waterrmark

SOMETHING IN BETWEEN.

/warning : idk, but this one is a (very) sensitive naration.


Gadis bernama lengkap Kayna Sherin Calandra yang merupakan anak sulung dan cucu pertama di keluarga Calandra ini tengah berdiri di samping meja minuman dengan mata elangnya yang mengedar tajam ke seluruh penjuru ruangan.

Pesta yang ramai, lengkap dengan iringan musik lembut dan tamu-tamu kelas atas yang beberapa diantaranya merupakan client besar dari GNC. Teman-teman almarhum papanya yang kini juga berkawan dengan om dan tantenya itu juga terlihat beberapa. Sesekali mereka menyapa ramah dan bertanya perihal bagaimana kehidupan Kayna sekarang.

Gadis itu menunduk, menatap lantai marmer aula hotel yang dipesan untuk semalam penuh itu dengan perasaan campur aduk.

Antara aneh, sedih, asing, marah, dan kecewa. Semua itu terasa berkutat di satu waktu sehingga membuat dadanya seakan sesak kekurangan oksigen.

Pemandangan oma dan opanya yang terlihat begitu bahagia di meja utama juga berhasil mengiris hatinya.

Tidak adakah rasa rindu mereka pada menantu dan cucunya walau hanya sedikit? Setidaknya jika bukan untuk dia dan mamanya adalah untuk kedua cucu bungsu mereka yang masih balita. Bahkan untuk sekedar menelpon bertanya kabar atau menanyakan tentang perkembangan Ciara dan Gideon-pun tidak pernah mereka lakukan.

Kayna meremat kasar dress hitam panjangnya kala merasa cairan matanya hampir tumpah, lalu meraih segelas minuman alkohol dan menegaknya habis dalam sekali tegukan.

Rasanya panas, tapi juga begitu manis dan benar-benar menyegarkan pikiran di saat bersamaan. Mungkin kali ini tantenya sudah memilih wine dengan kualitas tinggi supaya bisa membangkitkan energi di dalam pesta.

Kayna mendesis pelan kala gelas ketiga sudah ia jajar kosong di depan mata, lantas melangkahkan kaki menjauh dari spot itu sebelum berakhir mabuk dan mempermalukan diri sendiri di acara tersebut.

Dalam perjalanan kembali menuju meja keluarga Ananta kepala Kayna berulang kali menunduk sopan karena sapaan beberapa orang yang tadinya sudah berhasil dikenalkan kepadanya oleh pak Tian yang memang sangat handal berbicara.

Memang masih belum semuanya, tapi entah kenapa ia sudah merasa cukup dan dianggap “ada” oleh mereka. Bahkan mendengar nama almarhum papanya yang dikenal baik sudah menjadi kepuasan tersendiri bagi gadis itu.

Kayna baru saja akan membelokkan diri di tikungan sudut ruangan ketika mendadak saja matanya menangkap pergerakan Kaela, sepupunya, yang tengah berjalan tepat di sebrang mata.

Dua saudara yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan itu saling menatap kaget dan canggung. Lengkap dengan mata keduanya yang terlihat bingung, seakan tampak ingin menyapa namun dilingkupi rasa asing sehingga terpaksa urung.

Hening yang diciptakan keduanya terasa cukup lama seakan orang-orang yang berlalu-lalang tidak nampak terlalu penting detik ini.

Kayna sudah hendak melayangkan sebuah sapaan ketika akhirnya Kaela memutuskan untuk menunduk dan berjalan menjauh kembali menuju meja utama.

Lagi, perasaan tidak enak itu kembali menghampiri diri ketika melihat Kaela yang tengah disambut hangat oleh oma opa-nya seakan belum pernah bertemu setelah sekian ratusan abad.

Tentu bukan iri yang Kayna rasakan, hanya saja titik kecewa itu sudah terlalu lama berkutat dan terpendam dalam hati lalu tergores begitu saja malam ini sehingga akhirnya butiran air mata lolos sempurna dari mata cantik gadis itu.

Kayna menggeleng cepat dan lekas mengusap area bawah matanya, berusaha menepis hal tersebut jauh-jauh dan memilih untuk melarikan diri ke toilet agar dapat menenangkan diri.

Namun belum jauh kaki gadis itu bergerak, om dan tantenya yang terlihat begitu mesra itu berjalan naik ke atas panggung dan mulai menyapa kembali para tamu agar mereka duduk menikmati acara potong kue yang sebentar lagi akan berlangsung.

Pasangan yang nampak bahagia itu saling bertaut jari ketika akhirnya berhasil memotong besar satu bagian kue dan menyerahkannya kepada orang tua masing-masing.

Para tamu reflek bertepuk tangan ricuh dan menantikan kepada siapakah potongan kedua akan diberikan.

Kedua orang pemilik pesta itu terlihat gugup didepan sana, namun seakan telah meyakinkan satu sama lain mereka akhirnya memutuskan untuk membuka suaranya kembali.

Dengan senyum lebar yang terpasang di wajah, tante Kayna yang malam ini terlihat begitu anggun itu menyerahkan slice kue kedua kepada Kaela, anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. “Potongan kedua ini kami berikan untuk anak perempuan kami, Mikaela Sheraneena Calandra, yang di usia muda sudah mau berbaik hati membantu orang tuanya untuk mengelola pabrik dengan sangat bijaksana.”

Deg.

