waterrmark

markamel HM chapter 2.

21+

extreme explicit mature content, be wise.

umur lu diinget2 sendiri 🫵🏻


amelia menggelengkan kepalanya, membuat pagutan markiel yang makin panas di bibirnya itu reflek lepas. “gak jadi 3, 2 aja. 2 anak cukup. indonesia udah kebanyakan populasi kiel.”

what the actual fuck?

markiel langsung tertawa dan menarik mundur kegiatannya. jemari panjangnya yang tadi sudah sempat lembab terkena cairan di bibir vagina istrinya ia angkat naik dan ia bersihkan dengan sapu tangan. “iya, kamu mau berapa aja terserah. saya manut sama kamu mel.” ujarnya kemudian, kembali mengungkung gadisnya. “then.. should we start it?” markiel bertanya, mengunci tatap pada mata amel.

amelia mengangguk, kemudian menarik tangan markiel untuk ia bantu lepas jam tangannya.

markiel membiarkan kegiatan tersebut sambil mengusapi pundak amel yang sudah berwarna merah akibat ulahnya dengan ibu jari. “besok bisa jadi ungu ini. jangan pakai baju kebuka, nanti mereka kira, kamu saya KDRT.” kekehnya kemudian.

“emang KDRT bukan sih ini?” amel membalas, meletakkan jam tangan markiel di atas meja, lalu memeluk lehernya.

“KDRT itu sakit, sedangkan ini... enak, kan?”

amelia mendadak saja tersipu-sipu. membuat markiel mencekali dagunya dan mempersempit jarak lagi. “mikir apa kok malu-malu gitu?”

amelia menggeleng, mengecup bibir markiel singkat. “iya bener, enak. kamunya enak.”

“kamu juga enak.” markiel menimpali, perlahan tangannya melebarkan kaki amel dan lanjut mengelus area paha mulus itu lagi. melanjutkan yang sempat tertunda.

“we can be a good parents right?”

markiel masih sibuk meremas paha amel ketika ia mengangguk. “we'll try our best mel. kita berdua jalani bareng-bareng. jangan takut.” ujarnya sebelum ia mendorong pelan bahu amel agar sedikit rebah di atas meja.

jemari lelaki itu menelusur pangkal pahanya sebelum kemudian mendarat di garis keperawanan amel yang masih tertutup celana dalam. lelaki itu menggerakkan jari tengahnya ke bawah dan ke atas beberapa kali hingga desah lembut kembali terdengar di panca indranya.

“belum saya apa-apakan lho ini.” markiel terkekeh, masih mengelus lembut daging kenyal itu dari balik celana. tentu saja sudah basah bukan main, bukti nafsu keduanya sudah terlihat jelas dari ciuman panas sebelumnya.

markiel mulai mendekatkan diri kembali ke tubuh amelnya dengan jemari yang kini mulai memberikan sedikit penekanan di bawah sana. “mel..” panggilnya kemudian.

“apa?” amel bertanya lirih, tak punya energi lebih untuk mengeluarkan suara normal selain desah keenakan.

markiel menggeleng. “lihat saya.” titahnya kemudian. ini adalah titah ketiga yang ia keluarkan untuk mendominasi permainan. dan sialnya, amel memang penurut. gadis itu sudah seperti sebuah boneka cantik yang bisa markiel tuntun ketika sudah masuk dalam urusan ranjang.

dan karena amelnya terlampau cantik, jemari markiel yang tadi hanya bergerak menekan atas-bawah di luar celana dalam mulai menggeser kain tersebut ke samping. membuat cairan yang tadi masih terhalang bisa ia sentuh secara langsung.

bisa ia lihat sendiri amelnya memejamkan mata. bulu tubuhnya berdiri perlahan akibat sentuhan markiel yang mendadak saja sudah mendarat ke tempat paling intim dalam tubuhnya. lenguh merdu mulai terdengar kala markiel mulai menggerakkan naik-turun di celah sempit daging basah tersebut.

napasnya sendiri mulai memburu kencang melihat amelnya menggeliat di bawah sentuhannya. markiel lantas mengikis jarak, menciumi telinga amel seraya ibu jari tengahnya menggesek klit istrinya dengen penekanan kecil.

“markiel!” amel reflek mencekal pergelangan tangan markiel yang masih bergerak sensual di bawah sana. entah untuk apa ia mencekali sekarang. ia bingung ingin markiel berhenti, namun di saat bersamaan ia ingin gerakan tangan itu kian cepat.

markiel tak menggubris, gerakan dan suara amel yang memanggil namanya malah membuat nafsunya makin tak terkendali. nafasnya memburu berat di telinga amel kala ia akhirnya tidak kuat menahan dan berakhir menggendong istrinya ke kasur.

tubuh amel memantul pelan di atas ranjang, kakinya yang sempat menutup kembali di buka dengan gerak seduktif.

“i'll take you to heaven slowly and step by step mel. with this first..”

dan markiel mulai menunduk untuk menciumi pangkal pahanya. tangannya bergerak kuat mencekal kaki amel agar tak berontak ketika nanti ia enakkan. mata lelaki itu menangkap kilau basah dari garis kemaluan amel yang terbuka.

daging merah muda itu seakan memanggil-manggil namanya minta dijamah.

“jangan diliatin terus, please.” tangan amel reflek turun menutupi sendiri miliknya yang berkedut akibat nafsunya sendiri.

“iya, nggak saya lihatin.” markiel membalas, menarik tangan cantik istrinya perlahan agar menyingkir dari hidangan utamanya. kalimat itu ia buktikan secepat kilat karena kini ia bukan melihat, namun mulai menjilat.

suara lenguh amel meledak dalam ruangan ketika lidah panas markiel merambati miliknya.

lelaki itu mengerang, menarik lidah datarnya dari bawah ke atas untuk meraup cairan kental yang keluar dari milik istrinya. gerakan itu masih normal, tentu saja, sebelum akhirnya markiel mendadak saja berlutut dan menarik pantat amel naik.

tangannya mengambil bantal besar untuk ia letakkan di bawah punggung amel, yang kini tengah kebingungan. “mau apa?” tanyanya ketar-ketir.

markiel hanya mengusap bibirnya sendiri dan menghunus tatapan berkobarnya ke mata amel. “makan kamu.”

makan kamu.

amelia merinding sempurna kala kakinya dicekal kuat untuk terbuka lebar. “kalau mau teriak, teriak aja ya mel. jangan ditahan. kamu jambak rambut saya juga saya gak masalah.”

dan kalimat itu rupanya menjadi kalimat penutupan pidato singkat markiel, karena selanjutnya yang terjadi adalah lelaki itu benar memakan miliknya secara brutal.

bibir markiel bergerak liar, terbuka dan menutup. sesekali menyedot klitnya kuat sebelum kemudian ia jilat lagi atas-bawah. gerakan itu berulang terus menerus, mengundang jeritan amel dibarengi cairan yang keluar kian banyak untuk ia telan cuma-cuma.

amelnya seksi sekali. dan tentu markiel tak akan pernah bisa menahan jika sudah disuguhi secara sukarela seperti ini. gadis itu bahkan kini sudah meminta ampun, sungguh menggemaskan.

namun markiel adalah markiel. ia memang sabar dan kalem, yang mana sabar dan kalem tadi bukan untuk urusan ranjangnya. tangannya kembali mengeluarkan usaha kala amel mulai berontak, ingin menjepit kepalanya.

markiel puas bukan main, ia terus memakan bersih daging lunak tersebut dan mengecupi klit amel berulang kali. ia mencium, menghisap, menjilat, meraup. gerakannya candu dan kasar karena dikuasai hawa nafsu. hal terakhir yang markiel ingat sebelum ia menjulurkan lidahnya masuk ke lubang amel adalah teriakan seksi amel dibarengi jambakan di rambutnya.

the fact is, it's only spurs him on.

markiel malah makin bernafsu dan terus menyetubuhi lubang amel dengan lidahnya. ia keluar-masukkan miliknya sebelum kemudian ia lepas dan kembali menghunjam permukaannya yang makin basah tak karuan oleh cairan.

markiel mendongak sebentar, melihat amelnya mengeluarkan lenguh frustasi sambil menyebut-nyebut nama markiel berulang kali. gadis itu benar minta dihajar. dan untuk merealisasikan pikirannya, bibir markiel mulai mengunci klit amel dan menghisapnya kencang. gerakan itu membuat amel mendesah kuat akibat mencapai puncaknya.

markiel dengan sukarela menjilat habis ledakan cairan itu dan menelannya.

“belum saya apa-apakan lho mel.” markiel mengingatkan ketika ia merangkak naik untuk menindih tubuh amelnya. tangan kanan markiel menarik bantal yang ada di pinggang istrinya untuk ia lempar ke samping. “how does it feels?” tanyanya kemudian dengan suara serak, mulai menindih sempurna dan mengepaskan pusakanya yang masih tertutup celana di milik amel yang masih berkedut.

amel tak menjawab. dadanya masih naik turun akibat ledakan ekstrimnya barusan. napasnya tersengal seperti baru diajak melakukan kegiatan berat. dan ketika sadar, hal pertama yang gadis itu lakukan adalah menciumi bibir markiel secara panas. lidahnya menyusup masuk, membuat rasa manis dari markiel dan cairan intim yang tadi ditelan bersih mulai meledak dalam indra perasa miliknya. tangan amel terangkat untuk mengusak dan meremat rambut markiel secara kasar.

“i love you.” ujarnya kemudian di tengah ciuman. membiarkan nafas patah-patahnya bercampur jadi satu di celah kecil yang mereka ciptakan.

“i love you more.” markiel menjawab, sempat tertawa pelan sebelum ia kunci bibirnya kembali pada milik amel yang seksi dan mulai membengkak. decakan basah dan lumatan-lumatan liar kembali mengisi suasana sampai akhirnya markiel melepas ciumannya demi melepas erangan.

“mel..” markiel menggila sesaat kala perlahan saja tubuhnya digulingkan ke samping sebelum akhirnya telentang sempurna. amelia bergerak dan mulai merangkak di sekitar kakinya. berlutut.

markiel tak bertanya hendak apa gadis itu duduk di situ karena ya ... memang untuk apa lagi?

tangan amelia dengan cepat mulai melucuti sabuk hitam berat markiel dan membuka kaitan celananya.

markiel tertawa pada akhirnya, mengangkat pantatnya agar celana panjang itu bisa lolos turun di bawah kendali istrinya.

“sudah bisa begini sekarang mel?”

amel mengangguk. mulai ganti menindih tubuhnya. “sekarang gantian aku ya..” ujarnya dengan suara selirih angin.

dan markiel mengangguk, membiarkan ratunya mengambil alih permainan seutuhnya. “as your wish, christa..”

dan amel bersumpah ia menyukai nama christa lebih dari apapun di dunia ini.


chapter 3?

senengin aku dulu WKWKWK. qrt atau apain dah pokok ramein dulu 😝

ntar kalo aku seneng (KALO YA), ada kalanya kukasih part gak pake password.

see u again gengs ✋🏻

Bali, 2020.


Namanya Abigail Dinata Tanujaya. Iya, benar. Berasal dari keluarga Dinata Tanujaya yang sukses besar di bidang konstruksi. Usianya tahun ini memasuki angka 20 di bulan juni nanti.

Omong-omong, kesuksesan keluarganya baru-baru ini tertinggal sebab kini keluarganya bangkrut secara ugal-ugalan. Lahirnya bisnis konstruksi lain yang tentunya tak kalah besar membuat usaha keluarganya kalah. Pun, sebenarnya jika dibahas panjang, penyebabnya bukanlah itu saja.

Namun ya, nanti saja ceritanya. Abigail masih malu dan tidak percaya diri untuk over sharing di pembukaan cerita.

“Bea!”

Gadis yang dipanggil Bea itu menoleh ke samping. Melihat beberapa rekan kerjanya yang melambai sambil berlarian mendekat. Di antaranya ada 2 perempuan dan 1 lelaki berusia 18 tahunan. Masih berondong, dan jelas saja, Bea tidak tertarik.

“Ya?” Tanyanya kemudian seraya melepaskan apron dan gulungan rambutnya. “Kenapa?”

Salah seorang perempuan berambut pendek di atas bahu menyahut. “Jangan pulang dulu, please bantuin kita bentar aja nata di sekitar teras. Ya, ya?” Pinta si rambut pendek memelas.

“Shiftku udah selesai kali, Ti..” Bea, —Abigail, menggeleng, tidak ingin menuruti permintaan tolong Tiara yang menurutnya terlalu buang-buang tenaga dan waktu. Toh bukannya gaji Bea akan bertambah jika ia membantu, kan?

“5 menit. Sumpah 5 menit. Bantu tata kursi aja serius. Mbak Gita lagi cuti lahiran lho Be.. shift malem kurang orang. Please banget. Nanti aku traktir Chatime deh.”

Huh..

Chatime?

Dengusan ringan keluar dari bibir ranum Bea yang terpahat sempurna.

Ia mulai berpikir. Apa mukanya sudah semiskin ini sampai-sampai Tiara menawarkan minuman murah macam Chatime kepadanya?

Oh.. Atau, mahal?

Mengingat gajinya perhari di restoran ini hanya 50.000 rupiah sebagai pemula.

Miris.

“Bantu tata kursi aja ya, terus aku pulang.” Final Bea pada akhirnya sebab ditatap dengan pandang melas terlalu lama. Membuatnya jengah.

Tiara reflek mengangguk lega, mengajak tos Bea sebentar lantaran bersyukur sudah mau membantu. Ya, meskipun Bea tidak mengerti kenapa pula harus tos jika ia bersyukur?

“Emangnya kursi depan kenapa kok mau ditatain Ti? Selama ini kan teras situ jarang ada yang mau tempatin?”

Semua warga harus sujud di hadapan Tiara karena berhasil membuka suara Bea yang selama ini keluarnya terlampau hemat. Gadis itu sampai berdeham mendapati raut terkejut 3 lawan bicaranya.

Andini, yang dari tadi terdiam karen takut dengan Bea. (Alasannya simpel, hanya karena Bea orang Jakarta.) mulai buka suara setelah sempat menutup mulutnya yang terlalu lama terbuka. “Itu lho mbak Be...”

Bea menukas. “Don't call me mbak.” Ujarnya sadis.

“Oke, oke. Ce Bea..” Ralat Andini secepat kilat lantaran takut kena marah. Sebenarnya masih menjadi pertanyaan mengapa Bea tidak mau dipanggil mbak padahal arti mbak dan cece sama saja. Atau mungkin karena ia merasa terlalu chinese? Perlu diketahui bahwa kakek-nenek dari papa Bea memang merupakan orang china asli.

“Jadi gimana?” Bea tidak sabaran dan kembali bertanya karena mendapati Andini malah memainkan jemari di bawah sana. Dan ditunggu sampai bumi meledak-pun, Andini rupanya tidak menjawab lagi karena kini Raka yang berjaga di depan sudah mulai memanggil-manggil, minta dibantu.

“Panjang Be pokoknya, nanti pasti tau sendiri deh. Ayo tata-tata dulu.” Tiara akhirnya menyahut sambil melirik jam tangan murah 12 ribuan yang melingkar di tangan kirinya. “Sekitar jam 8 mereka dateng. 25 menit lagi.”

Niat hati ingin bertanya lagi, namun tangan Bea sudah diseret terlebih dulu hingga ia terpaksa bungkam.

“Yang jelas nggak boleh bikin salah mbak Bea. Ini perintah Bu Bos.”

Dan Bea tidak sempat mengomel karena dipanggil mbak oleh pria gondrong berumur 18 tahun yang bau keringat sebab kini perintah agar cepat bergerak sudah berkumandang dari depan.


Restoran dengan gaya khas bali ini berada tepat di sekitar Pantai Kuta. Mungkin jika berjalan kaki akan makan waktu 5 menit. Ya, semuanya tergantung sebetapa cepat cara jalanmu juga, sih.

