik feyna dan melemparnya ke meja seberang.

“yang tenang dong lo, brutal sih brutal tapi gakh.. ahh.” ucapan gadis itu terpotong karena bibir jayden yang kembali maju dan menjilati area payudaranya dengan lihai.

lelaki itu bahkan sesekali menyedot dan menggigit-gigit kecil ujung puting gadis itu yang kali ini sudah menjulang akibat nafsu yang memuncak.

“jayyhh.. astaga lo sumpah..,”

“desah aja kalo keenakan fey, jangan ngomel mulu ah gue mau fokus.”

sialan.

jayden memang benar-benar sialan.

“gigithnya ya jangan kenceng-kencengh jayyh, mmmh.” feyna benar-benar kelimpungan dan hanya bisa memejamkan mata akibat permainan mulut jayden pada payudara kanannya.

lelaki itu menjilat area itu sekali lagi sebelum akhirnya menarik jilatannya naik menuju leher dan belakang telinga feyna yang tadi masih belum sempat disentuhnya.

“sabun lo wangi banget fey. ganti pake punya TBS ya?”

“mmmh.. heemh”

“ditanyain desah terus, enak?”

“heehmh jay.”

jayden tersenyum singkat dan mengecup pelan cuping feyna berulang kali hingga akhirnya mengangkat pantat gadis itu dan menurunkannya di atas karpet.

“play me fey. with your hand.”

paham akan perintah jayden, gadis itu segera menurunkan celana kekasihnya dan mendorong paha tersebut hingga jatuh duduk di atas sofa kembali.

“pake tangan, jangan pake.. *ahh fuck. feyna you crazy or whath??”

lelaki itu reflek mendesah berat dan memejamkan mata akibat mulut panas feyna yang tiba-tiba maju dan melahap separuh kejantanannya yang menegang.

*“feyh, i told you to play with hand but whyh ahhh shit jangan disedot fuck tapi enak bangeth.” jayden lagi-lagi meracau seraya tangannya menyingkirkan anak rambut gadisnya yang berjatuhan liar di depan wajah.

raut wajah seksinya yang begitu enak dilihat dan suara sedotan-sedotan kecil yang menggema benar-benar menambah gairah seksual dalam ruangan tersebut.

“feyh, stop, bibir gue kering. mau minum punya lo, sekarang.”

“hmh?”

tanpa banyak bicara jayden segera mengubah posisi gadisnya agar menungging di atas karpet.

“i said kalo bibir gue kering, so i'll eat this nicely right now.” lelaki itu berucap dengan nada rendah dan mengelus perlahan celah sensitif feyna yang sudah basah, lantas mengecupnya pelan dan menjilatnya dengan bersih.

sedotan demi sedotan dan gigitan demi gigitan ia layangkan agar ruangan ini kembali terisi oleh suara desahan feyna yang memang terlampau enak didengar.

“jayh. langsung aja, pleaseh.. gue gakh kuat kalo lo mainin gituh terus, ahhh.” desahan kencang tersebut lolos begitu saja ketika tusukan 3 jari jayden masuk tanpa ijin ke dalam lobang dan mengocoknya liar.

“gakh mau keluar dulu, pleaseh jayden.. masukin punya lo aja. just fuck me harder and crazily right now..”

mendengar itu jayden segera menghentikan gerakan jarinya dan mengangguk samar, lantas mulai berlutut dan menggesekkan pusakanya pelan pada celah feyna yang kini sudah semakin merah akibat permainan ganasnya beberapa detik yang lalu.

“don't you dare to fuckin tease me lah jay.”

“cuma mau say hello doang sebelum masuk rumah padahal.”

“tapi kan, ahhhh.” belum selesai ucapannya keluar, jayden sudah melesakkan miliknya masuk hingga tertelan seutuhnya di dalam sana.

lelaki itu tertawa dan mulai memompa dengan ritme pelan, menikmati setiap pijatan ringan yang ia terima dari dinding kekasihnya yang kini mulai menggila di depannya.

“harder babe. just do it harder i'm okayhh.”

“as your wish, lady.” jayden menurut dan mulai melesakkan kejantanannya masuk semakin dalam hingga menumbuk titik sensitif kekasihnya di ujung sana.

setiap tumbukan kuat yang diberikannya benar-benar membuat feyna kelimpungan dan meracau liar akibat keenakan.

“ganti posisi jayh?”

“lo belum keluar, tumben?”

“mau main lama. gue di atas yah?”

“wow.. bener-bener h word ya lo hari ini?”

feyna mengangguk dan menarik tubuhnya hingga batang jayden terlepas, lantas mulai mendorong pundak jayden agar menempel di kaki kursi.

gadis itu menjatuhkan ciuman dan jilatan sensual pada bibir jayden sebelum akhirnya mulai mendudukkan diri pada pangkuan kekasihnya.

lagi.

posisi favorit ini kembali terulang seperti awal tadi.

bedanya sekarang feyna tidak hanya diam di atas pahanya, namun mulai menggerakkan diri maju dan mundur dengan ritme teratur dan mulai mendesahkan namanya berulang kali.

shit.

gadis itu benar-benar seksi jika sudah berinisiatif untuk memimpin pergerakan seperti ini.

“jayh..”

“yesh baby?”

“jangan berani-berani kasihin punya lo ke orang lain, karna selain itu punya lo, itu juga udah jadi kepunyaan gue.”

jayden tertawa disela kegiatan tersebut dan kembali memagut bibir feyna lama.

desahan yang tertahan di dalam ciuman itu menambah sensasi tersendiri hingga akhirnya tanpa sadar jayden mulai menepuk-nepuk liar pantat feyna dan memaju-mundurkannya secara brutal.

tangan kekarnya bahkan sesekali meremas kuat bongkahan tersebut hingga sang pemilik kerap memekik nimmat.

“ahh jaydenh..”

“kenapa? mau keluar?”

“heemh.”

“tahan feyh, gue bentar lagi juga mau keluar.”

“gakh tahan jayh.. udah capekh.”

jayden mencium pelan pelipis gadisnya dan menidurkannya cepat di atas karpet lagi, lelaki itu lantas dengan gesit mulai melesakkan kembali miliknya di dalam sana.

“oh shith jayh..”

“ketahan gara-gara jeda ya?”

“heemh..”

lelaki itu tersenyum dan menggenjot gadisnya dalam tempo cepat agar keduanya bisa segera mengakhiri sesi satu yang daritadi tidak ada ujungnya itu dengan puas.

dikulumnya ringan payudara feyna dengan pelan dan sesekali menyedot putingnya kuat, membuat ricauan feyna dibawahnya semakin tidak jelas dan kencang tidak terkontrol.

“ah jayh pleaseh i'mh close.”

jayden mengangguk paham dan dengan segera menaikkan bibirnya ke atas demi meraup kasar bibir ranum feyna tanda ia juga sudah dekat menuju puncak.

“nowh babe, together.” jayden mendorong miliknya hingga ujung dan melepaskan cairan putih itu bersamaan dengan milik feyna di dalam sana.

keduanya terengah.

jayden reflek menimpa tubuh polos feyna seraya mengecup keningnya berulang kali.

“thanks jay.”

“no need too.”

“soal pertanyaan lo tadi kalo gue bakal nikah sama lo apa nggak, jawabannya gue nggak tau..”