Jantung Kayna terasa seakan berhenti berdetak detik itu juga. Matanya yang tadi baru saja dipaksa untuk tidak menangis kembali panas tersulut emosi. Bahkan kedua tangannya yang harusnya kaku kedinginan itu mendadak juga ikut terasa berat dan begitu ingin ia hantamkan ke meja kaca terdekat.

Gadis itu sudah menarik nafas berat dan ingin maju mendekat ketika matanya menatap Kaela yang tiba-tiba saja membanting piring kaca yang baru diberikan kepadanya itu disertai teriakan kencang yang begitu menusuk indra pendengaran.

Sepupunya berjongkok kaku di depan sana seraya menutup kedua telinga dengan ekspresi aneh yang tidak pernah Kayna lihat sebelumnya.

Pesta yang mulanya begitu ramai tersebut mendadak senyap karena Kaela yang kembali berteriak menolak uluran tangan oma dan opa yang hendak membantu bangkit berdiri.

Raut wajah gadis itu begitu tidak bisa diprediksi, dan sedetik sebelum kedua orang tuanya melangkah mendekat, Kaela sudah menghadang jalan mereka dengan sebuah ungkapan yang mampu membuat tubuh Kayna kehilangan tumpuannya secara sempurna.

“Mama sama papa gak boleh gitu terus sama Kayna, selama ini Kaela selalu diem dan gak pernah minta apa-apa sama kalian tapi kenapa kalian bilang ke para tamu kalo Kaela yang ngurusin pabrik? Kaela gak pengen jadi tontonan, tapi ini udah keterlaluan. Mama dan segala ambisi mama buat dapetin uang dari perusahaan yang udah jelas kepunyaan om Gavin, dan papa yang selalu aja ikut sama keputusan jahat mama.. Kaela gak tahan, dikira Kaela juga gak tau kalo kecelakaan yang dialami sama om Gavin juga ada hubungannya sama mama? Kaela denger mama telpon nyuruh orang buat ngikutin dan nyelakain om Gavin waktu perjalanan tapi ternyata meleset dan akhirnya orang itu juga ikut meninggal ditempat. Kaela tau ma, sumpah Kaela tau, dan Kaela yakin papa juga tau.. Kaela terpaksa ngomong gini karena ini udah ngelewatin batas banget, terlebih ada Kayna juga di acara ini. Mau ditaruh mana lagi muka Kaela ma, pa? Seakan selama ini Kaela udah jahat banget ditambah mau ngaku-ngaku kerjaan ini Kaela yang ngurusin padahal Kaela sekali aja gak pernah nginjek kaki di pabrik? Kaela masih punya hati demi apa..”

Hening.

Kayna menelan ludah susah payah mendengar ucapan yang lolos panjang tersebut dan spontan berpegang kaku pada tembok disampingnya.

Pandangan semua orang dalam pesta tertuju sempurna kearahnya tanpa diminta. Namun bukan merasa spesial sesuai yang pak Tian harapkan sebelum ia masuk ke dalam pesta, kali ini Kayna merasakan sebuah kutuk karena harus diperhatikan akibat berita dadakan tersebut dengan raut terkejut dan iba serentak seperti itu.

Dunianya mendadak gelap.

Terasa begitu seram dan sangat mencekam sehingga detik berikutnya yang ia ingat adalah suara-suara dalam ruangan yang menjadi samar lengkap dengan pandangan yang mendadak mengabur sempurna.

Air mata yang akhirnya bisa mengucur deras itupun menjadi akhir dari kehadirannya di pesta malam ini.

Kali terakhir sebelum kesadarannya hilang total, Kayna perlahan mendengar sebuah suara yang begitu ia rindukan meneriakkan namanya, disusul dengan tubuhnya yang ditangkap sebelum tergeletak jatuh di atas lantai.

Saka. Itu jelas suara milik Saka.

Entah pikirannya memang sudah kacau atau terlampau kaget hingga bisa berhalusinasi seperti itu, tapi satu hal yang ia tau adalah rasa hangat yang ia dapatkan detik ini terasa sangat nyata dan nyaman.

Dengan begitu, untuk pertama kalinya di 20 tahun ia hidup, Kayna-pun kehilangan kesadaran dengan air mata yang belum mengering sepenuhnya.

SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan, beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping badan.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu memang benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika ia dibawa kabur, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Mana yang kemaren itu parah banget gak kayak sebelum-sebelumnya. Demi apa masih untung lo gak sampe patah tulang Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu reflek kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suara seraya mengernyit kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

“Enggak, cuma mau bilang aja kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya kaku.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar di atas pangkuan.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan yang masih belum semuanya dibuka.

“Temen-temen lo, pada nyariin.” Ia menjelaskan seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Deg.

Mendengar nama Kayna disebut, mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama mata yang mendadak memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas menjawil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo mirip orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

Hening.

Saka hanya diam sembari matanya mengawasi detik jarum jam yang terus berputar dengan pandangan yang kian mengabur.

“Dim. Cewek itu, gue suka.” Tutur lelaki itu secara tiba-tiba.

“Siapa? Kayna?”

“Hm.. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue.”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue mau bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas mengganti topik dengan mulai menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Tentang mereka yang nanyain kabar gue jawab aja kalo lo gak tau apa-apa ya Dim.”

“Ck. Selalu aja begitu. Lo kenapa sih gak mau cerita sama mereka Sak?”

“Ya gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas panjang aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue. Jadi ya bener mereka, ini semua salah gue.”