Oke. Bukan saatnya untuk melamun dengan pikiran melayang-layang! Bea harus segera membereskan dan menatai kursi-kursi kayu yang tadinya lumayan berantakan karena jarang ditempati itu dengan cepat mengingat waktu sudah mepet sekali.

“Alesan waktu mepet kamu Be, bilang aja udah pengen rebahan. Iya kan?” Adit tertawa di sekitar jendela kaca besar sambil tangannya sibuk memegang lap dan semprotan. Pria bertato ayam jago itu kebagian tugas paling repot lantaran 80 persen restoran kecil ini didominasi oleh kaca.

Bea hanya cengengesan. Malas dan tak bertenaga untuk menanggapi. Toh bukan rahasia besar juga jika Bea memang susah membaur. Masih untung kelakuannya sopan dan tidak mudah cari perkara. Pun wajah cantik dan tubuh moleknya selalu menarik perhatian bule yang melintas.

Ya, warga lokal juga, sih.

“Mobil-mobilnya sudah mulai masuk pekarangan. Semuanya stand by ya!” Suara Bu Rita terdengar terlampau kencang. Bahkan telinga Bea sampai berdenging saking nyaringnya. Jika kalian belum kenal, Bu Rita merupakan tangan kanan dari pemilik restoran ini.

“Aku pulang ya?” Bea mulai mencari celah untuk pulang pada Tiara.

“Iya oke, thank you sejuta thank you udah bantuin. Meski masih debuan gak papa deh, yang di luar kayaknya juga bawahan aja.” Tiara menepuk pundak Bea, menyuruh gadis cantik itu untuk pulang.

Bea hanya memberi jempol singkat sebelum ia berjalan lewat pintu belakang untuk mengambil tasnya yang masih tergeletak di sana.

Gadis itu sudah selesai mencangklong tas murahnya sekalian menekan jari pada mesin finger print ketika suara bising di pelataran mulai menghiasi telinga.

Pintu-pintu mobil yang dibuka, lalu ditutup. Suara tapak sepatu pada marmer. Lonceng di atas pintu restoran yang berbunyi akibat mulai dibuka lebar. Tampak normal, selain fakta bahwa tidak ada suara obrolan yang terjalin di antara kerusuhan tersebut.

Bea penasaran. Tamu penting kah? Gadis itu lantas merepet sebentar ke dekat pintu dapur, di mana Bu Rita (asal Jawa) masih berdiri menjulang dengan gelang emas yang terkait sampai hampir ke siku.

“Reservasi mendadak bu?” Bea bertanya, matanya mulai memandangi beberapa orang (Jika lebih dari 20 bisa disebut beberapa) yang kini berjalan santai hendak memasuki bagian inti restoran.

“Iya. Katanya sudah langganan dari lama dan loyal, jadi dititah buat melayani dengan benar.” Bu Rita mengangguk, menjawab pertanyaan Bea. “Gail, kamu pulang sekarang kan?” Lanjutnya kemudian.

Hm, hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan Gail, dan Bea hanya bisa pasrah karena wanita tersebut yang nanti akan menurunkan gajinya.

“Iya Bu.”

“Lewat pintu belakang situ ya nduk.”

Bea mengangguk, paham. Gadis itu sudah akan melangkah menjauh ketika mata keponya bertatapan dengan pria berbadan tegap yang kini sudah berada di meja besar tepat di sisi kiri restoran.

Memakai kemeja hitam yang tergulung hingga siku, pria itu melepas kaca mata bacanya dan memberikannya kepada perempuan di sebelahnya. Asisten. Bisa dilihat jelas dari seragamnya.

Pria itu bukan bintang utama dalam restoran malam ini. Bukan juga orang dengan kedudukan paling tinggi yang harus dihormati sampai bungkuk 90 derajat.

Tapi biarlah. Bukan itu masalahnya. Mata Bea bahkan sampai hampir membelalak keluar.

Gadis itu dengan cepat menundukkan wajah, menyelinap di belakang tubuh Tiara untuk berpamitan.

“Wait, stop in place.”

Suara lain yang nyatanya tak begitu asing mendarat mulus di telinga semua orang. Dan Abigail jelas tau siapa orangnya meskipun tak pernah berhubungan sekalipun di masa lalu. Memilih untuk tak ambil pusing, gadis itu memutuskan untuk menyambung langkahnya keluar.

“Abigail Dinata. Stop. In. Your. Place.” Suara itu menggema sekali lagi, membuat Tiara yang posisinya dekat dengan Abigail reflek mencekali ujung tas hitam-tipis-murah dengan harapan pemiliknya bisa berhenti melangkah. Tiara takut pria yang berasal dari keluarga itu akan mengacak-acak tempat kerjanya. Karena bagaimanapun, Bu Rita saja sampai tunduk ketika telpon reservasi yang disampaikan langsung dari pemilik itu sampai ke telinganya.

Keluarga ini jelas bukan keluarga main-main.

Namun sayang, tali tas tersebut langsung patah dalam sekali sentak. Membuat pemiliknya hanya menoleh sekilas, lalu lanjut berlari keluar. Sama sekali tak memperdulikan tas berisi dompet, handphone dan kunci kamar kos yang ada di dalamnya.

Mata Bea reflek berkaca-kaca. Bukan karena sedih lantaran tak bisa masuk ke kos, tapi karena malu luar biasa.

Pada dasarnya, Bea masih berumur 19 tahun ketika ia kehilangan semuanya. Batin remaja itu masih belum sepenuhnya terobati. Dan melihat pria tadi di dalam sana setelah sekian tahun tak pernah berjumpa membuat hati Bea tergerus-gerus.

Ia tampak baik-baik saja, sementara Bea?

Oke. Sebelum semua menjadi rancu karena salah paham, perlu digaris bawahi bahwa pria tadi bukan mantan kekasihnya. Bukan juga mantan temannya.

Lalu, siapa?

Ya, biarkan kelanjutan cerita ini menjawab semuanya.

Itu pun jika Bea masih sanggup bercerita.

21+


ranjang apartment milik gadis cantik keturunan chinese-indonesia ini bergerak dengan getar-getar tak beraturan. kadang menatap tembok, kadang pula berderit sampai-sampai ia curiga kaki-kakinya bisa patah karena terlalu kencang diguncang.

lenguhan sensual yang meluncur dari bibir kedua manusianya juga kini memenuhi ruangan dengan begitu kerasnya.

“stop, stop.. adrian stop.” sang gadis mulai keteteran, keringat bercucuran dari dahinya akibat digempur mati-matian dari pria bertubuh kekar yang kini sibuk memacu di atasnya.

“stop? how dare you to stop me?” balasnya, tak mengindahkan ujaran gadis itu dan tetap menusukkan pusakanya jauh ke dalam liang hangat yang kini sudah sangat basah karena klimaks berulang kali.

adrian sedang menggila. pria itu tak akan segan untuk menggauli gadis ini sampai matahari menjemput nantinya.

“gak kuat. ah! udah!” bea meremat kasur kala mencapai puncaknya sekali lagi. gadis itu memekik seraya mencengkram sprei kasurnya kuat-kuat.

adrian hanya menggeram rendah sebagai balasan, lelaki itu menciumi ceruk leher bea selagi terus memacu pinggulnya dengan gerak cepat agar mencapai ujungnya sendiri.

“bea.. my baby girl.” erangan adrian keluar dengan napas tersengal selagi menusukkan kuat pusakanya ke titik terdalam milik bea. membuat si empunya tak henti-hentinya mengerang dengan dahsyatnya.

“suck my neck princess.. mark me like this is our last day together.” titah adrian kala hampir mencapai puncaknya.

dan bea menuruti. dengan cepat ia menggerakkan kepalanya naik menyusup di leher adrian dan menghisapnya kuat. ia jilat keringat yang menetes di jakun pria itu, lalu ia kecap.

asin.

namun ia menyukainya.

dan dengan gerak nekat karena adrian hanya diam saja, bea kembali bergerak untuk menghisap jakun pria itu selagi tangannya mengarahkan tangan adrian untuk meremas dadanya.

dan tepat saat itu pula, adrian akhirnya menuntaskan hasratnya.

dengan lemas, pria itu ambruk di atas tubuh bea dengan napas tak beraturan. tubuh telanjangnya berkeringat akibat kegiatan yang berlangsung hampir 3 jam ini.

entah apa yang terjadi hingga adrian tiba-tiba datang menggedor apartmentnya pada pukul 11 malam tadi. bahkan datang pun langsung menciumi bibir bea tanpa adanya sapaan halus nan sopan seperti yang biasanya ia dapat.

kemungkinan besar lelaki itu sedang punya masalah di kerjaannya. namun bea memutuskan untuk tidak bertanya, lebih tepatnya, ia tidak berani.

karena adrian mode emosi sangat-sangat tidak dianjurkan untuk diajak bercengkrama, apa lagi bercinta di atas ranjang. pria itu benar menggila dan kasar sekali.

bea mendesis kecil ketika adrian bangkit duduk untuk mencabut pusakanya dari milik bea. memperhatikan dengan tatap lemas kala pria itu menarik ponselnya dengan kasar dari atas meja.

lihat?

adrian tidak pernah begini ketika selesai bercinta. minimal lelaki itu akan mengucapkan terima kasih, atau paling tidak akan menjanjikannya barang mewah untuk dipajangnya nanti di apartment.

seperti perabotan, alat merias, parfum, ponsel, atau bahkan hadiah paling mahal yang ia terima seperti apartment ini sendiri.

namun sekarang? lelaki itu sudah memakai celananya tanpa banyak bicara dan berjalan ke balkon untuk menerima telpon. rahangnya mengeras dan matanya tampak tak fokus. sepersekian detik ia bisa menangkap raut lelah dan sedih yang tercetak di matanya.

sebenarnya, ada apa?

ia tau bahwa hadiwangsa bukannya keluarga main-main. anak usahanya terlampau banyak dan seluruh keturunannya ditekan secara ugal-ugalan untuk dijadikan pemimpin.

namun...

“isabelle sudah kembali ke rumah?”

“sudah kamu pastikan dia pulang dengan abigail?”

“abigail ke mana? tidak pulang?”

hening.

suara percakapan telpon yang bea dengar berhenti cukup lama sampai ia pikir sudah berakhir.

namun..

“damn it abigail. saya bisa gila karena tingkah kamu.”

bea bisa mendengar dengan jelas suara umpatan kasar yang tak pernah ia dengarkan sekalipun dari bibir adrian.

dan, abigail?

siapa perempuan itu? apa hubungannya dengan adrian?

pertanyaannya tak terjawab. setidaknya sampai satu bulan kemudian.

“bea. uang hari ini sudah saya transfer ke rekening kamu. kalau kurang bisa hubungi sekretaris saya. nomornya kamu masih ada kan?”

dan tanpa menunggu jawaban, adrian melenggang keluar dari apartment bea setelah sebelumnya sempat merapikan diri dengan mulut terkatup rapat.

keluarnya adrian hadiwangsa dari pintu tersebut dalam keadaan rapi tak tercela membuat semua orang tak pernah tau bahwa lelaki keturunan hadiwangsa yang satu ini benar-benar melenceng dari ajaran keluarganya.


explicit slow burn mature content

21+

umur2 u sendiri, jadi yang bijak ya 💅🏻


markiel menciumi leher amelia kala kakinya menutup pintu kamar dengan gerak tergesah. suara lumatan dan jilat basah disertai erangan nikmat menjadi nyanyian merdu di tengah debur ombak yang kini sibuk mengguncang kaki dermaga.

“shh.. do you feel good?”

sang gadis mengangguk, tentu bukan pertama kalinya mereka berciuman intim seperti ini. toh, statusnya juga sudah bersuami-istri.

namun bedanya, saat ini markiel dan amel mempunyai agenda yang lebih panas ketimbang ciuman-ciuman remeh seperti itu.

tangan lelaki itu bergerak menyusuri lekuk pinggang istrinya disertai remasan-remasan penuh kemesraan. bibirnya masih sibuk menekan garis leher amel sedangkan kakinya menggiring langkah mendekati tembok dengan cat merah bata.

amelia reflek saja mencengkram pinggiran meja yang berdiri kokoh di samping kirinya. mulut perempuan itu tak henti mengeluarkan suara desah kecil yang terus membuat markiel hilang kesadaran.

“i can make you feel even better than this mel.” markiel bersuara, menengadahkan kepala setelah bermain cukup lama di leher. membuat bola matanya bertubrukan intens dengan milik amelia yang sudah sayu dan menggelap sempurna.

sepi, sang pria masih menhunus tatap penuh puja pada wajah cantik perempuan yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anaknya. tangan kanannya yang tadi meremas pinggang bergerak turun, mendarat tepat di pantat untuk akhirnya ia tekan maju mendekat, mengikis jarak mereka secara sempurna.

“keras..”

hanya satu kata, namun membuat kekeh merdu markiel mengalun berat tepat di hadapan wajahnya.

“kamu kira siapa yang buat dia keras begitu mel?”

napas amelia memburu seketika. ujaran markiel barusan terlampau menggoda akal sehatnya, sehingga yang ia tau adalah lututnya mulai berani bergerak naik demi meraba benda keras yang kini sudah ia claim sebagai kepunyaannya juga.

“mel...” markiel memejamkan mata, mendesis nikmat ketika lutut sang gadis mulai menggesek permukaan miliknya dengan lutut. ia reflek memberikan space kecil agar amelia bisa bermain-main sebentar.

sebentar?

ya, sebentar.

sebab yang terjadi berikutnya adalah markiel kembali menghunjam bibir merah di depannya ini dengan rakus. menyusupkan lidah untuk masuk dan mulai melilit lawannya dengan gerak brutal.

lutut amel lemas totalitas. dan ia kira ia akan ambruk, sampai ada masanya ketika tangan markiel sudah membawanya naik ke gendongan.

“you like this.” bukan pertanyaan, ini adalah fakta mutlak yang tak mau ditepis amelia. karena memang semua sentuhan markiel terasa memabukkan, apa lagi mengingat bagaimana wownya pria itu jika sudah berurusan dengan yang namanya ciuman.

amelia reflek melingkarkan kaki pada pinggang markiel, mengalungkan tangannya pada leher seperti satu-satunya cekalan hidup. begitu rapat, begitu kuat, begitu intens. bibirnya mulai balas menekan bibir markiel seraya lidahnya ganti menyusup dalam pada lawannya.

markiel tersenyum tipis di sela kegiatannya. pria itu lantas bergerak maju agar bisa menempelkan, —menekan, punggung amel ke dinding.

suara erang lirih terus bersahut-sahut manja kala ciuman markiel bergerak lepas dari bibir dan mulai menjamahi telinganya. lidah pria itu menjilat titik sensitif tersebut berulang kali dibarengi geram nafsu dan napas panas yang terus masuk ke lubang amelia.

“kiel...”

“hmm, sing for me mel.” lanjutnya masih terus menjatuhkan jilat pada telinga. giginya bahkan kini mulai andil menggingiti ujung telinga amel sedikit demi sedikit. tangannya yang tadi menahan bokong amel sudah berpindah tempat untuk mencekali leher jenjang istrinya.

sebab, untuk apa? kini gadis itu sudah bercekalan sendiri kepadanya secara cuma-cuma.

tangan dengan urat yang menyembul tipis-tipis itu mulai meremat leher amel, tidak keras—tidak juga pelan, namun rasanya sungguh nikmat tak terkira. gerakan itu membuat amel jadi merasa diingatkan jika kini posisinya adalah milik markiel hadiwangsa seorang.

“enak?” markiel bertanya, menurunkan kembali cumbuannya ke dagu, leher, lalu berhenti tepat di perpotongan pundak dan leher amel. dihisapnya kuat area itu, lalu digigitinya kecil sampai kulit putih amel berubah menjadi sedikit merah.

“liar kamu kiel..” amelia berujar patah-patah, reflek meremas rambut markiel secara brutal demi melampiaskan hasrat yang sudah tak berujung.

satu yang pasti, sentuhan markiel benar memabukkan.

gadis itu kemudian secara sengaja semakin merapatkan lingkaran kakinya pada markiel sembari menggesek celana lelaki itu dengan gerak memutar secara sensual.