“hmh?” lelaki itu melotot tidak terima disela kegiatannya mencari oksigen, membuat feyna lagi-lagi tergelak dan menarik dagu kekasihnya mendekat, lantas mengecupnya singkat.

“tunggu lo lamar gue dulu maksudnya.”

sialan.

jayden mengerutkan alis kesal dan spontan menggerakkan pinggulnya pelan demi menggoda bagian bawah mereka yang masih menempel satu sama lain.

desahan ringan feyna kembali terdengar, “lagi serius ngobrol bisa-bisanya gitu ya lo jay?”

“abisnya jawaban lo ngeselin. jawab yang benerlah, mau nikah sama gue gak lo?”

“bilang di depan kak levin dulu, baru gue jawab.”

“okeee. this week gue bakal ke surabaya nemuin dia.”

“seriusan?”

“gue ajak papa mama gue sekalian kakek nenek biar lo percaya gue mau nikahin lo seceph..” ucapan lelaki itu tidak berlanjut karena feyna kembali menempelkan bibirnya dengan gemas pada milik jayden.

“iya, percaya. mau gue mau. gila aja gue gak mau nikah setelah kita hampir tiap minggu mau berhasil bikin anak?”

“anjir. iya juga kalo kita udah bulan madu bolak-balik?”

keduanya terkekeh ringan dan berakhir saling peluk satu sama lain.

“love you jay.”

“me too, for sure, always.”

E N D.

3.48

▪︎ BALIK LAGI SAMA JFAEY PASANGAN HOT AGAK SOMPLAK KITA DI SORE HARI INI HAHAHA.

▪︎ 21+

▪︎ as always lower case.

HAPPY READ


“mandi dulu ya?” feyna bertanya kepada jayden yang kini tengah membaringkan tubuh di sofa ruang tengah seraya memejamkan mata.

lelaki itu mengangguk mengiyakan, namun sebelum gadisnya melangkah pergi, jayden dengan segera menarik pergelangan tangan feyna agar jatuh diatas pahanya.

“bentar deh, elus-elus bentar baru boleh mandi.”

sial. jayden sedang lelah rupanya.

“kalo lagi capek main besok aja gak papa deh jay, gue solo di kamar gampang, cepet.”

“hm?”

feyna hanya diam dan mulai mengelus pelan puncak kepala jayden yang kini masih saja memejamkan matanya.

“lo tidur aja, gue gak papa.” ulang feyna dengan pelafalan yang lebih jelas.

“mana bisa gue tidur?? si kecil udah bangun sejak tadi.”

“lah lo merem terus, ngantuk kan?”

“gak ngantuk fey, cuma pengen selonjoran aja bentar.”

feyna mendengus pelan dan kini hanya menatap wajah tenang pacarnya dalam diam. “jay! jayden alkiano yang ganteng banget itu punya siapa sih?”

“apa fey?”

“jayden alkiano. punya siapa?”

hell? ya punya lo, lah.”

“hahahaha jijik sih, aslinya gue bercanda doang.” feyna terkekeh lantas mulai menurunkan diri dan duduk diam di atas karpet.

keinginannya untuk mandi tadi musnah sudah akibat pesona jayden yang kini berada diam di depannya.

lelaki yang sudah menemani selama 6 tahun itu benar-benar tidak mengalami perubahan sedikitpun.

dari perlakuannya yang lembut dan selalu menuruti apa permintaan feyna, dari sikapnya yang kaku namun benar-benar perhatian disaat yang bersamaan.

tanpa sadar feyna tersenyum dan mengecup ringan bibir jayden yang saat ini sedang kering-keringnya, lantas tertawa ringan. “kering amat tuh bibir kayak gurun sahara.”

“ya makanya lo basahin sekalian lah fey.”

“ya minum jay, kok minta gue?”

“mau minum punya lo aja. bosen, air putih tawar.. gak seksi juga kan gak bisa ngedesah.” lelaki itu berucap dengan nada usil seraya dengan tiba-tiba membuka mata dan menegakkan badannya.

kaget?

ya tentu saja.

memang jayden manusia sialan.

“yuklah, mau main di sofa apa karpet kita hari ini?”

heelll. lo mau main di sofa apa karpet juga sama brutalnya ya gak sih jay..”

“tapi perasaan tadi ada yang minta dikasarin sih pas di kampus. siapa ya, babe?”

“hng.. ya gue sih..”

jayden lantas tergelak sebentar, lalu dengan gerakan yang mendadak ia mulai menarik pinggang gadisnya agar segera naik di atas pangkuan.

posisi yang benar-benar lelaki itu sukai, dengan tubuh feyna yang berada dekat di hadapan wajah dan suara desahannya yang bisa ia tangkap dengan leluasa.

“padahal gue bilang kalo gue mau mandi dulu loh..” feyna mencela ketika tangan jayden sudah mulai melucuti pakaiannya sendiri dengan gerakan cepat.

“percuma mandi, nanti keringetan lagi..”

“ya tapi kan ini kita abis ngampus bodoh.”

“ngampus dua jam duduk di lab ber AC aja ribet kek bau apaan fey.”

“tapi lo bau jay.”

“masaa???”

feyna tertawa, lantas menangkup wajah jayden dan mengecupnya di berbagai area berulang kali. “bercanda gue bercanda..”

“mau mulai main masih sempet bercanda ya???”

feyna mengedikkan bahunya dan menatap intens mata jayden yang kini juga tengah menatapnya tanpa kata.

“fey.”

“apa?”

“lo nanti pasti bakal nikah sama gue kan?”

uhuk.

“bajingan, tiba-tiba banget apa coba sih jay?”

“ya soalnya gue kepikiran buat gak nikah sampe tua kalo gak pasangan sama lo?”

“APA BANGET ANJIR JAYDEN GELI GUE DENGERNYA.”

lelaki itu reflek mengerutkan alis lucu, lantas mulai menarik tengkuk feyna maju dengan gerakan terlampau sensual dan langsung membabat habis jarak yang sempat terbentang.

dilumatnya kasar atas dan bawah bibir ranum tersebut dengan rakus seraya sesekali menyedot permukaan bibir feyna hingga sang pemilik reflek saja kelimpungan mencari asupan oksigen.

decakan-decakan liar yang tercipta di ruang tengah apartment feyna itu mulai menggema dan menambah gairah kedua manusia yang kini tengah sibuk menjamah satu sama lain.

tangan jayden yang awalnya diam mulai ia gunakan untuk meremas pelan bongkahan payudara yang masih tertutup atasan dengan perlahan.

sengaja.

lelaki itu sengaja tidak mengendorkan sedikitpun ciumannya agar feyna meminta ampun karena tidak menanggapi serius ucapannya pekara menikah tadi.

*“jay.. mmmh, gue sesek please lepas dulu.” feyna mendorong pundak jayden paksa seraya menarik oksigen dengan cepat karena paru-parunya terasa kosong detik ini.

jayden hanya menaikkan satu alisnya sebagai tanggapan dan lanjut melucuti atasan feyna dengan gerakan yang begitu lincah.

dielusnya pelan punggung putih gadis itu  hingga tidak butuh waktu lama jayden sudah berhasil melepas kaitan bra merah maroon milik feyna dan melemparnya ke meja seberang.

“yang tenang dong lo, brutal sih brutal tapi gakh.. ahh.” ucapan gadis itu terpotong karena bibir jayden yang kembali maju dan menjilati area payudaranya dengan lihai.

lelaki itu bahkan sesekali menyedot dan menggigit-gigit kecil ujung puting gadis itu yang kali ini sudah menjulang akibat nafsu yang memuncak.