Dimas mulai berdecak kesal, “Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini tuh bukan kesalahan kayak kata mereka. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas sebelah Dimas duduk. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk dengan setengah cemberut karena lagi-lagi Saka berhasil merubah topik pembicaraan mereka. “Gue bakal recover semua data lo sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin, and please lo gak usah nolak jajanan gue..”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan dalam hati.

Tentang rasa rindunya pada Kayna yang kian memberat itu biarlah ditahannya sebentar hingga ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

260821 ; waterrmark.

SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan, beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping badan.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu memang benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika ia bawa kabur, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Mana yang kemaren itu parah banget gak kayak sebelum-sebelumnya. Demi apa masih untung lo gak sampe patah tulang Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati Saka reflek kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suara pelan seraya mengernyit kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

Saka menggeleng ringan, “Cuma mau bilang kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya kaku.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar di atas pangkuan.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan yang masih belum semuanya dibuka.

“Temen-temen lo. Nyariin semua.” Ia melanjutkan seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Mendengar nama Kayna disebut, mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama matanya yang kembali memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas memanggil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa singkat, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo kayak orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

Saka mengangguk, “Cewek itu, gue suka banget.”

“Kayna?”

“Iya. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue..”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue mau bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Temen-temen gue kalo nanyain kabar bilang aja lo gak tau Dim.”

“Selalu begitu kenapa sih? Mereka baik banget sama lo sumpah Sak.”

“Gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo mah gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue juga. Jadi ya bener mereka, salah gue.”

“Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini itu gak salah. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk, “Gue recover semua datanya sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin and please lo gak usah nolak.”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan.

Tentang rasa rindunya pada Kayna biarlah ditahan sebentar sampai ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

260821 ; waterrmark.

SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan, beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping badan.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika ia bawa kabur, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Masih untung lo gak pernah patah tulang sumpah Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suaranya pelan seraya mengernyit pelan kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

Saka menggeleng, lalu tersenyum singkat. “Cuma mau bilang kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya pelan.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar dari atas meja.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan dari Chandra, Arka, Derry, Marco, Jevan dan Kayna yang masih belum semuanya ia buka.

“Temen-temen lo. Nyariin semua.” Lanjut Dimas seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama matanya yang kembali memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas memanggil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa singkat, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo kayak orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

“Cewek itu, gue suka.”

“Kayna?”

“Iya. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue..”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Temen-temen gue kalo nanyain kabar bilang aja lo gak tau Dim.”

“Selalu begitu kenapa sih? Mereka baik banget sama lo sumpah Sak.”

“Gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo mah gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue juga. Jadi ya bener mereka, salah gue.”

“Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini itu gak salah. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk, “Gue recover semua datanya sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin and please lo gak usah nolak.”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan.

Tentang rasa rindunya pada Kayna biarlah ditahan sebentar sampai ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

260821 ; waterrmark.

SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan karena beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping badan.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika dibawa kabur olehnya, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Masih untung lo gak pernah patah tulang sumpah Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suaranya pelan seraya mengernyit pelan kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

Saka menggeleng, lalu tersenyum singkat. “Cuma mau bilang kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya pelan.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar dari atas meja.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan dari Chandra, Arka, Derry, Marco, Jevan dan Kayna yang masih belum semuanya ia buka.

“Temen-temen lo. Nyariin semua.” Lanjut Dimas seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama matanya yang kembali memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas memanggil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa singkat, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo kayak orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

“Cewek itu, gue suka.”

“Kayna?”

“Iya. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue..”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Temen-temen gue kalo nanyain kabar bilang aja lo gak tau Dim.”

“Selalu begitu kenapa sih? Mereka baik banget sama lo sumpah Sak.”

“Gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo mah gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue juga. Jadi ya bener mereka, salah gue.”

“Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini itu gak salah. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk, “Gue recover semua datanya sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin and please lo gak usah nolak.”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan.

Tentang rasa rindunya pada Kayna biarlah ditahan sebentar sampai ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

260821 ; waterrmark.

SIMILAR FATE.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus itupun juga nampak kusut berantakan karena beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping tubuh.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika dibawa kabur olehnya, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Masih untung lo gak pernah patah tulang sumpah Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suaranya pelan seraya mengernyit pelan kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

Saka menggeleng, lalu tersenyum singkat. “Cuma mau bilang kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya pelan.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar dari atas meja.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan dari Chandra, Arka, Derry, Marco, Jevan dan Kayna yang masih belum semuanya ia buka.

“Temen-temen lo. Nyariin semua.” Lanjut Dimas seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama matanya yang kembali memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas memanggil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa singkat, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo kayak orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

“Cewek itu, gue suka.”

“Kayna?”

“Iya. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue..”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Temen-temen gue kalo nanyain kabar bilang aja lo gak tau Dim.”

“Selalu begitu kenapa sih? Mereka baik banget sama lo sumpah Sak.”

“Gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo mah gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue juga. Jadi ya bener mereka, salah gue.”

“Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini itu gak salah. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk, “Gue recover semua datanya sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin and please lo gak usah nolak.”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan.

Tentang rasa rindunya pada Kayna biarlah ditahan sebentar sampai ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

Saka.

Lelaki bernama lengkap Saka Leonardus Hindrawan yang lebih kerap dikenal dengan nama Saka Hindrawan itu tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar ruang tengah milik Dimas malam ini.

Matanya nampak merah, dengan kantung hitam yang kian membengkak dan terlihat jelas di bawah terangnya lampu putih ruangan.