“oh...”

berhasil. markiel menjauhkan kepalanya dari leher dan mulai menggeram rendah seraya menatap mata amel intens. gadis itu kembali menggeliat demi menarik desahan markiel yang lain.

“benar gak sabar kamu ya mel?” markiel memejamkan mata, menggingiti ujung bibir amel kala ia membiarkan perempuan itu bergerak sensual pada bagian intimnya.

tak ingin sok polos apa lagi sok suci, amelia mengangguk.

dan yang ia tau setelahnya adalah pagutan markiel kembali menghunjam bibirnya secara liar. debur ombak yang tadi masih terdengar sayup-sayup mulai hilang sempurna ditutupi oleh decakan kencang dan sedotan bibir markiel yang terus melumat miliknya tanpa ampun. melampiaskan nafsu dengan membabi-buta.

diturunkannya gadis itu ke meja kayu tanpa sedikitpun melonggarkan lumatannya. lidahnya terus memerangkap milik amel ketika sekarang tangan markiel mulai melebarkan kaki mulus itu dan mengelusi pangkal pahanya secara seduktif.

oh. sudah tak bisa lagi ditahan, amel bahkan hampir menangis kala melihat tangan penuh urat yang kini meremas dan mengelus paha dalamnya secara halus, pun penuh nafsu tersebut.

tak sampai di situ, jemari markiel mulai menggerayang naik hingga akhirnya hinggap di payudara kanan amel yang masih tertutup gaun merah maroon.

benar, keduanya masih memakai pakaian lengkap dan baru saja ingin keluar untuk jamuan makan penyambutan di sekitar bibir pantai. namun, batal...

bisa kalian tanyakan apa penyebab batalnya mereka datang ke pesta pada bapak markiel hadiwangsa.

sang pelaku batalnya acara makan-makan itu kini sibuk menaikkan kaki amel agar heelsnya bisa ia lepaskan pelan-pelan.

dan amel memutuskan untuk menciumi pipi dan dagu markiel dengan kecup-kecup ringan selagi tangan suaminya bergerak melepas sepatunya.

dan ketika kegiatannya sudah selesai, markiel mulai mengungkung tubuh amel rapat, kemudian mengunci pandangan tepat di mata.

amel tersenyum kecil, entah kenapa, namun melihat markiel kalang kabut seperti ini membuat hatinya berbunga-bunga. dan detik selanjutnya, markiel ikut tersenyum. tawa rendahnya keluar pelan hingga menampilkan lesung pipi yang menambah aura manis pada wajah markiel.

“ganteng.” amel seketika hampir tantrum melihatnya, dan ia reflek saja menangkup pipi markiel untuk menjatuhkan cium pada bibirnya.

markiel tentu menyerahkan diri dengan sukarela, ia kini malah sudah memiringkan kepalanya demi memperdalam ciuman tersebut.

dan kala ciuman itu masih berlangsung, tangan amel sudah bergerak melepas jas markiel dan menjatuhkannya ke lantai. tak berhenti di situ, jemari lentiknya juga mulai membuka kancing kemeja markiel hingga sama terlepas sempurna.

napas markiel makin memberat, nafsunya sudah berada di puncak kala ia merasa jemari dingin tersebut mulai mengelus dada bidangnya dengan gerak seduktif. bagian bawahnya sudah bereaksi dan sesak luar biasa.

ciuman mereka terlepas, dan tanpa aba-aba lagi, markiel menarik ritsleting gaun amel hingga bagian dadanya turun sampai ke batas perut.

dan jika sebelum-sebelumnya ia selalu meminta izin untuk menyentuh benda putih kenyal tersebut, maka sekarang...

*“GOSH.. markiel!” lenguhan kencang itu tembus ke telinga markiel dan sensasinya langsung turun ke pusakanya yang makin membengkak di bawah sana.

bagaimana amel tidak melenguh? tangan markiel tau-tau saja sudah menjentik lepas bra-nya. kegiatan itu dibarengi dengan kepala yang membungkuk dan bibir gang mulai menghisapi ujung payudara amel dengan liar.

lidah lelaki itu memainkan putingnya dengan gerak candu sebelum akhirnya ia gigiti kecil. dan tak bisa mendiamkan sebelahnya karena juga mengundang atensi, tangan markiel reflek naik dan meremas milik amel dengan gerak brutal akibat gemas dan nafsu setengah mati.

amel masih berkicau tak jelas. yang kini markiel tau adalah punggung amel sudah melengkung dan payudara gadis itu makin menekan ke arah mulutnya. secara hening minta dipuaskan.

markiel, lagi-lagi, tak akan menolak. dengan senang hati ia jilati benda seksi tersebut dengan jangka waktu cukup lama. hisapannya yang tadi hanya jatuh di puting bahkan sudah meraup luas. bibirnya terbuka cukup lebar agar payudara itu bisa masuk setidaknya setengah bagian agar bisa ia makan.

tangan amel sontak menjambaki rambut markiel. matanya terpejam erat dan bibirnya terus mendesah nikmat. dan ketika ia rasa markiel sudah lelah menghajar tubuhnya, jemari markiel tau-tau saja sudah bergerak naik dan menyusup di celah bibir amel.

“hisap mel.” titahnya kemudian.

tak butuh waktu lama sampai ia melihat amelia mengangguk dan mengulum dua jemari markiel dengan gerak canggung yang menggoda hasratnya kian dalam.

napas markiel memberat ketika jemarinya mulai dihisap-hisap ringan. tangan kirinya yang tadi sempat berhenti meremas kembali melakukan aksinya. membuat kuluman hening amelia dirambati getar desah yang menyalur di jemari markiel.

“ya Tuhan mel.. bisa gila saya.” markiel menyesali keputusannya sendiri dan langsung menarik pelan jemarinya dari bibir basah amel. bagian celananya sudah totalitas sesak dan minta dikeluarkan karena getar hisap amel merambat ke seluruh sarafnya.

amelia mengusap bibirnya dengan ibu jari, lantas maju mendekat dan balik menciumi rahang markiel. jika ciuman bisa membakar, mungkin markiel telah menjadi abu detik ini.

sebab...

ciuman amel kali ini benar-benar terasa luar biasa panas. entah siapa yang mengajari gadis itu, benarkah markiel seorang? sudah lamakah mereka berdua beradu mulut sampai amel yang kemampuannya 0 itu tau-tau sudah sebegini pro-nya?

lihatlah ... lidah gadis itu bahkan sudah merambat naik dan menjilati telinga markiel. benar mengambil alih permainan.

“mel..”

“hmm.”

tak banyak bicara, tangan markiel menarik tangan amel dan ia arahkan ke dada bidangnya yang sudah polos tanpa kain apapun.

“sentuh saya.” adalah titah kedua dari markiel malam ini.

dan amelia menurut, jemarinya menari di atas perut berotot dan dada lapang milik markiel. membuat empunya badan bergetar kecil dan mengeluarkan erang lirih. erangannya sempat bertambah volume ketika jemari amel memainkan putingnya. menjepit kecil benda tersebut dan memuntirnya pelan.

gerakan itu begitu gila sensasinya karena dibarengi oleh lidah amel yang masih melumat area telinganya. belum lagi, tanpa aba-aba, tangan amel sudah bergerak turun dan mengurut ringan milik markiel yang masih tertutup celana.

markiel spontan mencekal pergelangan tangan istrinya.

“tunggu.” ujarnya.

amel menarik wajahnya mundur. “apa?”

pria itu diam sebentar, mengatur napasnya sendiri agar nafsunya lebih terkontrol.

detik berikutnya yang amel tau adalah tangan markiel sudah kembali menggerayangi pangkal pahanya. lelaki itu kembali memegang kendali permainan.

“kamu dulu yang saya puaskan ya mel. saya nanti saja, belakangan.”

dan dengan itu, jemari lelaki itu sudah menggesek bagian intim amelia dari luar celana dalamnya. mengundang erang lirih yang kian merdu di telinga markiel.

“heem, i like it. sing for me mel.” markiel menciumi pundak telanjang amel sambil menggoda garis keperawanan amel. meski masih di luar celana dalam, amel sudah menggelinjang tak karuan.

“markiel...”

“iya sayang.”

“aku mau anak 3.” ujarnya ditengah desahan. membuat yang tengah bermain reflek terkekeh merdu.

“kalau gitu ayo kita buat sampai jadi 3.”

dan kalimat itu ditutup oleh ciuman panas dari markiel yang mendarat di bibir amelnya. gerakan yang membuka adegan intim dan makin seduktif di detik-detik selanjutnya.


YOW GUYS FINALLY UPDATE

PART 2 KALO PART 1 LIKENYA 400+ YA!

JANGAN LUPA BACA RULES!

the invitation

back to 1936, south axfrienne.


Suasana di kediaman Anderson Greinn selalu sepi. Meskipun sibuk tak terkira, tidak akan pernah ada pembicaraan berarti yang dilakukan antar satu penghuni dengan penghuni lainnya.

Hal tersebut merupakan hal yang lumrah mengingat hubungan keluarga inti Anderson sudah kacau sejak ayah satu anak itu memutuskan menikah lagi beberapa tahun silam. Tentu keheningan yang dicipta oleh penguasa rumah membuat yang lainnya mengikuti perlahan-lahan.

Setidaknya aura dingin semacam itu sudah berlalu cukup lama hingga membuat seluruh penghuninya terbiasa untuk tak banyak berinteraksi. Bahkan disadari atau tidak, mereka semua sangat jarang bertegur sapa dan tersenyum satu sama lain. Selain tak begitu berguna, mereka menganggap hal tersebut terlalu tabu karena, —sekali lagi, penguasa kediaman ini tidak pernah melakukan interaksi hangat semacam itu.

Semuanya tampak begitu normal, hingga beberapa bulan belakangan ini mendadak saja ada banyak hal yang berubah di kediaman keluarga Greinn. Suasana hening yang dulunya menggerogoti itu perlahan-lahan seperti sirna dalam satu kedipan mata.

Dimulai dari teriakan kencang pengawal satu ke yang lain atau candaan-candaan ringan antar para pelayan yang menguar di sekitar koridor. Dan paling terasa lagi adalah Anderson yang mendadak saja mau meladeni sapaan hampir seluruh penghuni ketika berpapasan sambil tersenyum lebar.

Garis bawahi, Anderson Greinn, tersenyum lebar! Masalahnya, ayah dari Alexa yang umurnya sudah lewat dari separuh abad ini terbiasa melalui hari-hari dengan alis tertekuk suram dan omelan kasar yang tidak pernah bisa dibantah, namun akhir-akhir ini? Semua berubah!

Perubahannya begitu drastis. Dan satu hal yang jelas adalah hangatnya kembali terasa.

Anderson tidak tahu apa yang terjadi dan untuk alasan pasti macam apa ketika melihat Alexa, —putri semata wayangnya yang memusuhi ia terang-terangan itu, mulai memutuskan untuk menatap dan bahkan mengajak berbicara perihal topik yang menurutnya begitu remeh. Contoh kecil saja yang baru terjadi lima menit lalu, Alexa mengajaknya berbicara pasal ia yang ingin rambutnya dipotong dengan gaya lain.

Anderson tau-tau saja tertawa pelan di ruang kerjanya ketika mengingat konversasi tersebut, jelas merasa senang akan interaksi sepele yang selalu ia rindukan selama bertahun-tahun itu mulai kembali secara perlahan. Ia lantas berdeham singkat ketika baru mengingat bahwa di ruangan ini bukan hanya ada dia seorang, kemudian memutuskan untuk tenggelam lagi dalam lautan pekerjaannya.

Ruangan kembali senyap dan hanya dihiasi oleh suara pena bulu yang bergoresan dengan kertas. Rumbai gorden yang terkena angin lembut dari hamparan taman bunga milik mendiang Duchess Sophia bahkan tak menimbulkan suara apapun. Keheningan berlangsung cukup lama sampai akhirnya Anderson menolehkan pandang ke samping. Memanggil tangan kanan setianya, Harvey Colton, yang sejak awal sudah berdiri di belakangnya dalam kondisi siap sedia.

“Harvey, sudahkah kau beri tahu putriku mengenai pesta dansa akhir pekan di istana?”

Harvey maju satu langkah, “tentu saja sudah, tuan.”

“Dan bagaimana pertemuan yang telah diatur pihak istana 2 hari lalu? Apa Alexa menunjukkan tanda pemberontakan seperti biasanya?”

“Tidak. Nona Alexa mengikuti prosedur pertemuan dengan Pangeran Matthew dengan baik, tuan.”

“Hm..” Anderson mengusuk dagu runcingnya beberapa saat, tampak berpikir. “Lalu apa kau mengira bahwa putriku ingin memotong rambutnya demi pesta akhir pekan?”

Harvey kali ini diam, tidak bisa memberikan jawaban secara cepat sebab ini adalah pertanyaan yang jawabannya sangat di luar pengetahuannya. “Tuan ingin saya mencari tahu alasan Nona Alexa ingin memotong rambutnya?” Sebagai ganti tak bisa memberi jawaban, Harvey menodongkan sebuah tawaran.

Anderson lekas menggeleng. “Tidak, tidak. Hanya hal sepele! Buat apa aku memikirkan hal-hal yang dilakukan perempuan muda seperti putriku ini? Biar saja. Tapi tolong kau pastikan agar jangan dipotong terlalu rendah.”

“Baik tuan.”

“Dan tolong awasi dia untukku hari ini, Harvey. Pastikan pelayan pribadinya sudah mempersiapkan segala kebutuhannya di akhir pekan nanti. Kau tau jelas, ia harus selalu aman dan sempurna untuk acara itu.” Anderson kembali menambahkan perintah setelah hening cukup lama, ia bahkan sempat berdeham canggung setelah menyelesaikan kalimat tersebut.

Harvey hanya mengangguk tanpa banyak pertanyaan. Ia yang bekerja di bawah perintah Anderson Greinn selama bertahun-tahun tentu tau dan paham bahwa tuannya tengah salah tingkah dan gengsi di saat bersamaan. Maka sebagai gantinya, pria berumur 21 tahun itu hanya mengangguk, lantas mengangkat kaki demi menemui nona-nya, Alexa, yang kemungkinan kini tengah berada di taman timur lagi bersama para pelayannya.


Salah. Perkiraan Harvey sepenuhnya meleset totalitas karena kini ia mendapati Alexa tengah berada di hadapan cermin raksasa yang ada di menara utara, sendirian. Tentu saja Harvey bisa cepat mengetahui hal ini setelah sebelumnya sudah menerima laporan dari beberapa pengawal dan penjaga gerbang, pun Annelie yang merupakan kepala pelayan pribadi Alexa.

Harvey kebingungan. Pasalnya, sangat jarang sekali Alexa memasuki menara tersebut karena hanya terdapat ruang baca milik Anderson. Tentu saja isinya hanya buku-buku tebal raksasa dan perkamen-perkamen tua yang Harvey berani bertaruh jika Alexa tak akan pernah menyukainya.

Pria itu sudah mengenal Alexa sejak gadis itu berumur 12 tahun, ketika itu ia sudah berusia 15 tahun dan bersumpah setia untuk mengabdi pada keluarga Greinn seperti generasi sebelumnya. Maka dari itu Harvey jelas tau bahwa Alexa lebih suka bermain di dekat danau ketimbang membaca buku. Alexa lebih suka mengotori gaunnya dengan bercak lumpur ketimbang duduk anggun di ruang baca. Namun ini? Apa gadis itu ingin memberontak dengan perlahan?