“jayyhh.. astaga lo sumlah..,”

“desah aja kalo keenakan fey, jangan ngomel mulu ah gue mau fokus.”

sialan.

jayden memang benar-benar sialan.

“gigithnya ya jangan kenceng-kencengh jayyh, mmmh.” feyna benar-benar kelimpungan dan hanya bisa memejamkan mata akibat permainan mulut jayden pada payudara kanannya.

lelaki itu menjilat area itu sekali lagi sebelum akhirnya menarik jilatannya naik menuju leher dan belakang telinga feyna yang tadi masih belum sempat disentuhnya.

“sabun lo wangi banget fey. ganti pake punya TBS ya?”

“mmmh.. heemh”

“ditanyain desah terus, enak?”

*“heehmh jay.”

jayden tersenyum singkat dan mengecup pelan cuping feyna berulang kali hingga akhirnya mengangkat pantat gadis itu dan menurunkannya di atas karpet.

“play me fey. with your hand.”

paham akan perintah jayden, gadis itu segera menurunkan celana kekasihnya dan mendorong paha tersebut hingga jatuh duduk di atas sofa kembali.

“pake tangan, jangan pake.. *ahh fuck. feyna you crazy or whath??”

lelaki itu reflek mendesah berat dan memejamkan mata akibat mulut panas feyna yang tiba-tiba maju dan melahap separuh kejantanannya yang menegang.

*“feyh, i told you to play with hand but whyh ahhh shit jangan disedot fuck enak bangeth.” jayden lagi-lagi meracau seraya tangannya menyingkirkan anak rambut gadisnya yang berjatuhan liar di depan wajah.

raut wajah seksinya yang begitu enak dilihat dan suara sedotan-sedotan kecil yang menggema benar-benar menambah gairah seksual dalam ruangan tersebut.

“feyh, stop, bibir gue kering. mau minum punya lo, sekarang.”

“hah?”

tanpa banyak bicara jayden segera mengubah posisi gadisnya agar menungging di atas karpet.

“i said kalo bibir gue kering, so i'll eat this nicely right now.” lelaki itu berucap dengan nada rendah dan mengelus perlahan celah sensitif feyna yang sudah basah, lantas mengecupnya pelan dan menjilatnya dengan bersih.

sedotan demi sedotan dan gigitan demi gigitan ia layangkan agar ruangan ini kembali terisi oleh suara desahan feyna yang memang terlampau seksi.

“jayh. langsung aja, pleaseh.. gue gakh kuat kalo lo mainin gituh terus, ahhh.” desahan kencang tersebut lolos begitu saja ketika tusukan 3 jari jayden masuk tanpa ijin ke dalam lobang dan mengocoknya liar.

“gakh mau keluar dulu, pleaseh jayden.. masukin punya lo aja. just fuck me harder and crazily right now..”

mendengar itu jayden segera menghentikan gerakan jarinya dan mengangguk samar, lantas mulai berlutut dan menggesekkan pusakanya pelan pada celah feyna yang kini sudah semakin merah akibat permainan ganasnya beberapa detik yang lalu.

“don't you dare to fuckin tease me lah jay.”

“cuma mau say hello doang sebelum masuk rumah padahal.”

“tapi kan, ahhhh.” belum selesai ucapannya keluar, jayden sudah melesakkan miliknya masuk hingga tertelan seutuhnya di dalam sana.

lelaki itu mulai memompa dengan ritme pelan dan menikmati setiap pijatan ringan yang ia terima dari dinding kekasihnya yang kini mulai menggila di depannya.

*“harder babe. just do it harder i'm okayhh.”

“as your wish, lady.” jayden menurut dan mulai melesakkan kejantanannya masuk semakin dalam hingga menumbuk titik sensitif kekasihnya di ujung sana.

setiap tumbukan yang diberikannya benar-benar membuat feyna kelimpungan dan meracau liar akibat keenakan.

“ganti posisi jayh?”

“lo belum keluar, tumben?”

“mau main lama. gue di atas yah?”

“wow.. bener-bener h word ya lo hari ini?”

feyna mengangguk dan menarik tubuhnya hingga batang jayden terlepas, lantas mulai mendorong pundak jayden agar menempel di kaki kursi.

gadis itu menjatuhkan ciuman dan jilatan sensual pada bibir jayden sebelum akhirnya mulai mendudukkan diri pada pangkuan jayden.

lagi.

posisi favorit ini kembali terulang seperti awal tadi.

bedanya sekarang feyna tidak hanya diam di atas pahanya, namun mulai menggerakkan diri maju dan mundur dengan ritme teratur dan mulai mendesahkan namanya berulang kali.

shit.

gadis itu benar-benar seksi jika sudah berinisiatif untuk memimpin pergerakan seperti ini.

“jayh..”

“yesh baby?”

“jangan berani-berani kasihin punya lo ke orang lain, karna selain itu punya lo, itu juga udah jadi kepunyaan gue.”

jayden tertawa disela kegiatan tersebut dan kembali memagut bibir feyna lama.

desahan yang tertahan di dalam ciuman itu menambah sensasi tersendiri hingga akhirnya tanpa sadar jayden mulai menepuk-nepuk liar pantat feyna dan memaju-mundurkannya secara brutal.

“ahh jaydenh..”

“kenapa? mau keluar?”

“heemh.”

“tahan feyh, gue bentar lagi juga mau keluar.”

“gakh tahan jayh.. udah capekh.”

jayden mencium pelan pelipis gadisnya dan menidurkannya cepat di atas karpet lagi lantas dengan gesit melesakkan kembali miliknya di dalam sana.

“oh shith jayh..”

“ketahan gara-gara jeda ya?”

“heemh..”

lelaki itu tersenyum dan menggenjot gadisnya dalam tempo cepat agar keduanya bisa segera mengakhiri sesi satu yang daritadi tidak ada ujungnya itu dengan puas.

dikulumnya ringan payudara feyna dengan pelan dan sesekali menyedot putingnya kuat, membuat ricauan feyna dibawahnya semakin tidak jelas dan kencang tidak terkendali.

“ah jayh i'm close.”

jayden mengiyakan dalam hati dan segera menaikkan bibirnya ke atas demi meraup kasar bibir ranum feyna tanda ia juga sudah dekat menuju puncak.

“nowh babe, together.” jayden mendorong miliknya hingga ujung dan melepaskan cairan putih itu bersamaan dengan milik feyna di dalam sana.

keduanya terengah.

jayden reflek menimpa tubuh polos feyna seraya mengecup keningnya berulang kali.

“thanks jay.”

“no need too.”

“soal pertanyaan lo tadi kalo gue bakal nikah sama lo apa nggak, jawabannya gue nggak tau..”

“hmh?” lelaki itu melotot tidak terima, membuat feyna lagi-lagi tergelak dan menarik dagu kekasihnya mendekat, lantas mengecupnya singkat.

“tunggu lo lamar gue dulu maksudnya.”

sialan.

jayden mengerutkan alis kesal dan spontan menggerakkan pinggulnya pelan demi menggoda bagian bawah mereka yang masih menempel satu sama lain.

desahan ringan feyna kembali terdengar, “lagi serius bisa-bisanya ya lo jay?”

“abisnya jawab yang bener, mau nikah sama gue gak lo?”