Rambutnya acak-acakan. Kaos biru langit yang harusnya terpasang mulus juga nampak kusut berantakan karena beberapa titik diantaranya menunjukkan bercak-bercak merah darah yang merembes keluar dari luka tubuh yang masih belum mengering sempurna.

Pergelangan kaki kirinya yang terbebat perban putih juga terlihat tidak kalah mengenaskan karena sudah kecoklatan lagi padahal masih baru saja beberapa jam lalu ia ganti dengan yang baru.

Lelaki itu sontak mendesis kuat ketika merasa pandangannya berkunang-kunang dan kian berputar, lantas menyenderkan sebagian berat tubuhnya ke dinding abu-abu muda yang berada disamping tubuh.

Sudah berapa hari terakhir ini kepalanya terasa ingin pecah dan tubuhnya remuk semua. Kulit tangan dan punggung yang membiru akibat hantaman keras itu juga masih belum kunjung kembali normal.

Gila.

Semua situasi ini benar-benar gila.

Ponsel utuh yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu itu bahkan masih setia tergeletak hancur di atas nakas akibat bantingan kuat keluarganya dan sama sekali belum sempat disentuhnya.

Entah ada atau tidak orang luar yang mencari keberadaannya meski sekedar untuk menanyakan kabar atau memberikan pekerjaan untuknya.

Saka mendesah berat. Suara teriakan dan makian yang selalu menggema memenuhi ruangan itu mendadak saja kembali menghunjam pikiran, membuat lelaki itu memejamkan mata dan meremat kasar rambutnya karena halusinasi sesaat yang tidak kunjung ada habisnya.

Tragis. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan situasi Saka saat ini.

Lelaki yang nampak selalu sempurna dan tanpa cacat sedikitpun itu benar-benar terlihat berantakan dan kacau di setiap sisi.

Dentuman pintu akibat Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi itu bahkan membuatnya mengerjap kaget karena teringat pukulan kencang yang kerap kali dilayangkan kepadanya ketika beberapa orang rumah muak melihat kehadirannya.

“Luka punggung lo masih belum kering Sak, mending lo bolongin aja deh kaosnya. Apa telanjang aja lah panas juga ntar ACnya gue matiin biar lo gak masuk angin.” Suara Dimas yang terlontar di udara itu tiba-tiba masuk menelisik telinga Saka yang sempat berdengung disertai dengan tepukan ringan pada pundaknya yang tau-tau saja sudah basah terkena keringat dingin.

Sepupu Saka yang hanya lebih tua beberapa tahun diatasnya itu benar-benar selalu ada jika suatu hal buruk terjadi pada dirinya.

Mulai dari berbagi tempat tinggal dan berbagi pakaian karena Saka tidak sempat mengambil hal-hal tersebut ketika dibawa kabur olehnya, ataupun merawat dan turut menghadang, melawan dia yang bertahun-tahun kerap memukuli Saka tanpa belas kasih.

“Masih sakit lo ya? Mau gue bantu olesin salep lagi gak?”

Saka meringis, lantas menggeleng. “Gak usah Dim, nanti gue sendiri aja sekalian bersih-bersih badan.”

“Lo tuh selalu aja nolak pertolongan, kemaren-kemaren kalo lo gak gue bawa juga pasti udah mati di rumah oma. Udah berapa kali dalam 19 tahun lo hidup selalu aja berakhir kayak gini? Masih untung lo gak pernah patah tulang sumpah Sak.” Dimas mengomel panjang lebar dan mendudukkan diri di samping tubuh Saka yang kini juga tengah terduduk kaku karena tidak bisa menyender sembarangan.

Hati lelaki itu kelu menyadari bahwa Dimas yang selalu menolongnya ini adalah anak tunggal dari kembaran papanya yang terkadang juga turut serta dalam hal menyiksa tubuh dan mentalnya.

“Dimas..” Saka membuka suaranya pelan seraya mengernyit pelan kala sikutnya tidak sengaja mengenai pinggiran kursi.

“Apa Sak? Lo mau ngambil minum?”

Saka menggeleng, lalu tersenyum singkat. “Cuma mau bilang kalo om Arya pasti bangga punya anak baik kayak lo.”

Dimas mengedikkan bahunya singkat dengan sok bergaya sembari membusungkan dada. “Jelas bangga lah, sifat gue nurun 100% dari dia nih Sak hahaha.”

Saka hanya balas tersenyum miris dan menganggukkan kepalanya pelan.

“Eh tapi tadi gue mau bilang sesuatu sama lo Sak.” Dimas berucap ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar liar dari atas meja.

“Apa?”

Sepupu Saka tersebut hanya diam dan tangannya mulai menunjukkan layar ponsel yang menyala dengan rentetan pesan dari Chandra, Arka, Derry, Marco, Jevan dan Kayna yang masih belum semuanya ia buka.

“Temen-temen lo. Nyariin semua.” Lanjut Dimas seraya menarik kembali ponsel dari hadapan Saka. “Dan dari semua chat yang masuk gue cuma bingung, Marco sama Kayna ini siapa.. Demi apa gue gak pernah tau.”

Mata Saka reflek mengerjap cepat.

Kayna.

Gadis itu, bagaimana kabarnya?

Dengan perlahan ditelannya kasar ludah bersama matanya yang kembali memerah menahan gejolak aneh yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

Hati yang sempat tenang beberapa saat itu juga mendadak bergetar seakan menemukan detak iramanya kembali.

Begitu terasa hidup, namun juga menyesakkan disaat bersamaan.