Sejujurnya sudah beberapa bulan terakhir Harvey selalu kebingungan akan sikap Alexa yang menurutnya jauh berbeda dari sebelumnya. Semenjak meninggalnya mendiang Duchess Sophia, gadis itu memang berubah menjadi lebih kalem, —dalam artian buruk, karena ia benar-benar mendiamkan semua orang. Gadis itu bahkan memusuhi terang-terangan ayahnya yang 5 tahun silam menikah lagi. Dalam artian lain, Alexa sangat tidak bisa dijangkau. Namun 4 bulan belakangan, Alexa tampak seperti bukan Alexa. Gadis itu seakan kembali hidup dengan versi yang jauh lebih aktif ketimbang sebelum ditinggalkan mendiang ibunya. Lebih parahnya lagi, gadis itu aktif kembali di umurnya yang sudah memasuki era dewasa. 17 tahun. Harvey tidak heran jika Anderson selalu memijat pelipisnya hampir setiap jam sebab bingung harus merasa senang atau kah waspada akan perubahan putrinya ini.

Harvey masih diam dan belum menyapa, pergerakannya yang memang selalu tanpa suara dan kerap berhati-hati tentu saja luput dari pengetahuan Alexa yang kini sibuk menata pernak-pernik rambutnya. Gadis itu benar-benar hanya berdiri dan menyisir helai demi helai dengan tenang. Tidak ada yang aneh jika dilihat dari jarak cukup jauh, namun ketika Harvey sudah lebih mendekat, pria itu bisa melihat betapa kosong dan hampanya tatap mata Alexa melalui pantul cermin. Gadis itu seratus persen tengah melamun.

“Selamat sore, Nona Alexa.” Harvey akhirnya memutuskan untuk menyapa, menghentikan langkah kakinya tepat 3 meter di sekitar kaki gadis itu berdiri.

Alexa spontan menoleh setelah sebelumnya cukup terkejut akan kehadiran tak terduga dari kaki tangan ayahnya tersebut. Ia lantas hanya berdiri diam, tak menyahut, menunggu Harvey untuk menyampaikan sendiri maksud kedatangannya yang menurut Alexa sangatlah mendadak ini terlebih dahulu.

“Tidak biasanya nona datang kemari sendirian tanpa pengawasan.” Harvey memutuskan untuk membuka percakapan dengan topik ringan. Tak lupa ia juga menambahkan sedikit sindir mulus agar setidaknya Alexa tak lagi-lagi berkeliling tanpa pengawasan meski itu masih ada di dalam kastil sekali pun.

Alexa spontan mendengus, menyadari seratus persen bahwa Harvey lagi-lagi mengomentari tingkahnya dengan cara terlampau sopan. “Katakan saja apa yang dipesan oleh ayahku Harvey. Jangan buang waktuku lebih jauh lagi.”

Pria itu tampak menarik sedikit ujung bibirnya ke atas, seperti tengah menahan senyum. Mulut tajam Alexa selalu berhasil menggelitik perutnya.

“Tuan Anderson tidak berpesan apapun kepada saya, nona.” Tentu saja jawabannya adalah seratus persen dusta, ia sengaja melakukan itu agar Alexa tidak terlalu waspada dan nekat kabur sampai terguling di dekat danau seperti beberapa bulan lalu.

Harvey ingat betul kejadiannya, kira-kira waktu itu sudah hampir malam hari ketika ia mendekati Alexa yang lagi-lagi ingin kabur ke taman timur. Perlu diketahui bahwa Anderson sangat tidak suka putrinya berada di luar kastil utama kala mendekati matahari tenggelam kecuali ada undangan penting yang harus dihadiri. Dan satu lagi yang Anderson sangat tidak suka adalah ketidak-anggunan yang ditunjukkan terang-terangan oleh putrinya, ia menganggap itu adalah salah satu tindak pemberontakan kecil yang ia takutkan akan makin bertambah besar jika dibiarkan.

Ayolah! Alexa terlahir di keluarga bangsawan berstatus tinggi! Ia jelas harus memiliki etika dan menunjukkan sikap sopan santun. Apa lagi sebentar lagi ia harus melalui proses pendekatan dengan Pangeran Matthew atas dasar perjodohan. Bahkan sejauh yang Harvey tau, pihak kerajaan telah memberikan banyak sekali buah tangan kepada pihak Greinn demi mendapatkan Alexa sebagai calon utama istri putra mahkota.

“Anda tidak boleh keluar dari menara utama sendirian Nona Alexa.” Harvey berdiri tepat di hadapan tubuh perempuan itu, menyisakan jarak cukup dekat karena ia memang hanya berniat menghadang, bukannya mengobrol.

Lain halnya dengan Harvey yang napasnya masih normal meski sudah melewati adegan berkejar-kejaran layaknya kucing dan tikus di koridor kastil, napas Alexa sudah separuh ada dan tiada. Gadis itu jelas tersengal dengan keringat bercucur deras, makin deras lagi ketika ia harus berhadapan dengan tubuh kekar Harvey yang menjulang terlalu dekat di depan matanya.

Sial. Alexa reflek mengumpat dalam hati. Satu-satunya manusia yang selalu menggagalkan rencananya untuk bisa kembali selalu Harvey dan Harvey seorang! Sudah satu bulan berlalu tanpa adanya perkembangan pasti dan jujur saja Alexa semakin geram dan tidak ingin berpapas mata meski cuma sebentar. Sudah jelas ia harus lebih waspada lagi ketika ingin kabur di lain hari.

Gadis itu reflek mundur beberapa langkah sebelum akhirnya lanjut berlari tanpa menoleh pandang ke belakang lagi. Harvey tau ia tidak boleh berdecak, namun itu adalah tindakan pertamanya ketika melihat Alexa kembali berlari. Ia masih memberi waktu gadis itu agar kabur sedikit lebih jauh sebelum dengan mata kepalanya sendiri, Harvey melihat Alexa tertelungkup persis di samping danau.

Jadi katakan sekarang, haruskah Harvey ketakutan karena tubuh nonanya akan terbaret tanah kasar atau meloloskan tawa kencangnya?

“Kuharap kau tidak mengikutiku untuk sekedar membaca buku di dalam sana Harvey!” Suara ketus Alexa menusuk rungu dan membuyarkan lamunan Harvey dalam sekejap. Gadis itu sudah berbalik badan demi menatapnya, memberikan pandang awas supaya Harvey tak memajukan langkahnya.

“Tidak ada jaminan bahwa anda tidak akan berbuat hal aneh di dalam sana nona.” Harvey kembali menguasai diri dan menjawab dengan santun, ia bahkan masih menjaga jarak sopan dan mundur beberapa langkah ketika Alexa maju mendekatinya.

“Jadi ayahku memang menyuruhmu.” Alexa memberi kesimpulan sedangkan Harvey hanya terdiam saja di tempatnya. “Lagi pula menurutmu hal bodoh apa yang bisa aku perbuat di ruang baca ini Harvey? Kabur?”

“Tidak ada yang pernah tau apa isi pikiran anda, nona.”

“Aku tidak akan macam-macam, pergilah.” Alexa memandang sinis dan menghentikan langkahnya.

Namun Harvey adalah Harvey. Lelaki itu lagi-lagi hanya diam, bahkan menunjukkan satu celah untuk berekspresi pun tidak!

“Kau sepengangguran itu hari ini, huh?” Alexa menukikkan alisnya ke dalam, kesal bukan kepalang karena tak disahuti. Ralat, tak akan disahuti! Sebab bagaimanapun Harvey memang akan selalu menuruti apapun perintah ayahnya.

“Baik, baik. Kau boleh ikut masuk. Tapi jangan sampai aku mendengar suara berisik napasmu di sekitarku, Harvey!” Ia akhirnya melanjutkan, memutuskan untuk balik badan dan mendekati pintu baja dengan ukiran unik yang berdiri setinggi 3,5 meter dengan kokoh di atas marmer hitam.

Dua penjaga pintu reflek mendorongnya agar nona tunggal mereka bisa masuk ke dalam.

Alexa reflek memandang ke sekelilingnya. Atap-atap tinggi berbentuk kubah dengan lukisan dewi yunani kuno, chandelier yang menggantung besar tepat di tengah ruangan, jendela kaca tinggi tanpa sekat besi dengan gorden biru satin yang terbuka lebar, rak-rak tinggi berisi ratusan —bahkan, ribuan buku yang separuhnya sudah terlampau tua karena menurun dari generasi ke generasi, perkamen-perkamen yang berserakan di meja panjang seukuran 3 meter. Semuanya begitu menarik perhatian Alexa. Dan tentu saja, ia langsung menjinjing gaunnya dan berlari menyusuri lorong rak tersebut dengan hati terlampau berdebar.

Hanya ada satu hal yang harus ia dapatkan di dalam sini, dan tentu saja ia akan bersemangat sekali untuk mengorek isi area baca milik Anderson hari ini. Gadis itu terus berlari sambil matanya memindai rak yang dibagi berdasarkan tema pun buku yang diurut berdasar abjad.

Bagaimanapun juga, ia harus menemukannya!

Dan sial, karena Alexa terlampau bergairah, gadis itu jadi totalitas melupakan fakta bahwa ada Harvey yang kini berada di satu ruangan yang sama dengannya.

“Nona.. Berhentilah berlari!” Harvey dengan sigap mulai menyusul pergerakan Alexa yang selalu saja merepotkan tenaganya. Lelaki itu spontan menghadang lagi di hadapan Alexa seraya memaling wajah. “Turunkan gaun anda Nona Alexa. Tidak baik untuk wanita menampakkan tungkai di tempat umum.”

“Tempat umum?” Alexa mendengus. “Ini hanya ruang baca! Dan bahkan tidak ada satu orang pun yang melihat.” Alexa mengimbuhkan opininya seraya tetap menarik gaunnya tinggi ke atas. Tidak begitu tinggi sebenarnya, namun memang betis area bawahnya yang begitu mulus itu terlihat begitu jelas saat ini.

“Jika boleh mengingatkan, saya juga termasuk orang yang bisa melihatnya, nona. Dan sekali lagi saya ingatkan, anda tidak diperkenankan untuk berlarian. Entah di dalam kastil, atau pun di luar kastil.”

Alexa mendengus, cukup kencang. “Generasi ini terlalu kaku dan merepotkan! Lagi pula di sini kan hanya ada kau Harvey? Kenapa kau tidak memihakku sekali saja dan membiarkanku melakukan apa saja yang aku mau?”

Harvey hanya diam, tidak memberi tanggapan apapun. Dan melihat jika Alexa tidak akan berlari lagi, ia langsung melangkah mundur dan membentang jarak sejauh 3 meter lagi.

“Harvey? Aku bicara panjang lebar denganmu!” Alexa menggerutu. “Kenapa semua orang di sini susah sekali diajak berinteraksi?”

“Duduklah dan mulai membaca, nona.”

“Tidak!” Jawaban ketus itu terlontar selagi pemilik suaranya mulai menghentak kaki demi balik arah. Tentu saja Harvey langsung mengikuti di belakangnya.

“Lalu apa yang akan anda lakukan jika tidak ingin membaca?”

Alexa terdiam, malas menjawab. Sebagai gantinya ia hanya berjalan memutari banyak rak tinggi selagi matanya menatap judul-judul buku tua yang terpajang di sisi kirinya.

“Nona?” Harvey berujar.

“Kenapa? Tidak enak kan bicara sendirian?” Alexa benar-benar dendam bukan main.

Tak disangka, Harvey meloloskan tawa kecil yang ternyata begitu merdu untuk ditangkap telinga Alexa. Membuat gadis itu terkejut dan spontan saja membalik badan demi maju mendekat, mengikis jarak.

“Harvey? Kau bisa tertawa!” Ujarnya kemudian, takjub setengah mati.

“Semua manusia bisa tertawa, nona. Tergantung mau atau tidaknya.”

“Dan kau baru saja tertawa.” Alexa mendongak sedikit demi mengawasi raut Harvey yang kini masih menunjukkan raut bersahabat. “Apa yang kau tertawakan?”

“Tidak ada, nona.”

“Lantas apa kau gila?” Alexa memiringkan kepalanya.

Harvey kembali diam dan tak menyahut. “Kembalilah berjalan, nona. Lakukan apa mau anda, aku akan mengikuti dari belakang.”

“Tidak akan sebelum kau memberi tau kenapa kau tertawa.”

Harvey menghela napas. Sejujurnya ia tadi memang reflek meloloskan tawa karena Alexa benar-benar sok tau, apa lagi raut dendamnya itu begitu kentara sekali.

“Ijinkan saya maju mendekat dan menyentuh gaun anda selama beberapa detik nona.”

“Uhm? Untuk apa? Tapi.. Y-ya.. Silakan saja.”

Harvey lekas melangkah ke belakang tubuh Alexa dan meraih tali gaun area pinggangnya yang terlepas. Lelaki itu tak banyak berbicara segera menalikan dengan telaten dan rapi. “Jangan berlari-lari lagi jika tidak ingin talinya mengendur, nona.”

“Jadi kau menertawakan aku!”

“Ya, betul. Tapi bukan karena gaun anda.”

“Lalu?”

Harvey menarik rapat talinya dan memastikan tak terlepas lagi sebelum memberi bentang jarak kembali. “Sudah selesai nona.”

“Kau tak menjawabku lagi!” Alexa menggerutu dan menyenderkan punggungnya di tangga baja yang menyender di rak buku. “Kenapa kau tidak pernah mendengarkan ucapanku Harvey?”

“Saya mendengar semua yang anda ucapkan nona.”

“Ya tapi kau tidak menanggapi aku?”

“Saya memang tidak diijinkan untuk banyak berbicara.”

Alexa mengibas tangannya. “Tidak ada ayahku di sini Harvey!”

Harvey mengangguk. “Dan jangan lupa bahwa dinding juga bisa mendengar, nona.”

Alexa meremas udara, terlampau gemas akan gestur kaku yang dipapar lelaki di hadapannya ini.

“Bersantailah di dekatku. Aku bersumpah tidak akan melapor.”

Harvey tidak menyahut.

“Ini perintahku sebagai putri tunggal Duke Anderson. Atau jika kau tidak menurutiku maka aku akan melapor tentang betapa tidak setianya kau kepadaku.”

Mata Harvey sempat melebar sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk. “Baiklah nona.”

“Sekarang maju mendekat.” Titahnya kemudian.

Pria yang tingginya menjulang beberapa senti di atas kepala Alexa itu benar maju mendekat, menuruti keinginannya. Mata Alexa sontak berkilat puas.

“Ada lagi yang perlu saya perbuat pada anda nona?

“Ya. Berhubung aku tidak bisa mempelajari apapun karena kehadiranmu yang menempel di sekitarku. Maka kau harus bertanggung jawab untuk mengajariku hal yang lain.”

“Tentang apa kah itu nona?”

Alexa masih menyender di tangga besi ketika matanya menancap lurus pada milik Harvey yang berwarna abu-abu gelap. “Berdansa.” jawabnya tak banyak berbasa-basi.

“Ya, nona?” Harvey terkejut, pupilnya sempat bergetar beberapa detik.

“Berdansalah denganku di sini Harvey, ajari aku supaya lancar menghadiri pesta istana akhir pekan.”

“Tapi, nona..”

“Kau tidak akan menolak, bukan?” Sambarnya kemudian.

Dan Harvey langsung menundukkan kepala, tidak bisa menjawab.

rhythm in the stacks

back to 1936, south axfrienne.


Suasana di kediaman Anderson Greinn selalu sepi. Meskipun sibuk tak terkira, tidak akan pernah ada pembicaraan berarti yang dilakukan antar satu penghuni dengan penghuni lainnya.

Hal tersebut merupakan hal yang lumrah mengingat hubungan keluarga inti Anderson sudah kacau sejak ayah satu anak itu memutuskan menikah lagi beberapa tahun silam. Tentu keheningan yang dicipta oleh penguasa rumah membuat yang lainnya mengikuti perlahan-lahan.

Setidaknya aura dingin semacam itu sudah berlalu cukup lama hingga membuat seluruh penghuninya terbiasa untuk tak banyak berinteraksi. Bahkan disadari atau tidak, mereka semua sangat jarang bertegur sapa dan tersenyum satu sama lain. Selain tak begitu berguna, mereka menganggap hal tersebut terlalu tabu karena, —sekali lagi, penguasa kediaman ini tidak pernah melakukan interaksi hangat semacam itu.