“bilang di depan kak levin dulu, baru gue jawab.”

“okeee. this week gue bakal ke surabaya nemuin dia.”

“seriusan?”

“gue ajak papa mama gue sekalian kakek nenek biar lo percaya gue mau nikahin lo seceph..” ucapan lelaki itu tidak berlanjut karena feyna kembali menempelkan bibirnya dengan gemas pada milik jayden.

“iya, percaya. mau gue mau. gila aja gue gak mau nikah setelah kita hampir tiap minggu mau berhasil bikin anak?”

“anjir. iya juga kalo kita udah bulan madu bolak-balik?”

keduanya terkekeh ringan dan berakhir saling peluk satu sama lain.

“love you jay, always.”

E N D.

THE WORDS THAT FALLIN DOWN.


“Kay..” Saka memanggil pelan ketika telinganya tidak menangkap getar suara Kayna sedikitpun dalam dekapannya malam ini.

Tertidur?

Saka benar-benar ragu akan hal tersebut.

“Kayna.. Beneran udah tidur?” Lelaki tersebut mengulang sapaannya sembari mengelus puncak kepala Kayna yang tertutup topi hoodie berwarna merah muda dengan halus.

Kayna hanya diam, tidak terdengar menjawab ataupun menggerakkan badannya barang satu senti.

Lelaki itu lantas mendesah berat, lalu mulai mengeratkan pelukannya dan mengusuk pelan lengan Kayna yang mungkin saja memang sudah jatuh terlelap akibat efek samping obat dokter yang beberapa hari lalu diresepkan kepadanya.

Gadisnya tengah memejamkan netra, terlihat begitu damai meski bengkak bawah matanya terlihat begitu jelas dan susah hilang akibat terlalu banyak mengurai air mata.

“Berat ya Kay, ditinggal orang yang disayang pergi buat selamanya? But it's okay, Tuhan tau kamu kuat buat jalaninnya. Anggep aja ini cara awal Tuhan buat nguji kalo kamu emang tegar dan tetep bisa bersyukur sama keadaan terburuk sekalipun. Percaya terus sama Tuhan ya Kay. Dia pemilik dan pencipta semesta yang baik kok. Serius.”

Saka menghela nafasnya ringan dan mulai menyenderkan kepala pada milik Kayna yang kini tengah tertidur diam di pundaknya.

Gadis yang masih baru beberapa minggu menjadi kekasihnya itu benar-benar hening tidak bersuara setelah sebelumnya sempat meracau marah tidak jelas akibat kelupaan menyapu halaman rumah Marco sore ini.

Sepi.

Angin malam mulai berhembus kencang menyapu tubuh dengan suhu dinginnya yang lagi-lagi begitu tidak bersahabat.

Cuaca mendung dan gelap di atas sana juga bahkan terasa tengah tertawa melihat cobaan hidup yang dialami kedua manusia muda tersebut.

Saka memejamkan matanya perlahan, lantas terdiam cukup lama hingga pikirannya yang sempat tenang itu mulai berlarian tak tentu arah tanpa tujuan.

Tentang Kayna yang akhir-akhir ini berubah total akibat ditinggal pergi oleh Marco hingga berakhir menuju psikiater, dan tentang betapa mengenaskannya gadis itu yang terus-terusan hampir memukulkan kepala ke tembok akibat sakit yang menyerang tidak tau ampun.

Tentu saja Saka paham betul bagaimana rasa sakit yang dialami oleh Kayna karena pernah mengalami hal serupa di masa lalu.

Lelaki itu lantas menarik nafas dalam ketika otaknya kembali berputar cepat dan berakhir jatuh pada moment dimana ia sedang duduk di pangkuan sang ibunda 13 tahun lalu. Dengan radio terputar keras di dalam mobil, memutar lagu-lagu ringan ala hari minggu yang begitu menyejukkan pendengaran.

“Saka, besok kamu pas besar mau jadi apa nak?” Mamanya bertanya sembari membenarkan anak rambut Saka yang berjatuhan kasar di depan wajah.

Saka tersenyum dan menoleh menghadap mamanya, “Mau jadi dokter dong ma! Kayak papa, keren.. Apalagi kalo berhasil nolongin banyak orang.”

Papanya menoleh dan reflek tertawa, “Jadi dokter harus mau berkorban lho Saka, gak boleh takut sama sekitar dan harus berani take all risk! Jadi dokter harus rela kalo kita akhirnya gak bisa nyelametin nyawa orang dan terpaksa liat dia pergi. Bisa?”

“Bisa Saka bisa!”

“Hahaha iya deh papa percaya.” Papanya lagi-lagi tertawa menanggapi kemudian mulai mengalihkan tatapannya kepada anak perempuan yang berada di pangkuannya sendiri, Sena Lionavia Hindrawan, kembaran Saka.

“Coba kalo Sena mau jadi apa besok pas besar? Papa mau tau.” Papanya ganti bertanya sembari mengoper gigi mobil dengan lihai.

Sang anak terlihat sok berpikir, lalu ketika telah menemukan jawaban, ia menjentikkan jari kecilnya sembari berucap dengan semangat, “Sena mau kayak mama aja, pokoknya sayang sama orang-orang, baik, terus sabar banget sama anak kecil. Males jadi dokter, capek, biar Saka aja yang nolongin orang, Sena diem di rumah jadi mama-mama rumah tangga yang ngurus kerjaan rumah.”

Lucu.

Jawaban super menggemaskan itu keluar bergantian dari bibir anak kembar berusia 6 tahun yang tengah menikmati acara liburan minggu mereka menuju pedesaan.

Bersama kedua orangtua yang suka melempar tawa dan gurau satu sama lain serta kembar dua yang sesekali meracau kacau membuat ulah, benar-benar sebuah paket komplit untuk suatu perjalanan keluarga.

Keempatnya masih bercakap-cakap santai ketika mendadak saja sebuah klakson yang berbunyi keras dari arah samping membuat mereka semua menoleh dan melihat sebuah truk pengangkut kayu yang tengah melaju kencang tanpa kendali.

Semuanya berlalu begitu cepat, truk kayu tersebut menghantam mobil keluarga Saka hingga terseret jauh dan berguling ke sudut jalan.

Teriakan-teriakan warga sekitar yang tidak sengaja menonton terdengar ricuh dan tidak ada diantaranya yang langsung menelpon ambulan demi meminta pertolongan.

Saka mendengar mama, papa dan adiknya menjerit serta menangis. Darah ada dimana-mana. Serpihan kaca yang pecah sudah berserakan dan bahkan beberapa diantaranya menancap kaku pada kulit tubuh.

Saka meraba kulit badannya yang hanya terdapat luka sebagian karena sang mama memeluknya begitu erat, hanya titik-titik cairan oli pekat yang menetes kental pada dahi dan beberapa bagian tubuhnya.

Anak lelaki tersebut lantas mendongak pelan, mencari celah agar kepala kecilnya bisa bergerak mencari keberadaan keluarganya yang terhimpit satu sama lain di dalam sana.

Papanya yang sudah memejamkan mata dengan darah yang mengucur deras bersama adiknya yang sudah terpental keluar, serta mamanya yang kini perlahan juga mulai terkulai, melepaskan dekapan kuatnya pada Saka yang hingga detik ini masih utuh bernyawa tanpa cacat sedikitpun.

“Minggir-minggir, diharap kerumunan untuk bubar! Petugas akan segera datang!”