“Sak..” Dimas memanggil pelan.

“Hm?”

“Kayna ini cewek gila yang pernah lo ceritain ngaku-ngaku jadi pacar lo di depan temennya?”

Saka tertawa singkat, lalu mengangguk. “Ya.”

And wow...”

“Apa?”

Dimas menggeleng takjub, “Setelah tiga hari lo kayak orang depresi akhirnya bisa ketawa juga..”

“Cewek itu, gue suka.”

“Kayna?”

“Iya. Orangnya lucu, nasibnya juga kurang lebih sama kayak gue..”

“Oh?”

Saka mendesah berat, “Dia cewek pertama yang berhasil gedor hati gue, juga cewek pertama yang diem-diem nawarin kelingking biar gue bagi beban sama dia.”

Dimas mendengarkan ucapan sepupunya dengan diam dan sesekali menimpali dengan dehaman pelan tanda ia masih menyimak.

“Gue pengen jagain dia, tapi kayaknya juga gue bakalan gak becus ya Dim?”

“Apaan omongan lo?”

Saka mengedikkan bahu pelan, lantas menunjuk ponsel Dimas dengan lirikan matanya. “Temen-temen gue kalo nanyain kabar bilang aja lo gak tau Dim.”

“Selalu begitu kenapa sih? Mereka baik banget sama lo sumpah Sak.”

“Gak papa. Cuma gue rasa emang gak perlu buat dibahas aja. Toh nanti kalo luka ini lumayan kering juga gue bakal muncul lagi ke kampus.”

Dimas menelan ludah dan menundukkan kepalanya, “Polisi mau gak sih, nangkep opa-opa tukang siksa? Atau minimal dokter jiwa ngambil oma biar gak diem-diem mau bunuh diri di dalem rumah?”

Saka mengerutkan alis, “Lo mah gak boleh gitu Dim.. Opa jadi begitu kan karna khawatir sama oma. Oma juga jadi gitu karena salah gue juga. Jadi ya bener mereka, salah gue.”

“Lo tuh gak salah apa-apa Sak.. Udah berapa kali gue bilang kalo lo gak pernah salah. Kelahiran lo di dunia ini itu gak salah. Demi apa gue sampe bosen ngomongnya.”

Saka terkekeh ringan, kemudian menunjuk ponselnya sendiri yang pecah itu di atas nakas. “Gue masih belum bisa nyetir mobil, hp gue, bisa lo urus datanya kan?”

Dimas mengangguk, “Gue recover semua datanya sekalian beli yang baru. Kali ini biar gue jajanin and please lo gak usah nolak.”

Saka hanya memijat pelipisnya ringan dan terpaksa mengangguk mengiyakan.

Tentang rasa rindunya pada Kayna biarlah ditahan sebentar sampai ia siap bertatap muka kembali esok nanti.

TRUTH OR DARE.

Kayna tengah berdiri sembari menyandarkan punggung di dekat pintu masuk studio demi menunggu pesanan susu yang baru saja ia minta kepada kepala dapur beberapa menit yang lalu.

Mata gadis itu tak henti menatap ke arah Saka yang kini tengah berjalan menuju area ruang duduk dengan kaki terseok.

Aneh. Saka aneh.

Kayna kembali teringat beberapa jam lalu ketika ia memberikan sebuah outfit dengan setelan minim dan langsung Saka sanggah begitu saja,

Outfit itu buat terakhir aja gak papa ya Kay? Nanti habis gue dari toilet kita langsung foto pake yang itu. Katanya entah karena apa.

Kayna kembali terdiam dan memikirkan keheningan yang Saka berikan hari ini, lelaki yang mudah tersenyum dan sering menyapa orang sekitar itu terlihat begitu muram dan kusut.

Wajah tampannya yang biasa terlihat cerah dan penuh tawa itu berubah total, tidak nampak seperti Saka Hindrawan yang biasa Kayna kenal.

Seharusnya gadis itu tau perubahan Saka sejak kemarin sore ketika mereka berdua berjalan beriringan di mall. Lelaki itu kerap mengernyit kesakitan kala beberapa perempuan menyenggol tangannya.

Aneh. Sekali lagi Saka terlihat aneh.

Beberapa bulan mengenal lelaki itu baru kali ini Kayna menyadari bahwa Saka tidak pernah sekalipun menceritakan kehidupan pribadinya, juga tidak sedikitpun ia mengeluarkan satu dua kalimat sambatan tentang betapa keras kehidupan bumi yang dialaminya.

Entah karena memang tidak punya masalah, atau memang Saka yang terlalu pintar untuk menutup diri.

Kayna menghela nafas panjang, lalu berjalan menghampiri Saka yang sekarang sedang duduk seraya memejamkan mata setelah sebelumnya sudah menerima pesanan susu dari kepala dapur yang baru saja tiba.

Lelah.

Setidaknya itu yang bisa Kayna simpulkan detik ini ketika melihat bengkak bawah mata Saka yang tercetak jelas.

Gadis itu berdeham singkat, lalu meletakkan pantat disamping Saka dengan perlahan.

“Sak, minum dulu yuk.” Sapa Kayna menyuruh sembari meletakkan segelas susu cokelat panas di meja kayu rendah yang ada di hadapannya.

Lelaki itu mengerjap, lalu perlahan menoleh ke arah Kayna yang kini juga menatap lekat.

Keduanya diam, membiarkan lagu-lagu yang terputar di dalam studio menemani hening seraya sesekali menarik nafas dalam.