Semuanya tampak begitu normal, hingga beberapa bulan belakangan ini mendadak saja ada banyak hal yang berubah di kediaman keluarga Greinn. Suasana hening yang dulunya menggerogoti itu perlahan-lahan seperti sirna dalam satu kedipan mata.

Dimulai dari teriakan kencang pengawal satu ke yang lain atau candaan-candaan ringan antar para pelayan yang menguar di sekitar koridor. Dan paling terasa lagi adalah Anderson yang mendadak saja mau menyapa hampir seluruh penghuni ketika berpapasan sambil tersenyum lebar.

Garis bawahi, Anderson Greinn, tersenyum lebar! Masalahnya, ayah dari Alexa yang umurnya sudah lewat dari separuh abad ini terbiasa melalui hari-hari dengan alis tertekuk suram dan omelan kasar yang tidak pernah bisa dibantah, namun akhir-akhir ini? Semua berubah!

Perubahannya begitu drastis. Dan satu hal yang jelas adalah hangatnya kembali terasa.

Anderson tidak tahu apa yang terjadi dan untuk alasan pasti macam apa ketika melihat Alexa, —putri semata wayangnya yang memusuhi ia terang-terangan itu, mulai memutuskan untuk menatap dan bahkan mengajak berbicara perihal topik yang menurutnya begitu remeh. Contoh kecil saja yang baru terjadi lima menit lalu, Alexa mengajaknya berbicara pasal ia yang ingin rambutnya dipotong dengan gaya lain.

Anderson mendadak saja tertawa pelan di ruang kerjanya ketika mengingat konversasi tersebut, jelas merasa senang akan interaksi sepele yang selalu ia rindukan selama bertahun-tahun itu mulai kembali secara perlahan. Ia lantas berdeham singkat ketika baru mengingat bahwa di ruangan ini bukan hanya ada dia seorang dan memutuskan untuk tenggelam lagi dalam lautan pekerjaannya.

Ruangan kembali senyap dan hanya dihiasi oleh suara pena bulu yang bergoresan dengan kertas. Rumbai gorden yang terkena angin lembut dari hamparan taman bunga milik mendiang Duchess Sophia bahkan tak menimbulkan suara apapun. Keheningan berlangsung cukup lama sampai akhirnya Anderson menolehkan pandang ke samping. Memanggil tangan kanan setianya, Harvey Colton, yang sejak awal sudah berdiri di belakangnya dalam kondisi siap sedia.

“Harvey, sudahkah kau beri tahu putriku mengenai pesta dansa akhir pekan di istana?”

Harvey maju satu langkah, “tentu saja sudah, tuan.”

“Dan bagaimana pertemuan yang telah diatur pihak istana 2 hari lalu? Apa Alexa menunjukkan tanda pemberontakan seperti biasanya?”

“Tidak. Nona Alexa mengikuti prosedur pertemuan dengan Pangeran Jonas dengan baik, tuan.”

“Hm..” Anderson mengusuk dagu runcingnya beberapa saat, tampak berpikir. “Lalu apa kau mengira bahwa putriku ingin memotong rambutnya demi pesta akhir pekan?”

Harvey kali ini diam, tidak bisa memberikan jawaban secara cepat sebab ini adalah pertanyaan yang jawabannya sangat di luar pengetahuannya. “Tuan ingin saya mencari tahu alasan Nona Alexa ingin memotong rambutnya?” Sebagai ganti tak bisa memberi jawaban, Harvey menodongkan sebuah tawaran.

Anderson lekas menggeleng. “Tidak, tidak. Hanya hal sepele! Buat apa aku memikirkan hal-hal yang dilakukan perempuan muda seperti putriku ini? Biar saja. Tapi tolong kau pastikan agar jangan dipotong terlalu rendah.”

“Baik tuan.”

“Dan tolong awasi dia untukku hari ini, Harvey. Pastikan pelayan pribadinya sudah mempersiapkan segala kebutuhannya di akhir pekan nanti. Kau tau jelas, ia harus selalu aman dan sempurna untuk acara itu.” Anderson kembali menambahkan perintah setelah hening cukup lama, ia bahkan sempat berdeham canggung setelah menyelesaikan kalimat tersebut.

Harvey hanya mengangguk tanpa banyak pertanyaan. Ia yang bekerja di bawah perintah Anderson Greinn selama bertahun-tahun tentu tau dan paham bahwa tuannya tengah salah tingkah dan gengsi di saat bersamaan. Maka sebagai gantinya, pria berumur 21 tahun itu hanya mengangguk, lantas mengangkat kaki demi menemui nona-nya, Alexa, yang kemungkinan kini tengah berada di taman timur lagi bersama para pelayannya.


Salah. Perkiraan Harvey sepenuhnya meleset totalitas karena kini ia mendapati Alexa tengah berada di hadapan cermin raksasa yang ada di menara utara, sendirian. Tentu saja Harvey bisa cepat mengetahui hal ini setelah sebelumnya sudah menerima laporan dari beberapa pengawal dan penjaga gerbang, pun Annelie yang merupakan kepala pelayan pribadi Alexa.

Harvey kebingungan. Pasalnya, sangat jarang sekali Alexa memasuki menara tersebut karena hanya terdapat ruang baca milik Anderson. Tentu saja isinya hanya buku-buku tebal raksasa dan perkamen-perkamen tua yang Harvey berani bertaruh jika Alexa tak akan pernah menyukainya.

Pria itu sudah mengenal Alexa sejak gadis itu berumur 12 tahun, ketika itu ia sudah berusia 15 tahun dan bersumpah setia untuk mengabdi pada keluarga Greinn seperti generasi sebelumnya. Maka dari itu Harvey jelas tau bahwa Alexa lebih suka bermain di dekat danau ketimbang membaca buku. Alexa lebih suka mengotori gaunnya dengan bercak lumpur ketimbang duduk anggun di ruang baca. Namun ini? Apa gadis itu ingin memberontak dengan perlahan?

Sejujurnya sudah beberapa bulan ini Harvey selalu kebingungan akan sikap Alexa yang menurutnya jauh berbeda dari sebelumnya. Semenjak meninggalnya mendiang Duchess Sophia, gadis itu memang berubah menjadi lebih kalem, —dalam artian buruk, karena ia benar-benar mendiamkan semua orang. Gadis itu bahkan memusuhi terang-terangan ayahnya yang 5 tahun silam menikah lagi. Dalam artian lain, Alexa sangat tidak bisa dijangkau. Namun 4 bulan belakangan, Alexa tampak seperti bukan Alexa. Gadis itu seakan kembali hidup dengan versi yang jauh lebih aktif ketimbang sebelum ditinggalkan mendiang ibunya.

Entah lah lelaki itu harus merasa senang atau kah waspada akan perubahan nonanya ini.

Harvey masih diam dan belum menyapa, pergerakannya yang memang selalu tanpa suara dan kerap berhati-hati tentu saja luput dari pengetahuan Alexa yang kini sibuk menata pernak-pernik rambutnya. Gadis itu benar-benar hanya berdiri dan menyisir helai demi helai dengan tenang. Tidak ada yang aneh jika dilihat dari jarak cukup jauh, namun ketika Harvey sudah lebih mendekat, pria itu bisa melihat betapa kosong dan hampanya tatap mata Alexa melalui pantul cermin. Gadis itu seratus persen tengah melamun.

“Selamat sore, Nona Alexa.” Harvey akhirnya memutuskan untuk menyapa, menghentikan langkah kakinya tepat 3 meter di sekitar kaki gadis itu berdiri.

Alexa spontan menoleh setelah sebelumnya cukup terkejut akan kehadiran tak terduga dari kaki tangan ayahnya tersebut. Ia lantas hanya berdiri diam, tak menyahut, menunggu Harvey untuk menyampaikan sendiri maksud kedatangannya yang menurut Alexa sangatlah mendadak ini terlebih dahulu.

“Tidak biasanya nona datang kemari sendirian tanpa pengawasan.” Harvey memutuskan untuk membuka percakapan dengan topik ringan. Tak lupa ia juga menambahkan sedikit sindir mulus agar setidaknya Alexa tak lagi-lagi berkeliling tanpa pengawasan meski itu masih ada di dalam kastil sekali pun.

Alexa spontan mendengus, menyadari seratus persen bahwa Harvey lagi-lagi mengomentari tingkahnya dengan cara terlampau sopan. “Katakan saja apa yang dipesan oleh ayahku Harvey. Jangan buang waktuku lebih jauh lagi.”

Pria itu tampak menarik sedikit ujung bibirnya ke atas, seperti tengah menahan senyum. “Tuan Anderson tidak berpesan apapun kepada saya, nona.” Tentu saja jawabannya adalah seratus persen dusta, ia sengaja melakukan itu agar Alexa tidak terlalu waspada dan nekat kabur sampai terguling di dekat danau seperti beberapa bulan lalu.

Harvey ingat betul kejadiannya, kira-kira waktu itu sudah hampir malam hari ketika ia mendekati Alexa yang lagi-lagi ingin kabur ke taman timur. Perlu diketahui bahwa Anderson sangat tidak suka putrinya berada di luar kastil utama kala mendekati matahari tenggelam kecuali ada undangan penting yang harus dihadiri. Dan satu lagi yang Anderson sangat tidak suka adalah ketidak-anggunan yang ditunjukkan terang-terangan oleh putrinya, ia menganggap itu adalah salah satu tindak pemberontakan kecil yang ia takutkan akan makin bertambah besar jika dibiarkan.

Ayolah! Alexa terlahir di keluarga bangsawan berstatus tinggi! Ia jelas harus memiliki etika dan menunjukkan sikap sopan santun. Apa lagi sebentar lagi ia harus melalui proses pendekatan dengan Pangeran Matthew atas dasar perjodohan. Bahkan sejauh yang Harvey tau, pihak kerajaan telah memberikan banyak sekali buah tangan kepada pihak Greinn demi mendapatkan Alexa sebagai calon utama istri putra mahkota.

“Anda tidak boleh keluar dari menara utama sendirian Nona Alexa.” Harvey berdiri tepat di hadapan tubuh perempuan itu, menyisakan jarak cukup dekat karena ia memang hanya berniat menghadang, bukannya mengobrol.

Lain halnya dengan Harvey yang napasnya masih normal meski sudah melewati adegan berkejar-kejaran layaknya kucing dan tikus di koridor kastil, napas Alexa sudah separuh ada dan tiada. Gadis itu jelas tersengal dengan keringat bercucur deras, makin deras lagi ketika ia harus berhadapan dengan tubuh kekar Harvey yang menjulang terlalu dekat di depan matanya.

Sial. Alexa reflek mengumpat dalam hati. Satu-satunya manusia yang selalu menggagalkan rencananya untuk bisa kembali selalu Harvey dan Harvey seorang! Sudah satu bulan berlalu tanpa adanya perkembangan pasti dan jujur saja Alexa semakin geram dan tidak ingin berpapas mata meski cuma sebentar. Sudah jelas ia harus lebih waspada lagi ketika ingin kabur di lain hari.

Gadis itu reflek mundur beberapa langkah sebelum akhirnya lanjut berlari tanpa menoleh pandang ke belakang lagi. Harvey tau ia tidak boleh berdecak, namun itu adalah tindakan pertamanya ketika melihat Alexa kembali berlari. Ia masih memberi waktu gadis itu agar kabur sedikit lebih jauh sebelum dengan mata kepalanya sendiri, Harvey melihat Alexa tertelungkup persis di samping danau.

Jadi katakan sekarang, haruskah Harvey ketakutan karena tubuh nonanya akan terbaret tanah kasar atau meloloskan tawa kencangnya?

“Kuharap kau tidak mengikutiku untuk sekedar membaca buku di dalam sana Harvey!” Suara ketus Alexa menusuk rungu dan membuyarkan lamunan Harvey dalam sekejap. Gadis itu sudah berbalik badan demi menatapnya, memberikan pandang awas supaya Harvey tak memajukan langkahnya.

“Tidak ada jaminan bahwa anda tidak akan berbuat hal aneh di dalam sana nona.” Harvey kembali menguasai diri dan menjawab dengan santun, ia bahkan masih menjaga jarak sopan dan mundur beberapa langkah ketika Alexa maju mendekatinya.

“Jadi ayahku memang menyuruhmu.” Alexa memberi kesimpulan sedangkan Harvey hanya terdiam saja di tempatnya. “Lagi pula menurutmu hal bodoh apa yang bisa aku perbuat di ruang baca ini Harvey? Kabur?”

“Tidak ada yang pernah tau apa isi pikiran anda, nona.”

“Aku tidak akan macam-macam, pergilah.” Alexa memandang sinis dan menghentikan langkahnya.

Namun Harvey adalah Harvey. Lelaki itu lagi-lagi hanya diam, bahkan menunjukkan satu celah untuk berekspresi pun tidak!

“Kau sepengangguran itu hari ini, huh?” Alexa menukikkan alisnya ke dalam, kesal bukan kepalang karena tak disahuti. Ralat, tak akan disahuti! Sebab bagaimanapun Harvey memang akan selalu menuruti apapun perintah ayahnya.

“Baik, baik. Kau boleh ikut masuk. Tapi jangan sampai aku mendengar suara berisik napasmu di sekitarku, Harvey!” Ia akhirnya melanjutkan, memutuskan untuk balik badan dan mendekati pintu baja dengan ukiran unik yang berdiri setinggi 3,5 meter dengan kokoh di atas marmer hitam.

Dua penjaga pintu reflek mendorongnya agar nona tunggal mereka bisa masuk ke dalam.

Alexa reflek memandang ke sekelilingnya. Atap-atap tinggi berbentuk kubah dengan lukisan dewi yunani kuno, chandelier yang menggantung besar tepat di tengah ruangan, jendela kaca tinggi tanpa sekat besi dengan gorden biru satin yang terbuka lebar, rak-rak tinggi berisi ratusan —bahkan, ribuan buku yang separuhnya sudah terlampau tua karena menurun dari generasi ke generasi, perkamen-perkamen yang berserakan di meja panjang seukuran 3 meter. Semuanya begitu menarik perhatian Alexa. Dan tentu saja, ia langsung menjinjing gaunnya dan berlari menyusuri lorong rak tersebut dengan hati terlampau ceria.

Ia totalitas melupakan fakta bahwa ada Harvey, pengawasnya, yang kini berada di satu ruangan yang sama dengannya.

“Nona.. Jangan berlari!” Harvey dengan sigap mulai menyusul pergerakan Alexa yang selalu saja merepotkan tenaganya. Setau Harvey, Alexa dulu sangat santun dan elegan sekali. Jangankan berlari, berjalan sembari mengangkat gaun setinggi itu ketika berjalan pun tidak pernah!

Harvey spontan menghadang lagi di hadapan Alexa seraya memaling wajah. “Turunkan gaun anda Nona Alexa. Tidak baik untuk wanita menampakkan tungkai di tempat umum.”

“Tempat umum?” Alexa mendengus. “Ini hanya ruang baca! Dan bahkan tidak ada satu orang pun yang melihat.” Alexa mengimbuhkan opininya seraya tetap menarik gaunnya tinggi ke atas. Tidak begitu tinggi sebenarnya, namun memang betis area bawahnya yang begitu mulus itu terlihat begitu jelas saat ini.

“Jika boleh mengingatkan, saya juga termasuk orang yang bisa melihatnya, nona. Dan sekali lagi saya ingatkan, anda tidak diperkenankan untuk berlarian. Entah di dalam kastil, atau pun di luar kastil.”

Alexa mendengus, cukup kencang. “Generasi ini terlalu kaku dan merepotkan! Lagi pula di sini kan hanya ada kau Harvey? Kenapa kau tidak memihakku sekali saja dan membiarkanku melakukan apa saja yang aku mau?”