Sayup-sayup Saka mendengar suara orang-orang yang berteriak gaduh dan suara sirine ambulan yang mendekat hendak memberikan pertolongan.

Namun terlambat, semuanya terasa telah usai karena Saka kecil melihat para petugas yang menutup perlahan mata keluarganya dan menutupi seluruh tubuh mereka dengan sebuah kain hitam hingga ke kepala.

Dunianya jatuh, dan detik berikut yang ia benar-benar ingat adalah jatuh pingsan pada pelukan seorang petugas ambulan.

Saka menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, tanpa sadar air matanya keluar sedikit demi sedikit mengingat ketiga anggota keluarganya yang telah pergi secara tragis tersebut.

Oma yang diam-diam ingin mengakhiri hidup akibat sedih berlarut panjang dan opa yang melampiaskan segala emosi kepada Saka hingga bertahun-tahun, serta kembaran papanya, om Arya, papa Dimas, yang juga turut membabatnya habis tanpa ampun secara diam-diam.

Kalimat-kalimat kasar seperti, “Anak sial.” “Anak gak berguna.” dan “Pembunuh kecil.” yang kerap kali ia dengar juga kini mulai bersaut-sautan, membuat tubuhnya bergidik sebentar kala mengingat benda-benda yang kerap kali dilayangkan kepadanya di 13 tahun ia hidup.

Saka kembali membuka mata agar bayangan buruk itu segera pergi dari otak, lantas mengeratkan pelukannya pada Kayna seakan tidak ingin kehilangan orang yang ia cintai untuk kedua kalinya.

Gadisnya bergerak pelan dalam pelukan, tangan yang sejak tadi terkulai di bawah itu bahkan perlahan mulai memeluk pinggang Saka dengan tidak kalah erat.

“Kay? Kamu bangun?” Saka nampak terkejut merasakan pergerakan Kayna yang secara tiba-tiba tersebut.

Gadis itu lantas hanya bisa membisu dan sesekali membenamkan wajahnya pada dada bidang Saka agar bisa meredam tangisnya yang mulai turun.

Iya, tanpa sadar, Kayna memang terbangun akibat Saka yang menyuarakan pikirannya sejak awal tadi.

JUST TWO OF THEM.


Marco. Lelaki yang kini telah menginjak usia 22 tahun itu tengah terduduk lemas di sofa ruang tengah dengan pikiran yang mengawang lepas.

Matanya terpejam kaku.

Telinga yang harusnya bisa bersantai itu bahkan sekarang juga ikut berdengung akibat suara televisi yang berputar cepat layaknya untaian kaset rusak.

Dunia lelaki itu menggelap bersamaan dengan suasana malam mencekam yang kini hadir di sekitarnya. Terasa begitu asing, begitu aneh, dan begitu susah untuk ia jabarkan dengan rentetan kata-kata.

Marco mendesah keras ketika dirasa keningnya berkedut berat, lantas mulai membuka mata dengan perlahan akibat tepukan ringan yang dilayangkan seseorang pada pundaknya barusan.

“Marco? Lo sakit?” Suara Kayna yang tumben-tumbenan terdengar merdu itu menyapa telinganya detik ini.

Gadis berambut panjang yang sudah menemani selama 16 tahun itu berdiri di hadapan tubuh dengan raut khawatir seraya mulai berdecak kesal karena Marco hanya membalas pertanyaannya tadi dengan satu cengiran lebar.

“Orang ditanyain bener-bener kok malah bercanda deh lo Mar?” Kayna memprotes tindakannya itu sembari mendudukkan diri di celah kosong samping tubuh Marco yang kini sudah duduk tegak kembali.

“Puyeng aja nungguin lo, kelamaan.”

“Ck. Ya kan gue tuh harus ngeribet buka tutup gembok pager dulu Mar..”

Marco reflek tertawa dan mulai menyenderkan punggungnya lagi ke senderan sofa. Lelaki itu lantas menarik pundak Kayna agar turut jatuh bertumpu pada lengan kekarnya yang kosong.

“Tadi lo balik kerja dijemput Saka, Kay?” Marco membuka topik obrolan ringan seraya tangannya mulai memijat pelan pundak kanan Kayna yang ia rasa lelah karena telah bekerja seharian.

“Hm? Iya Mar...”

Lelaki itu hanya balas tersenyum simpul dan menolehkan wajah tampannya ke arah Kayna yang kini tengah memandang lurus dengan tatapan kosong ke arah siaran televisi malam di depan sana, “Kalian berdua udah pacaran?”

Deg.

Pertanyaannya yang begitu tiba-tiba itu berhasil membungkam situasi di antara mereka dalam sekejap. Lelaki itu bahkan bisa merasakan tubuh Kayna yang menegang sempurna diatas permukaan kulit tangannya.

“Apa Mar?”

“Ya apa Kay? Gue kan nanya.”

Kayna menelan ludahnya dengan susah payah dan balas menoleh menghadap Marco yang masih saja setia menatapnya dalam hening.

Keraguan nampak jelas di kedua mata gadis itu. Pupilnya yang tenang bahkan sempat bergetar beberapa saat hingga akhirnya helaan berat keluar dari bibirnya yang kini telah mengering sempurna, “Mar, kalo gue jawab iya lo gak akan ngasih jarak sama gue kan?”

“Hah?” Marco langsung tertawa. Jemarinya yang tadi masih bergerak memijat pundak Kayna itu ia tarik kembali dari posisi dan ia letakkan diatas bantalan sofa yang sedang dipangkunya. “Kenapa gue harus ngasih jarak sama lo deh Kay?”

Kayna menolak menjawab dan lanjut menggelengkan kepala, matanya yang bening bahkan sudah terasa begitu memanas menahan gejolak aneh yang hinggap mendadak di dasar hati.

“Sejak kapan emang Kay?”

“Hampir satu minggu yang lalu..”

“Kok gak cerita sama gue?”

“Mar..”

Lelaki itu menaikkan sebelah alis dan menarik jemari tangan Kayna masuk ke dalam genggamannya, “Harusnya bilang aja, gue gak akan ngejauhin lo cuma gara-gara lo udah punya pacar Kay.”

“Mulut lo bilang gitu, tapi pelan-pelan pasti bakal ngejauh kan?”

Marco terdiam, bibirnya lantas tertarik sempurna hingga sebuah senyum meledek tercipta disana dengan kurang ajarnya. “Udah dewasa ya jawaban lo sampe bisa mikir begitu Kay?”

Hening.

Gadisnya itu menunduk dalam dan tidak menanggapi candaan Marco barang sedetik. “Mar, gue bener-bener gak mau jauh-jauhan sama lo.. Sumpah gue gak bisa.”

Marco menghela nafas dan terdiam beberapa saat. Tangannya yang daritadi masih menggenggam jemari Kayna itu bergerak halus demi memberikan kenyamanan untuk gadis itu selagi waktu memang masih rela berputar. “Tapi mulai sekarang lo harus bisa jauh-jauhan sama gue ya Kay..”

“Apa Mar?”

Lelaki itu ingin langsung menjawab, namun pupil yang kian bergetar itu membuktikan adanya keraguan dalam diri yang begitu kuat. Bahkan kedua matanya yang tadi sempat menyala usil itu juga mendadak saja terasa mati akibat tatapan sedih yang tercipta secara tiba-tiba.