“Lo sakit Saka?” Kayna memutuskan untuk bertanya ketika sudah tidak mampu menatap manik hitam itu lebih lama lagi.

Saka tersenyum, lalu menggeleng. “Nggak. Cuma capek aja Kay.”

Jawaban yang sama sekali tidak memuaskan.

“Mau janji sesuatu sama gue gak Sak?” Entah kenapa gadis itu tiba-tiba mengulur kelingkingnya maju.

“Janji apa Kay?”

“Janji buat selalu berbagi sama gue tentang apa yang lo rasain.”

Saka menelan ludah singkat setelah diam beberapa saat lalu menegakkan punggungnya maju mendekat.

Lelaki itu lantas menggenggam jemari Kayna yang masih terulur tersebut dan meletakkannya di atas meja kembali tanpa ada adegan mengaitkan jari seperti yang diharapkan.

Saka tersenyum dan mengelus punggung tangan Kayna seraya matanya menatap dalam manik cokelat tersebut dengan tenang, tangan kirinya yang kosong ia gunakan untuk membenahi anak rambutnya yang berjatuhan halus di samping wajah.

“Kay, truth or dare?” Ujarnya tiba-tiba, membuat gadis itu mengernyit alis setelah sebelumnya sudah mengatur jantung akibat genggaman hangat Saka pada tangannya.

“Dare.” Jawab Kayna singkat dengan lapang dada karena tadi pagi memang ia yang kalah taruhan dengan Saka pekara balapan mandi.

Saka terkekeh pelan, lalu merentangkan tangannya. “Then i dare you to hug me tightly this night..”

“Hah?”

Keduanya lagi-lagi terdiam, menikmati dentuman kasar masing-masing jantung dengan tempo dan irama yang lebih giat dari sebelumnya.

“Kelamaan.” Saka akhirnya berkomentar dan menarik punggung Kayna masuk ke dalam pelukan.

Deg.

Seketika semua terasa membeku dan dunia berhenti menari dalam sekejap.

Tangan Saka mengelus rambutnya lembut seraya sesekali hidungnya mencium pelan puncak kepala Kayna yang untung-untung saja sudah keramas.

“Saka?” Gadis itu berucap setelah kesadarannya jatuh kembali ke bumi, lantas berusaha melepaskan pelukannya.

Bisa gila, pikir Kayna dalam hati.

“Jangan dilepas dulu, taruhannya 3 cup starbucks ukuran venti Kay. Masih inget?”

Sial.

Kayna menelan ludahnya kasar seraya mengangguk pelan.

“Biar gue aja yang lepas lo duluan, lagipula gue masih capek.” Ucap Saka seraya meletakkan dagu di atas pundak Kayna. “Malem ini gue peluk lo lama nggak papa kan, Kay?” Lanjutnya dengan nada rendah, nyaris berbisik.

Capek.

Entah kenapa kata capek yang didengar Kayna detik ini memiliki makna lain yang seakan menyimpan ratusan rahasia pelik didalamnya.

Maka dengan sadar Kayna memejamkan matanya, lalu mengangguk dan mulai menepuk-nepuk ringan punggung Saka seraya sesekali mengelus rambutnya halus.

Ya.

Setidaknya itu yang pernah dicontohkan Saka ketika Kayna mengalami masalah beberapa hari yang lalu.

REGISA

▪︎ lowercase.

▪︎ ½

▪︎ 21+

HAPPY READ.

seorang gadis tengah menyenderkan tubuhnya ke sebuah meja setinggi dada seraya meremat keras gaun dress yang ia kenakan.

sesuatu yang tidak beres terjadi pada tubuhnya. terasa panas dan sangat bernafsu.

bahkan hasratnya ketika melihat lawan jenis yang melintas terasa begitu menggebu-gebu.

“gue butuh toilet.” batin gadis itu seraya memejamkan mata dengan kuat karena sesuatu yang nikmat seperti menggelitik area bawahnya.

dengan pikiran yang ia usahakan tetap pada jalan lurus, ia segera berjalan menuju toilet terdekat dan langsung memasukinya.

“sshh, gue kenapa sih..” racaunya setengah mendesah ketika merasakan desiran halus pada area sensitifnya yang kian ingin merasakan sentuhan.

“gue kayaknya ngga konsumsi apa-apa, tapi kenapa rasanya panas banget, aneh.” lanjutnya kesal dengan kakinya yang terus melangkah jauh menuju arah bilik toilet.

namun sial sekali, belum sampai langkahnya masuk ke dalam bilik, seorang lelaki dengan perawakan tinggi sudah menghadang jalannya.

sorry girl, gue rasa lo salah masuk toilet?” tegur lelaki itu sopan seraya menunjuk plat yang tertera di atas pintu.

TOILET LAKI-LAKI.

“shit. sorry gue gak lihathh.” gadis itu berbalik badan dengan desiran yang kian aneh karena lelaki itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.

“lo sakit?”

“nggakh.”

“tapi lo keringetan.”

gadis itu melemas, area sensitifnya terasa begitu lembap dan beberapa titik sensitifnya haus akan sentuhan.

“sorry, gue beneran butuh toilet. tangan lo tolong menyingkir.”

“perlu gue anter?”

“nggakkkh..” jawab gadis itu setengah nyolot sembari menyibak rambutnya yang menutupi wajah.

