1936, south axfrienne
Koridor bangunan paling megah yang terletak tepat di pusat kota itu sekarang penuh dengan suara tapak kaki berlarian. Yang satu tampak kesusahan dan berusaha menghindar, sedangkan yang lainnya tengah mengejar mati-matian.
Dress floral berbahan satin yang menjuntai panjang sampai ke tungkai itu sedikit diangkat pemiliknya kala sepatu yang ia kenakan hampir saja menginjak genangan air di rerumputan yang masih basah dan separuh berlumpur.
“Demi Tuhan, Nona Alexa kumohon berhentilah berlari! Jika Tuan Anderson melihat, akan dijamin anda pasti menerima hukuman seperti yang sudah-sudah!” Teriakan Annelie yang kini juga sibuk berlari demi mengejar sang putri tunggal pemilik bangunan itu menggema kencang di sepanjang koridor. Tapak kaki ketua pelayan itu tak melambat meskipun nyeri sudah merajai seluruh tungkainya. Tentu saja karena ia tidak ingin dirinya dan bawahannya yang lain menerima omelan lagi dari Anderson.
Namun sayang, sang nona yang dielu-elukan tampak tidak peduli sama sekali. Dengus kesal masih keluar secara spontan dari bibir karena usaha kaburnya ketahuan berulang kali. Kini, bahkan rambut hitamnya yang tergerai panjang dan tertata rapi dengan beberapa aksen bunga-bunga kecil itu mulai bergerak-gerak liar mengikuti iringan langkah kakinya yang enggan berhenti.
Dengan napas terengah dan keringat yang mulai mengucur tipis di pelipis, gadis itu akhirnya membelokkan arah agar keluar dari kungkungan dinding rumah megahnya.
Aku harus sampai di taman timur sebelum matahari terbenam. Pikirnya kala melihat gerbang samping koridor masih terbuka lebar.
Dan begitulah, dengan usaha ekstra menghindari segala pengawalan, Alexa Greinn akhirnya tiba juga di pelataran taman. Gadis itu sedikit membungkuk demi menetralkan napas ketika bau-bauan rumput yang menguar lembut mulai menyapa indra penciumannya. Bahkan para burung dan kupu-kupu yang tadinya hanya melintas sepintas lalu mulai memberikan jarak, seakan mengerti bahwa inilah detik-detik Alexa akan menghabiskan waktunya sampai disusul oleh tangan kanan ayahnya sendiri.
Mungkin beberapa dari pekerjanya sudah muak dan sering kali bertanya-tanya tentang alasan Alexa yang selalu menyediakan waktu untuk duduk disini setiap akhir pekan menjelang malam.
Sebab, apa sebenarnya yang telah gadis itu nantikan? Bahkan cahaya dari bulatan matahari yang terjun hilang-pun tidak dapat terekam baik oleh netra akibat terhalang pilar-pilar rumah yang terlalu tinggi dan besar.
“Nona Alexa, kuperingatkan sekali lagi bahwa anda harus segera kembali sebelum ayah anda benar-benar kehilangan kesabaran. Ini sudah kali ke-dua puluh seluruh pekerja anda terkena badai amukan. Apa anda masih tega?” Annelie yang kini sudah berhenti 3 meter di belakang Alexa mulai menuturkan keluh kesah seraya mengatur napasnya sendiri.
Namun, “Ya.” Sesuai dugaan, jawaban singkat yang sangat tidak ingin didengar siapapun itu lolos keluar dari bibir ranum Alexa kurang dari sepersekian detik. Seakan nona satu itu mengeluarkan balasan tanpa berpikir dua kali lagi.
Seluruh pekerja yang mengikutinya kini hanya bisa mendesah berat selagi mulai melangkah mundur sejauh 10 meter demi memberikan ruang hening yang diinginkan Alexa seperti biasanya.
Gadis dengan tinggi 160 senti itu lantas mendudukkan diri di kursi panjang dekat air mancur. Matanya yang berhias bulu mata lentik lengkap dengan iris berwarna biru laut ia paksa agar bisa terpejam rileks, mulai membiarkan rambutnya terbelai angin dan cahaya senja mentari menari-nari di kulit putih pucatnya.
Sebenarnya ada satu alasan yang membuat Alexa selalu duduk disini setiap hari sabtu menjelang malam hari. Alasan itu tidak jauh-jauh dari...
“Nona Alexa? Anda harus benar kembali ke dalam istana sebelum jamuan makan malam dimulai. Anda tidak ingin terkena hukuman lagi seperti pekan lalu, bukan?”