Harvey hanya diam, tidak memberi tanggapan apapun. Dan melihat jika Alexa tidak akan berlari lagi, ia langsung melangkah mundur dan membentang jarak sejauh 3 meter lagi.

“Harvey! Aku bicara panjang lebar denganmu.” Alexa menggerutu. “Kenapa semua orang di sini susah sekali diajak berinteraksi?”

“Duduklah dan mulai membaca, nona.”

“Tidak!” Jawaban ketus itu terlontar selagi pemilik suaranya mulai menghentak kaki demi balik arah. Tentu saja Harvey langsung mengikuti di belakangnya.

“Lalu apa yang akan anda lakukan jika tidak ingin membaca?”

Alexa terdiam, malas menjawab. Sebagai gantinya ia hanya berjalan memutari banyak rak tinggi selagi matanya menatap judul-judul buku tua yang terpajang di sisi kirinya.

“Nona?” Harvey berujar.

“Kenapa? Tidak enak kan bicara sendirian?” Alexa benar-benar dendam bukan main.

Tak disangka, Harvey meloloskan tawa kecil yang ternyata begitu merdu untuk ditangkap telinga Alexa. Membuat gadis itu terkejut dan spontan saja membalik badan demi maju mendekat, mengikis jarak.

“Harvey? Kau bisa tertawa!” Ujarnya kemudian, takjub setengah mati.

“Semua manusia bisa tertawa, nona. Tergantung mau atau tidaknya.”

“Dan kau baru saja tertawa.” Alexa mendongak sedikit demi mengawasi raut Harvey yang kini masih menunjukkan raut bersahabat. “Apa yang kau tertawakan?”

“Tidak ada, nona.”

“Lantas apa kau gila?” Alexa memiringkan kepalanya.

Harvey kembali diam dan tak menyahut. “Kembalilah berjalan, nona. Lakukan apa maumu, aku akan mengikuti di belakangmu.”

“Tidak akan sebelum kau memberi tau kenapa kau tertawa.”

Harvey menghela napas. Sejujurnya ia tadi memang reflek meloloskan tawa karena Alexa benar-benar sok tau, apa lagi raut dendamnya itu begitu kentara sekali.

“Ijinkan saya maju mendekat dan menyentuh gaun anda selama beberapa detik nona.”

“Uhm? Y-ya.. Silakan saja.”

Harvey lekas melangkah ke belakang tubuh Alexa dan meraih tali gaun area pinggangnya yang terlepas. Lelaki itu tak banyak berbicara segera menalikan dengan telaten dan rapi. “Jangan berlari-lari lagi, nona.”

“Jadi kau menertawakan aku!”

“Ya, betul. Tapi bukan karena gaun anda.”

“Lalu?”

Harvey menarik rapat talinya dan memastikan tak terlepas lagi sebelum memberi bentang jarak kembali. “Sudah selesai nona.”

“Kau tak menjawabku lagi!” Alexa menggerutu dan menyenderkan punggungnya di tangga baja yang menyender di rak buku. “Kenapa kau selalu tidak mendengarkan ucapanku Harvey?”

“Saya mendengar semua yang anda ucapkan nona.”

“Ya tapi kau tidak menanggapi aku?”

“Saya memang tidak diijinkan untuk banyak berbicara.”

Alexa mengibas tangannya. “Tidak ada ayahku di sini Harvey!”

Harvey mengangguk. “Jangan lupa bahwa dinding juga bisa mendengar, nona.”

Alexa meremas udara, terlampau gemas akan gestur kaku yang dipapar Harvey. Makin kesal lagi karena niat kedatangannya yang ingin melihat silsilah ataupun sejarah keluarga Greinn terganggu seratus persen.

“Bersantailah di dekatku Harvey. Aku bersumpah tidak akan melapor.”

Harvey tidak menyahut.

“Ini perintahku sebagai putri tunggal Duke Anderson. Atau jika kau tidak menurutiku maka aku akan melapor tentang betapa tidak setianya kau kepadaku.”

Mata Harvey sempat melebar sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk. “Baiklah nona.”

“Sekarang maju mendekat.” Melihat Harvey menurut, Alexa kembali memberi titah.

Pria yang tingginya menjulang beberapa senti di atas kepala Alexa itu benar maju mendekat, menurut.

“Berhubung aku tidak bisa mempelajari apapun karena kehadiranmu yang menempel di sekitarku. Maka kau harus bertanggung jawab untuk mengajariku hal yang lain.”

“Tentang apa kah itu nona?”

“Berdansa.”

Harvey terkejut, pupilnya sempat bergetar beberapa detik. “Ya, nona?”

“Berdansalah denganku Harvey, ajari aku agar lancar di pesta istana akhir pekan.”

back to 1936, south axfrienne


Suasana di kediaman Anderson Greinn selalu sepi. Meskipun sibuk tak terkira, tidak akan pernah ada pembicaraan berarti yang dilakukan antar satu penghuni dengan penghuni lainnya.

Hal tersebut merupakan hal yang lumrah mengingat hubungan keluarga inti Anderson sudah kacau sejak ayah satu anak itu memutuskan menikah lagi beberapa tahun silam. Tentu keheningan yang dicipta oleh penguasa rumah membuat yang lainnya mengikuti perlahan-lahan.

Setidaknya aura dingin semacam itu sudah berlalu cukup lama hingga membuat seluruh penghuninya terbiasa untuk tak banyak berinteraksi. Bahkan disadari atau tidak, mereka semua sangat jarang bertegur sapa dan tersenyum satu sama lain. Selain tak begitu berguna, mereka menganggap hal tersebut terlalu tabu karena, —sekali lagi, penguasa kediaman ini tidak pernah melakukan interaksi hangat semacam itu.

Semuanya tampak begitu normal, hingga beberapa bulan belakangan ini mendadak saja ada banyak hal yang berubah di kediaman keluarga Greinn. Suasana hening yang dulunya menggerogoti itu perlahan-lahan seperti sirna dalam satu kedipan mata.

Dimulai dari teriakan kencang pengawal satu ke yang lain atau candaan-candaan ringan antar para pelayan yang menguar di sekitar koridor. Dan paling terasa lagi adalah Anderson yang mendadak saja mau menyapa hampir seluruh penghuni ketika berpapasan sambil tersenyum lebar.

Garis bawahi, Anderson Greinn, tersenyum lebar! Masalahnya, ayah dari Alexa yang umurnya sudah lewat dari separuh abad ini terbiasa melalui hari-hari dengan alis tertekuk suram dan omelan kasar yang tidak pernah bisa dibantah, namun akhir-akhir ini? Semua berubah!

Perubahannya begitu drastis. Dan satu hal yang jelas adalah hangatnya kembali terasa.

Anderson tidak tahu apa yang terjadi dan untuk alasan pasti macam apa ketika melihat Alexa, —putri semata wayangnya yang memusuhi ia terang-terangan itu, mulai memutuskan untuk menatap dan bahkan mengajak berbicara perihal topik yang menurutnya begitu remeh. Contoh kecil saja yang baru terjadi lima menit lalu, Alexa mengajaknya berbicara pasal ia yang ingin rambutnya dipotong dengan gaya lain.

Anderson mendadak saja tertawa pelan di ruang kerjanya ketika mengingat konversasi tersebut, jelas merasa senang akan interaksi sepele yang selalu ia rindukan selama bertahun-tahun itu mulai kembali secara perlahan. Ia lantas berdeham singkat ketika baru mengingat bahwa di ruangan ini bukan hanya ada dia seorang dan memutuskan untuk tenggelam lagi dalam lautan pekerjaannya.

Ruangan kembali senyap dan hanya dihiasi oleh suara pena bulu yang bergoresan dengan kertas. Rumbai gorden yang terkena angin lembut dari hamparan taman bunga milik mendiang Duchess Sophia bahkan tak menimbulkan suara apapun. Keheningan berlangsung cukup lama sampai akhirnya Anderson menolehkan pandang ke samping. Memanggil tangan kanan setianya, Harvey Colton, yang sejak awal sudah berdiri di belakangnya dalam kondisi siap sedia.

“Harvey, sudahkah kau beri tahu putriku mengenai pesta dansa akhir pekan di istana?”

Harvey maju satu langkah, “tentu saja sudah, tuan.”

“Dan bagaimana pertemuan yang telah diatur pihak istana 2 hari lalu? Apa Alexa menunjukkan tanda pemberontakan seperti biasanya?”

“Tidak. Nona Alexa mengikuti prosedur pertemuan dengan Pangeran Jonas dengan baik, tuan.”

“Hm..” Anderson mengusuk dagu runcingnya beberapa saat, tampak berpikir. “Lalu apa kau mengira bahwa putriku ingin memotong rambutnya demi pesta akhir pekan?”

Harvey kali ini diam, tidak bisa memberikan jawaban secara cepat sebab ini adalah pertanyaan yang jawabannya sangat di luar pengetahuannya. “Tuan ingin saya mencari tahu alasan Nona Alexa ingin memotong rambutnya?” Sebagai ganti tak bisa memberi jawaban, Harvey menodongkan sebuah tawaran.

Anderson lekas menggeleng. “Tidak, tidak. Hanya hal sepele! Buat apa aku memikirkan hal-hal yang dilakukan perempuan muda seperti putriku ini? Biar saja. Tapi tolong kau pastikan agar jangan dipotong terlalu rendah.”

“Baik tuan.”

“Dan tolong awasi dia untukku hari ini, Harvey. Pastikan pelayan pribadinya sudah mempersiapkan segala kebutuhannya di akhir pekan nanti. Kau tau jelas, ia harus selalu aman dan sempurna untuk acara itu.” Anderson kembali menambahkan perintah setelah hening cukup lama, ia bahkan sempat berdeham canggung setelah menyelesaikan kalimat tersebut.

Harvey hanya mengangguk tanpa banyak pertanyaan. Ia yang bekerja di bawah perintah Anderson Greinn selama bertahun-tahun tentu tau dan paham bahwa tuannya tengah salah tingkah dan gengsi di saat bersamaan. Maka sebagai gantinya, pria berumur 21 tahun itu hanya mengangguk, lantas mengangkat kaki demi menemui nona-nya, Alexa, yang kemungkinan kini tengah berada di taman timur lagi bersama para pelayannya.


Salah. Perkiraan Harvey sepenuhnya meleset totalitas karena kini ia mendapati Alexa tengah berada di hadapan cermin raksasa yang ada di menara utara, sendirian. Tentu saja Harvey bisa cepat mengetahui hal ini setelah sebelumnya sudah menerima laporan dari beberapa pengawal dan penjaga gerbang, pun Annelie yang merupakan kepala pelayan pribadi Alexa.

Harvey jelas tengah dilanda kebingungan. Pasalnya, sangat jarang sekali Alexa memasuki menara tersebut karena hanya terdapat ruang baca milik Anderson. Tentu saja isinya hanya buku-buku tebal raksasa dan perkamen-perkamen tua yang Harvey berani bertaruh jika Alexa tak akan pernah menyukainya.

Harvey tentu sudah mengenal Alexa sejak gadis itu berumur 12 tahun, ketika itu ia sudah berusia 15 tahun dan bersumpah setia untuk mengabdi pada keluarga Greinn seperti generasi sebelumnya. Pria itu jelas tau bahwa Alexa lebih suka bermain di dekat danau ketimbang membaca buku. Alexa lebih suka mengotori gaunnya dengan bercak lumpur ketimbang duduk anggun di ruang baca. Namun ini? Apa gadis itu ingin memberontak dengan perlahan?

Sejujurnya sudah beberapa bulan ini Harvey selalu kebingungan akan sikap Alexa yang menurutnya jauh berbeda dari sebelumnya. Semenjak meninggalnya mendiang Duchess Sophia, gadis itu berubah menjadi lebih kalem, —dalam artian buruk, karena ia benar-benar mendiamkan semua orang. Gadis itu bahkan memusuhi terang-terangan ayahnya yang 5 tahun silam menikah lagi. Dalam artian lain, Alexa sangat tidak bisa dijangkau. Namun 4 bulan belakangan, Alexa tampak seperti bukan Alexa.

Entah lah Harvey harus merasa senang atau kah waspada akan perubahan nonanya ini.

Harvey masih belum menyapa, pergerakannya yang memang selalu tanpa suara dan kerap berhati-hati tentu saja luput dari pengetahuan Alexa yang kini sibuk menata pernak-pernik rambutnya. Gadis itu benar-benar hanya berdiri dan menyisir helai demi helai dengan tenang. Tidak ada yang aneh jika dilihat dari jarak cukup jauh, namun ketika Harvey sudah mendekat, pria itu bisa melihat betapa kosong dan hampanya tatap mata Alexa melalui pantul cermin. Gadis itu seratus persen tengah melamun.

“Selamat sore, Nona Alexa.” Harvey akhirnya memutuskan untuk menyapa, menghentikan langkah kakinya tepat 3 meter di sekitar kaki gadis itu berdiri.

Alexa spontan menoleh setelah sebelumnya cukup terkejut akan kehadiran tak terduga dari kaki tangan ayahnya. Ia lantas hanya berdiri diam, tak menyahut, menunggu Harvey untuk menyampaikan sendiri maksud kedatangannya yang menurut Alexa sangatlah mendadak ini terlebih dahulu.

“Tidak biasanya nona datang kemari sendirian tanpa pengawasan.” Harvey memutuskan untuk membuka percakapan dengan topik ringan. Tak lupa ia juga menambahkan sedikit sindir mulus agar setidaknya Alexa tak lagi-lagi berkeliling tanpa pengawasan meski itu masih ada di dalam kastil sekali pun.

Alexa spontan mendengus, menyadari seratus persen bahwa Harvey lagi-lagi mengomentari tingkahnya dengan cara terlampau sopan. “Katakan saja apa yang dipesan oleh ayahku Harvey. Jangan buang waktuku lebih jauh lagi.”

Pria itu tampak menarik sedikit ujung bibirnya ke atas, seperti tengah menahan senyum. “Tuan tidak berpesan apapun pada saya, nona.” Tentu saja jawabannya adalah seratus persen dusta, ia sengaja melakukan itu agar Alexa tidak terlalu waspada dan nekat kabur sampai terguling di dekat danau seperti beberapa bulan lalu.

Harvey ingat betul kejadiannya, kira-kira waktu itu sudah hampir malam hari ketika ia mendekati Alexa yang lagi-lagi ingin kabur ke taman timur. Perlu diketahui bahwa Anderson sangat tidak suka putrinya berada di luar bangunan kala mendekati matahari tenggelam kecuali ada undangan penting yang harus dihadiri. Dan satu lagi yang Anderson sangat tidak suka adalah ketidak-anggunan yang ditunjukkan terang-terangan oleh putrinya, ia menganggap itu adalah salah satu tindak pemberontakan kecil yang ia takutkan akan makin bertambah besar jika dibiarkan.

Ayolah! Alexa terlahir di keluarga bangsawan berstatus tinggi! Ia jelas harus memiliki etika dan menunjukkan sikap sopan santun. Apa lagi sebentar lagi ia harus melalui proses pendekatan dengan Pangeran Jonas atas dasar perjodohan. Bahkan sejauh yang Harvey tau, pihak kerajaan telah memberikan banyak sekali buah tangan kepada pihak Greinn demi mendapatkan Alexa sebagai calon utama istri putra mahkota.

“Anda tidak boleh keluar dari menara barat sendirian Nona Alexa.” Harvey berdiri tepat di hadapan tubuh perempuan itu, menyisakan jarak cukup dekat karena ia memang hanya berniat menghadang, bukannya mengobrol.

Lain halnya dengan Harvey yang napasnya masih normal meski sudah melewati adegan berkejar-kejaran layaknya kucing dan tikus di koridor kastil, napas Alexa sudah separuh ada dan tiada. Gadis itu jelas tersengal dengan keringat bercucur deras, makin deras lagi ketika ia harus berhadapan dengan tubuh kekar Harvey yang menjulang terlalu dekat di depan matanya.