“gue rasa lo ada sedikit kesalahan, habis minum sesuatu di luar sana?”

gisa, gadis itu, menggeleng. “terakhir gue cuma dikasih minum sama manager brand tas sebelah, cuma itu.”

lelaki berwajah tampan dengan bahu tegap itu menelengkan wajahnya kebingungan, “ga mungkin minuman biasa, gue rasa minuman lo dikasih sesuatu yang yah.. lo tau itu..”

“whath?” gisa bertanya bingung, antara bingung memikirkan jenis minuman dan bingung menahan gelombang dahsyat yang baru saja ia rasakan pada tubuhnya.

aneh.

“apa yang lo rasain?”

gisa menggeleng, payudaranya sekarang bahkan terasa begitu gatal dan benar-benar mengeras.

“sorry bukannya gue perempuanh ga bener, tapi apa bisa lo bantuin gue sebentar?”

lelaki itu diam, ia paham betul apa yang lawan bicaranya inginkan.

tapi..

“kita berdua saling asing, gue ga nyaman make out with people that doesn't know me well.

gisa memejamkan matanya pasrah, lantas mengangguk dan berbalik badan. hendak menjauh.

okay okay, but first tell me your name.” lelaki itu menarik siku gisa mendekat dan mendekatkan diri agar gadis itu tidak beranjak menjauh.

“gisa. gisa christabella.”

“such a beautiful name.” pujinya seraya menarik langkah menjauh dari bilik toilet lelaki dan berjalan keluar menjauhi kerumunan pesta. “gue regan, reganio alexander.”

gisa terkejut, matanya membulat sempurna meskipun terasa begitu sayu. “regan anak sulung A company?”

regan, lelaki itu, mengangguk. lantas membelokkan langkah menuju lorong sepi di sudut jalan. “tau gue?”

gisa merutuk diri, lalu mengangguk dan mengusir tangan regan dari pergelangan tangannya, “masalah gue biar gue selesaiin sendiri aja, gak papa.”

“you beg me to help and now you want to throw the chance?”

“iya, asal lo tau gue anak tunggal C company. lawan terbesar perusahaan lo tahun ini.”

mata regan ganti membulat, “really?”

“hmmh..”

“tapi prinsip gue pekerjaan adalah pekerjaan dan urusan pribadi tetep urusan pribadi, you know what i mean right?

“orang tua kita saingan berat diluar sana dan lo mau bantuin gue yang tadi habis salah minum? you crazy?

regan tersenyum, matanya menatap rendah bahu gisa yang terbuka itu dengan sabar, lantas mendorongnya tegas hingga terpojok ke tembok.

“biar gue bantuin lo malam ini.”

“bantu?”

“ya. sekedar supaya lo bisa tuntasin hasrat karena minuman mix yang dikasih ke lo tadi.”

gisa mengerang, tubuhnya benar-benar terasa bergetar walau daritadi sudah sekuat tenaga ia tahan. “okay, help only. mau eksekusi dimana?”

regan tertawa singkat dan merendahkan tubuh hingga wajahnya yang tampan itu bisa sejajar dengan wajah cantik gisa di hadapannya, “just do it here. but promise me to not moaning too hard.”

“hah? we wh..” ucapan gisa reflek terbungkam ketika bibir basah regan menyapu miliknya lembut, lelaki itu benar-benar memainkan bibirnya dengan lihai seraya tangannya mengusap halus pundak yang mulai meremang akibat sentuhan jemarinya.

kecupan lelaki itu berpindah dan berganti mendarat di belakang telinga, lidahnya yang hangat menari dan sesekali menyedot ringan kulit bersih tersebut hingga nafas sang empunya kian berat dan kakinya kian melemas.

satu desahan lolos begitu saja dari bibir gisa ketika tangan regan meremas payudaranya dari balik dress putih yang ia kenakan malam ini. “you look so pretty gisa. it's okay to moan right now, gak ada orang yang lewat.”

gisa semakin tidak karuan mendengar suara berat regan yang mendarat tersebut lantas menarik kepala lelaki itu agar berhadapan dengannya lagi. “sorry to said, but gue gakh kuat berdiri regan.”

regan mengangguk paham dan tanpa banyak bicara mengangkat gadis itu naik ke atas gendongan seraya bibirnya kembali mencumbu bibir ranum milik gisa dihadapannya.

“gue gak bisa mainin lo disini, mau move dikit ke tangga darurat?”

“terserah lo aja.” jawabnya pasrah ketika akhirnya regan tersenyum simpul dan membawa langkahnya menuju tangga darurat yang nampak sepi.

diturunkannya satu kaki gisa seraya jemarinya menelusup cepat menuju area sensitifnya yang sudah lembap dan basah tersebut, lantas mengusapnya perlahan.

“gue pegang punya lo gapapa ya gisa?” tanyanya meminta ijin dahulu, lalu mulai mengeseknya perlahan dengan jari.

gadis itu reflek mendesah ketika ibu jari regan menekan-nekan dan memutar klitnya cepat dibawah sana.

“mmmh.. regan, can you please do it slowly? gue takut kalo suara gue tiba-tiba kekencengan pas ada orang lewat.”

“as your wish, lady.” regan menurut dan memelankan tempo gerakan jarinya seraya matanya menatap lurus mata gisa yang tengah terpejam didepannya.

lelaki itu tersenyum tipis, lantas kembali melahap bibir yang tengah terbuka akibat desahan tersebut dengan cepat seraya meneroboskan lidahnya kedalam demi memperintim situasi.