“Mar....” Kayna menggoncang pelan tangannya yang masih berada pada genggaman agar lelaki itu lekas menjelaskan apa maksud dari ucapannya barusan.

“Kay, sebenernya gue mau bilang sesuatu sama lo sejak beberapa minggu yang lalu tapi selalu gak punya waktu yang cocok.” Marco menjeda ucapannya sendiri dan menelan saliva dengan susah payah.

“Bilang apa Mar?”

“Mama papa gue putusin buat cerai Kay.”

“Oh?”

“Dan papa ngajak gue pindah balik ke Kanada buat lanjutin studi sekalian nemenin dia berobat disana..”

Shit.

Kayna bisa mendengar umpatan kencang itu menggema di rongga dada ketika mendadak saja keringat dingin menguar dari permukaan kulitnya yang teredam sweater hitam.

Paru-paru yang biasanya menarik oksigen dengan normal itu juga terasa mati dalam sekejap hingga gadis itu merasa sesak nafas bukan main.

Ketakutannya dalam hidup kembali terjadi.

Are you serious Mar?” Kayna bertanya lamat-lamat sementara tangannya yang berada dalam genggaman Marco mulai terkulai lemas.

“Gue sebenernya udah harus berangkat 4 hari lalu, tapi karena gue masih harus liat lo aman dan nyaman buat gue tinggal, gue milih stay disini sampe waktu udah bener-bener tepat. Pesawat gue bakal berangkat besok Kay, jam 5 pagi.”

Kayna menggeleng kuat, matanya benar-benar terasa panas dan siap menumpahkan air mata dalam sekali kerjap.

Seluruh saraf yang harusnya bekerja normal juga mendadak saja hilang kendali, membuat Marco yang memang daritadi melihat pergerakan Kayna itu reflek menumpu kedua pundak gadis itu dengan tangannya sebelum oleng ke samping.

Its okay Kay. Gue pergi cuma 5 tahun kok. Toh sekarang lo udah beneran aman, gak ada yang berani gangguin lo di kerjaan. Gak ada juga cowok yang berani godain lo sembarangan karena udah ada Saka disisi lo. Gue ngerasa udah selesai tugas buat jagain lo dan bisa pergi ikut papa dengan tenang Kay.”

“Mar..” Gadis itu mengelukan namanya dengan sendu dan ngilu yang terdengar amat nyata.

Butiran air mata besar jatuh bersaut-sautan hingga sang pemilik menyandarkan kepalanya pelan pada bahu Marco yang masih ada di hadapannya.

“Jangan kayak gue mau pergi kemana dong Kay.”

“Mar.. Gak mau.. Lo jangan pergi..”

“Basah pundak gue nih Kay, ntar kalo Saka tau lo nyender-nyender gue tengah malem bisa cemburu loh.”

Bukannya terhibur akan candaan Marco barusan, gadis itu malah menangis kian keras hingga air matanya terasa habis dalam sekejap.

“Gue tuh niat gak ngasih tau kalo pacaran sama Saka biar lo gak jauh-jauh sama gue tapi malah sekarang lo mau pergi 5 tahun ke negara orang.. Jahat banget sumpah Mar.”

“Cuma bentar Kay, masih bisa telponan tiap hari kok kita.”

“Gak bisa.”

“Bisa.”

“Gak bisa Mar..”

“Bisa Kayna..”

“MAR GUE GAK BISA.” Teriakan itu keluar lepas dari bibir seakan mewakilkan rasa sesak yang terus datang menghimpit dadanya.

Marco reflek merapatkan duduknya dengan Kayna dan memeluk erat tubuh itu hingga rasa sedihnya menular begitu cepat.

Ucapan Naresh dan Angga beberapa jam lalu bahkan sudah menggema di otaknya, Lo kalo nangis di depan kita gak papa Mar, asal jangan ikut nangis di depan Kayna juga karna sumpah gue gak bayangin gimana pecahnya dia nanti kalo lo joinan nangis kayak di drama-drama.

Hening.

Marco menelan air matanya cuma-cuma dan lanjut menepuk punggung Kayna dengan penuh sayang.

“Kay.. Jangan makin kenceng dong nangisnya.. Kayak lo mau liat gue pergi kemana aja deh.”

“KANADA MAR.”

“Kanada doang bingung.”

“Mar.. Demi apa gue harus cat calling sama siapa tiap mau berangkat kerja kalo gak ada lo? Harus telpon siapa kalo misal gue ada gelut sama orang? Ciara Gideon kalo nyari papi juga harus gue arahin kemana? Terus siapa juga yang bakal gue titipin STMJ pertigaan bank? Siapa juga yang mau makan bakwan pecel gue? Siapa yang bakal nemenin gue pergi ke gereja tiap minggu? Siapa yang bakal ngericuhin gue nitip tolak angin tiap 3 hari sekali? Siapa yang bakal sambat ke gue kalo gak menang balapan? Siapa yang bakal teriak-teriak depan pager tiap sore? Siapa yang bakal nemenin gue nyapu halaman?? Siapa yang nemenin gue kalo lo gak ada Mar?”

“Saka. Ada Saka sekarang Kay.”

“Mar..” Jawaban Marco tersebut sama sekali tidak memuaskan hatinya, yang ada makin terasa berat dan sakit seakan baru saja digilas di penggilingan daging.

“Jangan sedih-sedih gitu ah. Ulang tahun ke 21 nih lo udahan.” Lelaki itu meregangkan sedikit dekapannya karena alarm jam 12 yang berjudul MY BESTIEEEESSSS BIRTHDAY itu baru saja berbunyi.

Lelaki itu lantas mengeluarkan sebuah kotak kaca cantik dari dalam saku jaket dan menyerahkannya ke dalam tangan Kayna.

“I got a birthday present for your special day Kay..”

Gadis itu mengusap air mata yang menurun tanpa henti itu seraya mengelap cairan hidungnya dengan tisu yang ada di atas meja milik Marco.

Open it. I swear lo bakalan suka.”

Kayna menurut dan membuka kotak tersebut lantas membulatkan matanya dengan terkejut.

How how? You loved it? Gue pesen sejak 3 bulan lalu tuh Kay.”

Kayna menganggukkan kepala dan menarik untaian kalung emas berwarna rosegold berbentuk bintang itu keluar dari dalam sana. “Tapi maksud dari angka 251204 di belakang bintang ini apa Mar?”

Bindeng.

Suara Kayna benar-benar bindeng dan tidak semerdu awal ia datang tadi.

Marco tertawa dan tampak mengedikkan bahu dengan pelan, “Cuma tanggal kita kenalan pas gue baru pindah kesini aja sih. Gue inget itu pas natal terus gue umur 5.”

Gadis itu mengangguk samar dan terlihat kembali murung.

“Sini gue pakein.” Marco menarik untaian kalung tersebut dan memasangkannya pada leher jenjang Kayna yang halus.

Detak jantungnya kembali menggila dan darahnya berdesir sepersekian detik padahal mereka berdua sering sekali melakukan skin ship selama 16 tahun.

“Kay..” Marco mendadak memanggil nama gadis itu ketika kalung tersebut sudah terpasang cantik di lehernya.

“Apa Mar?”

“Gue tau lo udah pacaran sama Saka, tapi tetep gue mau bilang ini ke lo.”

Gadis itu mendongakkan wajah dan melihat mata Marco yang malam ini entah kenapa terlihat begitu berbeda.