Sial. Alexa reflek mengumpat dalam hati. Satu-satunya manusia yang selalu menggagalkan rencananya untuk bisa kembali selalu Harvey dan Harvey seorang! Sudah satu bulan berlalu tanpa adanya perkembangan pasti dan jujur saja Alexa semakin geram dan tidak ingin berpapas mata meski sebentar. Sudah jelas ia harus waspada di lain hari.

Gadis itu reflek mundur beberapa langkah sebelum lanjut berlari tanpa menoleh pandang ke belakang lagi. Harvey tau ia tidak boleh berdecak, namun itu adalah tindakan pertamanya ketika melihat Alexa kembali berlari. Ia masih memberi waktu gadis itu agar kabur sedikit lebih jauh sebelum dengan mata kepalanya sendiri, Harvey melihat Alexa tertelungkup persis di samping danau.

Jadi katakan sekarang, haruskah Harvey ketakutan karena tubuh nonanya akan terbaret tanah kasar atau meloloskan tawa kencangnya?

“Kuharap kau tidak mengikutiku untuk sekedar membaca buku di dalam sana Harvey!” Suara ketus Alexa menusuk rungu dan membuyarkan lamunannya. Gadis itu sudah berbalik badan demi menatapnya, memberikan tatap awas supaya Harvey tak memajukan langkahnya.

“Tidak ada jaminan bahwa anda bisa

“Tidak ada pesan apapun dari Tuan Anderson, nona.” Harvey berdusta dan reflek saja mengikuti langkah Alexa yang mulai bergerak menuju pintu ruang baca setinggi 3,5 meter di samping kiri tubuhnya. Tentu dengan tetap memperkirakan jarak aman untuk menghormati Alexa.

“Oh tentu kau tidak sepengangguran itu untuk mendadak mengikutiku kemari bukan?” Gadis itu menyahut dengan cukup pedas tanpa menolehkan kepalanya meski hanya satu senti. Ia A

“Tuan Anderson berpesan agar nona tidak memotong rambut terlalu rendah.”

Alexa mendengus tanpa suara, lantas mengangguk. “Aku hanya bercanda. Ayah menanggapi terlalu serius.” Ia memberikan balasan seraya melangkah menjauh dari cermin demi mendekati ruang baca.

Tanpa siapapun sadari, Harvey menghela napasnya lega. Bagaimanapun ia tidak pernah membayangkan jika Alexa akan memangkas rambutnya. Menurut Harvey, rambut nonanya ini terlalu indah. Dan jika boleh jujur, Alexa sangat cocok dengan rambut panjang badainya. Lelaki itu reflek bergerak mengikuti kaki Alexa yang sudah berjarak cukup jauh dari posisinya berdiri.

“Kenapa kau mengikutiku?”

Harvey lagi

Selalu kaku dan tanpa ekspresi. Demi apa pun, jika ada penghuni kastil yang layak disebut menyebalkan, maka Harvey adalah orangnya.

Alexa tau bahwa menjadi kaki tangan pilihan Anderson berarti sama saja dengan memegang kendali penuh atas apa saja yang terjadi dalam kastil selama ayahnya mendekam dalam ruangan. Namun tetap saja, Harvey begitu menyebalkan karena lebih kaku dan ketus ketimbang ayahnya yang berkuasa di kastil ini. Lebih apesnya lagi, Anderson

Tentu ia tidak bodoh karena jelas merasakan energi tidak ramah dari arah Alexa berdiri sekarang. Salah bicara sedikit Harvey yakin bahwa ia akan kena pelototan tajam dari putri tuannya ini.

dengan terang-terangan lebih menomorsatukan Harvey ketimbang Alexa yang darah dagingnya sendiri.

Ya, kembali lagi, hubungan Alexa dengan Anderson dari

2000, city of thendria.


Seperti halnya hari-hari pada umumnya, Arabella Mireya juga harus bekerja keras dan membanting seluruh tulang serta sendinya untuk menghasilkan banyak uang.

Di kota kecil yang ia tinggali ini, tidak banyak hal yang bisa Arabella kerjakan selain menjadi pengusaha roti. Sebab meski keahliannya menggunung, gadis itu masih tidak bisa menjual hasilnya secara leluasa karena kurangnya pendapatan warga setempat.

Logika kecil saja, sebagai warga di titik terpencil, mereka tentu tidak bisa menghamburkan banyak uang secara bebas dan jelas lebih memilih untuk menjajakan hartanya ke dagangan yang pasti dan nyata berguna. Dan contoh lebih akuratnya lagi adalah roti, makanan utama mereka.

Bisa dibilang toko roti milik Arabella adalah bangunan yang paling berkelas di tempatnya. Toko tersebut bahkan tidak pernah terlihat tutup alias buka 24 jam dengan pergantian shift pekerja. Bangunan seluas 10x12 meter itu tak pernah sepi pengunjung serta selalu terlihat sibuk. Dan selaku pemilik pun kepala dapur, Arabella jelas tidak memiliki waktu untuk bermain-main.

Seperti saat ini misalnya.

“Duh, excuse me lady, but i think you just stepped on my white shoes!”

Arabella terkejut, menggigit bagian dalam pipinya ringan. Tentu saja ia tahu bahwa ia bersalah, sebab di tengah cuaca yang masih mendung ini, air genangan hujan bekas beberapa jam lalu faktanya masih menggenang begitu bebas. Hal itu membuat sepatu laki-laki tadi mengecap hitam karena bagian bawah sepatu kulit milik Arabella.

Derap langkah kaki dari manusia-manusia lain mulai terdengar menggema di kepala Arabella sebab gadis itu kini sibuk membuat segala kesalahannya selesai tanpa harus perlu bersusah payah adu otot mulut terlebih dahulu.

“Apa anda mau melepas sepatu anda sebentar supaya bisa saya cucikan?”

Lelaki tersebut membalas dengan tatap nyalang, nyaris memaki. Ya, meski kalimat yang keluar setelahnya masih sama saja ketusnya. “Anda ingin saya berjalan di jalanan padat dan basah ini tanpa alas kaki?!”

Arabella memejamkan mata. Mengilhami dalam hati bahwa yang baru ia ucapkan memang bodoh adanya. Perempuan itu lantas mengetuk-ngetuk sepatu putih gadingnya gemas, memikirkan cara lain agar segera terbebas dari masalah sepele, —yang sejujurnya sangat buang-buang waktu ini, secara cepat tanpa menimbulkan masalah lain.

“Maafkan saya tuan, apa yang harus saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab?”

Lelaki tersebut spontan mendengus kencang, raut kesalnya masih mendominasi dan tidak luntur meskipun Arabella sudah berusaha kuat untuk menebus kesalahannya.

“Atau apakah tuan bersedia jika saya memberikan beberapa keping frei untuk ganti biaya pencuciannya?”

Tak disangka, tatap nyalang lelaki tersebut jatuh menghunjam makin intens. Arabella spontan saja menundukkan kepala dan menatap ujung sepatunya sendiri. Apa ia salah bicara? Namun, di mana letak salahnya?

“Apa di mata anda saya terlihat terlalu kumuh sehingga membuat anda berpikir jika mengganti uang adalah cara terbaik? Dengar saya baik-baik nona.. Saya....” Ucapan lelaki itu terpotong cepat secara mendadak hingga alisnya menukik ke dalam karena terkejut.

“Lantas katakan apa mau anda secara jelas tuan! Saya hanya ingin segera menyelesaikan ini dan lekas bekerja. Tentu saja anda tidak berpikir untuk menahan saya di sini selamanya bukan?” Arabella menaikkan pandang setelah memangkas ucapan dengan nada tak enak tersebut dengan cepat dan tegas. Selain ia tidak suka terlibat dalam pembicaraan yang berbelit dalam jangka waktu lama, ia juga tidak bisa membiarkan toko rotinya memulai aktivitas pagi tanpa kehadirannya.

Ia perlu briefing, perlu mendata menu-menu yang sekiranya dalam minggu ini laris pesat agar bisa memperkirakan stoknya sejak awal. Ia juga perlu menyapa beberapa pelanggan tetap yang kerap datang dengan alasan membeli roti padahal hanya ingin bertemu dan bertatap muka dengan dirinya.

Oh, tentu saja Arabella Mireya sangat sadar bahwa ia memiliki paras jelita dengan finansial di ambang rata-rata. Ia tentu tau bahwa namanya kerap muncul di surat kabar dengan ia dijadikan sebagai perempuan top nomor 1 di Thendria yang cocok untuk dipersunting.

Huh! Arabella reflek saja mendengus. Dijadikan seorang istri? Jangan bermimpi! Arabella tidak pernah berkeinginan untuk mengabdikan diri menjadi istri seseorang. Bahkan membayangkan barang satu detik saja ia tidak pernah!

“Dimana sopan santun anda, nona? Sudah jelas anda yang menginjak kaki saya, dan sekarang anda mendengus?”

Demi Tuhan, Arabella cuma melamun! Kenapa pula ia lagi yang salah di sini? Dan bukankah pria ini terlalu sensitif di pagi hari?

Gadis itu spontan saja menghela napas, berusaha menetralkan gemuruh kesal yang mulai merambat di area dadanya. Setelah dirasa cukup tenang, ia segera menampilkan senyum terpaksa kepada lawan bicaranya. “Jadi apa yang tuan ingin sebagai bentuk permintaan maaf dari saya?”

Rasanya, pertanyaan Arabella ini kembali lagi ke titik awal. Bedanya jika tadi lelaki itu mengeluarkan banyak ujaran pedas dan cenderung mengulur waktu, kali ini sudah tidak lagi. Bahkan jawaban yang terlontar terasa begitu cepat dan tanpa basa-basi.

“Sarapan. Belikan aku yang terbaik dari kota ini.”

Arabella terdiam. Ia sampai harus menelengkan kepala karena kebingungan akan permintaan yang menurutnya kurang masuk akal tersebut.

Jadi maksudnya pria menyebalkan yang menyita waktu Arabella lebih dari 20 menit ini hanya menginginkan sarapan sebagai ganti? Bukankah lebih cepat jika ia menerima beberapa keping frei dan membelanjakannya sendiri?

Beberapa detik terlewat dan tanpa sadar alis cantik milik Arabella sudah menukik tajam tanda kekesalannya yang perlahan memuncak.

“Oh? Anda tidak ingin mengganti bahkan untuk hal sesimpel sarapan, nona?” Lelaki itu menarik kesimpulan dengan ekspresi pedasnya yang sejak awal sudah terpatri mulus tanpa adanya pengurangan sedikit pun.

Arabella menghembus napas lagi, berusaha mengendalikan ekspresinya. “Mari ikuti saya tuan.” Ujarnya kemudian sembari menggiring langkah menuju bangunan toko miliknya yang masih berada sekitar satu kilo meter dari lokasinya berdiri.

“Berjalan kaki? Tidak ada kah kendaraan yang bisa dinaiki di kota ini?” Lelaki itu spontan mengeluarkan protes ketika melihat Arabella berjalan cepat di hadapannya.

“Kereta kuda yang seharusnya saya tumpangi telah melaju ketika anda mendebat saya terlalu lama sebelumnya, tuan.” Jawaban Arabella memang terdengar tanpa emosi dan cenderung datar, namun lelaki itu tetap saja mendengus karena nyatanya ujaran tersebut penuh dengan sindiran tajam.

“Lalu? Tidak ada lagi?”

“Tidak. Hanya akan datang selama 30 menit sekali di pemberhentian ini.” Arabella masih berusaha menjelaskan dengan sisa kesabaran yang makin terkikis. Dan sepertinya dewi fortunata tengah berbaik hati untuk membantu kesialannya, sebab lelaki itu akhirnya memutuskan untuk diam di sepanjang perjalanannya mengikuti langkah Arabella.

Atau, tidak?

“Selain kecil, Thendria benar-benar terbelakang sekali.”

Arabella menghentikan langkah secara mendadak hingga membuat pria yang masih belum ia ketahui namanya ini membentur tubuhnya lumayan kencang. Tentu saja sebab ia keasikan berkata-kata sadis seraya mendongak demi melihat-lihat bangunan.

“Mundurkan satu langkah kakimu tuan.” Perintah Arabella. “Dan jauhkan tanganmu dari tanganku.” Lanjutnya lagi, masih memberi perintah.

Lelaki itu jelas terkejut karena telah menabrak dan menyentuh siku Arabella secara reflek agar gadis itu tak jatuh ke belakang. Ia sadar diri dan langsung melangkah mundur, tidak tanggung-tanggung, ia mundur sejauh 3 langkah.

“Mari masuk, saya akan pesankan sarapan yang paling diminati di kota terbelakang ini.”

Sial. Ujaran gadis ini benar-benar terdengar berani dan mengusik rungunya secara sempurna. Ia lantas memberikan senyum manisnya yang terlihat palsu ke arah Arabella seraya mengangguk mengiyakan.

Villa Hadiwangsa, Rabu 202X


Amelia dan Markiel sudah jelas datang paling akhir di acara kumpul-kumpul ini. Alasannya masih sama, Markiel tidak ingin istrinya diwawancara pekara anak ataupun hal ini itu yang ia rasa tidak perlu.

Langit masih terlampau cerah ketika mesin mobil Markiel akhirnya dimatikan persis di sebelah mobil putih milik Noah yang sepertinya juga datang terlambat hari ini. Sudah biasa, bahkan tidak akan ada yang terkejut lagi jika melihat Noah datang 2 jam dari waktu yang telah ditentukan, saking seringnya jika terlambat di perkumpulan keluarga.

“Langsung masuk aja kita Mel?” Markiel mengelus punggung tangan Amel yang baru saja dioles dengan hand cream beraroma bunga-bungaan oleh pemiliknya. Elusannya pelan, cenderung ingin skin ship saja tanpa ada alasan jelas. Atau sebenarnya pria itu ingin menenangkan Amelnya yang tadi bilang tengah dilanda grogi?

“Hm.. Iya udah ayo turun aja.” Amel akhirnya membalas setelah sempat mengheningkan cipta cukup lama, membenarkan polesan make upnya di cermin mobil sebentar sebelum akhirnya turun dari mobil.

“Cakep gak akunya?” Amel bertanya pada Markiel sambil membenarkan pakaiannya. Hari ini ia mengenakan dress putih tulang di bawah lutut dengan rambut tergelung rapi. Pemandangan yang jarang di mata Markiel sebab biasanya Amel jarang sekali menguncir rambutnya. Paling mentok hanya dikuncir separuh, itu pun bisa dihitung jari.

“Selalu cantik di mata saya kamu Mel.” Markiel akhirnya menjawab setelah mengamati penampilan Amel cukup lama. Pria itu benar-benar memperhatikan keseluruhannya secara detail sampai Amel sesak napas di posisinya berdiri.

“Yang bener? Katanya jelek..”

“Masih aja mau dibahas astaga.” Markiel benar tergelak karena Amel masih saja sensimen tentang guyonannya tempo hari.

“Duh tapi bentar ya, time time.. Itu rame banget lho Kiel.” Amel mendadak menggerutu karena rasa mulas mulai menyerang. Kepalanya bahkan mulai pening dadakan karena melihat keramaian keluarga inti Kavin Hadiwangsa yang kini berkumpul dan tampak seliweran di bagian dalam bangunan. Terlihat sangat jelas karena villa ini memang didominasi oleh kaca bening 60 persen.

Amel menghela napasnya pelan, merapatkan badannya ke Markiel sebentar agar baterai sosialnya terisi perlahan. Toh sudah jelas alasan berkumpulnya mereka hari ini karena ingin memberikan satu dua patah kata sebelum Markiel dan Amel berangkat ke Korea besok sore. Alias, bintang utama yang akan banyak diajak bicara adalah mereka berdua.

“Fokus sama saya aja Mel, jangan pikirin yang lain-lain. Kalau ada ditanya juga jawab apa adanya biar gak makin diruntut panjang. Ya... santai seperti yang lalu-lalu aja kitanya ya sayang.” Markiel tersenyum sambil merangkul pinggang Amel agar mulai melangkah masuk ke dalam bangunan.