“mmmh..” lenguhan seksi tersebut kembali terdengar kala regan mulai menusukkan jari tengahnya masuk ke dalam lobang dan menariknya keluar masuk dengan cepat.

tangan regan yang tidak memegangi kaki gisa digunakan untuk melepaskan tautan dress hingga akhirnya dress tersebut melorot hingga ke area perut.

tidak banyak bicara lelaki itu segera menyingkap bra yang gisa kenakan dan melahap payudaranya cepat.

gisa spontan kelimpungan, dirematnya keras rambut regan seraya desahan-desahan terus keluar dari bibirnya karena mulut panas regan tidak segan-segan untuk menggigit miliknya keras.

“reg.. reganh.. gue mau keluar.” gadis itu berucap lirih ditengah desahannya seraya dengan perlahan menarik wajah regan mendekat agar bisa kembali mencumbu bibirnya.

lelaki itu mengiyakan dalam hati lantas menambah tusukan jarinya dan mempercepat tempo gerakan hingga akhirnya cairan bening tersebut membanjir di bawah sana disertai lenguhan panjang gisa didalam dekapannya.

“am i doing well, gisa?”

gadis itu mengangguk lemas dan mengecup panjang leher regan lantas memberikan dua tanda kemerahan di area tersebut.

“ucapan makasih lo agak ekstrim ya gis?”

“hmm.” kekeh gisa masih dengan ekspresinya yang lemas seraya membenahi dressnya.

“nice to know you? i guess.” regan berucap seraya membantu menyisir anak rambut gisa yang berjatuhan di depan wajah seraya mengelus bibir yang sedikit bengkak akibat sesapan liarnya beberapa menit lalu.

gisa tersenyum dan mengangguk, “nice play regan, lo bener-bener gentle untuk gak masukin punya lo yang gue rasa udah sekeras batu itu ke gue.”

regan terkekeh, “gue masih tau batasan.” ucapnya. “but, ayo ketemu lagi suatu saat nanti buat bahas bisnis sama gue.” lanjutnya menaikkan sebelah alis.

“mau bahas bisnis apa mau play out sama gue?”

“actually we can do both in the same time, right?” balas regan serak seraya kembali mengikis jarak demi melahap kembali bibir merekah gisa yang ia akui terasa begitu manis hingga sang empunya tersenyum singkat sembari mengalungkan tangan tanda ia menyetujui ajakan regan tersebut.

06-08-21 ; waterrmark.

FOR THEIR FIRST TIME.

Kayna melangkahkan kaki keluar dari arah kamar khusus yang biasanya memang hanya ditempati olehnya itu dengan jantung berdebar.

Nafasnya tercekat dan perutnya terasa mulas tidak terkendali, begitu terasa tidak masuk akal.

Dari sudut matanya ia dapat melihat Marco yang tengah memandang lekat, seakan ingin memanggil mendekat dan menyuruh gadis itu agar duduk di samping tubuh masuk ke dalam dekap, namun atmosfer canggung yang tercipta akibat adanya kesalahan sesaat itu menghentikan keinginannya dalam sekejap.

Gadis itu masih kecewa, pikir Marco seraya menatap Kayna lamat-lamat.

“Nik! Di depan ada mobil berhenti, temen kamu bukan?” Oma berucap dari arah taman depan sembari melangkahkan kaki masuk kembali dalam ruang tamu.

Kayna tersentak, lalu mengangguk kaku. “Iya oma. Bentar ini Kayna mau jalan nyusulin ke depan.”

“Temen siapa Kay?” Suara Marco yang tiba-tiba terlontar di udara itu mendarat ke telinganya, terasa asing dan begitu mengusik hening.

Gadis itu menegak ludah secara kasar lantas menjawab tanpa menolehkan sedikitpun pandang, “Saka.”

Mendengar nama itu keluar dari bibir Kayna pagi ini membuat Marco segera bangkit berdiri dari duduknya dan menarik pergelangan tangan gadis itu hingga tubuh Kayna menghadap total ke arahnya.

Kesal. Tatapan itu dilemparkan cuma-cuma oleh gadis itu ketika Marco mulai memutuskan untuk mengendorkan sedikit cekalannya.

“Lepas sekalian Mar, gue mau jalan ke depan.”

“Kenapa Saka bisa sampe kesini? Ngapain?” Bukannya menuruti keinginan Kayna lelaki itu justru kembali mengeratkan genggamannya.

Lelah dan malas berdebat, Kayna memilih untuk menghela nafas kuat. Percuma juga ia adu kekuatan dengan Marco karena sadar bahwa tidak akan pernah menang.

“Kay. Kenapa?” Ulangnya bertanya.

Gadis itu kembali melempar tatapan penuh sindir, “Ya mungkin karena dia peduli dan mau jagain gue aja.”

Marco menunduk menatap tangan yang masih bertaut satu sama lain dibawah sana dengan hati yang entah kenapa terasa begitu tidak nyaman, “Kita nggak bisa gini terus Kay. Iya gue salah karena gak dengerin omongan lo dulu kapan hari, tapi lo juga salah karena ngejauhin gue dan gak mau dengerin penjelasan gue dulu tentang apa yang terjadi.”

Kayna menyerah. Didongakkannya wajah demi menatap Marco yang sudah nampak putus asa tersebut sembari menghembus nafas berat. “Nanti aja.”

“Apa?”

“Ngobrolnya, nanti.”

Sial.

Untuk pertama kali dalam hidup, Kayna yang ada di hadapannya ini terasa begitu jauh walaupun tangannya masih berada hangat dalam genggaman.