Tatapan usil itu pergi musnah entah kemana dan digantikan oleh tatapan sayang yang susah dijabarkan dengan kalimat.

“Gue cinta lo Kay. Gue gak tau gimana datengnya rasa ini tapi yang pasti emang gue beneran punya rasa sayang yang lebih sama lo. Tentu aja gue gak pernah nyampein ini supaya hubungan kita gak lepas gitu aja.. Lagian gue juga ragu bisa jalanin hubungan sama lo kalo orang tua gue sendiri aja kepecah sendiri-sendiri.”

“Mar..”

“Kira-kira kalo gue jabarin kayak lo yang bilang love gue harus muter ke cincin saturnus segala, gue bakal bales kalo gue cinta lo dari matahari, lanjut ke merkurius, venus, bumi, mars dan terus jalan sampe berakhir ke pluto dan balik lagi ke matahari karena lo beneran universe gue.”

Kayna menarik nafasnya susah payah mendengar rentetan kalimat panjang yang mengalir deras dari bibir Marco malam ini.

Jantungnya bahkan sempat berdebar beberapa detik mendengar pengakuan itu lolos dari sahabatnya malam ini.

Marco tersenyum dan menepuk puncak kepala Kayna. “Tapi tenang aja Kay, gue gak minta lo jadi apa-apa karna gue cuma mau bilang buat ngerasa plong aja sebelum pergi.”

Gadis itu kembali hening karena perasaan aneh itu muncul lagi ke permukaan hati.

Pergi

Entah kenapa Kayna sungguh benci mendengar kata pergi keluar dari bibir Marco malam ini.

“Mar..”

“Apa Kay?”

“Lo janji bakal bales chat gue tiap hari kan?”

Marco tergelak, “Anjir. Penting banget.”

“Janji duluuuu.”

“Iya janji.”

“Janji bakal telpon tiap hari?”

“Janji Kay.”

“Janji bakal pulang dalam 5 tahun dan gak keterusan enak sendiri di Kanada?”

Kali ini Marco benar-benar melepas tawanya. “Janji Kayna.. Gue janji bakal pulang, karena lo, jadi atau gak jadi pendamping gue, adalah satu-satunya rumah favorit yang ada di daftar hidup gue.”

“Oke, gue pegang janji lo.” Kayna berucap dan kembali memeluk Marco lebih erat daripada sebelumnya. “Gue mau gini terus sampe lo berangkat subuh nanti..”

“Nempel terus kayak cicak lah Kay.”

“Kalo gede kayak gue namanya tokek gak sih?”

Sial.

Candaan miris dan garing yang tumben keluar dari keduanya itu benar-benar menambah pilu keadaan sehingga Marco dan Kayna berakhir diam dan sesekali mengusap air mata yang diam-diam mengalir deras.

THEIR NEXT LEVEL.


Saka tengah mendudukkan pantat dengan posisi kaku dan raut kosong di kursi besi teras Derry seorang diri. Punggungnya yang masih lebam itu masih tersisa dan terasa kian nyeri terkena tusukan liar udara dingin pagi hari.

Lelaki itu perlahan mengernyit ketika pergelangan kakinya yang bertambah sakit akibat digunakan untuk berlari semalam itu tidak sengaja terbentur dinding tinggi, lantas memutuskan untuk pergi dari teras dan kembali masuk ke dalam rumah demi melihat kondisi Kayna yang menurutnya sungguh sangat mengenaskan hari ini.

Sejak semalam gadis itu sadar dari pingsan, raut wajahnya yang muram dan pandangan mata kosongnya yang begitu terlihat menyedihkan itu tidak bisa disembunyikannya barang seinci.

Bahkan air mata yang kian mengering dan terkuras habis itu seakan masih ingin keluar kala tangan Saka menarik tubuh gadis itu masuk ke dalam pelukannya malam tadi.

Benar-benar waktu gelap yang panjang.

Dengan kedua manusia yang terduduk diam bersama pikirannya masing-masing sementara tangan bertaut nyaman satu sama lain. Rasa rindu yang belum tersampaikan di antara keduanya itu juga terpaksa ditepis menjauh mengingat kondisi Kayna yang kian terlihat seperti mayat hidup duduk di samping tubuh.

Saka perlahan menundukkan kepala muram. Matanya yang mengawang itu tembus melewati pot-pot tanaman milik ibunda Derry yang terawat mulus di dekat pintu masuk yang masih saja terasa sepi seperti sebelumnya.

Maklum, orang tua Derry memang sudah berangkat bekerja dan teman-temannya yang semalam ikut menginap bersamanya itu juga masih terlelap di kamar belakang.

Pikirannya kacau. Bergerak jauh menelusur setiap kalimat yang Kayna ucapkan padanya tadi malam, tentang segala kekacauan yang terjadi di dalam pesta dan tentang bagaimana sepupu yang selama ini dianggapnya jahat itu membuka suara demi mengangkat kembali namanya.

Hening. Saka membuang nafas pelan dan memutuskan untuk menyambung langkah menuju kamar tamu Derry yang berada di tengah ruangan.

Dengan perlahan diketoknya pelan tempat yang dipakai oleh Kayna itu hingga akhirnya sang peminjam mempersilahkannya masuk ke dalam.

Saka menelan ludahnya ragu, lantas bergerak memasuki kamar dan membiarkan pintunya terbuka lebar.

“Lo mau pulang sekarang Kay?” Lelaki itu bertanya pelan ketika melihat Kayna tengah sibuk mengemas jepit-jepit salon yang kemaren menempel di kepalanya ke dalam tas kecil dengan kondisi luar yang terlihat sudah rapi.

Gadis itu menatapnya, lalu tersenyum simpul dan mengangguk. “Iya. Makasih banyak ya Saka. Gue nggak nyangka setelah lo ngilang hampir seminggu dateng-dateng malah jadi penyelamat kepala gue.”

Lagi, Kayna masih sempat-sempatnya melontar canda disela kesedihannya.

Saka hanya diam dan tidak memberikan respon apa-apa sementara kakinya mulai berlutut di depan tubuh Kayna yang kini tengah tenggelam di dalam hoodie putih tulang miliknya dengan tatap sendu yang belum menghilang.

Tangan lelaki itu bergerak pasti memegang kedua pundak Kayna dengan mata yang menatap fokus dan lurus ke depan. “Kay, please lo kalo masih sedih nangis aja nggak papa.. Nggak usah sok tegar kalo misalnya lo nggak kuat. Nangis itu nggak bikin dosa kok. Semua orang berhak buat nangis. Please jangan sok kuat di depan gue. Sebaliknya kalo lo emang mau marah dan ngelampiasin semuanya, ya keluarin aja. Gue janji bakal selalu denger dan pinjemin bahu gue buat lo selama gue emang masih ada di muka bumi.”

Kalimat panjang yang terlontar tegas itu spontan membuat Kayna tertegun. Matanya yang sebening kaca kembali memerah terisi air mata lengkap dengan bahu yang kian merosot akibat goyah hati.

Lelaki itu berhasil membuatnya merasa penting dan begitu diutamakan. Juga membuatnya merasa pantas disebut sebagai seorang wanita yang layak dilindungi dan dijaga.

Dengan perlahan dihapusnya sendiri air mata yang hampir saja keluar itu demi menatap fokus manik Saka yang masih melihat lurus ke arahnya dengan intens.