Berbeda dengan Amelia yang ketar-ketir karena takut diajak mengobrol banyak topik oleh mertua, Markiel kini sudah hampir muring-muring karena melihat Hazel tengah duduk anteng persis di dekat pintu masuk.

Adiknya yang satu itu memang hanya duduk dan memainkan ponsel, tapi tak pelak Markiel takut Amelnya akan tantrum mendadak ketika berpapasan paling awal dengan Hazel.

“Oh, kalian udah dateng?”

Panjang umur untuk Hazel, karena baru saja adiknya itu menyapa sambil bangkit berdiri, Amel sudah mencengkram lengan Markiel kuat-kuat. Kebiasaan Amel jika baper ketika berinteraksi dengan Hazel.

“Diem kamu Zel.” Markiel spontan mendelik agar adiknya peka dan minggat saja dari hadapan.

“Lho?” Hazel hanya mampu tertawa kecil sambil menyapa singkat Amel sebelum akhirnya berlalu menuju area dapur yang kini tengah diisi oleh Noah. Adik Markiel yang jarang mengobrol itu kedapatan sedang menggoda beberapa asisten villa milik Opa Hadi yang tengah membuat jamuan makan malam. Memang Noah, diam-diam mencari mangsa.

“Itu kamu cuma disapa aja lho sama Hazel. Lah itu kalau kamu diajak salaman terus cipika-cipiki apa gak kayang mendadak di depan saya?” Markiel menyindir, menatap lekat Amelnya yang kini sudah tertawa lepas.

“Maaf maaf.. Abisnya atraktif banget main hp di sini.”

“Cuma main hp?????” Markiel makin tidak habis pikir.

“Iya gak lagi-lagi, serius deh.” Amel masih tertawa tanpa suara melihat Markiel terang-terangan terganggu akan kehadiran Hazel yang mempengaruhi Amel sebegitu liarnya.

“Bener gak lagi-lagi?”

“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Amel mengusap sisa air mata yang menumpuk di ujung pelupuk karena terlalu banyak tertawa.


“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Ucapan itu menggema di pikiran Markiel dan kini rasanya ingin ia lontarkan lagi untuk mengingatkan Amelnya agar tak membuka mulut terlalu lebar.

Kejadiannya tepat ketika Adrian mengetuk pintu kamar Markiel ingin mengajak berenang di kolam belakang. Awalnya Markiel ingin menolak, tapi melihat Amel yang kini tengah disita oleh Oma Tessa dan membuatnya gabut akhirnya Markiel pun setuju saja.

Semuanya masih tampak normal sampai akhirnya Hazel dan Noah datang dari lantai 2 dengan bertelanjang dada. Markiel bersumpah ingin mencekik leher keduanya saat itu juga.

“Kemasukan lalat itu kamu nanti Mel.” Markiel mulai ribut ketika Amel sudah terbebas dari Oma Tessa dan kini memutuskan untuk duduk di sebelahnya. Tentu Markiel masih belum ikut terjun ke kolam bersama yang lain karena ia tadinya masih diajak mengobrol juga oleh Opa Hadi.

“Gak mangap aku, itu cuma apa ya.. salah satu gerakan menarik napas melalui bibir.”

“Halah!” Markiel mencibir, menolehkan pandang seutuhnya ke Amel yang kini duduk anteng di sofa ruang tengah sambil menghadap terang-terangan ke arah kolam renang. Pada dasarnya ia memang tidak tau mau melihat apa dan yang paling ribut ada di kolam, jadinya reflek pusat perhatiannya sudah ditentukan.

Alasan lainnya jelas karena Hazel sih, Amel tidak akan mengelak lagi.

“Badan saya jauh lebih bagus dari Hazel lho???” Markiel lagi-lagi ceriwis, menangkup kedua pipi Amel agar menghadap ke arahnya saja. Sebab ia mengaku gerah bukan main jika atensi Amel dimakan oleh keberadaan Hazel.

“Lah aku ngomong apa sih emangnya Kiel?” Amel memprotes dan ingin meledakkan tawa melihat Markiel uring-uringan begini.

“Ya kamu lihatnya ke sana terus..” Markiel masih lanjut, entah mengapa jika cemburu lelaki itu memang jauh lebih cerewet dan ekspresif sekali.

“Ya biar aku boleh liat ke kolam sekalian kamu nyebur aja lah sana. Aku sendirian gak papa ini.”

“Yang bener?”

“Ya iya, bener.”

“Lihatnya ke saya aja lho ya. Jangan ke yang lain..”

Amel sok menimbang. “Tergantung sihhh...........”

“Tuh kan! Kamu senang godain saya lho sekarang Mel.”

Amel tertawa dan kini mendorong Markiel agar bisa family time dengan adik-adiknya. “Dah sana main!”

Markiel mengerucutkan bibirnya sebentar sebelum akhirnya kembali mendekati Amel dan melepas kaosnya. “Titip ini.” Ujarnya, menyerahkan kaos hitamnya ke tangan Amel.

“Iya udah sana, ntar aku ambilin bathrobenya sekalian.”

Markiel mengangguk, tapi belum beranjak. Gantinya lelaki itu mendekati Amel lagi dan mencium pipinya kilat.

“Buat apa itu cium-cium?”

“Kepingin.” Markiel tertawa dan akhirnya berlari menuju kolam dan langsung melompat masuk menyusul adik-adiknya.

Memang dasar Markiel! Tindakannya barusan dilihat jelas oleh Kavin yang baru saja keluar dari toilet.

“Anakmu habis dijodohin kayaknya makin banyak ketawanya itu Ra.” Papa Markiel berujar sambil duduk di samping istrinya.

“Lah iya, puji Tuhan. Biasanya yang jodoh-jodoh begini kan susah berhasil.”

“Pintar-pintarnya papa pilihin jodoh. Markiel dijodohkan dengan Amel kan karena Tomo Gunajaya bilang cucunya jarang keluar rumah dan jomblo sejak lahir.”

“Hush!” Mama Markiel langsung menepuk pundak suaminya karena Amel baru saja melintas di dekat mereka untuk naik sebentar ke lantai 2.

“Tapi aku bersyukur karena di antara Gunajaya yang lain papa kenalin Markiel ke Amelia. Gak bisa aku bayangin dapet mantu Gunajaya yang bukan ini.”

Mama Markiel tertawa dan mengangguk setuju. “Berdoa aja biar besok mereka lancar-lancar biar perjodohan ini gak dirasa sia-sia.”


Villa Hadiwangsa, Rabu 202X


Amelia dan Markiel sudah jelas datang paling akhir di acara kumpul-kumpul ini. Alasannya masih sama, Markiel tidak ingin istrinya diwawancara pekara anak ataupun hal ini itu yang ia rasa tidak perlu.

Langit masih terlampau cerah ketika mesin mobil Markiel akhirnya dimatikan persis di sebelah mobil putih milik Noah yang sepertinya juga datang terlambat hari ini. Sudah biasa, bahkan tidak akan ada yang terkejut lagi jika melihat Noah datang 2 jam dari waktu yang telah ditentukan, saking seringnya jika terlambat di perkumpulan keluarga.

“Langsung masuk aja kita Mel?” Markiel mengelus punggung tangan Amel yang baru saja dioles dengan hand cream beraroma bunga-bungaan oleh pemiliknya. Elusannya pelan, cenderung ingin skin ship saja tanpa ada alasan jelas. Atau sebenarnya pria itu ingin menenangkan Amelnya yang tadi bilang tengah dilanda grogi?

“Hm.. Iya udah ayo turun aja.” Amel akhirnya membalas setelah sempat mengheningkan cipta cukup lama, membenarkan polesan make upnya di cermin mobil sebentar sebelum akhirnya turun dari mobil.

“Cakep gak akunya?” Amel bertanya pada Markiel sambil membenarkan pakaiannya. Hari ini ia mengenakan dress putih tulang di bawah lutut dengan rambut tergelung rapi. Pemandangan yang jarang di mata Markiel sebab biasanya Amel jarang sekali menguncir rambutnya. Paling mentok hanya dikuncir separuh, itu pun bisa dihitung jari.

“Selalu cantik di mata saya kamu Mel.” Markiel akhirnya menjawab setelah mengamati penampilan Amel cukup lama. Pria itu benar-benar memperhatikan keseluruhannya secara detail sampai Amel sesak napas di posisinya berdiri.

“Yang bener? Katanya jelek..”

“Masih aja mau dibahas astaga.” Markiel benar tergelak karena Amel masih saja sensimen tentang guyonannya tempo hari.

“Duh tapi bentar ya, time time.. Itu rame banget lho Kiel.” Amel mendadak menggerutu karena rasa mulas mulai menyerang. Kepalanya bahkan mulai pening dadakan karena melihat keramaian keluarga inti Kavin Hadiwangsa yang kini berkumpul dan tampak seliweran di bagian dalam bangunan. Terlihat sangat jelas karena villa ini memang didominasi oleh kaca bening 60 persen.

Amel menghela napasnya pelan, merapatkan badannya ke Markiel sebentar agar baterai sosialnya terisi perlahan. Toh sudah jelas alasan berkumpulnya mereka hari ini karena ingin memberikan satu dua patah kata sebelum Markiel dan Amel berangkat ke Korea besok sore. Alias, bintang utama yang akan banyak diajak bicara adalah mereka berdua.

“Fokus sama saya aja Mel, jangan pikirin yang lain-lain. Kalau ada ditanya juga jawab apa adanya biar gak makin diruntut panjang. Ya... santai seperti yang lalu-lalu aja kitanya ya sayang.” Markiel tersenyum sambil merangkul pinggang Amel agar mulai melangkah masuk ke dalam bangunan.

Berbeda dengan Amelia yang ketar-ketir karena takut diajak mengobrol banyak topik oleh mertua, Markiel kini sudah hampir muring-muring karena melihat Hazel tengah duduk anteng persis di dekat pintu masuk.

Adiknya yang satu itu memang hanya duduk dan memainkan ponsel, tapi tak pelak Markiel takut Amelnya akan tantrum mendadak ketika berpapasan paling awal dengan Hazel.

“Oh, kalian udah dateng?”

Panjang umur untuk Hazel, karena baru saja adiknya itu menyapa sambil bangkit berdiri, Amel sudah mencengkram lengan Markiel kuat-kuat. Kebiasaan Amel jika baper ketika berinteraksi dengan Hazel.

“Diem kamu Zel.” Markiel spontan mendelik agar adiknya peka dan minggat saja dari hadapan.

“Lho?” Hazel hanya mampu tertawa kecil sambil menyapa singkat Amel sebelum akhirnya berlalu menuju area dapur yang kini tengah diisi oleh Noah. Adik Markiel yang jarang mengobrol itu kedapatan sedang menggoda beberapa asisten villa milik Opa Hadi yang tengah membuat jamuan makan malam. Memang Noah, diam-diam mencari mangsa.

“Itu kamu cuma disapa aja lho sama Hazel. Lah itu kalau kamu diajak salaman terus cipika-cipiki apa gak kayang mendadak di depan saya?” Markiel menyindir, menatap lekat Amelnya yang kini sudah tertawa lepas.

“Maaf maaf.. Abisnya atraktif banget main hp di sini.”

“Cuma main hp?????” Markiel makin tidak habis pikir.

“Iya gak lagi-lagi, serius deh.” Amel masih tertawa tanpa suara melihat Markiel terang-terangan terganggu akan kehadiran Hazel yang mempengaruhi Amel sebegitu liarnya.

“Bener gak lagi-lagi?”

“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Amel mengusap sisa air mata yang menumpuk di ujung pelupuk karena terlalu banyak tertawa.


“Iya. Iya gak lagi-lagi.” Ucapan itu menggema di pikiran Markiel dan kini rasanya ingin ia lontarkan lagi untuk mengingatkan Amelnya agar tak membuka mulut terlalu lebar.

Kejadiannya tepat ketika Adrian mengetuk pintu kamar Markiel ingin mengajak berenang di kolam belakang. Awalnya Markiel ingin menolak, tapi melihat Amel yang kini tengah disita oleh Oma Tessa dan membuatnya gabut akhirnya Markiel pun setuju saja.

Semuanya masih tampak normal sampai akhirnya Hazel dan Noah datang dari lantai 2 dengan bertelanjang dada. Markiel bersumpah ingin mencekik leher keduanya saat itu juga.

“Kemasukan lalat itu kamu nanti Mel.” Markiel mulai ribut ketika Amel datang menghampirinya di area kolam. Tentu Markiel masih belum ikut terjun karena ia tadinya masih diajak mengobrol oleh Opa Hadi.

“Gak mangap aku, itu cuma apa ya.. salah satu gerakan menarik napas melalui bibir.”

“Halah!” Markiel mencibir, menolehkan pandang seutuhnya ke Amel yang kini duduk di sofa ruang tengah sambil menghadap terang-terangan ke arah kolam renang. Pada dasarnya ia memang tidak tau mau melihat apa dan yang paling ribut ada di kolam, jadinya reflek pusat perhatiannya sudah ditentukan.

Alasan lainnya jelas karena Hazel sih, Amel tidak akan mengelak lagi.

“Badan saya jauh lebih bagus dari Hazel lho???” Markiel lagi-lagi ceriwis, menangkup kedua pipi Amel agar menghadap ke arahnya saja. Sebab ia mengaku gerah bukan main jika atensi Amel dimakan oleh keberadaan Hazel.

“Lah aku ngomong apa sih emangnya Kiel?” Amel memprotes dan ingin meledakkan tawa melihat Markiel uring-uringan begini.

“Ya kamu lihatnya ke sana terus..” Markiel masih lanjut, entah mengapa jika cemburu lelaki itu memang jauh lebih cerewet dan ekspresif sekali.

“Ya biar aku boleh liat ke kolam sekalian kamu nyebur aja lah sana. Aku sendirian gak papa ini.”

“Yang bener?”

“Ya iya, bener.”

“Lihatnya ke saya aja lho ya. Jangan ke yang lain..”

Amel sok menimbang. “Tergantung sihhh...........”

“Tuh kan! Kamu senang godain saya lho sekarang Mel.”

Amel tertawa dan kini mendorong Markiel agar bisa family time dengan adik-adiknya. “Dah sana main!”

Markiel mengerucutkan bibirnya sebentar sebelum akhirnya kembali mendekati Amel dan melepas kaosnya. “Titip ini.” Ujarnya, menyerahkan kaos hitamnya ke tangan Amel.

“Iya udah sana, ntar aku ambilin bathrobenya sekalian.”

Markiel mengangguk, tapi belum beranjak. Gantinya lelaki itu mendekati Amel lagi dan mencium pipinya kilat.

“Buat apa itu cium-cium?”

“Kepingin.” Markiel tertawa dan akhirnya berlari menuju kolam dan langsung melompat masuk menyusul adik-adiknya.

Memang dasar Markiel! Tindakannya barusan dilihat jelas oleh Kavin yang baru saja keluar dari toilet.

“Anakmu habis dijodohin kayaknya makin banyak ketawanya itu Ra.” Papa Markiel berujar sambil duduk di samping istrinya.

“Lah iya, puji Tuhan. Biasanya yang jodoh-jodoh begini kan susah berhasil.”

“Pintar-pintarnya papa pilihin jodoh. Markiel dijodohkan dengan Amel kan karena Tomo Gunajaya bilang cucunya jarang keluar rumah dan jomblo sejak lahir.”

“Hush!” Mama Markiel langsung menepuk pundak suaminya karena Amel baru saja melintas di dekat mereka untuk naik sebentar ke lantai 2.

“Tapi aku bersyukur karena di antara Gunajaya yang lain papa kenalin Markiel ke Amelia. Gak bisa aku bayangin dapet mantu Gunajaya yang bukan ini.”

Mama Markiel tertawa dan mengangguk setuju. “Berdoa aja biar besok mereka lancar-lancar biar perjodohan ini gak dirasa sia-sia.”