Suara tak diundang itu mulai terdengar berisik dan mengusik rungu Alexa. Kedatangannya yang selalu tak terduga itu kadang membuat gadis itu naik darah. Namun mengingat jika pemilik suara tersebut yang sudah sering kali membantunya membuat alasan dan lain sebagainya agar terhindar dari omelan Anderson, maka yang bisa dilakukan oleh Alexa sebagai balasan hanyalah terdiam seribu bahasa.
“Sepuluh menit nona. Kuberi kau jatah sepuluh menit untuk duduk disini seperti biasanya.” Harvey Colton, nama pria tersebut, mulai memberi penekanan seraya mundur dan memberi jarak kembali.
Alexa mendesah kelewat dramatis, kedamaiannya terusik sempurna dan ia yakin bahwa tidak akan pernah bisa menemukan kilatan cahaya yang selalu ia nantikan. Padahal, ini satu-satunya jalan dan cara ia bisa kembali ke masanya, dan satu-satunya cara agar ia tidak harus pergi untuk diserahkan kepada pangeran di istana entah untuk dijadikan apa.
Alexa lalu menoleh ke belakang, menatap langsung ke mata Harvey yang nyatanya kini hanya sibuk memandang kosong ke pilar-pilar kokoh di arah barat. Pria itu tidak akan pernah memandangnya jika tidak atas sebuah perintah.
“Harvey.” Panggilnya kemudian.
“Ya, nona?” Balasnya, maju satu langkah ke depan.
“Maukah kau mengusir mereka sebentar agar aku bisa fokus disini sendirian?”
Pria dengan bahu tegap dan rambut hitam pekat itu meneleng kepalanya sedikit. “Anda ingin kabur seperti dua pekan lalu, bukan?” Tanyanya penuh selidik. “Saya tidak akan melakukannya, saya tidak ingin melihat saya dan pekerja anda yang lain terkena hukuman karena lalai menjaga anda. Bukankah anda sendiri ingat bahwa jadwal anda lusa untuk pergi ke istana?”
Alexa menggeram gemas. Gadis itu lantas memberi isyarat agar Harvey maju dan berdiri di hadapannya.
“Aku tidak akan kabur. Kau lupa bahwa rumah ini terkunci dan penjaga di depan sana sudah mendapat perintah agar tidak membiarkanku keluar? Tolonglah aku Harvey, aku membutuhkan keheningan agar aku bisa kembali.”
Kening Harvey kini menukik sempurna. Sebab kalimat yang diucap oleh Alexa itu nyatanya terdengar bagai untaian kaset rusak. Selalu saja perempuan itu berujar ingin kembali dan kembali. Namun, kembali ke mana maksudnya? Bukankah ini adalah rumahnya sendiri? Banyak hal yang ingin Harvey lontarkan sebagai pertanyaan, namun yang keluar dari bibirnya hanya gumam serak yang tak dapat didengar jelas bahkan oleh Alexa sendiri.
Hening cukup lama melanda sampai akhirnya Alexa bangkit dari duduknya. Ia tahu bahwa tidak seharusnya ia mencari pekara dengan Harvey. Toh, pada dasarnya, lelaki tampan tersebut adalah tangan kanan ayahnya sendiri. Tentu pula lelaki itu berpihak seratus persen pada Anderson, bukan kepadanya.
“Baiklah, aku akan kembali masuk.” Putusnya kemudian, tampak kelelahan sendiri dengan keputusannya yang selalu saja kalah oleh keadaan. Gadis itu lantas menundukkan kepalanya sebentar guna berpamitan, lalu mulai membalik badan, ingin mengangkat kaki dari taman tersebut.
“Tunggu Nona Alexa.” Suara tegas Harvey kembali mengudara.
Alexa hanya menghentikan langkah kakinya yang ingin beranjak tanpa berminat untuk menolehkan pandang barang satu inci. Menggumam kata balasan pun ia sudah malas dan tak berselera.
“Anda selalu berucap bahwa anda ingin kembali, kemanakah yang anda maksud sebagai kembali itu?”
“Rumah. Rumahku. Sangat jauh di sana yang kau bahkan tidak mungkin mengerti bagaimana dan apa ataupun kapan dan di mana letak pastinya.” Alexa menjawab ambigu. Matanya mulai memanas sebab kali ini ia gagal lagi. Ia selalu gagal dalam percobaannya yang ingin kembali pulang, seakan ada selaput transparan yang menguncinya disini dan tak pernah ingin ia kembali. Lantas tanpa mengucap sepatah kata lagi ia akhirnya kembali menyusuri jalan setapak diikuti oleh Annelie dan yang lainnya di belakang sana.
Meninggalkan sosok Harvey yang kini terus menatap punggung sang Nona dengan pandangan yang sangat sulit diartikan.