Keduanya terdiam dengan posisi tidak berubah sedikitpun. Seakan menikmati detik-detik yang terus bergerak diiringi oleh irama indah masing-masing jantung yang kian keras berdetak.

“Kay, gue tau ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin masalah lain. Tapi apa lo mau putusin gue sekarang?” Saka berucap dengan suara bergetar dipupuk rasa canggung.

“Maksudnya?”

Lelaki itu hanya diam, membiarkan jantungnya yang kian menggila itu untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan ucapannya.

“Gue mau putus dari hubungan drama kita kemaren Kay. Instead, ayo pacaran sama gue beneran mulai detik ini. Lo mau kan, percayain hati ke gue?”

Kayna reflek membulatkan matanya sempurna. Bahu dan kakinya yang tadi lemas itu seketika juga ikut menegang kaku.

“Apa?” Tanyanya bodoh.

Saka lagi-lagi hanya terdiam tanpa pernah melepas sedetikpun pandangan matanya dari mata Kayna. Wajah cantiknya yang berada dekat di depan tubuh dengan rambut panjang yang masih menguarkan aroma shampoo berbau cokelat bercampur mint itu benar-benar memabukkan pikiran.

Saka lantas tersenyum lemah dan menggeleng pelan, lalu mulai mendekatkan tubuh dan mengecup pipi merah Kayna yang sudah sepenuhnya memanas itu dengan gerakan ringan.

Gadis itu reflek terkejut, tangannya yang terkulai bahkan sudah mulai meremat sprei akibat kecupan Saka yang kini tengah bergeser perlahan menuju bibirnya.

Jantung kedua manusia itu kembali menari. Tangan Saka yang tadinya berada di pundak Kayna itu bergerak turun menggenggam lembut tangannya yang menegang kaku seraya sesekali mengelus halus.

Ciuman yang aneh, tidak dilakukan oleh dua orang profesional melainkan oleh kedua amatir yang sama-sama melepas firstnya satu sama lain.

Perlahan Kayna memejamkan matanya. Mulai menerbangkan rasa kaget yang ia dapat dan menikmati rasa rindu yang kini menguar lepas bersamaan di dalam sana.

Pacu jantung yang turut menggila menjadi sensasi tersendiri bagi keduanya hingga akhirnya Saka melepas ciuman tanpa aba-abanya itu dengan perlahan.

Ditatapnya dekat mata Kayna dengan lekat, lantas mengucapkan kalimat yang mampu membuat gadis itu kehilangan kewarasan di tengah masalah yang masih belum usai itu dalam sekejap.

“Gue kangen lo banget Kayna.. Gue harap lo juga ngerasain hal yang sama dan mau berbagi keberatan lo di bumi ini karena baru kali ini gue ngerasain bener-bener jatuh hati di tempat yang tepat. Biarin gue jaga lo semampu gue selama masih bisa dan masih sempet. Lo mau kan, Kay?” Lelaki itu bertanya pelan di samping telinga, membuat Kayna yang kini tengah memegangi bibir basahnya dalam hening itu kian melongo terbang dan lupa jalan untuk turun kembali ke bumi.

Gadis itu lantas mengangguk ringan mengiyakan dan menundukkan wajahnya yang kali ini benar-benar panas terbakar.

ABOUT HIS FEELING.


Disinilah lelaki itu berdiri sekarang. Dengan setelan jas hitam lengkap dengan pantofel mengkilap dan jam tangan yang melingkar mulus di pergelangan tangan kanannya.

Pukul 7.20 malam. Saka terlambat hadir sekitar satu jam dari waktu yang tertera di dalam undangan. Tapi tidak apa, toh dia hadir di pesta ini hanya untuk menemui Kayna, gadis beraroma cokelat yang sudah sangat berhasil mencuri seluruh sudut hatinya.

Saka tersenyum ringan seraya mematut diri di depan pintu kaca. Ingin sekedar memastikan bahwa memar yang perlahan memudar itu tidak terlihat di bagian kulit tubuh yang terbuka karena concealer yang ia kenakan terkadang hilang tergores oleh permukaan kain baju.

Mengangguk puas karena dirasa tampilannya sudah sempurna, lelaki itu segera melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang pesta yang dijaga cukup ketat setelah menunjukkan digital invitation kepada security.

Saka membawa langkah besarnya bergerak menjauhi pintu, lantas mengedarkan pandangannya jauh dari sudut ke sudut agar bisa menemukan dimana posisi Kayna sekarang.

Belum jauh langkahnya berpindah, Saka sudah dikejutkan oleh teriakan kencang seorang gadis berambut sebahu yang rupanya hampir mirip dengan Kayna di depan sana.

Gadis itu nampak frustasi, lengkap dengan rambut yang sepertinya baru saja ia tarik sendiri dan raut wajah yang terlihat begitu depresi di saat bersamaan.

Saka mengerutkan alis bingung, lalu memutuskan untuk berhenti bergerak dan melanjutkan aktivitasnya sendiri mencari sosok Kayna yang akhirnya ia temukan tengah berdiri kaku di ujung ruangan.

Gadisnya menangis. Rambut panjangnya yang terurai cantik itu bahkan tidak bisa menutupi sedikitpun raut wajahnya yang terlihat kaget dan sendu di bawah temaram cahaya lampu pesta.

Ada apa? Saka membatin singkat seraya menatap satu persatu wajah tamu yang juga terlihat sama terkejutnya dengan Kayna saat ini. Bahkan suara bisikan keras mereka yang tengah menyebut nama Kayna berulang kali seraya menatapnya terang-terangan membuat jantung Saka berdetak kencang tanpa alasan.

“Ya ampun kasian banget, gak nyangka Gavin meninggal digituin sama keluarganya sendiri.”

“Salut sama anaknya Gladion juga, dia berani speak up di acara terbuka kayak gini gak takut sama sekali.”

“Anaknya Gavin tadi emang ada di pesta, aku dikenalin sama Christian juga. Namanya Kayna Calandra kan?”

“Yang cantik berdiri di pojokan itu?”

“Iya. Yang rambutnya panjang sehat, banyak bapak-bapak ngelihatin dia juga tadi. Emang turunan Calandra auranya gak ada yang main-main.”

“Eh eh tolongin! Anaknya pingsan!!!”

Bagai disentak oleh kilat petir, Saka yang masih termangu mendengar percakapan kiri-kanan itu segera berlari kencang mendekati Kayna yang hampir saja ambruk menatapkan kepala di lantai.

Suara teriakannya yang tengah mengelukan nama Kayna dan ketangkasannya dalam menangkap tubuh gadis itu juga membuat sensasi baru di dalam pesta. Namun siapa yang peduli?

Kayna yang selama ini ia kenal begitu kuat dan bermental baja itu ambruk lemas di dekapannya. Air mata yang melumer keluar itu bahkan juga belum sempat dihapus oleh pemiliknya.

Hati Saka spontan ngilu dan matanya memerah dalam sekejap. Tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan betapa cantiknya rupa Kayna yang berada dekat dalam pelukan ketika suasana runyam terjadi kala ini.

Pekik kaget dan kericuhan akibat kakek Kayna yang juga terkapar di depan sana membuat kondisi pesta semakin tidak karuan.

Dengan cepat lelaki itu menarik tubuhnya sendiri agar bangkit berdiri dan segera membawa Kayna yang pingsan itu keluar dari ruangan menuju mobilnya yang terparkir di basement hotel.